geografi lingkungan

Khoirunnas anfa'uhum linnas

Jumat, 05 Oktober 2012

Salah Altimeter Pesawat Terbang Bisa Salah Mendarat



Secara umum studi tentang keuntungan ekonomi dari pemanfaatan cuaca dan informasi cuaca dalam penerbangan telah banyak dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Fairbanks dkk. (1993), Robinson dkk. (1994). Perhitungan nilai ekonomi umumnya dilakukan dengan ukuran penghematan waktu terbang (waktu terbang minima) dan efisiensi pengaturan beban dan pengisian bahan bakar (fuel loading). Tetapi tidak dapat dihitung nilainya secara kuantitatif dalam hal yang berkaitan dengan keselamatan.


Penentuan Rencana Terbang

Dalam upaya efisiensi dan keselamatan penerbangan selain harus memperhatikan kondisi sarana dan prasarana penerbangan serta kondisi pesawat terbang, cuaca selalu harus diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Pada dasarnya cuaca mempunyai andil besar dalam menentukan rencana dan keputusan untuk tinggal landas, keputusan mendarat, dan keputusan-keputusan selama dalam penerbangan.
Informasi cuaca penerbangan yang diterima penerbang digunakan untuk operasional penerbangan, baik informasi cuaca untuk persiapan lepas landas, selama dalam penerbangan, maupun informasi cuaca untuk persiapan mendarat.
Informasi cuaca bandar udara keberangkatan yang diterima sebelum lepas landas atau akan mendarat antara lain digunakan untuk menentukan dari arah mana pesawat terbang akan lepas landas atau mendarat. Hal ini berkaitan dengan arah angin di bandar udara saat itu, dimana pesawat terbang akan lepas landas atau mendarat dengan arah berlawanan dengan arah angin.
Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang selalu diperhatikan, yakni pengesetan altimeter, penentuan ketinggian terbang, dan penentuan terbang minimal.

Perlukah Pengesetan Altimeter (Altimeter Setting)?

Altimeter adalah alat yang digunakan untuk menaksir ketinggian di dalam atmosfer. Ada tiga istilah yang sering digunakan untuk mengatakan tinggi dalam penerbangan, yakni ketinggian (height), altitude (altitude), dan elevasi (elevation).
Ketinggian, adalah ukuran jarak vertikal letak suatu titik, atau benda, atau paras, yang diukur dari datum atau tinggi rujukan tertentu.
Altitud adalah jarak vertikal letak suatu titik, benda, atau paras yang diukur dari permukaan laut atau permukaan laut rata-rata.
Elevasi adalah jarak vertikal dari suatu titik, atau benda, pada permukaan bumi diukur dari permukaan laut.
Untuk mengetahui ketinggian terbang, pesawat terbang umumnya dilengkapi dengan altimeter tekanan, ialah altimeter yang bekerjanya berdasarkan pengukuran tekanan udara. Tetapi pesawat terbang modern, selain dilengkapai dengan altimeter tekanan juga dilengkapi dengan altimeter radio atau radar. Dengan prinsip pemantulan gelombang radio, altimeter radio dapat menunjukkan ketinggian pesawat terbang di atas permukaan bumi. Oleh karena itu altimeter radio dikenal sebagai altimeter mutlak, sedangkan altimeter tekanan menunjukkan ketinggian nisbi, yaitu altitud atau ketinggian dari permukaan laut. Apabila pesawat terbang di atas laut altimeter tekanan dan altimeter radio menunjukkan ketinggian yang sama. Tetapi bila terbang di atas daratan, altimeter tekanan menunjukkan ketinggian lebih tinggi dibandingkan dengan altimeter radio.
Bagi pesawat terbang yang hanya dilengkapi dengan altimeter tekanan, pengesetan altimeter sangat penting dan harus dilakukan dengan cermat agar pesawat terbang dapat didaratkan dengan tepat diatas landasan pacu. Pengesetan dilakukan dengan menyesuaikan skala altimeter pada besarnya tekanan di Bandar udara yang dikoreksi dengan tekanan permukaan laut (QNH).
Dalam altimeter, hubungan antara ketinggian dan tekanan mengikut rumus empirik :
H = 221,15 Tm log (Po/P),
dengan H = ketinggian dari permukaan laut (altitud) dinyatakan dalam kaki; Tm = suhu udara rata-rata dari permukaan laut sampai tinggi H dinyatakan dalam oK; Po = tekanan atmosfer pada permukaan laut; dan P = tekanan atmosfer pada ketinggian H.
Contoh hasil perhitungan dengan menggunakan rumus (7.3) seperti berikut :
Tekanan                              Ketinggian tekanan (H)
          (hPa)                                       (kaki)
1074,77 -                                   500
1013,25                                        0
         954,608                                       500
         898,745                                       1000
         540,199                                       5000
        54,2487                                        20000
      11,7186                                         30000
-----------------------------------------------------
Namun demikian dalam praktek untuk menetapkan koreksi ke permukaan laut yang digunakan untuk pengesetan altimeter diperlukan patokan tekanan di atas permukaan laut tertentu. Tekanan permukaan laut tersebut diambil dari atmosfer baku ICAO. Dengan demikian perhitungan dengan menggunakan rumus (7.3) hasilnya dapat berbeda dengan bila menggunakan model atmosfer baku ICAO.
Dalam Glossary of Meteorology, atmosfer baku ICAO ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut :
§ Ketinggian permukaan atau paras muka laut rata-rata (mean sea level) = 0 meter;
§ Tekanan udara permukaan 1013,25 mb (hPa)
§ Suhu udara permukaan 15 oC;
§ Laju susut suhu vertikal sampai tinggi 11 km (ketinggian tropopause) sebesar 6,5 oC/km atau 1,98 oC/ 1000 kaki.
Selanjutnya sejak tahun 1956 dikembangkan lagi dengan:
§ Laju susut suhu dari 11 km sampai 25 km sebesar 0 oC/km;
§ Laju susut suhu dari 25 km sampai 47 km sebesar +3 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian 47 km sebesar + 9,5 oC ;
§ Laju susut suhu dari 47 km sampai 53 km sebesar 0 oC/km;
§ Laju susut suhu dari 53 km sampai 75 km sebesar – 3,9 oC/km, sehingga suhu pada 75 km sebesar – 76,3 oC;
§ Laju susut suhu dari 75 km sampai 90 km sebesar 0 oC/km;
§ Laju susut suhu dari 90 km sampai 126 km sebesar + 3,5 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian 126 km sebesar + 49,7 oC (suhu skala molekul);
§ Laju susut suhu dari 126 km sampai 175 km sebesar +10 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian 175 km sebesar + 539,7 oC;
§ Laju susut suhu dari 175 km sampai 500 km sebesar + 5,8 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian 500 km sebesar + 2424,7 oC.
Altitud yang bersangkutan dengan tekanan dalam standar atmosfer ICAO disebut “altitud tekanan (pressure altitude) atau ketinggian tekanan (pressure height)”.
Untuk pengesetan altimeter diperlukan nilai ketinggian tekanan dan QNH. Dalam satuan tekanan, ketinggian tekanan (PH) dinyatakan dengan rumus :
PH = Pml – QFE (7.4)
dengan Pml = tekanan pada pemukaan laut atmosfer baku ICAO; QFE tekanan barometer pada Bandar udara yang tidak dikoreksi ke permukaan laut. Cara menghitung ketinggian tekanan dan QNH seperti pada contoh berikut.
Misalkan di suatu Bandar udara elevasinya 3000 kaki dan tekanan barometer 930 hPa (tekanan sebenarnya yang tidak dikoreksi dengan permukaan laut = QFE). Maka dengan menggunakan kriteria atmosfer baku ICAO diperoleh :
(1) Ketinggian tekanan (PH) = 1013,25 – 930 = 83,25 hPa.
(2) Ketinggian tekanan 83,25 hPa setara dengan ketinggian H = 2331 kaki. Nilai tersebut dihitung dengan cara seperti berikut :
Dalam atmosfer baku ICAO untuk ketinggian dibawah 5000 kaki 1 hPa setara dengan 28 kaki. Maka ketinggian tekanan 83,25 hPa tersebut setara dengan 83,25 x 28 = 2331 kaki.
(3) QNH dihitung dengan rumus:
QNH = Pml + (HICAO – E)/28
(untuk E <= 5000 kaki) (7.5a)
atau,
QNH = Pml + (HICAO – E)/30
(untuk E > 5000 kaki) (7.5b)
dengan HICAO = tinggi setara tekanan dalam atmosfer baku ICAO; E = elevasi Bandar udara.
Dengan rumus tersebut diperoleh :
QNH = 1013,25 + (2331 – 3000)/28
= 1037,142 hPa.
Dari perhitungan tersebut maka pengesetan altimeter dilakukan dengan menempatkan skala altimeter nol pada 1037,142 hPa. Pengsetan tersebut diperlukan agar pendaratan pesawat terbang dapat dilakukan dengan tepat.


Apa akibatnya bila pengsetan
altimeter tidak benar?
Sebagai contoh, misalnya terjadi kesalahan pengesetan altimeter sebesar 1 hPa lebih kecil dari tekanan udara yang semestinya. Karena selisih tekanan udara sebesar 1 hPa setara dengan ketinggian 28 kaki, maka dengan kesalahan tersebut penerbang memperhitungkan bahwa pesawat sudah pada titik sentuh landasan (touch down) yang seharusnya, padahal yang sebenarnya pesawat terbang masih pada ketinggian 28 kaki dari landasan. Dengan demikian pesawat terbang mendarat melewati titik sentuh landasan yang seharusnya (gambar 7.10).

clip_image002
Gb. 1. Pendaratan pesawat terbang akibat kesalahan 1 hPa
lebih kecil dari tekanan udara yang semestinya.
Sebaliknya, apabila kesalahan sebesar 1 hPa lebih besar dari tekanan udara yang semestinya, maka penerbang memperhitungkan pesawat masih pada ketinggian 28 kaki dan belum menyentuh landasan, padahal pesawat terbang sudah menyentuh landasan sebelum mencapai titik sentuh landasan yang seharusnya dan pada kecepatan yang masih lebih tinggi dari yang seharusnya (gambar 7.11).
clip_image004
Gb. 2. Pendaratan pesawat terbang akibat kesalahan 1 hPa
lebih besar dari tekanan udara yang semestinya.

Apakah Nilai D itu ?

Keadaan atmosfer tidak tetap, sedangkan atmosfer baku ditetapkan berdasarkan model dan nilai rata-rata. Oleh karena itu sering terdapat perbedaan antara keadaan sebenarnya dan hasil perhitungan dengan menggunakan kriteria atmosfer baku ICAO. Beda ketinggian menurut atmosfer baku ICAO dan ketinggian sebenarnya disebut NIlai–D (D-value).
D = Z – h (7.6)
dengan Z = ketinggian yang dihitung menurut kriteria atmosfer baku ICAO, sama dengan ketinggian tekanan atau altitud tekanan; dan h = ketinggian sebenarnya dari permukaan bumi.
Bagaimana Cara Menghitung
Nilai D (D-Value) ?
Bila pesawat terbang dilengkapi dengan altimeter tekanan dan altimeter radio, nilai Z dapat diperoleh dari pengukuran dengan altimeter tekanan, dan h dari pengukuran dengan altimeter radio
Misalkan di suatu Bandar udara elevasinya 3000 kaki dan tekanan barometer 930 hPa (tekanan sebenarnya yang tidak dikoreksi dengan permukaan laut = QFE) seperti pada contoh dalam butir 7.2.1.1, maka menurut pengukuran pada elevasi atau ketinggian 3000 kaki tekanannya 930 hPa. Tetapi kalau dihitung dengan menggunakan kriteria atmosfer baku ICAO, tekanan 930 hPa terdapat pada ketinggian 2331 kaki. Dengan demikian :
Nilai-D = 2331 – 3000 = – 669 kaki.



Apakah Altitud Kerapatan
(Density Altitude) itu?
Altitud kerapatan adalah ketinggian tekanan dari suatu tempat (Bandar udara) yang dikoreksi dengan beda antara suhu di tempat itu dan suhu menurut atmosfer baku ICAO pada ketinggian yang sama dengan elevasi tempat.
Sebagai contoh, misalnya di suatu Bandar udara yang elevasinya 3000 kaki, pada saat itu tekanan sebenarnya 960 hPa (QFE, tekanan tidak dikoreksi permukaan laut); dan suhunya 11 oC.
Untuk menghitung altitud kerapatan mula-mula dihitung altitud atau ketinggian tekanan (PH) dengan menggunakan rumus (7.2),
PH = Pml – QFE
= 1013,25 – 960
= 53,25 hPa.
Dengan menggunakan ketentuan dalam atmosfer baku ICAO untuk ketinggian dibawah 5000 kaki 1 hPa setara dengan 28 kaki, maka dalam satuan tinggi :
PH = 53,25 x 28
= 1491 kaki ( = Nilai –D)
Selanjutnya dengan menggunakan ketentuan atmosfer baku ICAO, suhu pada permukaan laut 15 oC dan laju susut suhu vertikal 6,5 oC/km atau 1,98 oC/1000 kaki, maka pada ketinggian 1491 kaki suhunya sebesar :
TICAO = 15 – 1491 (1,98/1000)
= 15 – 2,95
= 12,05 oC
Karena suhu di Bandar udara sebesar 11 oC maka dengan suhu menurut perhitungan dengan atmosfer baku ICAO berbeda sebesar 12,05 – 11 = 1,05 oC. Jika disetarakan dengan beda ketinggian yang laju susut suhunya 1,98 oC /1000 kaki, maka 1,05 oC setara dengan tinggi (H) sebesar :
H = (1,05/1,98).1000
= 500 kaki
dan altitud kerapatan (DH):
= PH + H
= 1491 + 500
= 1951 kaki .
Nilai tersebut memberi pengertian bahwa apabila pesawat terbang akan tinggal landas atau mendarat di Bandar udara tersebut pada saat itu perlu menyesuaikan seperti kalau tinggal landas atau mendarat pada ketinggian 1951 kaki, meskipun elevasi Bandar udara sebenarnya 3000 kaki.


Penentuan Terbang Minimal
Angin dapat menghanyutkan pesawat udara sehingga arah lintasan pesawat (track) tidak sama dengan arah hadapan (heading) pesawat. Dengan demikian apabila arah pesawat dihadapkan kearah tujuan dengan menggunakan arah geografis padahal ada angin maka pada saat yang diperhitungkan pesawat tidak sampai tujuan yang dikehendaki. Untuk mendapatkan jarak atau waktu terpendek yang disebut “penerbangan minimal” maka pesawat harus setiap kali diubah arah sesuai dengan arah dan kecepatan angin yang ada.
Misalkan pesawat terbang dari A akan menuju B, bila tidak ada angin lintasan pesawat akan sepanjang garis AB. Bila ada angin dapat hanyut sehingga arah pesawat melencong tidak sampai pada B. Agar pesawat dapat mencapai B dengan menempuh jarak dan waktu terpendek maka pesawat terbang harus dihadapkan kearah tertentu sesuai dengan arah dan kecepatan angin yang menerpanya. Garis arah dari Bandar udara pemberangkatan sampai Bandar udara tujuan disebut lintasan (track), misalnya AB, dan garis arah pada arah hadapan disebut lintasan hadapan (heading), misalnya AC. Sudut antara lintasan hadapan dan lintasan (b) disebut sudut hanyutan.
Perhitungan untuk mencari sudut hanyutan sebagai berikut.


clip_image009










Gb.3. Bagan hanyutan.
Misalkan pesawat terbang dari A menuju B. Arah hadapan (heading) AB terhadap arah timur sebesar a. Kecepatan terhadap bumi (ground speed) pesawat sebesar VB knot. Karena angin, arah pesawat terbang mengikuti arah lintasan (track) maka pesawat terbang pada saat yang direncanakan dapat tidak sampai pada tujuan (B). Besarnya sudut simpangan disebut sudut hanyutan. Besarnya sudut hanyutan dapat dihitung dengan menggunakan analisis vektor.
Pada gambar 7.10:
VB = ( b1i + b2j ) vektor kecepatan pesawat terhadap bumi dari bandar udara keberangkatan ke arah Bandar udara tujuan;
a = sudut arah hadapan (heading) yang direncanakan terhadap arah timur;
Va = ( a1i + a2j ) vektor kecepatan angin;
f = arah angin terhadap arah utara,
atau (270 – f) terhadap arah timur
b = adalah sudut hanyutan;
VH = ( h1i + h2j ) vektor kecepatan pesawat terbang karena hanyutan,
Maka dalam koordinat siku-siku (X-Y), dengan X positif ke arah timur dan Y positip ke arah utara dapat dihitung :

VH = Va + VB
h1i + h2j = ( a1i + a2j ) + ( b1i + b2j )
h1 = a1 + b1 = VA cos (270 – f) + VB cos a
h2 = a2 + b2 = VA sin (270 – f) + VB sin a
Besarnya kecepatan VH = Ö (h12+ h22 )
= Ö[{VA cos(270 – f)+VB cosa}2 + {VA sin(270 – f)+VB sina}2]
(7.7)
arah VH = g = arc tan ( h2 / h1)
= arc tan {VA sin(270–f) + VB sina} / {VA cos(270–f) + VB cosa} (7.8)
Sudut hanyutan sebesar : b = a – g (7.9)
Contoh.
Pesawat terbang terbang dari Cengkareng ke Pontianak.
Jarak Cengkareng ke Pontianak S = 2000 km;
Arah Cengkareng – Pontianak terhadap arah timur a = 60o;
Kecepatan pesawat terbang terhadap bumi VB = 500 km/jam;
Arah angin f = 330o;
Kecepatan angin VA= 50 km/jam
Maka, besarnya kecepatan dalam arah lintasan
VH = Ö (h12+ h22 )
= Ö[{VA cos(270 – f)+VB cosa}2 + {VA sin(270 – f)+VB sina}2]
= Ö[{50cos(270 – 330)+500 cos60}2 + {50sin(270 – 330)+500 sin60}2]
= Ö[{50cos(– 60)+ 500 cos60}2 + {50sin(–60)+500 sin60}2]
= Ö[{ 50.½ + 500. ½ }2 + {50 (–½Ö3) + 500 .½ Ö3}2]
= Ö[{ 25 + 250 }2 + { (–25Ö3) + 250Ö3}2]
= Ö[(275 )2 + { (225Ö3)2]
= Ö {(75625 + (50625.3)}
= Ö(75625 + 151875)
= Ö(75625 + 151875)
= Ö227500
= 477 km/jam
Arah VH = g = arc tan ( h1 / h2)
= arc tan {VA sin(270–f) + VB sina} / {VA cos(270–f) + VB cosa}
= arc tan {50sin(–60) + VB sin60} / {50cos(–60) + 500 cos60}
= arc tan {50 (–½Ö3) + 500 .½ Ö3} / {50.½ + 500. ½ }
= arc tan {(–25Ö3) + 250 Ö3)} / (25 + 250)
= arc tan { (–25Ö3) + 250 Ö3)} / (25 + 250)
= arc tan { (225Ö3) / 275 }
= arc tan { (389,25) / 275 }
= arc tan (1,4155)
= 54,75o
Sudut hanyutan sebesar :
b = a – g
= 60o – 54,75o
= 5,25o

Manfaat dan Bahaya Cuaca di Bidang Perbangan

Dalam penerbangan perihal keselamatan adalah prioritas utama. Keselamatan penerbangan berkaitan dengan banyak faktor, antara lain faktor manusia, faktor kondisi dan jenis pesawat terbang, fasilitas dan sarana Bandar udara, fasilitas dan sarana telekomunikasi, dan faktor cuaca. Dari kemungkinan penyebab kecelakaan pesawat terbang, 30% antara lain karena faktor cuaca, teknis pesawat, fasilitas penunjang operasi penerbangan, dan pelayanan lalu-lintas udara; sedangkan 70% dari faktor manusia yang termasuk baik awak pesawat maupun yang memberi pelayanan kepada pesawat terbang.
Bagaimana peran cuaca dalam penerbangan?

Karena masalah penerbangan menyangkut banyak hal baik dalam lingkup nasional maupun internasional maka Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menetapkan berbagai aturan yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan tersebut. Khususnya dalam menetapkan aturan yang berkaitan dengan cuaca, ICAO bekerjasama dengan Organisasi Meteorologi Dunia ( World Meteorological Organization = WMO).
Meskipun teknologi penerbangan makin maju namun karena frekuensi penerbangan juga makin meningkat kecelakaan pesawat terbang masih tetap mempunyai kemungkinan yang tinggi. Laju keseringan penerbangan di Amerika Serikat sejak tahun 1988 sekitar 10% setiap tahun (buletin WMO no.1 vol.38 Jan.1988); di Indonesia (data IATS Analysis) antara 1988 – 2003 sekitar 3,9% dan diperkirakan naik menjadi sekitar 6,4% sampai akhir 2013. Dengan demikian makin banyak kegiatan penerbangan, beban tanggung jawab keselamatan penerbangan juga makin meningkat.
Apa dampak cuaca dalam penerbangan?
Peran cuaca dalam penerbangan sangat besar. Cuaca mempunyai dua peran. Disatu sisi informasi cuaca mempunyai andil dalam peningkatan efisiensi dan efektivitas kegiatan dan keselamatan penerbangan, di sisi lain mempunyai potensi yang membahayakan sampai dapat menimbulkan kematian. Namun demikian tidak mudah untuk mengatakan cuaca yang mana yang membahayakan, karena dampak cuaca bergantung pula kepada faktor lain.
Khusunya dalam penerbangan, selain kadar atau intensitas unsur cuaca, jenis pesawat, kondisi pesawat, dan posisi penerbangan juga merupakan faktor yang menentukan sensitifitasnya terhadap cuaca. Misalnya angin silang (cross wind) di landasan terbang yang bekecepatan 20 knot, mungkin dapat menimbulkan bahaya bagi pesawat kecil yang melakukan pendaratan, tetapi tidak ada pengaruhnya bagi pesawat terbang besar dan modern. Dari posisi terbang, angin 20 knot pada paras penerbangan 30.000 kaki tidak terasakan bagi pesawat besar yang terbang pada paras tersebut, tetapi bila terjadi pada paras rendah sangat berarti bagi pesawat terbang kecil yang terbang pada paras tersebut. Dengan demikian kriteria membahayakan bergantung juga kepada macam penerbangan. Namun demikian karena setiap pesawat terbang mempunyai tiga kegiatan yang sama, yakni tinggal landas, terbang, dan mendarat maka penggunaan arti bahaya dalam penerbangan umumnya diterapkan untuk masing-masing kegiatan tersebut.
Apa peran cuaca dalam pendaratan dan tinggal landas pesawat terbang ?
Pendaratan dan tinggal landas tergolong masa kritis bagi penerbangan. Untuk pendaratan, faktor cuaca yang mempunyai potensi membahayakan antara lain :
Angin silang, yang dapat melencongkan arah pendaratan atau tinggal landas. Angin haluan, yang dapat mengakibatkan penggunaan landasan terlalu panjang. Geser angin vertikal, geser angin horizontal, dan golak-galik, yang dapat melencongkan arah pendaratan atau tinggal landas dan dapat menimbulkan pesawat terjungkal. Langkisau, yang dapat menghambat, melencongkan arah pendaratan atau tinggal landas, atau pesawat terdorong. Banglas yang rendah, mengganggu penglihatan sehingga pendaratan atau tinggal landas yang dilakukan secara visual tidak dapat dilakukan dengan tepat. Tekanan dan suhu udara di permukaan landasan atau Bandar udara, digunakan untuk penyetelan altimeter dan perhitungan altitud kepadatan. Kesalahan pengamatan tekanan atau kesalahan pengesetan altimeter dapat menjatuhkan pesawat karena pesawat terbang mendarat tidak tepat sesuai dengan elevasi landasan. Longsoran udara dari awan Kumulonimbus, yang mengganggu pendaratan atau tinggal landas pesawat karena energi yang besar, pusaran yang kuat, dan arah angin yang menyebar ke segala arah.


clip_image002
Gb.1. Dampak longsoran udara dari awan Kumulonimbus.
Apa dampak cuaca kepada pesawat terbang yang sedang dalam penerbangan?

Bagi pesawat terbang yang sedang dalam penerbangan, faktor cuaca dapat dimanfaatkan tetapi juga ada yang mempunyai potensi membahayakan. Yang dapat dimanfaatkan antara lain : angin, tekanan udara yang dapat dimanfaatkan untuk menetapkan jalur terpendek atau waktu terbang yang sependek mungkin. Yang mempunyai potensi membahayakan antara lain: gelombang udara yang berkaitan dengan angin kencang, gelombang gunung, golak-galik (turbulence) di dalam awan, golak-galik di luar awan atau golak-galik udara cerah (clear air turbulence = CAT), peng-es-an (icing), kilat.
Bagaimana mengenali gelombang udara?
Secara mudah gelombang udara dapat dikenali dari goncangan pesawat terbang yang sedang dalam penerbangan. Selain itu dapat pula dikenali dari susunan dan bentuk awan, misalnya dengan adanya jajaran garis–garis awan Sirus, adanya awan tudung, awan dengan varietas lentikularis atau bentuk lensa, awan rotor.
clip_image005
Gb.1. Sirus bergelombang.
Sirus di kawasan tropik umumnya berada pada ketinggian lebih tinggi dari 6 km dari permukaan bumi; di kawasan mendekati kutub letaknya lebih rendah dibandingkan dengan Sirus di kawasan tropik. Bila ada Sirus berbentuk barisan seperti pada gb.1, menunjukkan bahwa udara di tempat itu bergelombang. Makin besar lajur awan makin besar gelombangnya. Arah angin tegaklurus barisan awan.
Gelombang udara juga dapat dikenali dari awan yang berbentuk seperti lensa (letikularis) seperti pada gb.2. Bentuk lentikularis umumnya terdapat pada awan Altostratus pada ketinggian antara 2 – 5 km dari permukaan bumi. Arah angin atau arah gelombang dari arah letak bentuk yang tipis dari bagian awan.


clip_image006
clip_image008
Gb. 2. Altostratus lentikularis.
Ada kalanya Altrostratus lentikularis kelihatan seperti berputar seperti terlihat pada gb.3, yang biasanya terjadi di sekitar lereng gunung. Di Puncak Bogor awan seperti itu sering terlihat pada sore hari.
clip_image010
Gb. 3. Altostratus lentikularis dengan pusaran.
Adakalanya gelombangnya tidak hanya gelombang vertikal tetapi juga gelombang horizontal seperti yang ditunjukkan oleh bentuk awan lentikularisseperti terlihat pada gb.4..
clip_image012
Gb.4. Altostratus lentikularis dengan
gelombang horizontal.
Selain itu awan bentuk lentikularis ada yang tampak menempel pada puncak gunung (gb.5.).
clip_image014
Gb. 5. Altostratus lentikularis menempel
pada puncak gunung
Ada pula yang menempel pada bagian atas awan Kumulonimbus atau Kumulus (gb.7.6). Bila tampak pada Kumulus menunjukkan pula bahwa di atas awan tersebut terdapat lapisan sungsangan sehingga awan tidak bisa menembusnya.
clip_image016
Gb.6. Altostratus lentikularis menempel pada puncak Kumulus.
Selain menandai adanya udara bergelombang awan-awan tersebut juga dapat digunakan untuk menandai kemantapan (stability) lapisan udara. Adanya awan seperti pada gambar 3 dan 4 menandai adanya lapisan udara mantap (stable air). Dalam atmosfer baku ICAO laju susut suhu kearah vertikal dalam troposfer didefinisikan sebesar 6,5 oC / km. Bila pada suatu waktu pada suatu lapisan udara laju susut suhu tersebut < 6,5 oC / km, lapisan udara tersebut dikatakan mantap; bila laju susut suhu > 6,5 oC / km dikatakan lapisan udara takmantap (unstable air).


Berbahayakah udara di balik gunung?
Di balik gunung tertentu sering timbul gelombang udara yang dikenal dengan gelombang gunung. Gelombang gunung umumnya terdapat pada balik gunung atau bawah angin. Gelombang tersebut umumnya terbentuk karena adanya angin kencang melewati gunung pada saat lapisan udara di atasnya dalam keadaan mantap. Syarat untuk terbentuknya gelombang gunung a.l. (1) udara mantap; (2) arah angin dari arah tegak lurus ke gunung,kurang dari 30 derajat; (3). udara mempunyai nilai parameter tertentu yang mencapai maksimum. Parameter tersebut dikenal dengan nama parameter Scorer yang dalam rumus matematikanya dinyatakan sebagai :
S = F(z) ~ (ωB / Uox)2
dengan ωB = √{- g[(d ln r)/ r + g/c2 ]} dan (ωB)2 disebut “frekuensi Brunt-Vaisala”; Uox = kecepatan angin dalam arah sumbu X (horizontal); g = percepatan gravitas bumi; r = rapat massa udara; dan c = kecepatan suara.
Gelombang tersebut dapat dikenali dengan adanya awan yang letaknya berantara secara teratur di balik gunung. Tetapi kadang-kadang selang antara awan-awan tersebut tidak tampak jelas sehingga dalam keadaan demikian sulit untuk menaksir adanya gelombang gunung.



Apakah yang dimaksud dengan golak-galik?
Golak-galik adalah goncangan udara akibat bertumpuknya gerak rata-rata udara yang tidak teratur dan dalam keadaan terus-menerus berubah. Nilai batas yang digunakan sebagai indikasi yang memungkinkan terjadinya golak-galik adalah bilangan tak berdimensi yang dinamakan bilangan Richardson (Ri), yang rumusnya sebagai berikut:
Ri = (ωB)2 / (ӘU/Әz)2 , (7.1)
dengan (ωB)2 = - g[ (d ln r)/ r + g/c2 ] disebut “frekuensi Brunt-Vaisala”; ӘU/Әz = landaian (gradient) kecepatan angin dalam arah vertikal; g = percepatan gravitas; r = rapat massa udara; dan c = kecepatan suara. Bila R <= ¼, udara bersifat takmantap; dan bila R<=1 udara bergolak-galik.

Apakah di dalam udara cerah dapat timbul golak-galik?

Dalam udara cerah dapat timbul golak-galik yang lazim dinamakan “golak-galik udara cerah (clear air turbulence = CAT)” yang terjadinya tidak ditandai dengan fenomena yang tampak. Biasanya terjadi dalam troposfer. Golak-galik udara cerah tersebut sulit dipelajari karena skalanya kecil dibandingkan dengan skala atmosfer. Disamping itu waktu terjadinya umumnya pada bagian akhir dari waktu peluruhan proses termodinamik dari energi kinetik karena pemanasan dalam atmosfer. Tempat terjadinya umumnya di dekat lereng gunung pada ketinggian atmosfer kurang dari 2 km, di daerah perenggan, dalam udara di atas Kumulonimbus yang sangat tinggi sampai stratosfer bawah, dan di daerah sekitar arus jet (jet stream) yaitu daerah dengan angin berkecepatan tinggi di lapisan udara atas. Laju pertumbuhan golak-galik udara cerah dinyatakan dengan rumus (Chandrasekar 1961, dikutip Beer Tom - 1964) sebagai berikut:
Im(ω) = ½ k[(δU)2 – 2(g/k) δr/r ] ½ (7.2)
dengan Im(ω) menyatakan bilangan imaginer dari ω; ω = frekuensi sudut (angular frequency) ; k = bilangan gelombang = 2π/λ, λ = panjang gelombang; δU = beda kecepatan angin antar lapisan udara; g = percepatan gravitas bumi; δr = beda rapat massa udara antar lapisan udara. Dari rumus tersebut mudah difahami bahwa apabila nilai [(δU)2 – 2(g/k) δr/r] >= 0 tidak ada nila Im(ω) berarti tidak terjadi golak-galik udara cerah.

Peng-es-an (icing) sangat mengganggu penerbangan.
Peng-es-an adalah fenomena penumpukan atau pelapisan es pada pesawat terbang. Peng-es-an dapat terjadi ketika pesawat terbang melewati butir-butir air adidingin di dalam awan atau di dalam hujan, atau melewati salju basah dan tetes air yang suhunya dibawah 0 oC. Suhu udara yang sangat rendah dapat menimbulkan proses peng-es-an pada pesawat terbang. Bila dalam paras terbang suhu udara rendah dan udara mengandung banyak air adidingin, tetes-tetes air yang membasahi badan pesawat yang sedang terbang dapat membeku dan membentuk lapisan es pada pesawat terbang.
Peng-es-an umumnya terjadi pada suhu antara 0 oC dan –18 oC. Wujud peng-es-an bermacam-macam yang dapat dibedakan dari kepadatannya, keterawangannya (transparency), dan kekerasannya. Perbedaan tersebut berkaitan dengan suhu, ukuran tetes air, laju penumpukan. Namun demikian ada bentuk dasar peng-es-an, yakni bentuk es keruh (rime ice) dan es bening (clear ice) yang tingkatnya dibedakan antara tingkat es kental (milky ice) dan tingkat es padat (kernel ice). Selain itu peng-es-an pesawat terbang juga dapat terjadi ketika pesawat terbang keluar dari lapisan udara dingin ke dalam lapisan udara hangat; dalam hal kejadian tersebut es yang terbentuk disebut es bulu (ice feathers) karena bentuknya seperti serabut.
Peng-es-an pada permukaan badan pesawat terbang umumnya pada bagian pinggir sayap, pada stabilisator, dan pada ujung-ujung bagian lain serta pada lubang pembuangan. Peng-es-an pada permukaan badan pesawat terbang dapat terjadi karena lapisan air yang menempel pada badan pesawat mendingin dengan kuat. Peng-es-an karburator yang disebut peng-es-an karburator (carburetor icing), terjadi pada lubang pembuangan gas sisa pembakaran yang keluar dan mengembang dengan cepat. Peng-es-an karburator umumnya sudah dapat terjadi bila suhu udara luar antara 10 dan 15 oC.
Peng-es-an pada pesawat terbang dapat mengurangi daya angkat, mengurangi daya dorong, dan menggnggu pengendalian karena peng-es-an dapat menimbulkan berbagai hal antara lain : menambah berat pesawat terbang, terjadi distorsi pada pembelah udara (aerofoil), mengganggu alat kemudi, mengganggu putaran baling-baling, mengurangi masukan udara pada mesin jet, dan mengurangi laju pembuangan karena peng-es-an karburator.
Peng-es-an yang kuat dan membahayakan pesawat terbang mudah terjadi apabila pesawat terbang lama di dalam awan atau dalam hujan adidingin. Besarnya laju peng-es-an sebanding dengan kandungan air dalam awan yang dilalui pesawat terbang , kecepatan pesawat terbang, dan efisiensi pengumpulan dari bagian pembelah udara pada pesawat terbang. Umumnya besarnya laju peng-es-an sekitar 1 mm/menit, dan paling tinggi sebesar 30 mm/menit. Efisiensi pengumpulan untuk hujan sebesar 100%, untuk gerimis sebesar 75%, dan untuk butir-butir awan sebesar 50%.



Apa bahaya kilat bagi penerbangan?
Kilat adalah salah satu fenomena elektrometeor berupa luahan muatan elektrik dalam udara. Kilat, antara lain dapat mengganggu alat telekomunikasi, saluran listrik.
Kilat dapat terjadi dari di satu tempat ke tempat lain di dalam suatu awan yang sama, dari awan ke awan lain, dan dari awan ke bumi atau sebaliknya dari bumi ke awan. Yang paling umum adalah kilat yang dihasilkan awan guntur atau awan Kumulonimbus. Bentuk kilat berbagai macam, antara lain yang terkenal adalah : kilat berkas (streak lightning), kilat garpu (forked lightning), kilat lembaran (sheet lightning), kilat bahang atau kilat api (heat lightning), kilat bola (ball lightning), kilat roket (rocket lightning).
clip_image018
Gb.7. Kilat garpu.
Kilat berkas adalah kilat dari awan ke bumi yang tampak seperti kilapan berkas cahaya. Kilat garpu adalah kilat dari awan ke bumi yang ujungnya bercabang-cabang seperti garpu.
Kilat lembaran adalah kilat yang hanya tampak seperti lembaran kilapan cahaya terang dan baur. Kilat bahang, sering disebut pula kilat api, berupa kilapan cahaya terang yang tampak di kejauhan dan lama setelah tampak disusul suara guntur. Kilat bola berupa kilapan cahaya berbentuk seperti bola yang garis tengahnya sekitar 0,3 meter, bergerak cepat pada suatu benda padat atau mengapung di udara, dan setelah itu meledak seperti bom; tetapi kilat tersebut jarang terjadi. Kilat roket adalah kilat yang sangat cepat seperti roket.
Apa dampak cuaca sama bagi semua penerbangan?
Dampak cuaca tidak sama bagi setiap penerbangan, umumnya dibedakan dalam tiga jenis penerbangan, yakni penerbangan rendah, penerbangan tengah, dan penerbangan tinggi..


Bagaimana dampak cuaca kepada penerbangan rendah?

Pesawat-pesawat terbang kecil, helikopter, paling banyak melakukan penerbangan rendah. Penerbangan rendah sangat tinggi sensitifitasnya kepada cuaca karena di lapisan udara dibawah 3 km, cuaca sangat beragam dan sangat berubah-ubah. Penerbangan rendah umumnya berada di bawah dan di bagian bawah awan, sehingga pesawat yang melakukan penerbangan rendah menemui banyak perubahan arah dan kecepatan angin, dan masuk-keluar bagian bawah awan yang umumnya bergolak-galik. Biasanya dalam penerbangan rendah digunakan aturan terbang visual (Visual Flight Rules = VFR) yaitu batasan-batasan (kondisi cuaca) yang dipersyaratkan suatu penerbangan boleh dilakukan secara visual.



Bagaimana dampak cuaca kepada penerbangan tengah?

Penerbangan tengah adalah penerbangan pada paras tengah antara 3 km dan 8 km. Penerbangan pada paras tersebut masih mengalami banyak perubahan arah dan kecepatan angin, masuk-keluar di bagian tengah dan bagian atas awan, serta dalam udara bersuhu sekitar 0 oC dan atau di atas paras beku (paras dengan suhu 0 oC), serta dalam udara bertekanan rendah. Penerbangan tengah sering melewati dan terbang di dalam serta di puncak awan. Pengaruh awan Kumulus tinggi dan Kumulonimbus masih cukup besar. Peng-es-an mudah terjadi dalam paras penerbangan tengah; selain suhu udaranya rendah kadar air dalam udara msih cukup tinggi. Oleh karena itu informasi tentang kedua jenis awan tersebut sepanjang jalur dan wilayah penerbangan sangat diperlukan.


Bagaimana dampak cuaca kepada penerbangan tinggi?
Penerbangan tinggi adalah penerbangan yang lebih tinggi dari 8 km. Umumnya berada pada paras di atas awan. Pengaruh cuaca di bawahnya kecil kecuali di atas siklon tropik yang kuat. Angin setempat umumnya tidak banyak perubahan; tetapi suhu udara sangat rendah. Peng-es-an masih mungkin terjadi utamanya di bagian paras paling bawah yang masih mengandung banyak uap air.
Penerbangan tinggi umumnya melakukan penerbangan jauh dan lama. Perubahan cuaca yang dirasakan adalah perubahan yang berkaitan dengan perubahan tempat, utamanya bagi penerbangan di kawasan lintang tinggi atau penerbangan yang menuju kearah meridional (utara – selatan). Perubahan tersebut berkaitan dengan perubahan ketinggian tekanan, ketinggian potensial, dan perubahan suhu.
Apabila penerbangan dilakukan pada paras tekanan tetap, pesawat dapat mengalami perubahan ketinggian; dan bila terbang dalam paras ketinggian tetap, pesawat terbang mengalami perubahan tekanan. Perubahan arah dan kecepatan angin, dan juga perubahan suhu berkaitan dengan perubahan tekanan atau ketinggian tersebut. Bila penerbangan di atas kawasan khatulistiwa maka sepanjang penerbangan tidak banyak mengalami perubahan tekanan; sebaliknya penerbangan yang melintas dari arah khatulistiwa ke arah kutub atau sebaliknya mengalami perubahan tekanan yang besar.

Seberapa besar nilai ekonomi manfaat cuaca dalam penerbangan?
Secara umum studi tentang keuntungan ekonomi dari pemanfaatan cuaca dan informasi cuaca dalam penerbangan telah banyak dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Fairbanks dkk. (1993), Robinson dkk. (1994). Perhitungan nilai ekonomi umumnya dilakukan dengan ukuran penghematan waktu terbang (waktu terbang minima) dan efisiensi pengaturan beban dan pengisian bahan bakar (fuel loading). Tetapi tidak dapat dihitung nilainya secara kuantitatif dalam hal yang berkaitan dengan keselamatan.



Manfaat informasi cuaca dalam penetapan rencana terbang.

Dalam upaya efisiensi dan keselamatan penerbangan selain harus memperhatikan kondisi sarana dan prasarana penerbangan serta kondisi pesawat terbang, cuaca selalu harus diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Pada dasarnya cuaca mempunyai andil besar dalam menentukan rencana dan keputusan untuk tinggal landas, keputusan mendarat, dan keputusan-keputusan selama dalam penerbangan.
Informasi cuaca penerbangan yang diterima penerbang digunakan untuk operasional penerbangan, baik informasi cuaca untuk persiapan lepas landas, selama dalam penerbangan, maupun informasi cuaca untuk persiapan mendarat.
Informasi cuaca bandar udara keberangkatan yang diterima sebelum lepas landas atau akan mendarat antara lain digunakan untuk menentukan dari arah mana pesawat terbang akan lepas landas atau mendarat. Hal ini berkaitan dengan arah angin di bandar udara saat itu, dimana pesawat terbang akan lepas landas atau mendarat dengan arah berlawanan dengan arah angin.
Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang selalu diperhatikan, yakni pengesetan altimeter, penentuan ketinggian terbang, dan penentuan terbang minimal.

Pengesetan altimeter (altimeter setting) itu apa?

Altimeter adalah alat yang digunakan untuk menaksir ketinggian di dalam atmosfer. Ada tiga istilah yang sering digunakan untuk mengatakan tinggi dalam penerbangan, yakni ketinggian (height), altitude (altitude), dan elevasi (elevation).
Ketinggian, adalah ukuran jarak vertikal letak suatu titik, atau benda, atau paras, yang diukur dari datum atau tinggi rujukan tertentu.
Altitud adalah jarak vertikal letak suatu titik, benda, atau paras yang diukur dari permukaan laut atau permukaan laut rata-rata.
Elevasi adalah jarak vertikal dari suatu titik, atau benda, pada permukaan bumi diukur dari permukaan laut.
Untuk mengetahui ketinggian terbang, pesawat terbang umumnya dilengkapi dengan altimeter tekanan, ialah altimeter yang bekerjanya berdasarkan pengukuran tekanan udara. Tetapi pesawat terbang modern, selain dilengkapai dengan altimeter tekanan juga dilengkapi dengan altimeter radio atau radar. Dengan prinsip pemantulan gelombang radio, altimeter radio dapat menunjukkan ketinggian pesawat terbang di atas permukaan bumi. Oleh karena itu altimeter radio dikenal sebagai altimeter mutlak, sedangkan altimeter tekanan menunjukkan ketinggian nisbi, yaitu altitud atau ketinggian dari permukaan laut. Apabila pesawat terbang di atas laut altimeter tekanan dan altimeter radio menunjukkan ketinggian yang sama. Tetapi bila terbang di atas daratan, altimeter tekanan menunjukkan ketinggian lebih tinggi dibandingkan dengan altimeter radio.
Bagi pesawat terbang yang hanya dilengkapi dengan altimeter tekanan, pengesetan altimeter sangat penting dan harus dilakukan dengan cermat agar pesawat terbang dapat didaratkan dengan tepat diatas landasan pacu. Pengesetan dilakukan dengan menyesuaikan skala altimeter pada besarnya tekanan di Bandar udara yang dikoreksi dengan tekanan permukaan laut (QNH).
Dalam altimeter, hubungan antara ketinggian dan tekanan mengikut rumus empirik :
H = 221,15 Tm log (Po/P),
dengan H = ketinggian dari permukaan laut (altitud) dinyatakan dalam kaki; Tm = suhu udara rata-rata dari permukaan laut sampai tinggi H dinyatakan dalam oK; Po = tekanan atmosfer pada permukaan laut; dan P = tekanan atmosfer pada ketinggian H.
Namun demikian dalam praktek untuk menetapkan koreksi ke permukaan laut yang digunakan untuk pengesetan altimeter diperlukan patokan tekanan di atas permukaan laut tertentu. Tekanan permukaan laut tersebut diambil dari atmosfer baku ICAO. Dengan demikian perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut hasilnya dapat berbeda dengan bila menggunakan model atmosfer baku ICAO.
Dalam Glossary of Meteorology, atmosfer baku ICAO ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut :
§ Ketinggian permukaan atau paras muka laut rata-rata (mean sea level) = 0 meter;
§ Tekanan udara permukaan 1013,25 mb (hPa)
§ Suhu udara permukaan 15 oC;
§ Laju susut suhu vertikal sampai tinggi 11 km (ketinggian tropopause) sebesar 6,5 oC/km atau 1,98 oC/ 1000 kaki.
Selanjutnya sejak tahun 1956 dikembangkan lagi dengan:
§ Laju susut suhu dari 11 km sampai 25 km sebesar 0 oC/km;
§ Laju susut suhu dari 25 km sampai 47 km sebesar +3 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian 47 km sebesar + 9,5 oC ;
§ Laju susut suhu dari 47 km sampai 53 km sebesar 0 oC/km;
§ Laju susut suhu dari 53 km sampai 75 km sebesar – 3,9 oC/km, sehingga suhu pada 75 km sebesar – 76,3 oC;
§ Laju susut suhu dari 75 km sampai 90 km sebesar 0 oC/km;
§ Laju susut suhu dari 90 km sampai 126 km sebesar + 3,5 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian 126 km sebesar + 49,7 oC (suhu skala molekul);
§ Laju susut suhu dari 126 km sampai 175 km sebesar +10 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian 175 km sebesar + 539,7 oC;
§ Laju susut suhu dari 175 km sampai 500 km sebesar + 5,8 oC/km, sehingga suhu pada ketinggian 500 km sebesar + 2424,7 oC.
Altitud yang bersangkutan dengan tekanan dalam standar atmosfer ICAO disebut “altitud tekanan (pressure altitude) atau ketinggian tekanan (pressure height)”.
Untuk pengesetan altimeter diperlukan nilai ketinggian tekanan dan QNH. Dalam satuan tekanan, ketinggian tekanan (PH) dinyatakan dengan rumus :
PH = Pml – QFE
dengan Pml = tekanan pada pemukaan laut atmosfer baku ICAO; QFE tekanan barometer pada Bandar udara yang tidak dikoreksi ke permukaan laut. Cara menghitung ketinggian tekanan dan QNH seperti pada contoh berikut.
Misalkan di suatu Bandar udara elevasinya 3000 kaki dan tekanan barometer 930 hPa (tekanan sebenarnya yang tidak dikoreksi dengan permukaan laut = QFE). Maka dengan menggunakan kriteria atmosfer baku ICAO diperoleh :
(1) Ketinggian tekanan (PH) = 1013,25 – 930 = 83,25 hPa.
(2) Ketinggian tekanan 83,25 hPa setara dengan ketinggian H = 2331 kaki. Nilai tersebut dihitung dengan cara seperti berikut :
Dalam atmosfer baku ICAO untuk ketinggian dibawah 5000 kaki 1 hPa setara dengan 28 kaki. Maka ketinggian tekanan 83,25 hPa tersebut setara dengan 83,25 x 28 = 2331 kaki.
(3) QNH dihitung dengan rumus:
QNH = Pml + (HICAO – E)/28
(untuk E <= 5000 kaki)
atau,
QNH = Pml + (HICAO – E)/30
(untuk E > 5000 kaki)
dengan HICAO = tinggi setara tekanan dalam atmosfer baku ICAO; E = elevasi Bandar udara.
Dengan rumus tersebut diperoleh :
QNH = 1013,25 + (2331 – 3000)/28
= 1037,142 hPa.
Dari perhitungan tersebut maka pengesetan altimeter dilakukan dengan menempatkan skala altimeter nol pada 1037,142 hPa. Pengsetan tersebut diperlukan agar pendaratan pesawat terbang dapat dilakukan dengan tepat.
Sebagai contoh, misalnya terjadi kesalahan pengesetan altimeter sebesar 1 hPa lebih kecil dari tekanan udara yang semestinya. Karena selisih tekanan udara sebesar 1 hPa setara dengan ketinggian 28 kaki, maka dengan kesalahan tersebut penerbang memperhitungkan bahwa pesawat sudah pada titik sentuh landasan (touch down) yang seharusnya, padahal yang sebenarnya pesawat terbang masih pada ketinggian 28 kaki dari landasan. Dengan demikian pesawat terbang mendarat melewati titik sentuh landasan yang seharusnya (gambar 9).

clip_image020
Gb. 9. Pendaratan pesawat terbang akibat kesalahan 1 hPa
lebih kecil dari tekanan udara yang semestinya.
Sebaliknya, apabila kesalahan sebesar 1 hPa lebih besar dari tekanan udara yang semestinya, maka penerbang memperhitungkan pesawat masih pada ketinggian 28 kaki dan belum menyentuh landasan, padahal pesawat terbang sudah menyentuh landasan sebelum mencapai titik sentuh landasan yang seharusnya dan pada kecepatan yang masih lebih tinggi dari yang seharusnya (gambar 10).
clip_image022
Gb. 10. Pendaratan pesawat terbang akibat kesalahan 1 hPa
lebih besar dari tekanan udara yang semestinya.

Menghitung Nilai D (D-Value)

Keadaan atmosfer tidak tetap, sedangkan atmosfer baku ditetapkan berdasarkan model dan nilai rata-rata. Oleh karena itu sering terdapat perbedaan antara keadaan sebenarnya dan hasil perhitungan dengan menggunakan kriteria atmosfer baku ICAO. Beda ketinggian menurut atmosfer baku ICAO dan ketinggian sebenarnya disebut NIlai–D (D-value).
D = Z – h (7.6)
dengan Z = ketinggian yang dihitung menurut kriteria atmosfer baku ICAO, sama dengan ketinggian tekanan atau altitud tekanan; dan h = ketinggian sebenarnya dari permukaan bumi.
Bila pesawat terbang dilengkapi dengan altimeter tekanan dan altimeter radio, nilai Z dapat diperoleh dari pengukuran dengan altimeter tekanan, dan h dari pengukuran dengan altimeter radio
Misalkan di suatu Bandar udara elevasinya 3000 kaki dan tekanan barometer 930 hPa (tekanan sebenarnya yang tidak dikoreksi dengan permukaan laut = QFE) seperti pada contoh dalam butir 7.2.1.1, maka menurut pengukuran pada elevasi atau ketinggian 3000 kaki tekanannya 930 hPa. Tetapi kalau dihitung dengan menggunakan kriteria atmosfer baku ICAO, tekanan 930 hPa terdapat pada ketinggian 2331 kaki. Dengan demikian :
Nilai-D = 2331 – 3000 = – 669 kaki.



Altitud Kerapatan (Density Altitude)
Altitud kerapatan adalah ketinggian tekanan dari suatu tempat (Bandar udara) yang dikoreksi dengan beda antara suhu di tempat itu dan suhu menurut atmosfer baku ICAO pada ketinggian yang sama dengan elevasi tempat.
Sebagai contoh, misalnya di suatu Bandar udara yang elevasinya 3000 kaki, pada saat itu tekanan sebenarnya 960 hPa (QFE, tekanan tidak dikoreksi permukaan laut); dan suhunya 11 oC.
Untuk menghitung altitud kerapatan mula-mula dihitung altitud atau ketinggian tekanan (PH) dengan menggunakan rumus (7.2),
PH = Pml – QFE
= 1013,25 – 960
= 53,25 hPa.
Dengan menggunakan ketentuan dalam atmosfer baku ICAO untuk ketinggian dibawah 5000 kaki 1 hPa setara dengan 28 kaki, maka dalam satuan tinggi :
PH = 53,25 x 28
= 1491 kaki ( = Nilai –D)
Selanjutnya dengan menggunakan ketentuan atmosfer baku ICAO, suhu pada permukaan laut 15 oC dan laju susut suhu vertikal 6,5 oC/km atau 1,98 oC/1000 kaki, maka pada ketinggian 1491 kaki suhunya sebesar :
TICAO = 15 – 1491 (1,98/1000)
= 15 – 2,95
= 12,05 oC
Karena suhu di Bandar udara sebesar 11 oC maka dengan suhu menurut perhitungan dengan atmosfer baku ICAO berbeda sebesar 12,05 – 11 = 1,05 oC. Jika disetarakan dengan beda ketinggian yang laju susut suhunya 1,98 oC /1000 kaki, maka 1,05 oC setara dengan tinggi (H) sebesar :
H = (1,05/1,98).1000
= 500 kaki
dan altitud kerapatan (DH):
= PH + H
= 1491 + 500
= 1951 kaki .
Nilai tersebut memberi pengertian bahwa apabila pesawat terbang akan tinggal landas atau mendarat di Bandar udara tersebut pada saat itu perlu menyesuaikan seperti kalau tinggal landas atau mendarat pada ketinggian 1951 kaki, meskipun elevasi Bandar udara sebenarnya 3000 kaki.


Penentuan Terbang Minimal
Angin dapat menghanyutkan pesawat udara sehingga arah lintasan pesawat (track) tidak sama dengan arah hadapan (heading) pesawat. Dengan demikian apabila arah pesawat dihadapkan kearah tujuan dengan menggunakan arah geografis padahal ada angin maka pada saat yang diperhitungkan pesawat tidak sampai tujuan yang dikehendaki. Untuk mendapatkan jarak atau waktu terpendek yang disebut “penerbangan minimal” maka pesawat harus setiap kali diubah arah sesuai dengan arah dan kecepatan angin yang ada .
Misalkan pesawat terbang dari A akan menuju B, bila tidak ada angin lintasan pesawat akan sepanjang garis AB. Bila ada angin dapat hanyut sehingga arah pesawat melencong tidak sampai pada B. Agar pesawat dapat mencapai B dengan menempuh jarak dan waktu terpendek maka pesawat terbang harus dihadapkan kearah tertentu sesuai dengan arah dan kecepatan angin yang menerpanya. Garis arah dari Bandar udara pemberangkatan sampai Bandar udara tujuan disebut lintasan (track), misalnya AB, dan garis arah pada arah hadapan disebut lintasan hadapan (heading), misalnya AC. Sudut antara lintasan hadapan dan lintasan (b) disebut sudut hanyutan.
Perhitungan untuk mencari sudut hanyutan sebagai berikut.

clip_image027











Gb. 11. Bagan hanyutan.
Misalkan pesawat terbang dari A menuju B. Arah hadapan (heading) AB terhadap arah timur sebesar a. Kecepatan terhadap bumi (ground speed) pesawat sebesar VB knot. Karena angin, arah pesawat terbang mengikuti arah lintasan (track) maka pesawat terbang pada saat yang direncanakan dapat tidak sampai pada tujuan (B). Besarnya sudut simpangan disebut sudut hanyutan. Besarnya sudut hanyutan dapat dihitung dengan menggunakan analisis vektor.
Misalkan (gb.11),
VB = ( b1i + b2j ) vektor kecepatan pesawat terhadap bumi dari bandar udara keberangkatan ke arah Bandar udara tujuan;
a = sudut arah hadapan (heading) yang direncanakan terhadap arah timur;
Va = ( a1i + a2j ) vektor kecepatan angin;
f = arah angin terhadap arah utara,
atau (270 – f) terhadap arah timur
b = adalah sudut hanyutan;
VH = ( h1i + h2j ) vektor kecepatan pesawat terbang karena hanyutan,
Maka dalam koordinat siku-siku (X-Y), dengan X positif ke arah timur dan Y positip ke arah utara dapat dihitung :

VH = Va + VB
h1i + h2j = ( a1i + a2j ) + ( b1i + b2j )
h1 = a1 + b1 = VA cos (270 – f) + VB cos a
h2 = a2 + b2 = VA sin (270 – f) + VB sin a
Besarnya kecepatan VH = Ö (h12+ h22 )
= Ö[{VA cos(270 – f)+VB cosa}2 + {VA sin(270 – f)+VB sina}2]
arah VH = g = arc tan ( h2 / h1)
= arc tan {VA sin(270–f) + VB sina} / {VA cos(270–f) + VB cosa}
Sudut hanyutan sebesar : b = a – g
Contoh.
Pesawat terbang terbang dari Cengkareng ke Pontianak.
Jarak Cengkareng ke Pontianak S = 2000 km;
Arah Cengkareng – Pontianak terhadap arah timur a = 60o;
Kecepatan pesawat terbang terhadap bumi VB = 500 km/jam;
Arah angin f = 330o;
Kecepatan angin VA= 50 km/jam
Maka, besarnya kecepatan dalam arah lintasan
VH = Ö (h12+ h22 )
= Ö[{VA cos(270 – f)+VB cosa}2 + {VA sin(270 – f)+VB sina}2]
= Ö[{50cos(270 – 330)+500 cos60}2 + {50sin(270 – 330)+500 sin60}2]
= Ö[{50cos(– 60)+ 500 cos60}2 + {50sin(–60)+500 sin60}2]
= Ö[{ 50.½ + 500. ½ }2 + {50 (–½Ö3) + 500 .½ Ö3}2]
= Ö[{ 25 + 250 }2 + { (–25Ö3) + 250Ö3}2]
= Ö[(275 )2 + { (225Ö3)2]
= Ö {(75625 + (50625.3)}
= Ö(75625 + 151875)
= Ö(75625 + 151875)
= Ö227500
= 477 km/jam
Arah VH = g = arc tan ( h1 / h2)
= arc tan {VA sin(270–f) + VB sina} / {VA cos(270–f) + VB cosa}
= arc tan {50sin(–60) + VB sin60} / {50cos(–60) + 500 cos60}
= arc tan {50 (–½Ö3) + 500 .½ Ö3} / {50.½ + 500. ½ }
= arc tan {(–25Ö3) + 250 Ö3)} / (25 + 250)
= arc tan { (–25Ö3) + 250 Ö3)} / (25 + 250)
= arc tan { (225Ö3) / 275 }
= arc tan { (389,25) / 275 }
= arc tan (1,4155)
= 54,75o
Sudut hanyutan sebesar :
b = a – g
= 60o – 54,75o
= 5,25o

==========

Daftar rujukan.
Caracena Fernando (1987). The Microburst As An Aircraft Hazard and Forecast Problem. WMO Bulletin No.4. Vol. 36 October 1987 hal. 278 – 284.
Hans Neuberger (1951). Introduction to Physical Meteorology. The Pensilvania State University.
Huschke Ralph E. (1980). Glossary of Meteorology. American Meteorological Society. Boston. Third printing.
Mc. Intoch D,H, (19972). Meteorological Glossary. London. HMO.
NASA (1988). Earth System Science. NASA – USA.
Rainhardi Manfred E. (1989). Aeronautical Meteorology in the Service of Aviation. WMO Bulletin No.1 Vol.38 January 1989. pp.22.
Richard Scorer (1972). Clouds Of The World. Lothian Publishing Co (PTY) LTD. Melbourne David & Charles – Newton Abbot.
Thompson J.C. and Brier, G.W.(1955). The Economic Utility of Weather Forecast. Monthly Weather Review. Vol. 83 No. 11.
Thompson, J.C. (..). Potential Economic Benefits from Improvements in Weather Information. World Weather Watch Planning Report No. 27. WMO.
Wirjohamidjojo Soerjadi dan Sridadi Budihardjo (2007). Praktek Meteorologi Penerbangan. Badan Meteorologi Dan Geofisika. ISBN 978-979-1241-03-8.
Wirjohamidjojo, Soerjadi , Susanto, Patoni, dan Suroso H.(1993). Kamus Hidrometeorologi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pust Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. ISBN 979 459 357 5.
Wirjohamidjojo, Soerjadi; Prof. DR. Mezak A. Ratag (2006). Kamus Istilah Meteorologi Aeronautik. Badan Meteorologi & Geofisika. ISBN 979-99507-3-2.
WMO (1969). International Cloud Atlas. Abridged Atlas. World Meteorological Organization. Geneva, Switzerland.
WMO (1998). Technical Regulations. WMO – No. 49. Volume II. Meteorological Service fore International Air Navigation.
----------

0 comments:

Posting Komentar