BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Geologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang Bumi, komposisinya, struktur,
sifat-sifat fisik, sejarah dan proses pembentukannya. Dalam Geologi,
kita akan mempelajari semua hal tentang seluk-beluk Bumi ini secara
keseluruhan. Dari mulai gunung-gunung dengan tinggi ribuan meter,
hingga palung-palung didasar samudra. Dan untuk mengetahui semua itu,
tentunya kita harus mempelajari apa-apa sajakah materi pembentuk Bumi
ini.
Materi
dasar pembentuk Bumi ini adalah batuan, dimana batuan sendiri adalah
kumpulan dari mineral, dan mineral terbentuk dari kristal-kristal. Jadi
intinya, untuk dapat mempelajari ilmu Geologi, kita harus menguasai
ilmu tentang kristal. Ilmu yang mempelajari tentang bentuk-bentuk,
gambar-gambar dari kristal disebut Kristalografi.
Dalam
studi Geologi, kita tentunya harus terlebih dahulu menguasai tentang
kristal sebelum mempelajari tingkat selanjutnya dalam ilmu Geologi.
Karena itu kristal adalah syarat untuk dapat mempelajari Geologi.
1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud
Dalam
studi Geologi, tentu kita harus mempelajari tentang kristal dan semua
yang berhubungan dengan kristal itu sendiri. Hal ini jelas harus
dilakukan karena kristal adalah dasar dari ilmu Geologi itu sendiri.
Kristal adalah dasar dari mineral, mineral adalah pembentuk batuan, dan
Bumi ini terdiri dari batuan-batuan. Jadi, dalam studi kristal yang
dilakukan pada awal studi Geologi ini dimaksudkan agar kita dapat
menguasai hal-hal tentang kristal sebagai bekal untuk mempelajari
tingkat yang lebih lanjut dalam ilmu Geologi.
1.2.2 Tujuan
Dalam kegiatan mempelajari dan praktikum Kristalografi, kita dituntut untuk dapat :
- mengenal dan menguasai bentuk-bentuk kristal
- mendiskripsikan kandungan unsur simetri dari tiap bentuk kristal dan mengklasifikasikannya berdasarkan hukum-hukum geometri
- menguasai “indices” dan dapat menghitung sudut antar bidang kristal
- dapat menentukan dan menjelaskan simbol-simbol yang ada pada kristal
- membuat proyeksi streografis dari masing-masing kelas kristal
- dapat mengenal mineral berdasarkan bentuk kristal idealnya
1.3 Landasan Teori
Bumi
yang kita pijak ini adalah bagian dari alam semesta yang begitu luas.
Sistem tata surya kita hanya satu dari milyaran bintang yang ada
dijagat raya ini. Bisa kita bayangkan betapa kecilnya Bumi ini bila
dibandingkan dengan alam.
Berbagai
bahan pembentuk Bumi terbentuk oleh proses alam yang panjang sejak
terbentuknya Bumi. Jangka waktu pembentukkan tersebut dapat kita
ketahui dalam ilmu Geologi dengan mengamati batuan-batuan yang ada di
Bumi. Batuan adalah kumpulan satu atau lebih mineral (terutama mineral
golongan silika / pada Bowen’s series).
Yang
dimaksud dengan Mineral sendiri adalah bahan anorganik, terbentuk
secara alamiah, seragam dengan komposisi kimia yang tetap pada batas
volumenya dan mempunyai kristal kerakteristik yang tercermin dalam
bentuk fisiknya. Jadi, untuk mengamati proses Geologi dan sebagai unit
terkecil dalam Geologi adalah dengan mempelajari kristal.
Kristalografi
adalah suatu ilmu pengetahuan kristal yang dikembangkan untuk
mempelajari perkembangan dan pertumbuhan kristal, termasuk bentuk,
struktur dalam dan sifat-sifat fisiknya. Dahulu, Kristalografi
merupakan bagian dari Mineralogi. Tetapi karena bentuk-bentuk kristal
cukup rumit dan bentuk tersebut merefleksikan susunan unsur-unsur
penyusunnya dan bersifat tetap untuk tiap mineral yang dibentuknya.,
maka pada akhir abad XIX, Kristalografi dikembangkan menjadi ilmu
pengetahuan tersendiri.
1.3.1 Pengertian Kristal
Kata “kristal” berasal dari bahasa Yunani crystallon
yang berarti tetesan yang dingin atau beku. Menurut pengertian
kompilasi yang diambil untuk menyeragamkan pendapat para ahli, maka kristal
adalah bahan padat homogen, biasanya anisotrop dan tembus cahaya serta
mengikuti hukum-hukum ilmu pasti sehingga susunan bidang-bidangnya
memenuhi hukum geometri; Jumlah dan kedudukan bidang kristalnya selalu
tertentu dan teratur. Kristal-kristal tersebut selalu dibatasi oleh
beberapa bidang datar yang jumlah dan kedudukannya tertentu.
Keteraturannya tercermin dalam permukaan kristal yang berupa
bidang-bidang datar dan rata yang mengikuti pola-pola tertentu.
Bidang-bidang ini disebut sebagai bidang muka kristal. Sudut antara
bidang-bidang muka kristal yang saling berpotongan besarnya selalu
tetap pada suatu kristal. Bidang muka itu baik letak maupun arahnya
ditentukan oleh perpotongannya dengan sumbu-sumbu kristal. Dalam sebuah
kristal, sumbu kristal berupa garis bayangan yang lurus yang menembus
kristal melalui pusat kristal. Sumbu kristal tersebut mempunyai satuan
panjang yang disebut sebagai parameter.
Bila ditinjau dan telaah lebih dalam mengenai pengertian kristal, mengandung pengertian sebagai berikut :
1. Bahan padat homogen, biasanya anisotrop dan tembus cahaya :
¨ tidak termasuk didalamnya cair dan gas
¨ tidak dapat diuraikan kesenyawa lain yang lebih sederhana oleh proses fisika
¨ terbentuknya oleh proses alam
2. Mengikuti hukum-hukum ilmu pasti sehingga susunan bidang-bidangnya mengikuti hukum geometri :
¨ jumlah bidang suatu kristal selalu tetap
¨ macam atau model bentuk dari suatu bidang kristal selalu tetap
¨ sifat keteraturannya tercermin pada bentuk luar dari kristal yang tetap.
Apabila
unsur penyusunnya tersusun secara tidak teratur dan tidak mengikuti
hukum-hukum diatas, atau susunan kimianya teratur tetapi tidak dibentuk
oleh proses alam (dibentuk secara laboratorium), maka zat atau bahan
tersebut bukan disebut sebagai kristal.
1.3.2 Proses Pembentukan Kristal
Pada
kristal ada beberapa proses atau tahapan dalam pembentukan kristal.
Proses yang di alami oleh suatu kristal akan mempengaruhi sifat-sifat
dari kristal tersebut. Proses ini juga bergantung pada bahan dasar
serta kondisi lingkungan tempat dimana kristal tersebut terbentuk.
Berikut ini adalah fase-fase pembentukan kristal yang umumnya terjadi pada pembentukan kristal :
¨ Fase
cair ke padat : kristalisasi suatu lelehan atau cairan sering terjadi
pada skala luas dibawah kondisi alam maupun industri. Pada fase ini
cairan atau lelehan dasar pembentuk kristal akan membeku atau memadat
dan membentuk kristal. Biasanya dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan.
¨ Fase
gas ke padat (sublimasi) : kristal dibentuk langsung dari uap tanpa
melalui fase cair. Bentuk kristal biasanya berukuran kecil dan
kadang-kadang berbentuk rangka (skeletal form). Pada fase ini, kristal
yang terbentuk adalah hasil sublimasi gas-gas yang memadat karena
perubahan lingkungan. Umumnya gas-gas tersebut adalah hasil dari
aktifitas vulkanis atau dari gunung api dan membeku karena perubahan
temperature.
¨ Fase
padat ke padat : proses ini dapat terjadi pada agregat kristal dibawah
pengaruh tekanan dan temperatur (deformasi). Yang berubah adalah
struktur kristalnya, sedangkan susunan unsur kimia tetap
(rekristalisasi). Fase ini hanya mengubah kristal yang sudah terbentuk
sebelumnya karena terkena tekanan dan temperatur yang berubah secara
signifikan. Sehingga kristal tersebut akan berubah bentuk dan
unsur-unsur fisiknya. Namun, komposisi dan unsur kimianya tidak berubah
karena tidak adanya faktor lain yang terlibat kecuali tekanan dan
temperatur.
1.3.3 Sistem Kristalografi
Dalam
mempelajari dan mengenal bentuk kristal secara mendetail, perlu
diadakan pengelompokkan yang sistematis. Pengelompokkan itu didasarkan
pada perbangdingan panjang, letak (posisi) dan jumlah serta nilai sumbu
tegaknya.
Bentuk
kristal dibedakan berdasarkan sifat-sifat simetrinya (bidang simetri
dan sumbu simetri) dibagi menjadi tujuh sistem, yaitu : Isometrik,
Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin dan Triklin.
Dari
tujuh sistem kristal dapat dikelompokkan menjadi 32 kelas kristal.
Pengelompokkan ini berdasarkan pada jumlah unsur simetri yang dimiliki
oleh kristal tersebut. Sistem Isometrik terdiri dari lima kelas, sistem
Tetragonal mempunyai tujuh kelas, sistem Orthorhombik memiliki tiga
kelas, Hexagonal tujuh kelas dan Trigonal lima kelas. Selanjutnya
Monoklin mempunyai tiga kelas dan Triklin dua kelas.
Tabel 1.1 Tujuh Sistem Kristal
No
|
Sistem Kristal
|
Axial Ratio
|
Sudut Kristalografi
|
1
|
Isometrik
|
a = b = c
|
α = β = γ = 90˚
|
2
|
Tetragonal
|
a = b ≠ c
|
α = β = γ = 90˚
|
3
|
Hexagonal
|
a = b = d ≠ c
|
α = β = 90˚ ; γ = 120˚
|
4
|
Trigonal
|
a = b = d ≠ c
|
α = β = 90˚ ; γ = 120˚
|
5
|
Orthorhombik
|
a ≠ b ≠ c
|
α = β = γ = 90˚
|
6
|
Monoklin
|
a ≠ b ≠ c
|
α = β = 90˚ ≠ γ
|
7
|
Triklin
|
a ≠ b ≠ c
|
α ≠ β ≠ γ ≠ 90˚
|
1.3.3 Sumbu, Sudut dan Bidang Simetri
Sumbu
simetri adalah garis bayangan yang dibuat menembus pusat kristal, dan
bila kristal diputar dengan poros sumbu tersebut sejauh satu putaran
penuh akan didapatkan beberapa kali kenampakan yang sama. Sumbu simetri dibedakan menjadi tiga, yaitu : gire, giroide, dan sumbu inversi putar.
Sudut
simetri adalah sudut antar sumbu-sumbu yang berada dalam sebuah
kristal. Sudut-sudut ini berpangkal (dimulai) pada titik persilangan
sumbu-sumbu utama pada kristal yang akan sangat berpengaruh pada bentuk
dari kristal itu sendiri.
Bidang
simetri adalah bidang bayangan yang dapat membelah kristal menjadi dua
bagian yang sama, dimana bagian yang satu merupakan pencerminan
(refleksi) dari bagian yang lainnya. Bidang simetri ini dapat dibagi
menjadi dua, yaitu bidang simetri aksial dan bidang simetri menengah.
Bidang simetri aksial bila bidang tersebut membagi kristal melalui dua
sumbu utama (sumbu kristal).
1.3.4 Proyeksi Orthogonal
Proyeksi
orthogonal adalah salah satu metode proyeksi yang digunakan untuk
mempermudah penggambaran. Proyeksi orthogonal ini dapat diaplikasikan
hamper pada semua penggambaran yang berdasarkan hukum-hukum geometri.
Contohnya pada bidang penggambaran teknik, arsitektur, dan juga
kristalografi. Pada proyeksi orthogonal, cara penggambaran adalah
dengan menggambarkan atau membuat persilangan sumbu. Yaitu dengan
menggambar sumbu a,b,c dan seterusnya dengan menggunakan sudut-sudut
persilangan atau perpotongan tertentu. Dan pada akhirnya akan membentuk
gambar tiga dimensi dari garis-garis sumbu tersebut dan membentuk
bidang-bidang muka kristal.
Pada
praktikum kristalografi yang dilakukan di laboratorium Kristalografi
dan Mineralogi jurusan Teknik Geologi, Institut Teknologi Medan.
Penggambaran kristal menggunakan proyeksi penggambaran orthogonal ini.
Tabel 1.2 Penggambaran Tujuh Sistem Kristal
No
|
Sistem Kristal
|
Perbandingan Sumbu
|
Sudut Antar Sumbu
|
1
|
Isometrik
|
a : b : c = 1 : 3 : 3
|
a+^bˉ = 30˚
|
2
|
Tetragonal
|
a : b : c = 1 : 3 : 6
|
a+^bˉ = 30˚
|
3
|
Hexagonal
|
a : b : c = 1 : 3 : 6
|
a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚
|
4
|
Trigonal
|
a : b : c = 1 : 3 : 6
|
a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚
|
5
|
Orthorhombik
|
a : b : c = sembarang
|
a+^bˉ = 30˚
|
6
|
Monoklin
|
a : b : c = sembarang
|
a+^bˉ = 45˚
|
7
|
Triklin
|
a : b : c = sembarang
|
a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚
|
1.4 Aplikasi Kristalografi Pada Bidang Geologi
Pada
bidang Geologi, mempelajari kristalografi sangatlah penting. Karena
untuk mempelajari ilmu Geologi, kite tentunya juga harus mengetahui
komposisi dasar dari Bumi ini, yaitu batuan. Dan batuan sendiri
terbentuk dari susunan mineral-mineral yang tebentuk oleh proses alam.
Dan pada bagian sebelumnya telah dijelaskan tentang pengertian mineral
yang dibentuk kristal-kristal.
Dengan
mempelajari kristalografi, kita juga dapat mengetahui berbagai macam
bahan-bahan dasar pembentuk Bumi ini, dari yang ada disekitar kita
hingga jauh didasar Bumi. Ilmu kristalografi juga dapat digunakan untuk
mempelajari sifat-sifat berbagai macam mineral yang paling dicari oleh
manusia. Dengan alasan untuk digunakan sebagai perhiasan karena nilai
estetikanya maupun nilai guna dari mineral itu sendiri. Jadi, pada
dasarnya, kristalografi digunakan sebagai dasar untuk mempelajari ilmu
Geologi itu sendiri. Dengan alasan utama kristal adalah sebagai
pembentuk Bumi yang akan dipelajari.
BAB II
TATA CARA PENDESKRIPSIAN
2.1 Jumlah Unsur Simetri
Jumlah
unsur simetri adalah notasi-notasi yang digunakan untuk menjelaskan
nilai-nilai yang ada dalam sebuah kristal, nilai sumbu-sumbunya, jumlah
bidang simetrinya, serta titik pusat dari kristal tersebut. Dengan
menentukan nilai jumlah unsur simetri, kita akan dapat mengetahui
dimensi-dimensi yang ada dalam kristal tersebut, yang selanjutnya akan
menjadi patokan dalam penggambarannya.
Unsur simetri yang diamati adalah sumbu, bidang, dan pusat simetri. Cara penentuannya adalah sebagai berikut:
¨ Pada
posisi kristal dengan salah satu sumbu utamanya, lakukan pengamatan
terhadap nilai sumbu simetri yang ada. Pengamatan dapat dilakukan
dengan cara memutar kristal dengan poros pada sumbu utamanya.
¨ Perhatikan keterdapatan sumbu simetri tambahan, jika ada tentukan jumlah serta nilainya. Menentukan nilainya sama dengan pada sumbu utama.
¨ Amati keterdapatan bidang simetri pada setiap pasangan sumbu simetri yang ada pada kristal.
¨ Amati bentuk kristal terhadap susunan persilangan sumbunya, kemudian tentukan ada tidaknya titik pusat kristal.
¨ Jumlahkan semua sumbu dan bidang simetri (yang bernilai sama) yang ada.
2.2 Herman-Mauguin
Dalam
pembagian Sistem kristal, ada 2 simbolisasi yang sering digunakan.
Yaitu Herman-Mauguin dan Schoenflish. Simbolisasi tersebut adalah
simbolisasi yang dikenal secara umum (simbol Internasional).
Simbol
Herman-Mauguin adalah simbol yang menerangkan ada atau tidaknya bidang
simetri dalam suatu kristal yang tegak lurus terhadap sumbu-sumbu
utama dalam kristal tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati
sumbu dan bidang yang ada pada kristal tersebut.
Pemberian
simbol Herman-Mauguin ini akan berbeda pada masing-masing kristal. Dan
cara penentuannya pun berbeda pada tiap Sistem Kristal.
1. Sistem Isometrik
¨ Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu utama, mungkin bernilai 2, 4, atau 4.
¨ Bagian 2 : Menerangkan Sumbu tambahan pada arah 111, apakah bernilai
3 atau 3.
¨ Bagian 3 : Menerangkan sumbu tambahan bernilai 2 atau tidak bernilai
yang memiliki arah 110 atau arah lainnya yang terletak tepat
diantara dua buah sumbu utama.
2. Sistem Tetragonal
¨ Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin mungkin bernilai 4 atau
4.
¨ Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
¨ Bagian 3 : Menerangkan nilai sumbu tambahan yang terletak tepat
diantara dua sumbu utama lateral.
¨ Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin bernilai 6 atau 3.
¨ Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
¨ Bagian 3 : Menerangkan ada tidaknya nilai sumbu tambahan yang terletak
tepat diantara dua sumbu utama horizontal, berarah 1010.
4. Sistem Orthorhombik
Terdiri atas tiga bagian, yaitu dengan menerangkan nilai sumbu-sumbu utama dimulai dari sumbu a, b, dan kemudian c.
5. Sistem Monoklin
Pada sistem ini hanya terdiri dari satu bagian, yaitu hanya menerangkan nilai sumbu b.
6. Sistem Triklin
Untuk sistem ini hanya mempunyai dua kelas simetri yang menerangkan keterdapatan pusat simetri kristal.
Keseluruhan
bagian tersebut diatas harus diselidiki ada tidaknya bidang simetri
yang tegak lurus terhadap sumbu yang dianalisa. Jika ada, maka
penulisan nilai sumbu diikuti dengan huruf “m” (bidang simetri)
dibawahnya. Kecuali untuk sumbu yang bernilai satu ditulis dengan “m”
saja.
Berikut ini adalah beberapa contoh penulisan simbol Herman-Mauguin dalam pendeskripsian kristal :
¨ 6/m : Sumbu simetri bernilai 6 dan terhadapnya terdapat bidang simetri yang tegak lurus.
¨ 6 : Sumbu simetri bernilai 3, namun tidak ada bidang simetri yang tegak lurus terhadapnya.
¨ m : Sumbu simetri bernilai 1 atau tidak bernilai dan terhadapnya terdapat bidang simetri yang tegak lurus.
2.3 Schoenflish
Simbolisasi
Scoenflish digunakan untuk menandai atau memberi simbol pada
unsur-unsur simetri suatu kristal. Seperti sumbu-sumbu dan
bidang-bidang simetri. Simbolisasi Schoenflish akan menerangkan
unsur-unsur tersebut dengan menggunakan huruf-huruf dan angka yang
masing-masing akan berbeda pada setiap kristal.
Berbeda
dengan Herman-Mauguin yang pemberian simbolnya berbeda-beda pada
masing-masing sistemnya, pada Schoenflish yang berbeda hanya pada
sistem Isometrik. Sedangkan system-sistem yang lainnya sama cara
penentuan simbolnya.
1. Sistem Isometrik
Pada sistem ini, simbolisasi yang dilakukan hanya terdiri dari 2 bagian, yaitu :
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, apakah bernilai 2 atau 4.
¨ Bila bernilai 4, maka dinotasikan dengan huruf O (Octaheder)
¨ Bila bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf T (Tetraheder)
Bagian 2 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri.
¨ Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical dan diagonal. Maka diberi notasi huruf h.
¨ Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical. Maka diberi notasi huruf h.
¨ Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka diberi notasi huruf v.
¨ Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal. Maka diberi notasi huruf d.
2. Sistem Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin dan
Triklin
Pada sistem-sistem ini, simbolisasi Schoenflish yang dilakukan terdiri dari 3 bagian, yaitu :
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu lateral atau sumbu tambahan, ada 2
kemungkinan :
¨ Kalau bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf D (Diedrish)
¨ Kalau tidak bernilai, maka dinotasikan dengan huruf C (Cyklich)
Bagian 2 : Menerangkan nilai dari sumbu c. penulisan dilakukan dengan
menuliskan nilai angka nilai sumbu c tersebut didepan huruf D atau C
(dari bagian 1) dan ditulis agak kebawah.
Bagian 3 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri. Penulisan dilakukan dengan
menuliskan huruf yang sesuai sejajar dengan huruf dari bagian 1.
¨ Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical dan diagonal. Maka dinotasikan dengan huruf h.
¨ Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical. Maka dinotasikan dengan huruf h.
¨ Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka dinotasikan dengan huruf v.
¨ Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal saja. Maka dinotasikan dengan huruf d.
Tabel 2.1 Contoh Simbolisasi Schoenflish
No
|
Kelas Simetri
|
Notasi (Simbolisasi)
|
1
|
Hexotahedral
|
Oh
|
2
|
Ditetragonal Bipyramidal
|
D4h
|
3
|
Hexagonal Pyramidal
|
D6h
|
4
|
Trigonal Pyramidal
|
C3v
|
5
|
Rhombik Pyramidal
|
C2v
|
6
|
Rhombik Dipyramidal
|
C2h
|
7
|
Rhombik Disphenoidal
|
C2
|
8
|
Domatic
|
Cv
|
9
|
Pinacoidal
|
C
|
10
|
Pedial
|
C
|
4.2 Indeks Miller-Weiss
Indeks
Miller dan Weiss adalah salah satu indeks yang sangat penting, karena
indeks ini digunakan pada ancer semua ilmu matematika dan struktur
kristalografi. Indeks Miller dan Weiss pada kristalografi menunjukkan
adanya perpotongan sumbu-sumbu utama oleh bidang-bidang atau sisi-sisi
sebuah kristal. Nilai-nilai pada indeks ini dapat ditentukan dengan
menentukan salah satu bidang atau sisi kristal dan memperhatikan apakah
sisi atau bidang tersebut memotong sumbu-sumbu utama (a, b dan c) pada
kristal tersebut.
Selanjutnya
setelah mendapatkan nilai perpotongan tersebut, langkah yang harus
dilakukan selanjutnya adalah menentukan nilai dari indeks Miller dan
Weiss itu sendiri. Penilaian dilakukan dengan mengamati berapa nilai
dari perpotongan sumbu yang dilalui oleh sisi atau bidang tersebut.
Tergantung dari titik dimana sisi atau bidang tersebut memotong
sumbu-sumbu kristal.
Pada
dasarnya, indeks Miller dan Weiss tidak jauh berbeda. Karena apa yang
dijelaskan dan cara penjelasannya sama, yaitu tentang perpotongan sisi
atau bidang dengan sumbu simetri kristal. Yang berbeda hanyalah pada
penentuan nilai indeks. Bila pada Miller nilai perpotongan yang telah
didapat sebelumnya dijadikan penyebut, dengan dengan nilai pembilang
sama dengan satu. Maka pada Weiss nilai perpotongan tersebut menjadi
pembilang dengan nilai penyebut sama dengan satu. Untuk indeks Weiss,
memungkinkan untuk mendapat nilai indeks tidak terbatas, yaitu jika
sisi atau bidang tidak memotong sumbu (nilai perpotongan sumbu sama
dengan nol). Dalam praktikum laboratorium Kristalografi dan Mineralogi
jurusan Teknik Geologi, ITM, disepakati bahwa nilai tidak terbatas ( ~ )
tersebut digantikan dengan atau disamakan dengan tidak mempunyai nilai
(0). Indeks Miller-Weiss ini juga disebut sebagai ancer bentuk. Hal
ini adalah karena indeks ini juga akan mencerminkan bagaimana bentuk
sisi-sisi dan bidang-bidang yang ada pada kristal terhadap sumbu-sumbu
utama kristalnya.
BAB III
SISTEM KRISTAL DAN DESKRIPSI
3.1 Sistem Isometrik
Gambar 3.1 Sistem Isometrik
Sistem
ini juga disebut ancer regular, atau bahkan sering dikenal sebagai
ancer kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak
lurus satu dengan yang lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama
untuk masing-masing sumbunya.
Pada
kondisi sebenarnya, system Isometrik memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan
sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi
α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).
Pada
penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Isometrik
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu a
ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai
3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan,
hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik ini adalah gold, copper, pyrope, platinum, halite dan spinel.
4.2 Sistem Tetragonal
Gambar 3.2 Sistem Tetragonal
Sama
dengan system Isometrik, ancer ini mempunyai 3 sumbu kristal yang
masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan
panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau
lebih pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.
Pada
kondisi sebenarnya, ancer Tetragonal memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a = b ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama
dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut
kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).
Pada
penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Tetragonal
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a
ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai
3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Tetragonal ini adalah zircon, beryl, apatite, erionite dan nepheline.
4.2 Sistem Hexagonal
Gambar 3.3 Sistem Hexagonal
Sistem
ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap
ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut
120˚ terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d
memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih
panjang atau lebih pendek (umumnya lebih panjang).
Pada
kondisi sebenarnya, ancer Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.
Pada
penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Hexagonal
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a
ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai
3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Hexagonal ini adalah calcite, alunite, dolomite, siderite, dan smithsonite.
4.2 Sistem Trigonal
Gambar 3.4 Sistem Trigonal
Beberapa
ahli memasukkan ancer ini kedalam system Hexagonal. Demikian pula cara
penggambarannya juga sama. Perbedaannya, bila pada ancer Trigonal
setelah terbentuk bidang dasar, yang terbentuk segienam, kemudian
dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik sudut yang melewati
satu titik sudutnya.
Pada
kondisi sebenarnya, ancer Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.
Pada
penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Trigonal
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a
ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai
3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Trigonal ini adalah quartz, brulite, bentonite, gratonite, dan tourmaline.
4.2 Sistem Orthorhombik
Gambar 3.5 Sistem Orthorhombik
Sistem
ini disebut juga ancer Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal
yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut
mempunyai panjang yang berbeda.
Pada
kondisi sebenarnya, ancer Orthorhombik memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya
tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain.. Dan juga
memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, ketiga sudutnya saling tegak lurus (90˚).
Pada
penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer
Orthorhombik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya
tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya
pada ancer ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Orthorhombik ini adalah brite, celestite, aragonite, cerussite, dan witherite.
4.2 Sistem Monoklin
Gambar 3.6 Sistem Monoklin
Monoklin
artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang
dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus
terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a.
Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c
yang paling panjang dan sumbu b paling pendek.
Pada
kondisi sebenarnya, ancer Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang
sama panjang atau berbeda satu sama lain.. Dan juga memiliki sudut
kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring).
Pada
penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Monoklin
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada
patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada ancer
ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin ini adalah azurite, kernite, malachite, colemanite dan ferberite.
4.2 Sistem Triklin
Gambar 3.7 Sistem Triklin
Sistem
ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak
saling tegak lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak
sama.
Pada
kondisi sebenarnya, ancer Triklin memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang
sama panjang atau berbeda satu sama lain.. Dan juga memiliki sudut
kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, sudut α, β dan γ tidak saling tegak lurus satu dengan yang lainnya.
Pada
penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Triklin
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada
patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada ancer
ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ membentuk sudut 80˚ terhadap c+.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Triklin ini adalah turquoise, kyanite, albite, microklin dan anorthite.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.2 Kesimpulan
Dengan
mempelajari dan melakukan praktikum tentang Kristalografi yang menjadi
bagian dari praktikum Kristalografi dan Mineralogi. Dapat saya ambil
kesimpulan bahwa betapa pentingnya untuk dapat mengenal, mengetahui dan
menguasai ilmu tentang kristal dalam studi Geologi. Karena kristal
sendiri adalah merupakan salah satu dasar yang paling penting dalam
ilmu Geologi itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan oleh kristal menjadi
salah satu dasar untuk mempelajari ilmu tentang mineral yang akan
dipelajari pada tahap selanjutnya. Jika tidak menguasai dan mengenal
tentang kristal, akan sangat sulit untuk selanjutnya memmahami
Mineralogi, dan mineral itu sendiri adalah pembentuk batuan, sedangkan
batuan itu adalah inti dari Geologi. Hal ini juga menyebabkan
Kristalografi dan Mineralogi menjadi syarat untuk dapat melanjutkan
studi pada mata kuliah dan praktikum Petrologi yang akan dipelajari
selanjutnya.
Selama
melakukan praktikum Kristalografi, praktikan diharapkan mampu
mengenal, mengklasifikasi, mendeskripsi serta menggambar sketsa dari
masing-masing ancer kristal yang ada, yaitu, Isometrik, Tetragonal,
Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin serta Triklin. Dan tentu
saja praktikan diharapkan mampu untuk mengetahui defenisi dari kristal
itu sendiri, proses-proses pembentukkannya, dan juga mengetahui
ancer-unsur yang ada pada kristal itu sendiri. Seperti sumbu simetri,
sudut simetri, dan juga bidang simetri. Selain itu praktikan juga harus
mengetahui aplikasi dari Kristalografi itu sendiri, khususnya dibidang
Geologi.
Dalam
praktikum Kristalografi yang dilakukan dilaboratorium Kristalografi
dan Mineralogi pada jurusan Teknik Geologi, Institut Teknologi Medan.
Digunakan proyeksi Orthogonal dalam melakukan penggambaran atau sketsa
kristal. Metode penggambaran ini dilakukan dengan menggunakan
persilangan sumbu yang akan menghasilkan sketsa tiga dimensi dari
kristal. Penggambaran kristal dilakukan sesuai dengan hasil deskripsi
kristal yang telah dilakukan. Pendeskripsian dilakukan dengan
langkah-langkah menentukan jumlah ancer-unsur simetri, kelas simetri,
simbolisasi Herman-Mauguin, simbolisasi Schoenflish, indeks
Miller-Weiss serta menentukan nama bentuk kristal dan contoh-contoh
mineralnya.
Setelah
mempelajari dan melakukan praktikum Kristalografi, diharapkan untuk
kedepannya dalam mempelajari Mineralogi akan dapat lebih mudah dengan
memiliki dasar-dasar yang telah didapat pada Kristalografi.
4.2 Saran
Selama
mempelajari dan melakukan praktikum Kristalografi, telah banyak yang
dapat kita pelajari. Baik dalam hal ilmu tentang kristal itu sendiri
pada khususnya serta tentang aplikasi dan manfaatnya dalam bidang
Geologi dan juga dikehidupan sehari-hari.
Dalam
melakukan praktikum Kristalografi, dapat kita sadari bersama ada
beberapa kekurangan yang cukup menghambat berjalannya proses praktikum.
Salah satu yang paling dapat dirasakan adalah kurangnya jumlah sampel
(contoh) kristal yang ada dilaboratorium Kristalografi dan Mineralogi.
Maka diharapkan agar kedepannya kekurangan tersebut dapat ditutupi
sehingga proses praktikum yang dilakukan dapat berjalan ancer. Dan satu
hal lagi yang juga perlu diperhatikan adalah waktu praktikum yang
kadang tidak tepat pada waktunya. Diharapkan agar untuk kedepannya kita
dapat sama-sama untuk menjaga hal tersebut agar tidak terulang atau
paling tidak dikurangi. Dengan begitu diharapkan praktikum yang
dilakukan dapat lebih baik lagi.
Namun
pada dasarnya, diluar kekurangan-kekurangan yang ada. Praktikum yang
dilakukan sudah cukup baik. Dan tentu saja kita semua berharap agar
dapat terus lebih baik lagi dimasa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Asisten, Team. 2003. “Penuntun Praktikum Kristalografi dan Mineralogi”.
UPN veteran Yogyakarta
Firdaus. 2008. ”Kristalografi”. http:/firdaus.unhalu.ac.id Diperoleh Tanggal 29
November 2009
Mondadori, Arlondo. 1977. ”Simons & Schuster’s Guide to Rocks and
Minerals”. Milan : Simons & Schuster’s Inc.
Noor, D. 2008. ”Pengantar Geologi”. Bogor : Universitas Pakuan
Prawira Budi, Triton. 2009. “Mengenal Sains : Sejarah Bumi dan Bencana
Alam.” Yogyakarta : Tugu Publisher
Salisbury, Edwar Dana. 1921. ”A Textbook of Mineralogy”. New York : John
Wiley & Sons.
Wijayanto, Andika. 2009. “Kristalografi”.
0 comments:
Posting Komentar