Belakangan marak berita terjadi bencana di berbagai
tempat di Indonesia. Menjadi pertanyaan tersendiri apakah terdapat hubungan
antara kejadian bencana di suatu tempat dengan Perencanaan Wilayah dan Kota di
tempat tersebut. Pada dasarnya kebencanaan
merupakan suatu aspek yang tidak dapat terpisahkan dengan ilmu perencanaan
wilayah dan kota sendiri. Bencana yang terjadi karena adanya pertemuan antara
Hazard dan Vulnerability, bukanlah sesuatu hal yang sama sekali tidak dapat
dihindari atau paling tidak diminalisir dampaknya. Resiko dari terjadinya
bencana pun akan semakin meningkat ketika tidak adanya kapasitas yang dimiliki
oleh masyarakat di daerah tersebut.
Risk= Hazard X
Vulnerability
Capacity
Tata Ruang sebagai salah satu bentukan
dari perencanaan wilayah dan kota memiliki banyak tujuan antara lain mewujudkan
keharmonisan antara lingkungan alam
dan lingkungan buatan, serta mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Tata
ruang secara khusus memiliki kemampuan untuk mengurangi kerentanan yang
terdapat di dalam suatu wilayah. Dimulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan,
hingga pengendalian, secara tidak langsung memang diarahkan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan suatu sektor ekonomi, namun tetap
selaras dengan kondisi lingkungan dengan maksud menghindari dampak-dampak
negatif yang mungkin terjadi dari pengembangan ekonomi terhadap kondisi lingkungan.
Semenjak Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 menggantikan UU No. 24 Tahun 1992, mitigasi bencana menjadi suatu aspek yang lebih diperhatikan. Didalam undang-undang ini dijelaskan bahwa penataan ruang wajib memperhatikan aspek kebencanaan yang berada di dalam suatu daerah dengan mengintegrasikan mitigasi bencana ke dalam rencana tata ruang nya tersebut. Berbagai kawasan rawan bencana alam seperti kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor,dan lainnya diarahkan menjadi suatu kawasan lindung. Hal tersebut berarti berbagai kawasan tersebut memiliki batasan-batasan tertentu terkait pemanfaatan ruangnya, karena memang fungsi utama dari kawasan tersebut adalah melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Contoh simpel yang dapat diberikan misalnya, pembangunan suatu permukiman tidak diarahkan di daerah yang rawan gempa bumi, rawan longsor, dan lain-lain. Elemen-elemen tersebut menjadi suatu hal yang harus diperhatikan menimbang adanya tahap pengendalian dalam tata ruang yang berarti apabila terdapat pelanggaran tentu akan terdapat sanksi dalam pelaksanaannya. Terdapat pula komponen insentif dan disinsentif dalam tahap pengendalian tersebut, sehingga pengendalian tata ruang demi tercapainya tujuan tidak hanya bergantung kepada sanksi akibat pelanggaran.
Hingga kini terdapat berbagai kesulitan untuk mengintegrasikan aspek kebencanaan ini didalam perencanaan tata ruang. Tanpa kita sadari permukiman sudah banyak terbangun di perbukitan yang rawan longsor ataupun banjir. Seperti bangun dari tidur, pada akhirnya muncul berbagai program atau kegiatan mitigasi baik struktural maupun non-struktural untuk menghadapi permasalahan tersebut. Karena bukanlah hal yang mudah untuk merelokasi permukiman yang sudah terbangun di suatu tempat ke area lain yang dianggap relatif lebih aman terhadap bencana. Berbagai program atau kegiatan mitigasi bencana tersebut menjadi suatu pengungkit tersendiri yang diharapkan mampu mengurangi kerentanan ataupun meningkatkan kapasitas.
Selain masalah pemanfaatan ruang secara spasial, terdapat hal-hal lain dari kebencanaan yang sebenarnya terkait secara tidak langsung terhadap penataan ruang. Apabila kita mengambil satu model kebencanaan yang menjelaskan mengapa bencana bisa terjadi (Misalnya PAR MODEL), dijelaskan berbagai komponen kerentanan yang ikut menyebabkan terjadinya bencana. Komponen-komponen tersebut menjadi suatu hal yang ingin dihilangkan dalam tujuan penataan ruang.
Berikut ditampilkan model kebencanaan yang menjadi salah satu basis dalam penanganan bencana belakangan ini.
PAR MODEL
Dari berbagai komponen yang
dimasukan sebagai kerentanan oleh model diatas, dapat terlihat bahwa berbagai
permasalahan tersebut merupakan hal-hal yang ingin dipecahkan oleh tata ruang
khususnya ataupun Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota umumnya. Seperti misalnya dari
aspek ekonomi, dikatakan bahwa penduduk miskin memiliki kerentanan lebih tinggi
dibandingkan penduduk yang lebih mampu. Mengapa hal tersebut bisa dikatakan
demikian didalam ilmu kebencanaan. Penduduk yang memiliki taraf ekonomi lebih
tinggi diasumsikan mampu membentuk suatu aksi untuk mengurangi dampak apabila
terjadi bencana, seperti mampu membangun struktur rumah yang baik, mampu
meningkatkan kapasitas kelompoknya dalam menghadapi bencana dengan cara
meningkatkan pengetahuan atau bahkan melalui pelatihan-pelatihan, mempunyai
jejaring yang lebih baik dalam menghadapi bencana yang akan terjadi, ataupun
lain-lain. Di satu sisi peningkatan taraf ekonomi merupakan salah satu pencapaian
utama di berbagai produk penataan ruang. Kemajuan ekonomi, disertai
pemerataannya untuk seluruh penduduk menjadi kewajiban tersendiri dari dalam
berbagai tujuan seluruh daerah. Hal tersebut menjadi sesuatu yang secara tidak
langsung bersinggungan dengan ritme penataan ruang yang selama ini dipelajari
dalam ilmu perencanaan wilayah dan kota.
Perencanaan Wilayah dan Kota
sebagai sebuah rumpun ilmu yang komprehensif serta sangat bersinggungan dengan
kehidupan masyarakat memiliki banyak cara untuk meminimalisir dampak bencana
selain melalui penataan ruang itu sendiri. Community Development sebagai salah
satu ilmu yang dipelajari dalam Perencanaan Wilayah dan Kota dapat dimanfaatkan
untuk menganalisis kondisi masyarakat (dengan berbagai komunitas didalamnya)
terkait berbagai kebutuhan yang memang dibutuhkan oleh mereka untuk
meningkatkan kapasitasnya. Hal ini menjadi penting mengingat proses
partisipatif merupakan satu hal yang menjadi pertimbangan utama dalam
melaksanakan pembangunan di berbagai tempat.
Banyak hal lain yang apabila disebutkan akan menjadi peran dari Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dalam hal pengurangan resiko bencana. Namun yang perlu ditekankan lebih lanjut adalah pengurangan resiko bencana bukanlah suatu tujuan yang dapat dicapai hanya dengan satu disiplin ilmu tersendiri. Namun pengurangan resiko bencana dapat dicapai melalui integrasi antara berbagai bidang ilmu tanpa terkecuali, seperti ilmu lingkungan, ilmu geodesi, ilmu geologi, ilmu informatika, ilmu elektro, ilmu psikologi, dan lainnya. Sehingga kerjasama antara para peneliti di berbagai bidang tersebut menjadi suatu hal yang sangat penting diperhatikan disini.
Pada akhirnya saya hanya ingin menegaskan bahwa kebencanaan merupakan aspek yang tidak dapat terlepas dari Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota, dan bahkan saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan berbagai komponen dan ilmu-ilmu spesifik di dalamnya, Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota diharapkan mampu menjadi suatu pilar atau bahkan alat pendorong pengurangan resiko bencana di berbagai kawasan rawan bencana di Indonesia.
Di Kutip dari Pribasari Damayanti
Pengertian penanggulangan bencana adalah serangkaian kegiatan baik sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dilakukan untuk mencegah, mengurangi, menghindari dan memulihkan diri dari dampak bencana (IDEP, 2007). Secara umum kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam penanggulangan bencana adalah sebagai berikut: pencegahan, pengurangan dampak bahaya, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi), dan pembangunan berkelanjutan yang mengurangi risiko bencana.
siklus penanggulangan bencana secara umum (Sumber: IDEP, 2007) |
SEBELUM BENCANA
Pencegahan
Upaya – upaya yang dilakukan untuk menghindari terjadinya bencana dan atau mencegah ancaman yang berpotensi menjadi bencana. Contoh : pengaturan fungsi dan penggunaan lahan, mengurangi kemiskinan, penanaman di lahan perbukitan gundul, pengelolaan sampah, pelestarian dan perlindungan daerah resapan air dan aliran sungai.
Mitigasi / Peredaman
Upaya – upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana, Sehingga bila bencana timbul dampaknya bisa diminimanisir. Contoh : membuat rumah tahan gempa, penyadaran masyarakat, pengaturan tata letak perabot rumah dan lingkungan yang mempertimbangkan ancaman yg ada.
Kesiapsiagaan
Upaya – upaya yang dilakukan untuk menghadapi dan mengantisipasi bencana. Contoh : simulasi tanggap bencana, sistem peringatan dini, stok cadangan pangan, pembentukan dan peningkatan kapasitas organisasi dan relawan tanggap bencana, jalur dan lokasi evakuasi.
SAAT BENCANA
Tanggap Darurat
Pelayanan dasar dan upaya yang dilakukan saat bencana dalam kurun waktu tertentu untuk membantu korban yang bertujuan untuk mencegah kehilangan nyawa atau korban yang lebih banyak. Contoh : pencarian dan evakuasi, pemenuhan kebutuhan dasar sektor pangan, air bersih, perlengkapan sanitasi, hunian sementara, layanan kesehatan dan psikososial, perbaikan fasilitas penting seperti jembatan dan listrik.
PASCA BENCANA
Rehabilitasi
Upaya – upaya untuk mengembalikan fungsi pelayanan kebutuhan dasar dan publik agar pemulihan masyarakat yang terkena bencana bisa dilakukan sehingga aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat berjalan secara wajar pasca bencana. Contoh : pengadaan alat – alat guna perbaikan rumah, penanganan lahan pertanian dan perkebunan yang rusak, membenahi fasilitas pelayanan umum, perbaikan kegiatan ekonomi dan sosial.
Rekonstruksi
Upaya – upaya untuk memperbaiki, mengganti atau membuat yang lebih baru, baik bentuk fisik seperti bangunan, infrastruktur atau non fisik seperti perekonomian yang terdampak / rusak akibat bencana seperti sebelum terjadinya bencana.
0 comments:
Posting Komentar