Marine Cadaster adalah sebuah sistem penataan ruang laut dalam bentuk persil-persil sebagai mana kita mengenal Land Cadaster atau Kadaster Darat yang diatur berdasar UU Pokok Agraria Tahun 1960. Dengan konsep tersebut diharapkan kelak dapat membuka cakrawala baru di dunia kelautan Indonesia , terutama yang berkaitan dengan penataan ruang laut. Penarikan batas persil laut sebagai persil usaha, persil area konservasi, persil lindung, dan persil fasilitas umum akan dengan sendirinya dapat memacu dunia penelitian di bidang kelautan. Ini wajar saja, karena laut memiliki karakter yang relatif lebih dinamis dibandingkan darat. Oleh sebab itu pendekatan secara komperhensif dinamis terhadap wilayah laut perlu dilakukan secara tepat dan akurat karena menyangkut kedaulatan bangsa.
Penanganan pasir laut yang sedang hangat diperbicangkan secara nasional melalui berbagai media massa pada dasarnya merupakan studi kasus yang sangat menarik untuk dicermati sebagai masalah penanganan konflik pemanfaatan ruang di laut. Dalam konteks itulah pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan berusaha menyusun "Peta Zonasi Pasir Laut" sebagai upaya memberikan arahan pemanfaatan ruang pesisir dan laut untuk kegiatan pengusahaan pasir laut.
Terdapat dua kata kunci pada pengertian peta ini, yakni "zonasi" dan "pasir laut". Zonasi merupakan langkah awal untuk penataan ruang suatu wilayah dan dipahami sebagai arahan pemanfaatan sumber daya alam. Jadi, zonasi ditetapkan dengan cara menarik batasan cakupan suatu kawasan/wilayah sesuai dengan potensi dan karakteristik sumber daya alam dengan memperhatikan aspek lingkungan untuk memenuhi prinsip-prinsip kelestarian dan aspek ekonomi guna pemenuhan kebutuhan manusia secara lestari.
Penyusunan zonasi wilayah biasanya didasarkan pada dua unsur utama yaitu: (1) Potensi Pasokan, merupakan kondisi sumber daya alam baik fisik maupun biologi yang mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang serta dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya; serta (2) Potensi Permintaan yang meliputi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang dalam perkembangannya memerlukan pasokan potensi pasokan yang memadai dan diperlukan pengaturan agar dapat menjamin kelestariannya.
Kata kedua adalah: "pasir laut", di mana ia menginformasikan obyek yang akan dikelola. Pasir laut umumnya dikenal sebagai salah satu jenis bahan galian mineral yang memiliki nilai ekonomis yang dimanfaatkan melalui kegiatan penambangan. Di satu sisi, saat ini ada anggapan bahwa kegiatan penambangan pasir laut dapat berdampak negatif pada ekosistem pulau-pulau kecil, kelangsungan hidup nelayan tradisional, wisata bahari dan sektor terkait lainnya. Di sisi lain, sementara ini kegiatan penambangan pasir laut "tetap dipertahankan" karena dia juga mampu memberikan kontribusi sebagai pemasok devisa. Indikasi adanya konflik pemanfaatan ruang mendorong adanya kebutuhan manajemen ruang dalam pengelolaan pasir laut yang dituangkan sebagai informasi spasial atau peta. Sebagai obyek yang dikelola, pasir laut semestinya harus dicermati secara obyektif dan komprehensif. Setidaknya, pihak pengelola harus mengetahui beberapa catatan tentang apa itu pasir laut dan bagaimana perilakunya di alam.
Pasir laut adalah endapan mineral yang terhampar pada dasar pantai yang sangat sensitif terhadap adanya perubahan keseimbangan. Terganggunya keseimbangan endapan yang awalnya bersifat likuid ini akan segera berubah menjadi suspended. Sebaran material lepas yang terbawa oleh air laut dapat bertindak sebagai faktor pengubah keseimbangan alam lainnya. Jadi pasir laut adalah obyek yang bersifat dinamis yang juga perlu ditelaah secara dinamis. Itu sebabnya bahan galian ini perlu dikelola secara baik dan benar
Ø Dr Budi Sulistiyo MSc Kepala Bidang Tata Wilayah Laut pada Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan
www.google.com
0 comments:
Posting Komentar