Hutan bakau ternyata menyerap lebih banyak karbon dibanding kebanyakan hutan hujan tropis. Hal tersebut terungkap dalam hasil penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) dan USDA Forest Service.
Penemuan ini menggarisbawahi pentingnya pelestarian hutan bakau (salah satu jenis spesies mangrove) sebagai langkah mengatasi perubahan iklim. Selama ini, hutan bakau di kawasan pesisir selama ini dirusak dalam kecepatan signifikan, berkontribusi pada emisi gas rumah kaca.
Daniel Murdiyarso, ilmuwan senior CIFOR mengatakan, "Hutan bakau dihancurkan sangat cepat. Ini perlu dihentikan. Penelitian kami menunjukkan bahwa hutan bakau memainkan peranan penting dalam mitigasi melawan perubahan iklim."
Dalam studi yang dipublikasikan di Nature GeoSceince 3 April lalu itu, ilmuwan menghitung jumlah simpanan karbon di hutan bakau di sepanjang wilayah Indo-Pacific. Sejauh ini, belum ada studi serupa yang mengcover wilayah yang luas.
Dari hasil riset, terlihat bahwa perusakan dan degradasi hutan mangrove diantaranya ; Hutan Bakau (Rhizopora spp), Api-api (Avicenia spp), Sonneratia spp, Brugruera spp, dll.) selain bisa menghasilkan setidaknya 10 persen dari emisi perusakan hutan global meskipun hanya terhitung 0,7 persen dari area hutan hujan tropis.
Kebanyakan karbon disimpan di dasar hutan mangrove dan bisa terlihat di permukaan tanah dan air. Mangrove sendiri diketahui terdapat di pantai tepi samudera, tersebar di 118 negara.
Perusakan hutan dan alih fungsi lahan berkontribusi sebanyak 8-20 persen dari total emisi karbon, kedua setelah penggunaan bahan bakar fosil. Inisiatif international REDD+ dipertimbangkan sebagai cara paling efektif menahan laju perubahan iklim.
Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa mangrove memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. Masalahnya, mangrove terus mengalami kerusakan dengan cepat di sepanjang garis pantai, sejalan dengan persoalan emisi gas rumah kaca.
Para ahli dari Center for International Forestry Research (Cifor) dan USDA Forest Service menekankan perlunya hutan mangrove dilindungi sebagai bagian dari upaya global dalam melawan perubahan iklim.
"Kerusakan mangrove saat ini sudah pada tingkat yang menghawatirkan. Ini harus dihentikan. Penelitan kami menunjukkan bahwa hutan mangrove mempunyai peranan kunci dalam strategi mitigasi perubahan iklim," kata Daniel Murdiyarso, peneliti senior dari Cifor, Selasa (5/4/2011) malam.
Daniel mengemukakan, pada 15 -20 tahun lalu, luas hutan mangrove Indonesia masih sekitar 8 juta hektar. Saat ini diperkirakan tinggal 2,5 juta hektar.
Cifor mengungkapkan, sebuah studi yang dipublikasikan pada 3 April 2011 dalam Nature GeoScience, para ahli mengukur cadangan karbon dalam hutan mangrove berdasarkan atau luas areal wilayah Indo-Pasifik. Tidak ada studi selama ini yang mengintegrasikan pentingnya mengukur total cadangan karbon mangrove berdasarkan geografi atau luas wilayah hutan mangrove.
Dari hasil-hasil tersebut, para ahli mengestimasi bahwa tingkat pembusukan dan penguraian di hutan mangrove lebih cepat daripada hutan di daratan. Sebagian besar karbon disimpan di bawah hutan mangrove, yang dapat dilihat, yakni antara tanah dan air.
Mangrove hidup sepanjang pantai dari sebagian besar laut-laut utama di 188 negara. Sebanyak 30 sampai 50 persen berkurangnya mangrove sepanjang setengah abad lalu telah menimbulkan ketakutan. Sebab, bisa jadi mangrove akan punah seluruhnya dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun.
Kelanjungan mangrove juga terancam oleh tekanan pertumbuhan kota dan pembangunan industri, sebagaimana ancaman dari pertumbuhan tambak atau fish farm yang tidak terkendali.
"Saat ini belum ada kesadaran akan bahaya kehilangan mangrove bagi kelangsungan kehidupan umat manusia. Sehingga, setiap pemerintah harus ditekan agar menyadari pentingnya dan membuat kebijakan yang dapat melindungi hutan mangrove," kata Daniel.
Sumber Referensi : http://sains.kompas.com
0 comments:
Posting Komentar