geografi lingkungan

Khoirunnas anfa'uhum linnas

Sabtu, 15 September 2012

Dasar-Dasar Kebumian



Di awal tahun 1960-an, penemuan teori lempeng tektonik membuat revolusi pada ilmu bumi. Sejak saat itu, ilmuwan mulai memeriksa kebenaran dan dan terus membaharui teori ini. Saat ini pengertian bagaimana bumi dibentuk oleh proses lempeng tektonik semakin lebih baik. Sekarang  diketahui, lempeng tektonik secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi hampir semua proses geologi di masa lalu dan masa kini. Secara ekstrim, pengetahuan bagaimana  permukaan bumi bergeser secara terus menerus telah mengubah cara pandang kita terhadap dunia.

Manusia di satu sisi mendapat keuntungan, dan pada pihak lain kehidupannya dapat sangat bergantung pada gaya-gaya yang dihasilkan lempeng tektonik. Tanpa ada peringatan, sebuah gempa atau letusan gunung api (erupsi) dapat mengeluarkan energi yang  besarnya jauh dari apapun yang dapat kita bayangkan. Meskipun kita tidak bisa mengontrol proses lempeng tektonik, saat ini kita memiliki pengetahuan untuk belajar tentang prosesnya. Semakin kita mengetahui lempeng tektonik, semakin kita dapat menghargai kekuatan dan keindahan dari bumi yang kita diami, seperti juga memahami kehancuran yang kadang terjadi akibat kekuatan dahsyat bumi.
Tulisan ini merupakan pendahuluan singkat konsep lempeng tektonik dan merupakan tambahan visual dan informasi tertulis dalam This Dynamic Planet , sebuah peta yang diterbitkan USGS dan Smithsonian Institution.
Oldoinyo.gif
Oldoinyo Lengai, sebuah gunung api aktif di Rift Zone Afrika Timur, dimana Afrika ditarik saling menajauh oleh proses lempeng tektonik. (Photograph by Jorg Keller, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg, Germany). Source: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/Oldoinyo.gif


Dalam istilah geologi, lempeng adalah bongkahan batuan yang kaku dan padat. Kata tektonik berasal dari kata dasar Yunani, yang berarti ”membangun”. Dengan menyatukan kedua kata tersebut kita mendapatkan  istilah lempeng tektonik , yang mengacu tentang bagaimana permukan bumi dibangun oleh lempeng-lempeng.
Teori lempeng tektonik menyatakan bahwa lapisan terluar bumi terdiri dari lusinan bahkan lebih lempeng-lempeng besar dan kecil yang terpisah dan mengapung di atas material sangat panas yang bergerak.
Sebelum kelahiran teori lempeng tektonik, beberapa orang sudah terlebih dahulu meyakini bahwa benua-benua yang ada saat ini adalah hasil dari pecahan dari sebuah ”superbenua” di masa lalu. Diagram di bawah ini memperlihatkan proses terpecahnya superbenua Pangaea (dalam bahasa Yunani artinya: semua daratan).  Diagram ini terkenal dalam teori Pergeseran Benua  (Continental Drift Theory)—sebuah  teori yang mendahului teori Lempeng Tektonik.
5globes.gif
Menurut teori Pergeseran Benua, superbenua Pangaea mulai terpecah sekitar 225-220 juta tahun yang lalu, dan pada akhirnya terpecah menjadi benua-benua yang kita kenal sekarang. Source: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/Fig2-5globes.gif

Lempeng Tektonik merupakan ilmu yang relatif masih baru, diperkenalkan sekitar 50 tahun yang lalu. Akan tetapi telah merevolusi pengertian kita tentang dinamika bumi yang kita diami. Teori ini telah menyatukan pengetahuan tentang bumi dengan menyatukan semua cabang-cabang dari ilmu-ilmu bumi, dari paleontology (pelajaran tentang fossil) hingga seismologi (pelajaran tentang gempa). Teori tersebut juga  telah memberikan penjelasan tentang apa yang diperdebatkan ilmuwan selama berabad-abad—seperti mengapa gempa dan letusan gunung api terjadi di lokasi tertentu di bumi, dan bagaimana dan mengapa rangkaian pegunungan besar seperti Alpen dan Himalaya terbentuk.
Mengapa bumi sangat labil? Apa yang mengakibatkan bumi bergoyang dan membahayakan kehidupan, gunung api meletus dengan sangat eksplosif, dan rangkaian pegunungan besar bertambah tinggi hingga mempunyai ketinggian yang luar biasa? Ilmuwan, filsuf, dan teolog terjebak dengan pertanyaan ini selama ratusan tahun.
Hingga tahun 1700-an kebanyakan orang Eropa secara biblikal mempercayai  bahwa sebuah banjir besar memainkan peran besar dalam proses pembentukan permukaan bumi. Pemikiran seperti ini disebut sebagai katastropisme. Dan ilmu bumi (geologi) didasarkan atas kepercayaan bahwa semua perubahan di bumi terjadi secara tiba-tiba  dan disebabkan oleh rangkaian katastrop tadi.
Akan tetapi pada pertengahan abad ke-19 “uniformitarianisme” menggantikan “katastropisme”. Uniformitarianisme adalah sebuah pemikiran baru yang berpusat pada prinsip uniformitarianisme  yang diusulkan oleh geologis Skotlandia, James Hutton pada tahun 1785. Secara umum prinsipnya dapat dinyatakan sebagai berikut: “ keadaan saat ini adalah kunci menuju masa lalu”. Mereka yang mengikuti pandangan ini mempercayai bahwa proses-proses dan gaya-gaya geologis—yang terjadi secara perlahan atau tiba-tiba—yang dialami bumi saat ini adalah sama dengan yang dialami secara geologis di masa lalu.
Lapisan bumi yang kita diami terdiri dari lusinan pelat kaku yang oleh geologist disebut lempeng tektonik. Lempeng ini bergeser dan bergerak relatif satu sama lainnya. Source: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/Fig1.jpg
Kepercayaan bahwa di masa lalu, benua-benua tidak selalu tetap pada posisinya telah diprediksi jauh sebelum abad ke-20; pernyataan ini pertama sekali dikeluarkan oleh pembuat peta dari Belanda, Abraham Ortelius pada tahun 1596 dalam hasil karyanya ”Thesaurus Geographicus”. Ortelius menyatakan bahwa ”benua Amerika terpisah dari Eropa dan Afrika…oleh gempa-gempa dan banjir” dan selanjutnya ” pecahan-pecahannya adalah  bukti-buktinya, yang dapat dilihat jika kita memperhatikan secara seksama tepi-tepi dari tiga benua tersebut”. Ide Ortelius ini mengemuka kembali di abad 19.
Akan tetapi barulah  tahun 1912 teori ini dianggap sebagai teori ilmu yang lengkap—disebut sebagai teori Continental Drift (Pergeseran Benua)—yang diiperkenalkan oleh meteorolog Jerman berusia 32 tahun, Lothar Wagener dalam dua buah artikelnya. Dia menyatakan bahwa sekitar 200 juta tahun yang lalu, superbenua Pangaea mulai pecah. Menurut pendukung teori Wagener, Prof Alexander Du Toit dari Universitas Witwatersrand, Pangaea pecah menjadi dua bagian benua besar, yaitu Laurasia di  utara hemisfer dan Gondwanaland di selatan hemisfer. Laurasia dan Gondwanaland kemudian terpecah-pecah menjadi benua-benua yang ada saat ini.
avant.gifapres.gif
Gambar atas: Pada tahun 1858, ahli geografi Antonio Snider-Pellegrini membuat peta yang menunjukkan bagaimana dua  benua Amerika dan Afrika dulunya bersatu dan kemudian terpisah. Kiri: Benua yang dulunya bersatu sebelum terpisah. Kanan: Benua-benua setelah terpisah. (Sumber: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/avant.gif.)
Teori Wagener didasarkan sebagian atas kenyataan yang kasat mata bahwa bentuk Amerika Selatan sangat pas jika disatukan dengan benua Afrika, yang saat ini dipisahkan oleh samudera Atlantik.
Wagener juga tertarik pada keberadaan yang tidak biasa dari struktur geologi dan juga jenis fossil yang hampir sama yang ditemukan di tepi-tepi pantai dari Amerika Selatan dan Afrika. Menurutnya sangat sulit untuk membayangkan oganisme hidup atau binatang berenang menyeberangi samudera yang luas tersebut. Menurutnya spesies fossil yang identik di kedua tepi pantai dari kedua benua adalah bukti bahwa pada  suatu waktu kedua benua pernah bersatu.
Menurut Wagener, pergeseran benua-benua setelah pecahnya Pangaea, tidak hanya menerangkan keberadaan fossil yang sama, tetapi juga bukti dari adanya perubahan iklim di beberapa benua. Sebagai contoh, penemuan dari fossil  dari tanaman tropis yang terkandung dalam deposit batu bara di Antartika membawa pada kesimpulan bahwa benua yang tertutup es ini pernah sangat dekat dengan ekuator, daerah yang lebih hangat dimana tanaman hijau membutuhkan kelembaban untuk dapat tumbuh.
Teori Continental Drift (Pergeseran Benua) seharusnya menjadi cahaya yang memicu cara pandang tentang bumi kita. Akan tetapi pada masa Wagener, masyarakat ilmuwan sangat teguh pada pendirian bahwa bentuk benua-benua dan samudera yang membentuk permukaan bumi adalah bentuk yang tetap. Tidaklah mengejutkan, bahwa teorinya tidak diterima dengan baik, walau bukti-bukti ilmu pengetahuan yang ada saat itu cocok dengan teorinya.
Kelemahan  yang sangat fatal dari teori ini adalah tidak dapat menerangkan secara mendasar gaya-gaya apa yang bisa menggerakkan benua-benua tersebut saling menjauhi. Gaya seperti apa yang kiranya sangat kuat untuk menggerakkan massa batuan padat yang sangat besar melalui jarak yang sangat jauh tersebut. Wagener menerangkan dengan sangat sederhana bahwa benua-benua bergerak di atas lantai/dasar samudera. Harold Jeffreys, seorang ahli geofisika terkenal dari Inggris mengatakan adalah tidak mungkin sebuah massa yang sangat besar tidak terpecah ketika bergerak di lantai samudera.
Sebaram Fossil di benua-benua. Source: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/Fig4.gif
Tidak terpengaruh dengan penolakan tersebut, Wagener membaktikan sisa hidupnya untuk membuktikan teorinya. Beliau meninggal kedinginan pada sebuah misi ke Greenland pada tahun 1930, akan tetapi kontroversi yang dia mulai terus memanas.
Setelah kematiannya, bukti-bukti baru dari ekplorasi dasar samudera/lautan  dan studi lainnya memicu ketertarikan ulang atas teorinya. Hal ini secara luar biasa mengarahkan dimulainya pengembangan teori Plate Tectonic (Lempeng Tektonik).
Penemuan teori Lempeng Tektonik adalah sama penting seperti penemuan struktur atom dalam fisika dan kimia, dan juga seperti penemuan teori evolusi dalam ilmu biologi. Walaupun teori Lempeng Tektonik telah diterima oleh sebagian besar komunitas ilmuwan, akan tetapi  aspek-aspek teorinya masih terus diperdebatkan. Ironisnya, jawaban atas pertanyaan yang sama yang ditujukan terhadap teori Wagener yakni gaya apa yang menggerakkan lempeng belum terjawab. Ilmuwan juga berdebat apakah lempeng tektonik juga terjadi pada awal sejarah bumi dan apakah juga proses seperti ini terjadi di planet lainnya di tata surya.
Lempeng tektonik tidaklah bergerak secara acak di permukaan bumi; lempeng-lempeng tersebut pastilah digerakkan oleh gaya-gaya yang belum diketahui. Walaupun para ilmuwan belum bisa menggambarkan dan mengerti gaya-gaya tersebut secara pasti, umumnya mereka percaya gaya-gaya relatif dangkal yang menggerakkan pelat litosfer adalah merupakan pasangan dari gaya-gaya yang berasal dari kedalaman bumi.

Apa yang Menggerakkan Lempeng?

Dari bukti-bukti geofisika, gempa, dan percobaan laboratorium, para ilmuwan secara umum setuju dengan teori Harry Hess yang menyatakan bahwa gaya yang menggerakkan lempeng adalah gerakan lambat mantel yang panas dan lunak yang berada tepat di bawah lempeng-lempeng. Ide  ini pertama sekali ditemukan oleh geologis Inggris, Arthur Holmes pada tahun 1930, dan kemudian mengilhami Harry Hess untuk berpikir tentang pergerakan dasar samudera.
Holmes berspekulasi bahwa gerakan melingkar dari mantel yang mendukung benua-benua mirip demgan sabuk konveyor. Akan tetapi, pada masa Wagener mengusulkan teori Pergeseran Benua (Continental drift), kebanyakan ilmuwan masih percaya bahwa bumi terdiri dari material padat dan tidak bergerak.
Sekarang, pengetahuan kita lebih baik. Pada tahun 1968, J. Tuzo Wilson mengatakan dengan sangat jelas, “Bumi, – alih-alih kelihatan seperti patung yang diam-, adalah benda yang hidup dan mobil”. Permukaan dan interior terus bergerak. Di bawah lempeng litosfer, pada kedalaman tertentu mantel bumi meleleh dan dapat mengalir, meskipun lambat, sebagai reaksi terhadap gaya-gaya tunak yang diderita untuk jangka waktu yang lama. Layaknya materi padat lain seperti baja, jika terekspos terhadap panas dan tekanan, dan bisa menjadi melunak dan berubah  bentuk,  demikian juga yang terjadi dengan dengan batuan padat dalam mantel bumi ketika mengalami panas dan tekanan di dalam interior bumi dalam jangka jutaan tahun.

Atas: Gambar konseptual asumsi sel konveksi di dalam mantel. Di kedalam 700 km mantel bumi, lempeng yang tertekan ke dalam mantel akan melunak dan meleleh, dan kehilangan bentuknya. Bawah: Sketsa yang menunjukkan sel konveksi dapat dilihat waktu mendidihkan air atau sup. Analogi ini tentu saja tidak memperhitungkan perbedaan yang sangat jauh dalam ukuran dan rasio aliran dari sel-sel tersebut.

Batuan di bawah lempeng yang kaku dipercaya bergerak melingkar seperti gerakan air atau soup ketika dipanaskan hingga mendidih. Soup yang panas naik ke permukaan, menyebar hingga turun panasnya, dan akibatnya bergerak lagi ke bawah, dan setelah memanas, naik lagi ke permukaan. Proses ini terjadi berulang-ulang dan ilmuwan menyebutnya sel konveksi atau aliran konveksi. Jika aliran konveksi di dalam pot mudah dilihat dan diteliti, proses yang sama di dalam interior bumi sulit untuk diperlihatkan. Kita mengetahui bahwa konveksi di dalam bumi berlangsung sangat, sangat lambat dibanding proses mendidihkan soup, beberapa pertanyaan tidak terjawab muncul: Berapa sel konveksi yang terjadi? Dimana dan bagaimana munculnya? Bagaimana strukturnya?
Konveksi tak akan terjadi tanpa ada sumber panas. Panas di dalam bumi datang dari dua sumber: uraian radio-aktif dan sisa-sisa panas. Penguraian radio-aktif, proses spontan yang dipakai sebagai ”jam isotop” untuk menghitung umur batuan, akan mengeluarkan energi dalam bentuk panas ketika inti sel dari sebuah isotop (parent) kehilangan partikel-partikel untuk membentuk sebuah isotop baru (daughter). Panas ini dengan lambat berpindah ke permukaan bumi.
Sisa-sisa panas (residual heat) adalah energi gravitasi yang tertinggal pada masa-masa pembentukan bumi sekitar 4,6 milyar tahun yang lalu. Bagaimana dan mengapa pelepasan panas interior dan menjadi terkonsentrasi di daerah tertentu untuk menghasilkam sel konveksi tetap menjadi misteri.
Hingga pada tahun 1990, penjelasan yang diterima untuk jawaban apa yang menggerakkan lempeng tektonik menekankan konveksi di mantel, dan kebanyakan ilmuwan tentang bumi percaya bahwa pergerakan dasar samudera adalah mekanisme primer. Material dingin dan padat terkonveksi ke bawah dan memanas, sedang material ringan naik karena gravitasi; pergerakan material ini adalah bagian penting dari konveksi. Para ilmuwan menganggap intrusi magma ke bubungan  menambah gaya-gaya konveksi dan ikut mendorong dan memelihara pergerakan lempeng.Karenanya, proses subduksi dianggap mekanisme sekunder, konsekuensi logis dari pergerakan dasar samudera.
Akan tetapi saat ini keadaan seolah berbalik. Ilmuwan lebih condong ke pemikiran bahwa proses subduksi lebih penting dibanding pergerakan dasar samudera. Professor Seiya Ueda (Universitas Tokai, Jepang), seorang pakar terkemuka dunia di bidang lempeng tektonik, menyimpulkan dalam sebuah seminar pada tahun 1994 bahwa “ subduksi….memainkan peranan yang sangat fundamental dalam pembentukan fitur permukaan bumi” dan “menjalankan mesin lempeng tektonik”. Tenggelamnya lempeng samudera yang dingin dan lebih padat akibat gravitasi ke dalam zona subduksi – menarik keseluruhan sisa lempeng—saat ini dianggap sebagai gaya penggerak lempeng tektonik.
Kita telah mengetahui gaya-gaya yang bekerja pada kedalaman interior bumi menggerakkan lempeng, akan tetapi kita mungkin tidak akan mengerti tentang detailnya. Saat ini, belum ada usulan  mekanisme yang menjelaskan faktor-faktor pergerakan lempeng; dikarenakan gaya-gaya ini terkubur di sangat jauh di dalam bumi, dan tidak ada mekanisme yang dapat menguji secara langsung.  Fakta bahwa lempeng tektonik sudah bergerak di masa lalu dan terus bergerak hingga hari ini sudah tidak diperdebatkan lagi, akan tetapi rincian mengapa dan bagaimana mereka  bergerak akan terus menjadi tantangan bagi para ilmuwan di masa depan.
Sumber: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/unanswered.html#anchor19928310


Bagaimana lempeng bergerak dan dan hubungannya dengan aktivitas gempa semakin dipahami oleh para ilmuwan. Hampir semua pergerakan tersebut terjadi di sepanjang zona tipis di antara pertemuan lempeng-lempeng  dimana hasil dari gaya-gaya tektonik kelihatan dengan jelas.
Ada empat tipe pertemuan lempeng:
  • Pertemuan divergen: pertemuan dimana kulit/kerak bumi yang baru terbentuk ketika lempeng yang berdekatan saling menjauhi.
  • Pertemuan konvergen: pertemuan dimana lapisan kulit bumi hancur ketika sebuah lempeng menujam ke bawah lempeng lainnya.
  • Pertemuan transformasi: pertemuan dimana tidak ada kulit bumi yang terbentuk atau dihancurkan, karena lempeng-lempeng bergesekan satu sama lain secara horisontal.
  • Zona-zona perbatasan antar lempeng: sabuk lebar dimana pertemuan-pertemuan tidak secara jelas didefenisikan dan interaksi antar lempeng tidak jelas.

Pertemuan Divergen

Pertemuan divergen terjadi di sepanjang pusat pergerakan dimana kulit baru yang tercipta dari magma mantel bumi yang naik ke atas terbentuk di saat lempeng-lempeng bergerak saling menjauhi. Bayangkan dua sabuk konveyor raksasa yang saling berhadapan dan kemudian bergerak ke arah yang berlawanan sambil membawa kulit baru lautan yang baru terbentuk menjauhi puncak bubungan.
Pertemuan divergen yang paling terkenal adalah bubungan Atlantik-tengah (Mid-Atlantic Ridge). Rangkaian pegunungan bawah air ini, yang dimulai dari Samudera Arktik menerus ke ujung selatan Afrika,  bukan satu-satunya sistem bubungan tengah-samudera yang mengitari bumi. Rasio penyebaran sepajang bubungan Atlantik-tengah adalah sekitar 2,5 cm/tahun, atau 25 kilo meter dalam satu juta tahun. Rasio ini mungkin kecil bagi manusia, akan tetapi karena prosesnya sudah berlangsung jutaan tahun, pergerakan yang dihasilkannya sudah mencapai ribuan kilometer. Penyebaran dasar lautan yang telah terjadi sekitar 100-200 juta tahun telah mengakibatkan terbentuknya  samudera Atlantik yang kita kenal saat ini yang asalnya adalah sebuah jalur masuk air yang mungil di antara benua Eropa, Afrika dan Amerika.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b2/Mid-atlantic_ridge_map.png
Negara vulkanik Islandia, yang berada tepat di belahan bubungan Atlantik-tengah, adalah sebuah laboratorium darat alami  bagi para ilmuwan untuk mempelajari proses dan kejadian-kejadian yang juga terjadi di bawah laut di sepanjang sebaran bubungan. Islandia terbelah di sepanjang pusat pergerakan antara lempeng  Amerika Utara dan lempeng Eurasia, dimana Amerika Utara bergerak relatif ke arah barat dan Eurasia ke arah timur.
 
Peta yang menunjukkan terbelahnya Islandia di sepanjang Bubungan Atlantik Tengah yang memisahkan lempeng Amerika Utara dengan Lempeng Eurasia. Peta juga menunjukkan ibukota Islandia, Reykjavik, area Thingvellir, dan lokasi-lokasi vulkanik aktif (segitiga merah), termasuk Krafla.

Konsekuensi pergerakan lempeng akan terlihat jelas di sekitar daerah vulkanik Krafla, sebuah daerah di timur-laut Islandia. Disini retakan yang ada semakin membesar dan retakan baru timbul dalam beberapa bulan. Dari tahun 1975 hingga 1984 tidak terbilang kejadian permukaan retak sepanjang zona retakan Krafla. Beberapa retak permukaan ini didampingi oleh aktivitas vulkanik; permukaan tanah bisa naik hingga 1-2 m sebelum akhirnya runtuh kembali, menyiratkan erupsi yang bakal terjadi. Antara tahun 1975 hingga 1984 pergeseran yang terjadi akibat retakan tersebut sekitar 7m.
 http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/Thingvellir.gif
 
Di timur Afrika, proses penyebaran telah memisahkan Arab Saudi menjauhi Benua Afrika, dan menciptakan Laut Merah. Pemisahaan pada pertemuan lempeng Afrika dan Lempeng Arabia disebut Simpang Tiga (Triple Junction) oleh para geolog, dimana Laut Merah bertemu dengan Teluk Aden.  Pusat Penyebaran yang baru mungkin saja terbentuk di bawah Afrika di sepanjang Zona Retak Timur Afrika. Jika kulit benua tertarik melebihi kapasitasnya, retak akibat tarik akan muncul di permukaan bumi. Magma akan naik melalui retakan yang melebar, kadang meletus dan membentuk vulkanik. Naiknya magma, apakah meletus atau tidak, akan menaikkan tegangan di kulit bumi dan akan mengakibatkan tambahan retakan dan pada akhirnya menciptakan zona retakan di permukaan.
 
Afrika Timur mungkin saja menjadi Samudera besar berikutnya yang ada di bumi. Interaksi lempeng di daerah tersebut akan memberikan kesempatan kepada ilmuwan untuk mempelajari bagaimana Samudera Atlantik terjadi sekita 200 juta tahun yang lalu. Jika penyebaran terus berlanjut, para geolog percaya, tiga lempeng yang bertemu akan terpisah sempurna. Air dari Samudera Hindia akan membanjiri daerah penyebaran tersebut dan akhirnya akan terbentuk sebuah pulau besar di ujung paling timur dari Afrika.
Erta Ale gif  
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhG5iDoTsU2mYivBTJlWq_atz0nBiwXQWZy6RJoEZD6v9snZSk62-Q2oZ1Qqlwg6kx3_oFlEHkNZQ-emPbCFEQqF7pMUZYiaCkPJFw6D5G4-w7IVVAIjhrDM_9mCfUy7s5mN11zInk1aXU/s320/retak-dabbahu-map.jpg

Pertemuan Konvergen

Ukuran dari bumi tidak berubah signifikan selama 600 juta tahun terakhir, dan sepertinya tidak berubah sejak terbentuknya sekitar 4,6 milyar tahun yang lalu. Tidak adanya perubahan ukuran ini menyiratkan adanya penghancuran kulit bumi dengan rasio yang sama dengan terbentuknya kulit baru. Penghancuran (daur ulang) dari kulit bumi ini terjadi di pertemuan lempeng dimana lempeng bergerak mendekati satu sama lain, dan kadang-kadang sebuah pelat tenggelam atau menujam di bawah lempeng lainnya. Lokasi dimana penujaman terjadi disebut zona subduksi.
Tipe konvergensi—disebut juga tabrakan lambat—tergantung dari jenis litosfer yang terlibat. Konvergensi dapat terjadi antar lempeng samudera dengan lempeng benua yang sangat besar.

Konvergensi Samudera-benua

Seandainya secara magis kita bisa mengeringkan Samudera Pasifik, kita akan melihat penampakan yang luar biasa—sejumlah palung tipis yang panjang, membujur ribuan kilometer dengan kedalaman 8 hingga 10 km menujam masuk ke dalam dasar  samudera. Palung-palung adalah bagian terdalam dari dasar samudera dan tercipta akibat subduksi (penujaman).
Lempeng Nazca didorong dan menujam ke bagian bawah lempeng benua dari lempeng Amerika Selatan. Pada gilirannya, daerah tubrukan pada sisi lempeng Amerika Selatan naik, menciptakan peguungan Andes, tulang punggung benua tersebut. Gempa kuat dan merusak dan naiknya ketinggian pegunungan secara cepat sangat sering terjadi disini. Walaupun lempeng Nazca secara keseluruhan menujam dengan sangat lambat ke palung, bagian paling dalam dari lempeng yang menujam bisa terpecah ke bagian yang lebih kecil dan diam terkunci untuk periode yang lama. Apabila bagian yang terkunci tersebut kemudian terlepas akibat gerakan lempeng, akan mengakibatkan gempa yang sangat besar. Gempa-gempa tersebut sering diiringi dengan kenaikan dataran sebesar beberapa meter.
Nazca-SoAm plates gif  
Pada Juli 1994, gempa dengan kekuatan 8.3 SR terjadi sekitar 320 km di arah timur laut La Paz, Bolivia. Kedalaman gempa 636 km. Gempa yang terjadi di zona subduksi lempeng Amerika Selatan dan Nazca, adalah gempa paling dalam yang pernah direkam di Amerika Selatan. Akan tetapi meski gempa ini dapat dirasakan di Toronto, Canada, kerusakan yang ditimbulkan sangat kecil diakibatkan oleh kedalamannya.
Cincin Api
Konvergensi Samudera-Benua juga memelihara vulkanik aktif bumi, seperti terlihat di Pegunungan Andes. Aktivitas erupsi berkaitan nyata dengan subduksi.

Konvergensi Samudera-Samudera

Sama dengan kovergensi samudera-benua, ketika dua lempeng samudera bertemu, salah satu pada umumnya akan menujak ke bagian lainnya dan akibatnya palung terbentuk. Contohnya adalah Palung Mariana (yang sejajar dengan kepulauan Mariana), yang terbentuk akibat konvergensi gerakan cepat lempeng Pasifik dengan gerakan lambat lempeng Filipina. The Challenger Deep di selatan palung Mariana terbenam ke dalam interior bumi (hampir 11.000 m). Bandingkan dengan Gunung Everest, gunung tertinggi di bumi, yang tingginya dari permukaan laut sekitar 8.854 m.
 
Proses subduksi pada kovergensi lempeng samudera-samudera juga menghasilkan formasi vulkanik. Selama jutaan tahun, erupsi lava dan bongkahan vulkanik terjebak di dasar samudera hingga vulkanik bawah laut naik di atas permukaan laut untuk membentuk kepulauan vulkanik. Volkano tersebut biasanya membentuk rantaian yang disebut busur kepulauan (island arc).  Seperti namanya, busur kepulauan volkano, yang hampir sejajar dengan palung, biasa akan berbentuk kurva. Palung adalah kunci untuk mengetahui terbentuknya busur kepulauan seperti kepulauan Mariana dan Aleutian dan mengapa kepulauan tersebut banyak mengalami gempa yang kuat. Magma yang membentuk busur kepulauan diproduksi oleh bagian lempeng menujam yang leleh  dan/atau bagian atas listosfer samudera. Lempeng yang menujam merupakan sumber tegangan ketika dua lempeng saling berinteraksi, dan pada akhirnya menimbulkan gempa sedang dan kuat.

Konvergensi Benua-benua.

Rangakaian  pegunungan Himalaya secara dramatis dan spektakuler memperlihatkan konsekuensi dari lempeng tektonik. Ketika dua lempeng benua bertemu, tidak akan ada yang menujam disebabkan batuan benua yang relatif ringan, dan seperti tabrakan dua gunung es, gerakan ke bawah akan tertahan. Biasanya, kulit bumi cenderung menggelembung dan didorong ke atas atau ke samping.
Tabrakan India dengan Asia sekitar 50 juta tahun yang lalu menyebabkan lempeng Eurasia melipat di atas lempeng India. Setelah tabrakan, konvergensi dari dua lempeng tersebut terus menekan lipatan hingga terbetuknya Pegunungan Himalaya dan Dataran tinggi Tibet yang kita kenal saat ini. Kebanyakan pertumbuhannya terjadi selama 10 juta tahun belakangan.
 tas: Tabrakan antara lempeng India dan Eurasia mendorong Himalaya dan dataran Tibet.
Himalaya, berpuncak hingga ketinggian 8.854 m dari permukaan laut adalah pegunungan tertinggi di bumi, dan dataran Tibet dengan rata-rata tinggi 4.600 m, lebih tinggi dibandingkan semua puncak di pegunungan Alpen (kecuali Puncak Mont Blanc dan Monte Rosa).

A Bawah: Potongan yang dibuat kartunis yang menunjukkan pertemuan kedua lempeng sebelum dan sesudah tabrakan. Titik referens (busur sangkar kecil) menunjukkan jumlah kenaikan titik  imaginer di kulit bumi pada saat proses pembentukan pegunungan. 
 
india.sidebar
Himalaya: Tabrakan dua benua
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjW8_B-vzXS0wIIF1pb2jrJR6WjDqODEZNBAc0UWFcN8kn07BE7zVhdy3mlgbLNwOHOQNUE-IsNYsSDeZDzJECO4NiPhv4YAVULpcRqNd5iT92ZQEZX5V1AVMNN7_TbTQq5Dur0bQ4rEab3/s1600/everest_solokhumbu_fromair.jpg 
Pegunungan Himalaya & Dataran Tinggi Tibet 

Pertemuan Transformasi.

Zona pertemuan dua pelat yang bergesekan secara horisontal satu sama lain disebut pertemuan patahan-transformasi, atau secara sederhana disebut pertemuan transformasi. Konsep patahan-transformasi diusulkan oleh geofisikawan Kanada, J. Tuzo Wilson, yang menyatakan bahwa patahan besar atau zona retak menghubungkan dua pusat pergerakan (pertemuan lempeng divergen) atau, sangat jarang, pertemuan palung-palung (pertemuan lempeng konvergen). Kebanyakan patahan-transformasi terjadi di dasar samudera. Biasanya terjadi untuk menyeimbangkan pergerakan bubungan yang aktif, menghasilkan lempeng zig-zag, dan umumnya sering mengalami gempa-gempa dangkal. Akan tetapi sebagian kecil berada di daratan, seperti Patahan San Andreas di Amerika. Patahan transformasi ini menghubungkan lempeng naik Pasifik Timur , pertemuan divergen ke arah selatan, dengan lempeng Gorda Selatan – Juan de Fuca—Explorer Ridge, sebuah pertemuan divergen yang lain.
Zona retakan Blanco, Mendocin, Murray, dan Molokai adalah beberapa dari banyak zona retak (patahan transformasi) yang menggurat dasar samudera dan menggeser bubungan. San Andreas adalah patahan transform yang terlihat di dataran.
Zona patahan San Andreas, dengan panjang sekitar 1300 km dengan lebar puluhan km, memotong dua pertiga dari panjang California. Di sepanjang patahan, sudah berlangsung 10 juta tahun, lempeng Pasifik bergeser horisontal melewati lempeng Amerika Utara, dengan rasio 5cm/tahun. Daratan di sisi barat patahan (sisi lempeng Pasifik) bergerak ke arah barat laut daratan di sisi timur dari patahan (lempeng Amerika Utara).
http://sphotos-b.xx.fbcdn.net/hphotos-snc6/7725_163606629602_7739505_n.jpg

Zona pertemuan lempeng

Tidak semua pertemuan atau batas-batas antar-lempeng sesederhana seperti yang dilukiskan di atas. Di beberapa tempat, pertemuan antar lempeng tidak bisa secara jelas ditentukan dikarenakan deformasi gerakan yang terjadi menerus di sabuk yang sangat lebar (disebut juga zona pertemuan-lempeng).  Salah satu zona tersebut adalah daerah di antara lempeng Eurasia dan lempeng Afrika yang didalamnya terdapat bagian-bagian kecil dari lempeng (micro plates).  Karena zona perbatasan lempeng terdiri atas dua lempeng besar dan bisa saja terdapat di antaranya satu atau dua lempeng kecil, zona ini biasanya memiliki struktur geologi dan pola gempa yang kompleks.

Rasio gerakan

Berdasarkan rekaman magnetik dasar lautan, ilmuwan mengetahui perkiraan dari setiap pembalikan magnetik, sehingga pada akhirnya dapat menghitung pergerakan yang terjadi selama jangka waktu tertentu. Ridge Arktik memiliki rasio pergerakan yang sangat rendah ( kurang dai 2,5 cm/tahun) dan Lempeng Pasifik Selatan di sisi barat Chili, memiliki rasio pergerakan yang sangat cepat (lebih dari 15 cm/tahun)
Perdebatan panas tentang Pergeseran Benua (Continental Drift) terus berlangsung setelah meninggalnya Wagener dan secara berangsur teori ini hampir dilupakan karena dianggap tidak biasa, absurd, dan tidak mungkin terjadi.
Akan tetapi, di awal tahun 1950-an banyaknya bukti baru yang timbul membangkitkan kembali debat tentang teori yang provokatif  dari Wagener dan implikasi-implikasinya. Secara umum, terdapat perkembangan pengetahuan yang mendukung formulasi dari Teori Lempeng Tektonik:
  1. Fakta  kekasaran dasar samudera dan umur muda dari dari dasar samudera tersebut.
  2. konfirmasi adanya pengulangan pembalikan medan magnetik geologis di masa lalu.
  3. Munculnya Hipotesa pergerakan-dasar samudera dan kaitannya dengan daur ulang kulit/kerak samudera.
  4. dokumentasi yang akurat yang memperlihatkan lokasi kejadian gempa-gempa dan kejadian vulkanik di dunia terkonsentrasi di sepanjang palung samudera dan rangkaian pegunungan bawah laut.

Pemetaan Dasar Samudera.

Sekitar dua pertiga dari permukaan bumi berada di bawah samudera. Sebelum abad 19 dalamnya laut banyak diperdebatkan, bahkan dipercayai dasar samudera relatif datar dan sama sekali tidak punya fitur yang lain. Akan tetapi pada awal abad 16 beberapa navigator pemberani –dengan menggunakan peralatan tangan-, telah menemukan bahwa kedalaman samudera terbuka ternyata berbeda sangat signifikan, yang menunjukkan bahwa dasar samudera tidaklah datar seperti yang dianggap selama ini.  Eksplorasi samudera selanjutnya meningkatkan pengetahuan kita terhadap dasar samudera. Kita jadi mengetahui bahwa semua peristiwa geologi di daratan terkait secara langsung atau tidak langsung dengan dinamika yang terjadi di dasar samudera.
Pengukuran samudera secara ‘modern’ sangat meningkat di abad 19, dimana pengukuran laut dalam (bathymetric survey) rutin dilakukan di samudera Atlantik dan Karibia. Pada tahun 1855, pelaut militer Amerika, Letnan Matthew Maury memperlihatkan dalam diagram yang diterbitkannnya adanya pegunungan bawah laut di tengah Atlantik. Hal ini kemudian dibenarkan oleh kapal survey yang meletakkan kabel telegraf di samudera Atlantik.
Penajaman gambaran dasar samudera yang lebih cepat terjadi setelah Perang Dunia I (1914-1918), dimana peralatan pantulan-suara – sistem sonar primitif—mulai dipakai untuk pengukuran dalamnya samudera. Grafik  yang dihasilkan dari pengukuran memperlihatkan bahwa dasar samudera jauh lebih kasar dari yang sebelumnya dipikirkan. Alat tersebut juga secara jelas memperlihatkan kesinambungan dan kekasaran dari rangkaian pegunungan bawah laut di Atlantik tengah (yang kemudian disebut sebagai Mid-Atlantic Ridge atau Bubungan Mid-Atlantik), seperti juga direkomendasikan pada awal survey bathymetrik.
 Global Mid Ocen Ridge (Bubungan Global Tengah Samudera). Source: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/Fig5.gif
Pada tahun 1947, para seismolog dari kapal penelitian Amerika, Atlantis,  menemukan bahwa tebal dari sedimen pada dasar samudera Atlantik tidak setebal yang diperkirakan sebelumnya. Sebelumnya ilmuwan meyakini bahwa umur dari samudera sudah 4 milyar tahun, jadi tumpukan sedimen seharusnya sudah sangat tebal. Lalu, kenapa terdapat sangat sedikit akumulasi dari batuan sedimen dan bongkahannya di dasar samudera? Jawaban atas pertanyaan ini terjawab setelah eksplorasi lebih jauh, dan akan membuktikan pengembangan vital dari konsep Lempeng Tektonik.
 
 Peta Topografi komputer dari Bubungan Tengah Samudera. Source: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/topomap.gif
Pada 1950 an,  eksplorasi samudera semakin banyak. Data-data yang dikumpulkan dari penelitian berbagai negara menyimpulkan bahwa rangkaian pegunungan besar di dasar samudera secara virtual mengelilingi bumi. Disebut sebagai Bubungan Tengah-Samudera (Global Mid-Ocean Ridge), rangkaian pegunungan yang luar biasa ini—panjangnya lebih dari 50.000 km, dan memiliki 800 km ukuran melintang—berbaris meliku di antara benua-benua, seperti jahitan pada bola bisbol dan menjulang tinggi hingga 4.500 m dari dasar samudera. Walau tersembunyi di bawah permukaan samudera, bubungan  tengah-samudera global adalah fitur topografi yang paling terkenal di bumi kita ini.

Lajur Magnetik dan Polaritas Berlawanan

Berawal di tahun 1950 an, ilmuwan yang memakai peralatan magnetis (magnetometer) yang diadopsi dari peralatan pesawat tempur untuk deteksi kapal selam pada Perang Dunia II, menemukan keganjilan variasi magnetik disepanjang dasar samudera. Penemuan ini, -tidak diharapkan sebelumnya-, tidaklah sepenuhnya mengejutkan  karena sudah diketahui bahwa basalt—batuan vulkanik yang mengandung banyak besi yang merupakan unsur pembentuk dasar samudera—mengandung mineral magnetik yang sangat kuat (magnetit) yang  dapat membelokkan pembacaan kompas.
 
 Model teoretis dari formasi jalur magnetik. Lapisan luar terbaru dari dasar samudera terbentuk terus menerus di puncak dari Bubungan tengah-samudera, mendingin, dan menua seiring menjauhnya dari puncak ridge akibat pergerakan dasar samudera (lihat teks) a. pergerakan sekitar 5 juta tahun yang lalu; b. pergerakan sekitar 2-3 juta tahun lalu; dan c. pergerakan saat ini. Source: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/Fig7.gif


Di awal abad 20, paleomagnetis (ilmuwan yang mendalami medan magnetik purba)  — seperti Bernard Brunhes di Perancis (1906) dan Motonari Mutuyama di Jepang (1920)—memperkenalkan bahwa sifat magnetik batuan pada dasarnya terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama, adalah kelompok kutub normal, yang mempunya karasteristik kandungan mineral yang memiliki kutub yang sama dengan kutub magnet bumi saat ini. Jadi “jarum kompas” dari sisi utara dari batuan menunjuk ke arah utara magnet bumi.
Kelompok kedua adalah yang memiliki kutub berlawanan, yang ditunjukkan dari arah kutub mineral yang berlawanan dengan medan magnetik bumi saat ini. Dalam hal ini, “jarum kompas” mineral  dari batuan menunjuk selatan kutub bumi. Bagaimana hal ini terjadi? Jawabannya ada pada magnetit pada batuan vulkanik. Serbuk magnetik –berperilaku sebagai magnet kecil—bisa mensejajarkan diri dengan arah dari magnet bumi. Ketika magma (batuan cair panas yang mengandung mineral dan gas) mendingin membentuk batuan vulkanik padat , garis magnetik dari serbuk ”terkunci”, merekam arah magnet bumi atau polaritas (normal atau terbalik) pada saat pendinginan.
Pelajuran Magnetik di barat laut Pasifik. Gambar memperlihatkan peta dasar laut jika air bisa dihilangkan. Garis putus-putus hitam adalah patahan transform. http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/Fig6.gif
Pemetaan dasar samudera yang semakin banyak dan lebih banyak lagi selama tahun 1950 an, menunjukkan variasi magnetik tidaklah acak  atau terisolasi, akan tetapi memiliki pola yang jelas. Ketika pola magnetik ini dipetakan dalam area yang lebar, pola zebra-cross terlihat pada dasar samudera. Lajur polaritas magnetis bergantian dari batuan terdapat pada  dua sisi dari bubungan tengah-lautan: satu lajur dengan polaritas normal dan lajur yang bersebelahan memiliki polaritas berlawanan. Pola keseluruhan, yang ditunjukkan dengan adanya  polaritas normal dan terbalik secara bergantian, dikenal sebagai pelajuran magnetik.

Pergerakan  Dasar Samudera dan Daur Ulang Kulit/kerak Samudera

Penemuan sebaran magnetik pada akhirnya menimbulkan pertanyaan: Bagaimana lajur magnetik terbentuk? Dan mengapa lajur tersebut simetris terhadap puncak dari bubungan tengah-samudera? Pertanyaan ini tidak akan terjawab tanpa mengetahui arti penting ridges ini.
Pada tahun 1961, para ilmuwan mulai berteori bahwa bubungan tengah-samudera secara struktur ditandai zona yang paling lemah yang memanjang sepanjang puncak bubungan dimana dasar samudera terbelah dalam dua bagian. Kulit terbaru dasar samudera terbentuk dari magma baru yang keluar dari dalam bumi yang naik dengan mudah disepanjang puncak bubungan. Proses yang disebut pergerakan dasar samudera, sudah terjadi sekitar jutaan tahun dan telah membentuk bubungan tengah-samudera sepanjang 50.000 km.
Hipotesa ini didukung oleh beberapa bukti: (1) batuan di dekat puncak bubungan berumur lebih muda, dan semakin jauh dari puncak bubungan, batuan berumur semakin tua. (2) batuan yang umurnya paling muda pada puncak bubungan tengah-samudera mempunyai polaritas yang sama dengan polaritas saat ini dari bumi dan (3) lajur-lajur magnetik sejajar dengan puncak bubungan berganti-ganti dengan pola: normal-berlawanan-normal , dst. Dengan penjelasan pola zebracross lajur magnetik dan pembentukan sistem bubungan tengah-samudera, hipotesa pergerakan dasar samudera secara cepat memicu perkembangan teori lempeng. Lebih jauh, kulit atau lapisan luar dasar samudera menjadi semacam pita rekaman sejarah dari terbaliknya medan magnet bumi.
Bukti tambahan dari pergerakan dasar samudera datang dari sumber yang tidak diharapkan: eksplorasi minyak. Setelah perang dunia kedua persediaan minyak bumi di dataran benua berkurang cepat dan pencarian cadangan berpindah ke eksplorasi samudera. Untuk melakukannya perusahaan minyak bumi memakai kapal yang diperlengkapi denga alat bor yang mempunyai kapasitas memasukkan pipa bor hingga kilometeran dalamnya.
Ide ini mendasari dibuatnya kapal penelitian bernama Glomar Challenger, yang didesain secara khusus untuk penelitian geologi, termasuk juga mengumpulkan contoh material dari dasar samudera yang dalam. Pada tahun 1968, kapal tersebut melakukan penelitian satu tahun, melintasi bubungan tengah-samudera di antara Amerika Selatan dan Afrika dan mengambil contoh material di tempat yang ditentukan. Bukti hipotesa pergerakan dasar samudera diberikan secara jelas ketika umur contoh ditaksir dengan studi paleontologik dan studi umur isotop yang dikandung contoh material.
Glomar Challenger and JOIDES Resolution [130 k]

Konsekuensi nyata dari pergerakan dasar samudera adalah bahwa kulit baru dari dasar samudera sedang, dan akan secara terus menerus terbentuk sepanjang bubungan samudera.
Hal ini membuat kegirangan beberapa ilmuwan yang meyakini bahwa pergeseran benua merupakan akibat dari bumi yang semakin membesar sejak awal pembentukan bumi. Akan tetapi hipotesa yang dikenal dengan “Expanded Earth” (Pembengkakan Bumi) tidak memberikan bukti geologis mekanisme apa yang bisa menghasilkan pengembangangan yang luar biasa. Kebanyakan geolog percaya, sejak lahir sekitar 4,6 milyar tahun yang lalu, ukuran bumi berubah sangat sedikit. Hal ini menimbulkan pertanyaan baru: bagaimana kulit baru bumi bisa terbentuk secara terus menerus sepanjang bubungan samudera tanpa menambah ukuran bumi?
Harry H. Hess, seorang geologis dari Princeton University dan Robert S Dietz dari Survey Pantai dan Geodesi Amerika  tertarik dengan pertanyaan tersebut.  Mereka berdua adalah sedikit orang yang betul-betul mengerti  implikasi pergerakan dasar samudera. Jika kulit samudera bertambah di sepanjang  bubungan samudera, Hess berkata, pada suatu tempat pasti terjadi penyusutan. Beliau menyatakan bahwa kulit/dasar samudera terus-menerus terus bergerak menjauhi bubungan seperti gerakan sabuk konveyor.
Jutaan tahun kemudian, kulit samudera/dasar samudera pada akhirnya akan menyusup ke bawah palung samudera – yaitu ngarai tipis yang sangat dalam sepanjang batas dataran Samudera Pasifik. Menurut Hess, Samudera Atlantik terus bertambah, di pihak lainnya Samudera Pasifik menyusut. Ketika kulit/dasar samudera yang lebih tua ditelan di palung samudera, kulit/dasar samudera yang baru terbentuk di sepanjang bubungan.  Jadi, dasar Samudera sebenarnya di daur ulang, yaitu pembentukan kulit baru bersamaan terjadinya dengan penghancuran kulit yang lebih tua. Hal ini menerangkan: (1) ukuran bumi tidak bertambah, (2) mengapa timbunan sedimen sangat sedikit ditemukan di dasar samudera, dan (3) mengapa umur batuan samudera lebih muda dibandingkan dengan umur batuan benua/daratan.

Konsentrasi Gempa-gempa

Peningkatan kualitas instrumen gempa dan semakin mendunianya pemakaian seismograf selama abad ke-20 membantu ilmuwan untuk menyimpulkan bahwa gempa-gempa cenderung terkonsentrasi di lokasi tertentu, dan lokasi itu adalah di sepanjang palung samudera dan di sebaran bubungan. Pada akhir 1920 an para seismolog mulai mengidentifikasi beberapa zona gempa sejajar dengan palung yang bersudut inklinasi 40-60 derajad dari sumbu horisontal dan menujam hingga beberapa ratus kilometer ke dalam bumi.
Zona ini lazim disebut dengan Zona Wadati-Benioff, atau Zona Benioff, untuk menghormati Kiyoo Wadati dan Hugo Benioff , dua orang  seimolog yang pertama sekali menemukannya.
Sebaran zona-zona gempa. Source: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/earthquake_concen.gif
Akan tetapi apa arti hubungan gempa-gempa dengan palung samudera dan bubungan?
Pengenalan hubungan tersebut menolong kita untuk memastikan kebenaran hipotesa pergerakan dasar samudera dengan menunjukkan zona yang diprediksi Hess: kulit/dasar baru samudera terbentuk di bubungan dan zona dimana litosfer samudera menyusup kembali ke mantel bumi di bawah palung.

Pendapat Ahli Abad 20-an VS Al-Qur'an

Pergerakan kerak Bumi ini diketemukan setelah penelitian geologi yang dilakukan di awal abad ke-20. Para ilmuwan menjelaskan peristiwa ini sebagaimana berikut:

''Kerak dan bagian terluar dari magma, dengan ketebalan sekitar 100 km, terbagi atas lapisan-lapisan yang disebut lempengan. Terdapat enam lempengan utama, dan beberapa lempengan kecil. Menurut teori yang disebut lempeng tektonik, lempengan-lempengan ini bergerak pada permukaan bumi, membawa benua dan dasar lautan bersamanya. Pergerakan benua telah diukur dan berkecepatan 1 hingga 5 cm per tahun. Lempengan-lempengan tersebut terus-menerus bergerak, dan menghasilkan perubahan pada geografi bumi secara perlahan. Setiap tahun, misalnya, Samudera Atlantic menjadi sedikit lebih lebar.'' (Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F. Howe; General Science, Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 30)

Fakta ilmiah ini, kata Harun Yahya, telah diungkapkan oleh kitab suci Alquran sejak abad ke-7 M. ''Dalam sebuah ayat, kita diberitahu bahwa gunung-gunung tidaklah diam sebagaimana yang tampak, akan tetapi mereka terus-menerus bergerak,'' ungkap Harun Yahya.

Simak surah An-Naml [27] ayat 88, Allah SWT berfirman, "Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal dia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Menurut Harun Yahya, gerakan gunung-gunung itu disebabkan gerakan kerak bumi tempat mereka berada. Kerak bumi ini seperti mengapung di atas lapisan magma yang lebih rapat.

''Ada hal sangat penting yang perlu dikemukakan di sini: dalam ayat tersebut Allah telah menyebut tentang gerakan gunung sebagaimana mengapungnya perjalanan awan. Kini, Ilmuwan modern juga menggunakan istilah "continental drift" atau "gerakan mengapung dari benua" untuk gerakan ini,'' papar Harun Yahya.

Sungguh, Alquran adalah firman Allah SWT yang Maha Benar.
Sumber : 
http://strukturawam.wordpress.com
http://www.republika.co.id
http://www.keajaibanalquran.com 
Foto Samudra Baru Afrika Benua Afrika Terbelah Dua Retakan Ethiopia Sepanjang 60Km. Benua Afrika akan menjadi saksi lahirnya sebuah laut yang nantinya diperkirakan akan menjadi samudera baru. Kesimpulan ini diungkapkan oleh sejumlah peneliti dari Royal Society, kelompok ilmiah asal London, Inggris. 
http://www.see.leeds.ac.uk/afar/new-afar/home-page-assets/africa-afar-maps.jpg


Semua diawali dari munculnya keretakan tanah di kawasan Ethiopia tahun 2005. Retakan yang mencapai panjang 60 kilometer itu semakin melebar, mencapai 8 meter dalam 10 hari. Padahal, dalam kondisi normal, dibutuhkan waktu sekitar 230 tahun agar keretakan mencapai lebar 8 meter.

Para geolog, yang melakukan penelitian di Afar, sebuah kawasan terpencil di Ethiopia menyebutkan, retakan ini nantinya akan memecah benua Afrika menjadi dua bagian. Meski begitu, peneliti memperkirakan, terbelahnya benua Afrika ini akan terjadi dalam waktu 10 juta tahun ke depan.

“Ini merupakan hal yang luar biasa,” kata Dr Tim Wright, ketua tim peneliti, yang telah mengamati retakan di Afar selama 5 tahun terakhir, seperti dikutip dari TG Daily, 12 Desember 2010. “Benua ini kini terbelah tepat di bawah kaki kita,” ucapnya.

Retakan di kawasan tersebut disebabkan oleh dorongan bebatuan lunak yang panas, yang berasal jauh dari perut bumi. Besarnya daya dorongan tersebut membuat permukaan tanah di atasnya menjadi merekah.
http://www.infoniac.com/uimg/crack-in-ethiopia-new-ocean.jpg


Yang jadi masalah, sampai saat ini, letusan bawah tanah masih terus terjadi di kawasan itu dan pada akhirnya sepotong kawasan Afrika yakni sebagian Ethopia dan Somalia akan terlepas dari benua tersebut.

Potongan benua ini nantinya akan menjauh dan menyebabkan munculnya selat, laut, dan kemudian akan menjadi samudera.
[Image: _48174567_2005vent_royalsociety.jpg]
Normalnya, perubahan yang terjadi pada permukaan Bumi nyaris tidak kentara. Seumur hidup manusia terlalu singkat untuk menyaksikan sungai berbelok arah, gunung bertambah tinggi, atau terbukanya lembah baru.

Akan tetapi, di Afar, dalam beberapa bulan muncul ratusan celah yang memisahkan dasar gurun. Di saat yang sama, ilmuwan mendapati kenaikan ketinggian magma dari dalam Bumi semakin mendekati permukaan tanah.

 051210_teruboina_hlrg.hlarge
Magma ini nantinya akan membentuk basal yang menjadi dasar samudera. Secara geologi, Seperti dikutip dari Spiegel, 13 Desember 2010, tak lama kemudian air dari Laut Merah akan memenuhi kawasan yang turun tersebut. Samudera akan lahir dan memecah Afrika.

Fenomena dramatis yang disaksikan Ayalew dan rekan-rekannya di gurun pasir Afar pada 26 September 2005 lalu merupakan bukti nyata proses itu. Terbukanya celah diikuti gempa bumi yang berlangsung terus menerus selama seminggu.
 Retakan yang terjadi di Afrika

Dalam beberapa bulan kemudian, ratusan celah lain muncul di tanah, menyebar di kawasan seluas sekitar 900 kilometer persegi. “Bumi tidak berhenti bergerak setelahnya,” kata Tim Wright, geofisikawan dari University of Oxford. “Tanah masih terus terbelah dan tenggelam. Gempa bumi kecil masih terus mengguncang kawasan itu,” ucapnya.

radar-deformation

Retakan yang terjadi di AfrikaSegitiga Afar, yang memotong Ethiopia, Eritrea, dan Djibouti, merupakan retakan terbesar di Bumi. Di bawahnya, ada tiga lempeng tektonik di mana lempeng Afrika dan Arab semakin menjauh dengan kecepatan 1 sampai 2 sentimeter per tahun. Ketika dua lempeng bergerak menjauh, tanah di atasnya anjlok dan menyediakan ruang untuk menampung air dari Laut Merah.

Pergerakan Tektonik

Sumber: 
http://www.eocommunity.com 
http://www.carazone.net
http://teknologi.news.viva.co.id/
http://www.see.leeds.ac.uk/afar

http://kabarpagimu.blogspot.com
 

0 comments:

Posting Komentar