
BAB  I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
     Geologi
 adalah ilmu yang  mempelajari tentang Bumi, komposisinya, struktur, 
sifat-sifat fisik,  sejarah dan proses pembentukannya. Dalam Geologi, 
kita akan mempelajari  semua hal tentang seluk-beluk Bumi ini secara 
keseluruhan. Dari mulai  gunung-gunung dengan tinggi ribuan meter, 
hingga palung-palung didasar  samudra. Dan untuk mengetahui semua itu, 
tentunya kita harus mempelajari  apa-apa sajakah materi pembentuk Bumi 
ini.
     Materi
 dasar pembentuk  Bumi ini adalah batuan, dimana batuan sendiri adalah 
kumpulan dari  mineral, dan mineral terbentuk dari kristal-kristal. Jadi
 intinya, untuk  dapat mempelajari ilmu Geologi, kita harus menguasai 
ilmu tentang  kristal. Ilmu yang mempelajari tentang bentuk-bentuk, 
gambar-gambar dari  kristal disebut Kristalografi.
     Dalam
 studi Geologi, kita  tentunya harus terlebih dahulu menguasai tentang 
kristal sebelum  mempelajari tingkat selanjutnya dalam ilmu Geologi. 
Karena itu kristal  adalah syarat untuk dapat mempelajari Geologi.
1.2  Maksud dan Tujuan
1.2.1  Maksud
     Dalam
 studi Geologi,  tentu kita harus mempelajari tentang kristal dan semua 
yang berhubungan  dengan kristal itu sendiri. Hal ini jelas harus 
dilakukan karena kristal  adalah dasar dari ilmu Geologi itu sendiri. 
Kristal adalah dasar dari  mineral, mineral adalah pembentuk batuan, dan
 Bumi ini terdiri dari  batuan-batuan. Jadi, dalam studi kristal yang 
dilakukan pada awal studi  Geologi ini dimaksudkan agar kita dapat 
menguasai hal-hal tentang  kristal sebagai bekal untuk mempelajari 
tingkat yang lebih lanjut dalam  ilmu Geologi.
1.2.2  Tujuan
     Dalam kegiatan  mempelajari dan praktikum Kristalografi, kita dituntut untuk dapat :
- mengenal dan menguasai bentuk-bentuk kristal
 - mendiskripsikan kandungan unsur simetri dari tiap bentuk kristal dan mengklasifikasikannya berdasarkan hukum-hukum geometri
 - menguasai “indices” dan dapat menghitung sudut antar bidang kristal
 - dapat menentukan dan menjelaskan simbol-simbol yang ada pada kristal
 - membuat proyeksi streografis dari masing-masing kelas kristal
 - dapat mengenal mineral berdasarkan bentuk kristal idealnya
 
1.3  Landasan Teori
     Bumi
 yang kita pijak ini  adalah bagian dari alam semesta yang begitu luas. 
Sistem tata surya kita  hanya satu dari milyaran bintang yang ada 
dijagat raya ini. Bisa kita  bayangkan betapa kecilnya Bumi ini bila 
dibandingkan dengan alam.
     Berbagai
 bahan pembentuk  Bumi terbentuk oleh proses alam yang panjang sejak 
terbentuknya Bumi.  Jangka waktu pembentukkan tersebut dapat kita 
ketahui dalam ilmu Geologi  dengan mengamati batuan-batuan yang ada di 
Bumi. Batuan adalah kumpulan  satu atau lebih mineral (terutama mineral 
golongan silika / pada  Bowen’s series).
     Yang
 dimaksud dengan Mineral sendiri adalah bahan  anorganik, terbentuk 
secara alamiah, seragam dengan komposisi kimia yang  tetap pada batas 
volumenya dan mempunyai kristal kerakteristik yang  tercermin dalam 
bentuk fisiknya. Jadi, untuk mengamati proses Geologi  dan sebagai unit 
terkecil dalam Geologi adalah dengan mempelajari  kristal.
      Kristalografi
 adalah suatu ilmu pengetahuan kristal yang  dikembangkan untuk 
mempelajari perkembangan dan pertumbuhan kristal,  termasuk bentuk, 
struktur dalam dan sifat-sifat fisiknya. Dahulu,  Kristalografi 
merupakan bagian dari Mineralogi. Tetapi karena  bentuk-bentuk kristal 
cukup rumit dan bentuk tersebut merefleksikan  susunan unsur-unsur 
penyusunnya dan bersifat tetap untuk tiap mineral  yang dibentuknya., 
maka pada akhir abad XIX, Kristalografi dikembangkan  menjadi ilmu 
pengetahuan tersendiri.
1.3.1  Pengertian  Kristal
     Kata “kristal” berasal dari  bahasa Yunani crystallon
 yang berarti tetesan yang  dingin atau beku. Menurut pengertian 
kompilasi yang diambil untuk  menyeragamkan pendapat para ahli, maka kristal
 adalah bahan  padat homogen, biasanya anisotrop dan tembus cahaya serta
 mengikuti  hukum-hukum ilmu pasti sehingga susunan bidang-bidangnya 
memenuhi hukum  geometri; Jumlah dan kedudukan bidang kristalnya selalu 
tertentu dan  teratur. Kristal-kristal tersebut selalu dibatasi oleh
 beberapa  bidang datar yang jumlah dan kedudukannya tertentu. 
Keteraturannya  tercermin dalam permukaan kristal yang berupa 
bidang-bidang datar dan  rata yang mengikuti pola-pola tertentu. 
Bidang-bidang ini disebut  sebagai bidang muka kristal. Sudut antara 
bidang-bidang muka kristal  yang saling berpotongan besarnya selalu 
tetap pada suatu kristal. Bidang  muka itu baik letak maupun arahnya 
ditentukan oleh perpotongannya  dengan sumbu-sumbu kristal. Dalam sebuah
 kristal, sumbu kristal berupa  garis bayangan yang lurus yang menembus 
kristal melalui pusat kristal.  Sumbu kristal tersebut mempunyai satuan 
panjang yang disebut sebagai  parameter.
     Bila ditinjau dan telaah lebih dalam mengenai  pengertian kristal, mengandung pengertian sebagai berikut :
1. Bahan padat homogen,  biasanya anisotrop dan tembus cahaya :
¨      tidak termasuk didalamnya cair dan gas
¨      tidak dapat diuraikan kesenyawa lain yang lebih  sederhana oleh proses fisika
¨      terbentuknya  oleh proses alam
2. Mengikuti hukum-hukum ilmu  pasti sehingga susunan bidang-bidangnya mengikuti hukum geometri :
¨      jumlah bidang suatu kristal selalu tetap
¨      macam atau model bentuk dari suatu bidang kristal  selalu tetap
¨      sifat keteraturannya tercermin pada bentuk luar dari  kristal yang tetap.
     Apabila
 unsur penyusunnya tersusun secara tidak  teratur dan tidak mengikuti 
hukum-hukum diatas, atau susunan kimianya  teratur tetapi tidak dibentuk
 oleh proses alam (dibentuk secara  laboratorium), maka zat atau bahan 
tersebut bukan disebut sebagai  kristal.
1.3.2  Proses Pembentukan Kristal
     Pada
 kristal ada beberapa  proses atau tahapan dalam pembentukan kristal. 
Proses yang di alami  oleh suatu kristal akan mempengaruhi sifat-sifat 
dari kristal tersebut.  Proses ini juga bergantung pada bahan dasar 
serta kondisi lingkungan  tempat dimana kristal tersebut terbentuk.
     Berikut ini adalah  fase-fase pembentukan kristal yang umumnya terjadi pada pembentukan  kristal :
¨      Fase
 cair ke padat : kristalisasi suatu lelehan atau  cairan sering terjadi 
pada skala luas dibawah kondisi alam maupun  industri. Pada fase ini 
cairan atau lelehan dasar pembentuk kristal akan  membeku atau memadat 
dan membentuk kristal. Biasanya dipengaruhi  oleh perubahan suhu lingkungan.
¨      Fase
 gas ke padat (sublimasi) : kristal dibentuk  langsung dari uap tanpa 
melalui fase cair. Bentuk kristal biasanya  berukuran kecil dan 
kadang-kadang berbentuk rangka (skeletal form). Pada  fase ini, kristal 
yang terbentuk adalah hasil sublimasi gas-gas yang  memadat karena 
perubahan lingkungan. Umumnya gas-gas tersebut adalah  hasil dari 
aktifitas vulkanis atau dari gunung api dan membeku karena  perubahan 
temperature.
¨      Fase
 padat ke padat : proses ini dapat terjadi pada  agregat kristal dibawah
 pengaruh tekanan dan temperatur (deformasi).  Yang berubah adalah 
struktur kristalnya, sedangkan susunan unsur kimia  tetap 
(rekristalisasi). Fase ini hanya mengubah kristal yang sudah  terbentuk 
sebelumnya karena terkena tekanan dan temperatur yang berubah  secara 
signifikan. Sehingga kristal tersebut akan berubah bentuk dan  
unsur-unsur fisiknya. Namun, komposisi dan unsur kimianya tidak berubah 
 karena tidak adanya faktor lain yang terlibat kecuali tekanan dan  
temperatur.
1.3.3  Sistem Kristalografi
     Dalam
 mempelajari dan  mengenal bentuk kristal secara mendetail, perlu 
diadakan pengelompokkan  yang sistematis. Pengelompokkan itu didasarkan 
pada perbangdingan  panjang, letak (posisi) dan jumlah serta nilai sumbu
 tegaknya.
     Bentuk
 kristal dibedakan  berdasarkan sifat-sifat simetrinya (bidang simetri 
dan sumbu simetri)  dibagi menjadi tujuh sistem, yaitu : Isometrik, 
Tetragonal, Hexagonal,  Trigonal, Orthorhombik, Monoklin dan Triklin.
     Dari
 tujuh sistem kristal  dapat dikelompokkan menjadi 32 kelas kristal. 
Pengelompokkan ini  berdasarkan pada jumlah unsur simetri yang dimiliki 
oleh kristal  tersebut. Sistem Isometrik terdiri dari lima kelas, sistem
 Tetragonal  mempunyai tujuh kelas, sistem Orthorhombik memiliki tiga 
kelas,  Hexagonal tujuh kelas dan Trigonal lima kelas. Selanjutnya 
Monoklin  mempunyai tiga kelas dan Triklin dua kelas.
  Tabel  1.1 Tujuh Sistem Kristal
|     
No 
 |        
Sistem   Kristal 
 |        
Axial   Ratio 
 |        
Sudut    Kristalografi 
 |   
|     
1 
 |        
Isometrik 
 |        
a = b = c 
 |         
α = β = γ = 90˚ 
 |   
|     
2 
 |        
Tetragonal 
 |        
a = b ≠ c 
 |         
α = β = γ = 90˚ 
 |   
|     
3 
 |        
Hexagonal 
 |        
a = b = d ≠ c 
 |        
α = β = 90˚ ; γ  = 120˚ 
 |   
|     
4 
 |        
Trigonal 
 |        
a = b = d ≠ c 
 |        
α = β = 90˚ ; γ  = 120˚ 
 |   
|     
5 
 |        
Orthorhombik 
 |        
a ≠ b ≠ c 
 |         
α = β = γ = 90˚ 
 |   
|     
6 
 |        
Monoklin 
 |        
a ≠ b ≠ c 
 |         
α = β = 90˚ ≠ γ 
 |   
|     
7 
 |        
Triklin 
 |        
a ≠ b ≠ c 
 |         
α ≠ β ≠ γ ≠ 90˚ 
 |   
1.3.3  Sumbu, Sudut dan Bidang Simetri
     Sumbu
 simetri adalah garis bayangan yang dibuat  menembus pusat kristal, dan 
bila kristal diputar dengan poros sumbu  tersebut sejauh satu putaran 
penuh akan didapatkan beberapa kali  kenampakan yang sama. Sumbu simetri dibedakan  menjadi tiga, yaitu : gire, giroide, dan sumbu inversi putar.
     Sudut
 simetri adalah  sudut antar sumbu-sumbu yang berada dalam sebuah 
kristal. Sudut-sudut  ini berpangkal (dimulai) pada titik persilangan 
sumbu-sumbu utama pada  kristal yang akan sangat berpengaruh pada bentuk
 dari kristal itu  sendiri.
      Bidang
 simetri adalah bidang bayangan yang dapat membelah  kristal menjadi dua
 bagian yang sama, dimana bagian yang satu merupakan  pencerminan 
(refleksi) dari bagian yang lainnya. Bidang simetri ini  dapat dibagi 
menjadi dua, yaitu bidang simetri aksial dan bidang simetri  menengah. 
Bidang simetri aksial bila bidang tersebut membagi kristal  melalui dua 
sumbu utama (sumbu kristal).
1.3.4  Proyeksi  Orthogonal
     Proyeksi
 orthogonal adalah salah satu metode  proyeksi yang digunakan untuk 
mempermudah penggambaran. Proyeksi  orthogonal ini dapat diaplikasikan 
hamper pada semua penggambaran yang  berdasarkan hukum-hukum geometri. 
Contohnya pada bidang penggambaran  teknik, arsitektur, dan juga 
kristalografi. Pada proyeksi orthogonal,  cara penggambaran adalah 
dengan menggambarkan atau membuat persilangan  sumbu. Yaitu dengan 
menggambar sumbu a,b,c dan seterusnya dengan  menggunakan sudut-sudut 
persilangan atau perpotongan tertentu. Dan pada  akhirnya akan membentuk
 gambar tiga dimensi dari garis-garis sumbu  tersebut dan membentuk 
bidang-bidang muka kristal.
     Pada
 praktikum  kristalografi yang dilakukan di laboratorium Kristalografi 
dan  Mineralogi jurusan Teknik Geologi, Institut Teknologi Medan.  
Penggambaran kristal menggunakan proyeksi penggambaran orthogonal ini.
Tabel 1.2 Penggambaran Tujuh Sistem Kristal
|     
No 
 |         
Sistem   Kristal 
 |        
Perbandingan   Sumbu 
 |        
Sudut    Antar Sumbu 
 |   
|     
1 
 |        
Isometrik 
 |        
a : b : c = 1 : 3 : 3 
 |        
a+^bˉ = 30˚ 
 |    
|     
2 
 |        
Tetragonal 
 |        
a : b : c = 1 : 3 : 6 
 |        
a+^bˉ = 30˚ 
 |    
|     
3 
 |        
Hexagonal 
 |        
a : b : c = 1 : 3 : 6 
 |        
a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚ 
 |    
|     
4 
 |        
Trigonal 
 |        
a : b : c = 1 : 3 : 6 
 |        
a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚ 
 |    
|     
5 
 |        
Orthorhombik 
 |        
a : b : c = sembarang 
 |        
a+^bˉ = 30˚ 
 |    
|     
6 
 |        
Monoklin 
 |        
a : b : c = sembarang 
 |        
a+^bˉ = 45˚ 
 |    
|     
7 
 |        
Triklin 
 |        
a : b : c = sembarang 
 |        
a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚ 
 |    
1.4  Aplikasi Kristalografi  Pada Bidang Geologi
     Pada
 bidang Geologi, mempelajari kristalografi  sangatlah penting. Karena 
untuk mempelajari ilmu Geologi, kite tentunya  juga harus mengetahui 
komposisi dasar dari Bumi ini, yaitu batuan. Dan  batuan sendiri 
terbentuk dari susunan mineral-mineral yang tebentuk oleh  proses alam. 
Dan pada bagian sebelumnya telah dijelaskan tentang  pengertian mineral 
yang dibentuk kristal-kristal.
     Dengan
 mempelajari  kristalografi, kita juga dapat mengetahui berbagai macam 
bahan-bahan  dasar pembentuk Bumi ini, dari yang ada disekitar kita 
hingga jauh  didasar Bumi. Ilmu kristalografi juga dapat digunakan untuk
 mempelajari  sifat-sifat berbagai macam mineral yang paling dicari oleh
 manusia.  Dengan alasan untuk digunakan sebagai perhiasan karena nilai 
estetikanya  maupun nilai guna dari mineral itu sendiri. Jadi, pada 
dasarnya,  kristalografi digunakan sebagai dasar untuk mempelajari ilmu 
Geologi itu  sendiri. Dengan alasan utama kristal adalah sebagai 
pembentuk Bumi yang  akan dipelajari.
BAB II
TATA CARA  PENDESKRIPSIAN
2.1  Jumlah Unsur Simetri
     Jumlah
 unsur simetri adalah notasi-notasi yang  digunakan untuk menjelaskan 
nilai-nilai yang ada dalam sebuah kristal,  nilai sumbu-sumbunya, jumlah
 bidang simetrinya, serta titik pusat dari  kristal tersebut. Dengan
 menentukan nilai  jumlah unsur simetri, kita akan dapat mengetahui 
dimensi-dimensi yang  ada dalam kristal tersebut, yang selanjutnya akan 
menjadi patokan dalam  penggambarannya.
     Unsur simetri yang diamati adalah sumbu, bidang,  dan pusat simetri. Cara penentuannya adalah sebagai berikut:
¨      Pada
 posisi kristal dengan salah satu sumbu  utamanya, lakukan pengamatan 
terhadap nilai sumbu simetri yang ada.  Pengamatan dapat dilakukan 
dengan cara memutar kristal dengan poros pada  sumbu utamanya.
¨      Perhatikan keterdapatan sumbu simetri tambahan, jika  ada tentukan jumlah serta nilainya. Menentukan nilainya sama  dengan pada sumbu utama.
¨      Amati keterdapatan bidang simetri pada setiap  pasangan sumbu simetri yang ada pada kristal.
¨      Amati bentuk kristal terhadap susunan persilangan  sumbunya, kemudian tentukan ada tidaknya titik pusat kristal.
¨      Jumlahkan semua sumbu dan bidang simetri (yang  bernilai sama) yang ada.
2.2  Herman-Mauguin
     Dalam
 pembagian Sistem  kristal, ada 2 simbolisasi yang sering digunakan. 
Yaitu Herman-Mauguin  dan Schoenflish. Simbolisasi tersebut adalah 
simbolisasi yang dikenal  secara umum (simbol Internasional).
     Simbol
 Herman-Mauguin  adalah simbol yang menerangkan ada atau tidaknya bidang
 simetri dalam  suatu kristal yang tegak lurus terhadap sumbu-sumbu 
utama dalam kristal  tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati 
sumbu dan bidang yang  ada pada kristal tersebut.
     Pemberian
 simbol Herman-Mauguin ini akan berbeda  pada masing-masing kristal. Dan
 cara penentuannya pun berbeda pada tiap  Sistem Kristal.
1.  Sistem Isometrik
¨      Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu utama, mungkin  bernilai 2, 4, atau 4.
¨      Bagian 2 : Menerangkan Sumbu tambahan pada arah 111,  apakah bernilai
                       3  atau 3.
¨      Bagian 3 : Menerangkan sumbu tambahan bernilai 2  atau tidak bernilai
                       yang  memiliki arah 110 atau arah lainnya yang terletak tepat
                        diantara dua buah sumbu utama.
2.  Sistem Tetragonal
¨      Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin  mungkin bernilai 4 atau
                       4.
¨      Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
¨      Bagian 3 : Menerangkan nilai sumbu tambahan yang  terletak tepat
                        diantara dua sumbu utama lateral.
¨      Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin  bernilai 6 atau 3.
¨      Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
¨      Bagian 3 : Menerangkan ada tidaknya nilai sumbu  tambahan yang terletak
                       tepat  diantara dua sumbu utama horizontal, berarah 1010.
4.  Sistem Orthorhombik
       Terdiri atas tiga bagian,  yaitu dengan menerangkan nilai sumbu-sumbu utama dimulai dari sumbu a,  b, dan kemudian c.
5.  Sistem  Monoklin
       Pada sistem ini hanya  terdiri dari satu bagian, yaitu hanya menerangkan nilai sumbu b.
6.  Sistem Triklin
       Untuk sistem ini hanya  mempunyai dua kelas simetri yang menerangkan keterdapatan pusat simetri  kristal.
      Keseluruhan
 bagian tersebut diatas harus diselidiki ada  tidaknya bidang simetri 
yang tegak lurus terhadap sumbu yang dianalisa.  Jika ada, maka 
penulisan nilai sumbu diikuti dengan huruf “m” (bidang  simetri) 
dibawahnya. Kecuali untuk sumbu yang bernilai satu ditulis  dengan “m” 
saja.
     Berikut ini adalah beberapa contoh penulisan  simbol Herman-Mauguin dalam pendeskripsian kristal :
¨      6/m : Sumbu simetri bernilai 6 dan terhadapnya  terdapat bidang simetri yang tegak lurus.
¨      6 : Sumbu simetri bernilai 3, namun tidak ada bidang  simetri yang tegak lurus terhadapnya.
¨      m : Sumbu simetri bernilai 1 atau tidak bernilai dan  terhadapnya terdapat bidang simetri yang tegak lurus.
2.3  Schoenflish
     Simbolisasi
 Scoenflish digunakan untuk menandai  atau memberi simbol pada 
unsur-unsur simetri suatu kristal. Seperti  sumbu-sumbu dan 
bidang-bidang simetri. Simbolisasi Schoenflish akan  menerangkan 
unsur-unsur tersebut dengan menggunakan huruf-huruf dan  angka yang 
masing-masing akan berbeda pada setiap kristal.
     Berbeda
 dengan  Herman-Mauguin yang pemberian simbolnya berbeda-beda pada 
masing-masing  sistemnya, pada Schoenflish yang berbeda hanya pada 
sistem Isometrik.  Sedangkan system-sistem yang lainnya sama cara 
penentuan simbolnya.
1.  Sistem  Isometrik
     Pada sistem ini, simbolisasi yang dilakukan hanya  terdiri dari 2 bagian, yaitu :
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, apakah bernilai  2 atau 4.
¨      Bila bernilai 4, maka dinotasikan dengan huruf O  (Octaheder)
¨      Bila bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf T  (Tetraheder)
Bagian  2 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri.
¨      Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical  dan diagonal. Maka diberi notasi huruf h.
¨      Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan  vertical. Maka diberi notasi huruf h.
¨      Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal.  Maka diberi notasi huruf v.
¨      Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal. Maka  diberi notasi huruf d.
2.  Sistem Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik,  Monoklin dan
          Triklin
     Pada sistem-sistem ini,  simbolisasi Schoenflish yang dilakukan terdiri dari 3 bagian, yaitu :
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu lateral atau  sumbu tambahan, ada 2
                 kemungkinan :
¨      Kalau bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf D  (Diedrish)
¨      Kalau tidak bernilai, maka dinotasikan dengan huruf C  (Cyklich)
Bagian  2 : Menerangkan nilai dari sumbu c. penulisan dilakukan dengan
                 menuliskan  nilai angka nilai sumbu c tersebut didepan huruf D atau C
                 (dari bagian  1) dan ditulis agak kebawah.
Bagian 3 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri. Penulisan  dilakukan dengan
                 menuliskan huruf yang sesuai sejajar dengan huruf  dari bagian 1.
¨      Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical  dan diagonal. Maka dinotasikan dengan huruf h.
¨      Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan  vertical. Maka dinotasikan dengan huruf h.
¨      Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal.  Maka dinotasikan dengan huruf v.
¨      Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal saja.  Maka dinotasikan dengan huruf d.
  Tabel 2.1 Contoh Simbolisasi Schoenflish
|     
No 
 |        
Kelas   Simetri 
 |        
Notasi    (Simbolisasi) 
 |   
|     
1 
 |        
Hexotahedral 
 |        
Oh 
 |   
|     
2 
 |        
Ditetragonal    Bipyramidal 
 |        
D4h 
 |   
|     
3 
 |        
Hexagonal    Pyramidal 
 |        
D6h 
 |   
|     
4 
 |        
Trigonal    Pyramidal 
 |        
C3v 
 |   
|     
5 
 |        
Rhombik    Pyramidal 
 |        
C2v 
 |   
|     
6 
 |        
Rhombik    Dipyramidal 
 |        
C2h 
 |   
|     
7 
 |        
Rhombik    Disphenoidal 
 |        
C2 
 |   
|     
8 
 |        
Domatic 
 |        
Cv 
 |   
|     
9 
 |        
Pinacoidal 
 |        
C 
 |   
|     
10 
 |        
Pedial 
 |        
C 
 |   
4.2    Indeks Miller-Weiss
     Indeks
 Miller dan Weiss adalah salah satu indeks  yang sangat penting, karena 
indeks ini digunakan pada ancer semua ilmu  matematika dan struktur 
kristalografi. Indeks Miller dan Weiss pada  kristalografi menunjukkan 
adanya perpotongan sumbu-sumbu utama oleh  bidang-bidang atau sisi-sisi 
sebuah kristal. Nilai-nilai pada indeks ini  dapat ditentukan dengan 
menentukan salah satu bidang atau sisi kristal  dan memperhatikan apakah
 sisi atau bidang tersebut memotong sumbu-sumbu  utama (a, b dan c) pada
 kristal tersebut.
     Selanjutnya
 setelah  mendapatkan nilai perpotongan tersebut, langkah yang harus 
dilakukan  selanjutnya adalah menentukan nilai dari indeks Miller dan 
Weiss itu  sendiri. Penilaian dilakukan dengan mengamati berapa nilai 
dari  perpotongan sumbu yang dilalui oleh sisi atau bidang tersebut.  
Tergantung dari titik dimana sisi atau bidang tersebut memotong  
sumbu-sumbu kristal. 
     Pada
 dasarnya, indeks Miller dan Weiss tidak jauh  berbeda. Karena apa yang 
dijelaskan dan cara penjelasannya sama, yaitu  tentang perpotongan sisi 
atau bidang dengan sumbu simetri kristal. Yang  berbeda hanyalah pada 
penentuan nilai indeks. Bila pada Miller nilai  perpotongan yang telah 
didapat sebelumnya dijadikan penyebut, dengan  dengan nilai pembilang 
sama dengan satu. Maka pada Weiss nilai  perpotongan tersebut menjadi 
pembilang dengan nilai penyebut sama dengan  satu. Untuk indeks Weiss, 
memungkinkan untuk mendapat nilai indeks  tidak terbatas, yaitu jika 
sisi atau bidang tidak memotong sumbu (nilai  perpotongan sumbu sama 
dengan nol). Dalam praktikum laboratorium  Kristalografi dan Mineralogi 
jurusan Teknik Geologi, ITM, disepakati  bahwa nilai tidak terbatas ( ~ )
 tersebut digantikan dengan atau  disamakan dengan tidak mempunyai nilai
 (0). Indeks Miller-Weiss ini juga  disebut sebagai ancer bentuk. Hal 
ini adalah karena indeks ini juga  akan mencerminkan bagaimana bentuk 
sisi-sisi dan bidang-bidang yang ada  pada kristal terhadap sumbu-sumbu 
utama kristalnya.
BAB  III
SISTEM KRISTAL DAN DESKRIPSI
3.1    Sistem Isometrik
Gambar 3.1 Sistem Isometrik
     Sistem
 ini juga disebut ancer regular, atau bahkan  sering dikenal sebagai 
ancer kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya  ada 3 dan saling tegak 
lurus satu dengan yang lainnya. Dengan  perbandingan panjang yang sama 
untuk masing-masing sumbunya. 
     Pada
 kondisi sebenarnya,  system Isometrik memiliki axial ratio 
(perbandingan sumbu a = b = c,  yang artinya panjang sumbu a sama dengan
 sumbu b dan sama dengan sumbu  c. Dan juga memiliki sudut kristalografi
 α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, semua sudut  kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus  satu sama lain (90˚).
     Pada
 penggambaran dengan menggunakan proyeksi  orthogonal, ancer Isometrik 
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3  : 3. Artinya, pada sumbu a
 ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b  ditarik garis dengan nilai 
3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan  nilai 3 (nilai bukan patokan, 
hanya perbandingan). Dan sudut antar  sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini  menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap  sumbu bˉ.
      Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik  ini adalah gold, copper, pyrope, platinum, halite dan spinel.
4.2    Sistem Tetragonal
Gambar 3.2 Sistem Tetragonal
     Sama
 dengan system Isometrik, ancer ini mempunyai 3  sumbu kristal yang 
masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b  mempunyai satuan 
panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih  panjang atau 
lebih pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.
     Pada
 kondisi sebenarnya,  ancer Tetragonal memiliki axial ratio 
(perbandingan sumbu) a = b ≠ c ,  yang artinya panjang sumbu a sama 
dengan sumbu b tapi tidak sama dengan  sumbu c. Dan juga memiliki sudut 
kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, semua sudut  kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus  satu sama lain (90˚).
     Pada
 penggambaran dengan menggunakan proyeksi  orthogonal, ancer Tetragonal 
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 :  3 : 6. Artinya, pada sumbu a
 ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b  ditarik garis dengan nilai 
3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6  (nilai bukan patokan, hanya
 perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini  menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap  sumbu bˉ.
      Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Tetragonal  ini adalah zircon, beryl, apatite, erionite dan nepheline. 
4.2    Sistem Hexagonal
Gambar 3.3 Sistem Hexagonal
     Sistem
  ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap  
ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut  
120˚ terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d
  memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih 
panjang  atau lebih pendek (umumnya lebih panjang).
     Pada
 kondisi sebenarnya,  ancer Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan
 sumbu) a = b = d ≠ c ,  yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b  dan  sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki  sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ =  120˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak  lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.
     Pada
 penggambaran dengan menggunakan proyeksi  orthogonal, ancer Hexagonal 
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3  : 6. Artinya, pada sumbu a
 ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b  ditarik garis dengan nilai 
3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6  (nilai bukan patokan, hanya
 perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+=  40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara  sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ  membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
     Beberapa contoh  mineral dengan ancer kristal Hexagonal ini adalah calcite, alunite,  dolomite, siderite, dan smithsonite. 
4.2    Sistem Trigonal
Gambar 3.4 Sistem Trigonal
     Beberapa
 ahli memasukkan ancer ini kedalam system  Hexagonal. Demikian pula cara
 penggambarannya juga sama. Perbedaannya,  bila pada ancer Trigonal 
setelah terbentuk bidang dasar, yang terbentuk  segienam, kemudian 
dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik  sudut yang melewati 
satu titik sudutnya.
     Pada
 kondisi sebenarnya,  ancer Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan 
sumbu) a = b = d ≠ c ,  yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b  dan  sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki  sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ =  120˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak  lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.
     Pada
 penggambaran dengan menggunakan proyeksi  orthogonal, ancer Trigonal 
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3  : 6. Artinya, pada sumbu a
 ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b  ditarik garis dengan nilai 
3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6  (nilai bukan patokan, hanya
 perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+=  40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara  sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ  membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
     Beberapa contoh  mineral dengan ancer kristal Trigonal ini adalah quartz, brulite,  bentonite, gratonite, dan tourmaline.
4.2    Sistem Orthorhombik
Gambar 3.5 Sistem Orthorhombik
     Sistem
 ini disebut juga ancer Rhombis dan mempunyai 3  sumbu simetri kristal 
yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya.  Ketiga sumbu tersebut
 mempunyai panjang yang berbeda.
     Pada
 kondisi sebenarnya,  ancer Orthorhombik memiliki axial ratio 
(perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c ,  yang artinya panjang sumbu-sumbunya 
tidak ada yang sama panjang atau  berbeda satu sama lain.. Dan juga 
memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, ketiga  sudutnya saling tegak lurus (90˚).
     Pada
 penggambaran dengan  menggunakan proyeksi orthogonal, ancer 
Orthorhombik memiliki  perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya
 tidak ada patokan yang  akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya
 pada ancer ini. Dan  sudut antar sumbunya a+^bˉ  = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+  memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
     Beberapa contoh  mineral dengan ancer kristal Orthorhombik ini adalah brite, celestite,  aragonite, cerussite, dan witherite.
4.2    Sistem Monoklin
Gambar 3.6 Sistem Monoklin
     Monoklin
 artinya hanya mempunyai satu sumbu yang  miring dari tiga sumbu yang 
dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap  sumbu n; n tegak lurus 
terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak  lurus terhadap sumbu a. 
Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang  tidak sama, umumnya sumbu c
 yang paling panjang dan sumbu b paling  pendek.
      Pada
 kondisi sebenarnya, ancer Monoklin memiliki axial ratio  (perbandingan 
sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya  tidak ada yang 
sama panjang atau berbeda satu sama lain.. Dan juga  memiliki sudut 
kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini  berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring).
     Pada
 penggambaran dengan  menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Monoklin 
memiliki perbandingan  sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada 
patokan yang akan menjadi  ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada ancer
 ini. Dan sudut antar  sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini  menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap  sumbu bˉ.
      Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin  ini adalah azurite, kernite, malachite, colemanite dan ferberite.
4.2    Sistem Triklin
Gambar 3.7 Sistem Triklin
     Sistem
 ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu  dengan yang lainnya tidak 
saling tegak lurus. Demikian juga panjang  masing-masing sumbu tidak 
sama.
     Pada
 kondisi sebenarnya,  ancer Triklin memiliki axial ratio (perbandingan 
sumbu) a ≠ b ≠ c , yang  artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang 
sama panjang atau berbeda  satu sama lain.. Dan juga memiliki sudut 
kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, sudut α, β dan γ tidak saling tegak lurus satu dengan yang  lainnya.
     Pada
 penggambaran dengan menggunakan proyeksi  orthogonal, ancer Triklin 
memiliki perbandingan sumbu a : b : c =  sembarang. Artinya tidak ada 
patokan yang akan menjadi ukuran panjang  pada sumbu-sumbunya pada ancer
 ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini menjelaskan  bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ  membentuk sudut 80˚ terhadap c+.
     Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal  Triklin ini adalah turquoise, kyanite, albite, microklin dan anorthite.
BAB IV
KESIMPULAN  DAN SARAN
4.2    Kesimpulan
     Dengan
 mempelajari dan melakukan praktikum tentang  Kristalografi yang menjadi
 bagian dari praktikum Kristalografi dan  Mineralogi. Dapat saya ambil 
kesimpulan bahwa betapa pentingnya untuk  dapat mengenal, mengetahui dan
 menguasai ilmu tentang kristal dalam  studi Geologi. Karena kristal 
sendiri adalah merupakan salah satu dasar  yang paling penting dalam 
ilmu Geologi itu sendiri. Hal tersebut  dikarenakan oleh kristal menjadi
 salah satu dasar untuk mempelajari ilmu  tentang mineral yang akan 
dipelajari pada tahap selanjutnya. Jika tidak  menguasai dan mengenal 
tentang kristal, akan sangat sulit untuk  selanjutnya memmahami 
Mineralogi, dan mineral itu sendiri adalah  pembentuk batuan, sedangkan 
batuan itu adalah inti dari Geologi. Hal ini  juga menyebabkan 
Kristalografi dan Mineralogi menjadi syarat untuk  dapat melanjutkan 
studi pada mata kuliah dan praktikum Petrologi yang  akan dipelajari 
selanjutnya.
     Selama
 melakukan praktikum  Kristalografi, praktikan diharapkan mampu 
mengenal, mengklasifikasi,  mendeskripsi serta menggambar sketsa dari 
masing-masing ancer kristal  yang ada, yaitu, Isometrik, Tetragonal, 
Hexagonal, Trigonal,  Orthorhombik, Monoklin serta Triklin. Dan tentu 
saja praktikan  diharapkan mampu untuk mengetahui defenisi dari kristal 
itu sendiri,  proses-proses pembentukkannya, dan juga mengetahui 
ancer-unsur yang ada  pada kristal itu sendiri. Seperti sumbu simetri, 
sudut simetri, dan juga  bidang simetri. Selain itu praktikan juga harus
 mengetahui aplikasi  dari Kristalografi itu sendiri, khususnya dibidang
 Geologi.
     Dalam
 praktikum  Kristalografi yang dilakukan dilaboratorium Kristalografi 
dan Mineralogi  pada jurusan Teknik Geologi, Institut Teknologi Medan. 
Digunakan  proyeksi Orthogonal dalam melakukan penggambaran atau sketsa 
kristal.  Metode penggambaran ini dilakukan dengan menggunakan 
persilangan sumbu  yang akan menghasilkan sketsa tiga dimensi dari 
kristal. Penggambaran  kristal dilakukan sesuai dengan hasil deskripsi 
kristal yang telah  dilakukan. Pendeskripsian dilakukan dengan 
langkah-langkah menentukan  jumlah ancer-unsur simetri, kelas simetri, 
simbolisasi Herman-Mauguin,  simbolisasi Schoenflish, indeks 
Miller-Weiss serta menentukan nama  bentuk kristal dan contoh-contoh 
mineralnya.
     Setelah
 mempelajari dan  melakukan praktikum Kristalografi, diharapkan untuk 
kedepannya dalam  mempelajari Mineralogi akan dapat lebih mudah dengan 
memiliki  dasar-dasar yang telah didapat pada Kristalografi.
4.2    Saran
     Selama
 mempelajari dan melakukan praktikum  Kristalografi, telah banyak yang 
dapat kita pelajari. Baik dalam hal  ilmu tentang kristal itu sendiri 
pada khususnya serta tentang aplikasi  dan manfaatnya dalam bidang 
Geologi dan juga dikehidupan sehari-hari.
     Dalam
 melakukan praktikum  Kristalografi, dapat kita sadari bersama ada 
beberapa kekurangan yang  cukup menghambat berjalannya proses praktikum.
 Salah satu yang paling  dapat dirasakan adalah kurangnya jumlah sampel 
(contoh) kristal yang ada  dilaboratorium Kristalografi dan Mineralogi. 
Maka diharapkan agar  kedepannya kekurangan tersebut dapat ditutupi 
sehingga proses praktikum  yang dilakukan dapat berjalan ancer. Dan satu
 hal lagi yang juga perlu  diperhatikan adalah waktu praktikum yang 
kadang tidak tepat pada  waktunya. Diharapkan agar untuk kedepannya kita
 dapat sama-sama untuk  menjaga hal tersebut agar tidak terulang atau 
paling tidak dikurangi.  Dengan begitu diharapkan praktikum yang 
dilakukan dapat lebih baik lagi.
     Namun
 pada dasarnya,  diluar kekurangan-kekurangan yang ada. Praktikum yang 
dilakukan sudah  cukup baik. Dan tentu saja kita semua berharap agar 
dapat terus lebih  baik lagi dimasa depan.
DAFTAR  PUSTAKA
Asisten, Team. 2003. “Penuntun Praktikum Kristalografi  dan Mineralogi”.
     UPN veteran Yogyakarta
Firdaus. 2008. ”Kristalografi”. http:/firdaus.unhalu.ac.id  Diperoleh  Tanggal 29
     November  2009
Mondadori, Arlondo. 1977. ”Simons  & Schuster’s Guide to Rocks and
     Minerals”. Milan : Simons & Schuster’s Inc.
Noor, D. 2008. ”Pengantar Geologi”. Bogor :  Universitas Pakuan
Prawira Budi,  Triton. 2009. “Mengenal Sains : Sejarah Bumi dan Bencana
     Alam.” Yogyakarta : Tugu Publisher
Salisbury,  Edwar Dana. 1921. ”A Textbook of Mineralogy”. New York :  John
     Wiley &  Sons.
Wijayanto, Andika. 2009. “Kristalografi”.  

0 comments:
Posting Komentar