geografi lingkungan

Khoirunnas anfa'uhum linnas

Minggu, 05 November 2023

ZONA GEMPA SUBDUKSI BENIOFF



  ZONA BERLAGE-WADATI
Dalam ilmu geologi tektonik, yaitu bagian geologi yang membahas pergerakan lempeng-lempeng litosfer (lempeng litosfer: segmen/pecahan litosfer) dan struktur-struktur regional di kerak Bumi yang diakibatkan pergerakan itu (misalnya pegunungan, cekungan samudra), terkenal istilah subduksi (subduction).
Subduksi adalah proses menunjamnya lempeng oseanik/samudra ke bawah lempeng yang lain (bisa lempeng oseanik atau kontinental/benua) ketika lempeng-lempeng ini bergerak bertemu (konvergensi). Dalam istilah bahasa Indonesia, subduksi suka disebut penunjaman. Karena ia merupakan jalur atau zona, maka disebut jalur atau zona subduksi.
Istilah subduction sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Andre Amstutz pada tahun 1951.
---
Zona penunjaman lempeng samudra di permukaan dicirikan oleh jalur palung samudra, zona ini miring mendalam menjauhi palung menuju mantel Bumi. Zona subduksi ini merupakan sumber gempa bermagnitudo menengah-kuat. Bagian lempeng yang menunjam langsung di bawah kerak benua – artinya kerak/lempeng samudra di sini saling beradu dengan kerak benua, adalah bagian subduksi yang paling sering menimbulkan gempa kuat dan relatif dangkal, sehingga sangat berbahaya sebab bisa mengguncang permukaan dengan sangat kuat termasuk menimbulkan tsunami yang besar bila episentrum gempa di bawah kolom laut. Bagian subduksi ini sekarang terkenal disebut zona megathrust. Gempa Aceh 26 Desember 2004 dengan magnitudo 9,2 yang menimbulkan tsunami besar ke pantai-pantai Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika Timur menelan korban jiwa sekitar 1/4 juta orang adalah jenis gempa megathrust.
Zona subduksi lempeng samudra ini jadi dibuktikan keberadaannya oleh sumber-sumber gempa yang terjadi di sepanjang subduksi itu sendiri, baik pada pertemuannya dengan kerak/lempeng samudra maupun subduksi yang lebih dalam lagi sampai masuk ke dalam mantel atas Bumi. Tercatat kedalaman sumber gempa subduksi itu dari 10 km sampai 700 km.
Adalah Victor Hugo Benioff seorang ahli seismologi yang bekerja di California Amerika Serikat yang oleh dunia barat dikenal sebagai penemu zona gempa subduksi ini. Benioff melakukan penelitiannya pada tahun 1949 di dua area palung yaitu Palung Tonga-Kermadec di utara Selandia Baru, dan Palung di sebelah barat Amerika Selatan. Di kedua tempat itu Benioff menemukan bahwa sumber-sumber gempa terdapat pada suatu bidang miring pada sudut sekitar 45° menjauhi palung mendalam menuju mantel. Benioff mempublikasikan penemuannya ini dalam suatu makalah berjudul: “Seismic evidence for crustal structure and tectonic activity” pada 1955 dalam Simposium Crust of the Earth yang diadakan oleh Geological Society of America.
Saat itu teori tektonik lempeng belum ada, istilah subduksi baru dikemukakan Amstutz pada 1951. Tetapi saat penelitian-penelitian terkait tektonik lempeng yang muncul pada sepanjang tahun 1960-an, termasuk masalah kegempaan pada zona subduksi, maka kegempaan di wilayah subdukdi itu disebut sebagai Zona Benioff, atau subduksi sendiri suka disebut Zona Benioff.
Saya saat masih menjadi mahasiswa geologi dan belajar tektonik pada pertengahan tahun 1980-an, diajarkan pula bahwa gempa di zona subduksi itu sebagai Zona Benioff. Karena zona subduksi memagari wilayah Indonesia di bagian selatan juga sebagian wilayah utara dan timur lautnya maka dikatakan bahwa Zona Benioff pun memagari sebagian besarwilayah Indonesia.
---
Tetapi dunia Barat tidak tahu keberadaan dua ahli seismologi ini yang menemukan zona gempa subduksi serupa yang ditemukan Hugo Benioff, tetapi mereka menemukannya lebih awal, lebih dari 20 tahun sebelum Benioff. Mereka adalah Kiyoo Wadati seismolog Jepang yang meneliti gempa menengah dan dalam di wilayah Jepang, dan Hendrik Berlage, seismolog Belanda yang meneliti gempa menengah dan dalam di wilayah Hindia Belanda, Indonesia sekarang.
Wadati mulai meneliti gempa menengah dan dalam di berbagai area Jepang dari tahun 1928 sampai 1934, menggambarkan frekuensi dan distribusi sumbernya. Lalu pada tahun 1935 ia mengkompilasi hasil-hasil peneltiannya dan menggambarkan kontur kedalaman gempa-gempa menengah dan dalam di wilayah Jepang. Dari kontur ini Wadati menemukan bahwa zonasi gempa ini miring mendalam menuju mantel menjauhi Palung Jepang ke arah benua Asia. Itulah zona subduksi Jepang. Wadati menemukannya tahun 1935 atau 20 tahun sebelum Benioff mempublikan penemuan gempa subduksi yang sama dari Palung Tonga-Kermadec dan dari Palung Amerika Selatan.
Kiyoo Wadati telah menuliskan penelitian-penelitiannya itu yang dari tahun 1928 tetapi secara lokal yaitu dalam jurnal geofisika Jepang dan berbahasa Jepang. Tentu saat-saat itu belum biasa melakukan publikasi di jurnal-jurnal internasional, selain mungkin sebagian besar jurnalnya sendiri belum ada. Para ilmuwan di Eropa atau Amerika Serikat pun sebenrnya mempublikasikan penelitian mereka di jurnal-jurnal lokal di negara mereka dalam bahasa nasional mereka.
Publikasi penemuan zona gempa subduksi oleh Kiyoo Wadati pada tahun 1935 dalam versi berbahasa Inggris adalah: Wadati, K., 1935, On the activity of deep-focus earthquakes in the Japan islands and neighbourhoods: Geophysical Magazine, v. 8, pp. 305–325.
Dunia Barat kemudian mengetahui hal ini, lalu mengubah nama Zona Benioff itu menjadi Zona Wadati-Benioff. Meskipun masih banyak yang menggunakan nama Zona Benioff saja, mungkin karena namanya lebih pendek, atau memang tidak tahu tentang penelitaian Kiyoo Wadati.
---
Tetapi dunia geologi, dan sebagian besar dari kita, masih tidak mengetahui tokoh yang satu ini, yang menemukan zona gempa subduksi yang sama yang ditemukan oleh Wadati dan Benioff, pada saat yang bersamaan dengan penelitian Wadati, dan 18 tahun lebih awal dari publikasi Benioff tentang penemuannya.
J.T. (Han) van Gorsel mengangkat kisah penelitian pionir/tokoh di Hindia Belanda ini dalam buku barunya “Pioneers and Milestones of Indonesian Geology”, volume 3, tahun 2022, halaman 343-345.
Hendrik Petrus Berlage, nama tokoh itu, seorang ahli seismologi Belanda. Berlage bekerja di Batavia, Hindia Belanda, selama 25 tahun dari 1925-1950. Berlage bekerja di Koninklijke Magnetisch en Meteorologisch Observatorium (KMMO). Lembaga ini selain mengumpulkan data magnetik dan cuaca, juga mencatat data-data gempa. Saat itu peralatan seismograf telah ditemukan, sehingga lokasi sumber gempa dan magnitudonya dapat ditentukan dengan tepat.
Sebelum datang ke Batavia dalam rangka menyelesaikan studi doktornya di University of Zurich, Berlage telah berhubungan dengan permasalahan gempa-gempa menengah dan dalam di Hindia Belanda. Ia mengumpulkan data gempa-gempa tersebut dari gempa yang terjadi mulai tahun 1918. Berlage menyelesaikan pendidikan doktornya pada tahun 1924. Lalu ia bekerja sebagai seismologist di KMMO Batavia mulai tahun 1925.
Selain pekerjaannya memantau kejadian gempa-gempa di Hindia Belanda, Berlage melanjutkan penelitiannya tentang gempa menengah dan dalam dengan cakupan data lebih besar, yaitu untuk gempa-gempa yang terjadi pada tahun 1918-1936. Akhirnya Berlage menuliskan dan mempublikasikan peneltiannya itu pada tahun 1937. Berlage menemukan bahwa distribusi gempa menengah dan dalam terjadi secara sistematik mendalam membentuk bidang miring menjauhi palung ke arah mantel menuju benua Asia. Itulah gempa subduksi, seperti yang dipublikasikan Wadati (1935) dan Benioff (1955). Judul publikasi Berlage adalah: Berlage, H.P., 1937, A provisional catalogue of deep-focus earthquakes in the Netherlands East Indies, 1918-1936, Gerlands Beitrage Geophysik 50, p. 7-17.
---
Bila melihat waktu mulai penelitian sampai publikasi tentang gempa-gempa di zona subduksi itu, maka Hendrik Berlage telah memulainya dari tahun 1923 – 1937 (14 tahun), Kiyoo Wadati dari tahun 1928 – 1935 (7 tahun), dan Hugo Benioff dari tahun 1949 – 1955 (6 tahun).
Jadi Hendrik Berlage yang melakukan penelitian itu paling lama di samping cakupan wilayahnya pun yang paling luas -di seluruh palung di Hindia Belanda.
Tetapi mengapa dunia tidak tahu tentang penelitian Hendrik Berlage, baik dahulu, maupun sekarang -tidak banyak dari kita (geolog & seismolog Indonesia) yang sampai sekarang pun tidak mengetahuinya. Hanya oleh penelitian yang luar biasa tekun dari Han van Gorsel atas literatur-literatur lama geologi-geosains Indonesia, tokoh ini bisa kita ketahui.
Maka tidak berlebihan bila Zona Wadati-Benioff itu berdasarkan sejarah penelitian dan penemuan gempa subduksi mungkin lebih tepat disebut Zona Wadati-Berlage, seperti usul Han van Gorsel (2022), atau masih beralasan meurut hemat saya bila menyebutnya Zona Berlage-Wadati.
Tetapi nama Zona Benioff sudah terlanjur populer, nama Wadati-Benioff pun belum banyak yang menggunakannya, apalagi nama Zona Wadati-Berlage atau Zona Berlage-Wadati.
---
Lepas dari persoalan nama itu, sebagai seorang geolog Indonesia, saya berkali-kali berbangga dengan Negeri ini, sebab geologi wilayah ini mendunia, berkontribusi atas teori-teori penting tektonik global, dalam hal ini subduksi.
Tetapi belum selesai cerita geologi di Negeri ini. Subduksinya aktif, lempeng samudranya masih terus menunjam di bawah kita , gempa demi gempa masih terjadi, nanti yang besar dan kuat pun akan terjadi lagi, bisa diiringi tsunami besar juga. Mitigasi harus semakin baik. Subduksi tuanya jutaan tahun lalu telah menghasilkan banyak gunungapi, banyak yang telah mati, yang masih hidup pun banyak, dan mineralisasi telah dipengaruhinya membuat Negeri ini dari zaman kuna telah terkenal sebagai swarnadwipa -pulau emas.

Kontur kedalaman zona gempa (dalam ratusan km) menunjukkan kedalaman dan arah subduksi lempeng samudra (Berlage, 1937), dalam van Gorsel (2022).
Subduksi, penunjaman, lempeng samudra ke bawah lempeng benua, dan sumber-sumber gempa di bidang subduksi tersebut.


1 comments:

Apakah terdapat studi atau penelitian terkini yang memberikan wawasan baru tentang zona penunjaman lempeng dan zona megathrust? Regards Telkom University
 

Posting Komentar