KARAKTERISTIK EKONOMI DALAM ISLAM
Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk menguasai dan memanfaatkan sektor-sektor dan kegiatan ekonomi dalam skala yang lebih luas dan komprehensif, seperti perdagangan, industri, pertanian, keuangan, jasa dan sebagainya yang ditujukan untuk kemaslahatan dan kepentingan bersama. Firman Allah swt, dalam QS an-Nur (24): 37
(rijaalunlaa tullaihim tijaraatun walaa bayy’unan dzikrillahi waiqamii shalata waithaidzakati, yakhafuuna yuman tataqhalabufihilqulubu walabhsharu)
“ Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”
Dalam melakukan kegiatan ekonomi, al-Qur’an melarang umat Islam mempergunakan cara-cara yang bathil, seperti dengan melakukan kegiatan riba, melakukan penipuan, mempermainkan takaran dan timbangan, berjudi, melakukan praktek suap menyuap, dan cara-cara lainnya, sebagaimana firman Allah dalam QS al-Baqarah (2) : 188 yang artinya:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.”
Pandangan dunia Islam, membebani suatu kewajiban moral bagi setiap warga masyarakat untuk berusaha semaksimal mungkin mengembangkan persaudaraan dan keadilan sosioekonomi sedemikian rupa sehingga realisasinya, dan bukan keabsenannya menjadi karakteristik yang menonjol pada masyarakat. Dalam lapangan ekonomi, hal ini merupakan pembangunan yang berkeadilan dan mewujudkan stabilitas untuk mencapai pemenuhan kebutuhan, kesempatan kerja penuh, dan distribusi pendapatan serta kekayaan yang merata tanpa harus mengalami ketidakseimbangan yang berkepanjangan.
Pendekatan Islam yang berdimensi empat (melengkapi mekanisme pasar dengan filter moral, memotivasi individu ikut menanggung kepentingan sosial, restrukturisasi sosioekonomi, dan peranan positif pemerintah) harus membuktikan lebih efektif dalam menjamin kesejahteraan semua anggota masyarakat daripada pendekatan kapitalis atau sosialis yang berdimensi tunggal dan hanya mengandalkan pada kepentingan diri sendiri dan kekuatan-kekuatan pasar, atau hanya mengandalkan kolektifitas dan perencanaan pusat.
Apa yang harus dilakukan oleh negara-negara muslim adalah menjauhi pendekatan ekonomi pembangunan yang sekuler dan tidak konsisten serta memformulasikan kembali kebijakan-kebijakan dalam kerangka pendekatan Islam yang terintegrasi.
Kegiatan ekonomi sebenarnya adalah kegiatan manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Dalam rangka melaksanakan kegiatan inilah diperlukan atauran-aturan lain yang mestinya sarat dengan muatan moral agar tidak timbul kekacauan kesulitan. Ekonomi sebagai suatu usaha mempergunakan sumber-sumber daya secara rasional untuk memenuhi kebutuhan, sesungguhnya melekat pada watak manusia. Tanpa disadari, kehidupan manusia sehari-hari didominasi kegiatan ekonomi.
Dalam bahasa arab, ekonomi sering diterjemahkan dengan al-Iqhtishad, yang berarti hemat, dengan perhitungan, juga mengundang makna rasional dan nilai secara pimplisit. ekomomi pada hakekatnya adalah upaya pengalokasian sumber-sumber daya untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan petunjuk Allah swt. Petunjuk Allah swt telah ada sejak wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Akan tetapi sebagai kajian yang berdiri sendiri dengan menggunakan ilmu-ilmu modern, terlepas dari ilmu fiqih, baru dimulai sekitar tahun 1970an.
Ada tiga karakteristik yang melekat pada ekonomi Islam, antara lain adalah sebagai berikut :
a. Inspirasi dan pertunjukannya diambil dari al-Qur’an dan Sunnah;
b. Perspektif dan pandangan-pandangan ekonominya mempertimbangkan peradaban Islam sebagai sumber;
c. Bertujuan untuk menemukan dan menghidupkan kembali nilai-nilai prioritas, dan etika komunitas muslim pada periode awal.
Ekonomi Islam mempunyai perbedaan yang mendasar dengan ekonomi konvensional. Perbedaan yang mendasar adalah landasan filosofinya dan asumsi-asumsinya tentang manusia. Ekonomi dalam Islam dibangun atas empat landasan filosofis, yaitu : tauhid, keadilan, keseimbangan, kebebasan dan pertanggungjawaban. Tauhid dalam hal ini berarti bahwa semua yang ada merupakan ciptaan dan milik Allah swt, dan hanya Dia yang mengatur segala sesuatunya, termasuk mekanisme hubungan antara, perolehan rizki, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, manusia harus mengikuti segala ketentuan Allah swt dalam segala aktifitasnya, termasuk aktifitas ekonomi. ketentuan Allah swt yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya bersifat mekanistik dalam alam dan kehidupan sosial, tetapi juga besifat etis dan moral.
Manusia memiliki kebutuhan yang hampir tanpa batas. Selama hidupnya di dunia ini, manusia selalu mencari kebahagiaan dan mencari kepuasan dalam berbagai keperluan hidupnya. Dalam mencari kebahagiaan hidup ini, sesuai dengan pandagan hidupnya, ada manusia yang mengharapkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Selain itu, Allah tidak hanya memberi rejeki kepada manusia, tetapi juga menugasi manusia untuk memposisikan diri sebagai khalifah di muka bumi alam rangka memakmurkan kehidupan ini. manusia memiliki peluang yang sama untuk menacapai tingkat hidup makmur. Akan tetapi, karena berbagai alasan, tingkat kemakmuran yang dicapai manusia tidak selalu sama, ada yang kaya dan ada yang miskin. Sehubungan dengan itu, ajaran Islam mengupayakan agar harta tidak hanya beredar diantara orang-orang kaya saja. Dengan demikian, maka prinsip tawhidullah, prinsip kekhalifaan manusia yang mengemban amanat Allah di muka bumi ini harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Prinsip keadilan menjadi acuan utama dalam pemberdayaan ekonomi umat.
Dalam kerangka pemenuhan material individu dan masyarakat, ajaran Islam mendorong manusia muslim untuk bekerja keras. Bahkan dalam aktifitas pekerjaannya, manusia akan dipengaruhi oleh motif atau prinsip ekonomi, yaitu tiap orang atau masyarakat akan berusaha untuk mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan tenaga atau biaya sekecil-kecilnya dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jika tidak demikian, manusia akan dihadapkan pada kemubaziran waktu, tenaga, atau biaya. Hal demikian tidak diperkenankan. Hanya saja motif atau prinsip ekonomi tadi dibatasi berlakunya ajaran-ajaran moral dan hukum Islam.
Batasan-batasan itu antara lain :
a. Larangan menghasilkan harta dengan jalan yang bathil, seperti penipuan, melanggar janji, riba, pencurian, spekulasi, dan mengusahakan barang-barang berbahaya bagi pribadi maupun masyarakat;
b. Larangan menimbun harta tanpa ada manfaat bagi manusia, dan melaksanakan amanat;
c. Larangan melampaui batas, dan tidak, kikir.
Selain itu, terdapat beberapa prinsip yang perlu dipedomani dalam melaksanakan aktifitas ekonomi, antara lain :
a. Prinsip antaradhin ( saling rela dalam aqad);
b. Prinsip al-I’timad ‘ala la-nafs (Kewirausahaan);
c. Prinsip al-Ta’awun (saling menguntungkan dalam hal-hal yang bermanfaat);
d. Prinsip al-Mas’uliyah (tanggung jawab);
e. Prinsip al-Taysir (kemudahan), karena gejala kegiatan ekonomi dibolehkan sepanjang tidak ada larangan;
f. Prinsip al-Idariyah (administrasi keuangan yang benar dan transparan);
g. Prinsip al-Taqaful al-ijtima’i (tanggung jawab sosial);
h. Prinsip al-Ikhtiyat (kehati-hatian).
Secara spesifik, terdapat beberapa kaidah lain dalam melakukan aktifitas ekonomi, antara lain :
a. Hukum asal dalam ekonomi Islam adalah kebolehan, sampai ada dalil yang mengharamkannya;
b. Dalam setiap perikatan (aqad), yang dilihat adalah maksud dan tujuannya, tidak semata-mata dari kata-kata dan bentuknya;
c. Barangsiapa mempercepat sesuatu urusan yang belum waktunya akan menghadapi kegagalan. Dalam berusahapun, apabila terlambat meraih peluang yang ada, akan menghadapi kegagalan;
d. Menghindari kesulitan dan bahaya harus didahulukan daripada mendatangkan keamanan dan kenyamanan;
e. Sesuatu pengorbanan atau kerugian yang lebih besar dapat dihindarkan dengan merelakan pengorbanan lain yang lebih kecil;
f. Barangsiapa menerima manfaat harus membayar ongkos;
g. Kepentingan mayoritas yang lebih besar didahulukan daripada kepentingan minoritas yang lebih kecil;
h. Semua alokasi pengeluaran harus diperuntukkan kemaslahatan rakyat;
i. Sesuatu yang ketiadaannya menyebabkan kewajiban tidak terpenuhi, maka mewujudkan sesuatu itu menjadi wajib hukumnya.
Kaidah-kaidah ini menuntut segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan seperti infrastruktur, ekonomi, keamanan, peningkatan kemampuan oran-orang miskin untuk memperoleh penghasilan yang lebih tinggpi, pelatihan dan pendidikan serta peningkatan kemauan yang lebih kuat. Dengan demikian, maka untuk peningkatan ekonomi Islam dan pemberdayaan umat, diperlukan motivasi yang membangkitkan kemauan untuk mencoba mengubah diri menuju kehidupan yang lebih baik, yang selanjutnya diperlukan peningkatan kemajuan dalam berusaha dengan pelatihan dan pendidikan, sehingga menghasilkan kalangan professional dengan filter moral akhlaqul karimah.
Dalam konteks keadilan dan keseimbangan ekonomi, menjadi dasar dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Oleh sebab itu, seluruh kebijakan dan kegiatan ekonomi harus dilandasi paham keadilan dan keseimbangan.
Dalam ekonomi Islam, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua dari satu entitas. Pada tingkat teknis, hal ini tampak pada praktek mudharabah, dimana pemilik modal dan pekerja ditempatkan pada posisi yang sejajar dan adil.
Secara umum karakteristik ekonomi Islam itu meliputi empat karakter, antara lain adalah Ilahiyah, akhlak, kemanusiaan dan pertengahan.
Dibawah ini adalah salah satu contoh penyimpangan keberadaan ekonomi Islam antara lain adalah riba. Secara linguistic riba berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba aadalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam, secara bathil atau bertentangan dengan prinsip mu’amalah dalam Islam.
Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak imflatoar yang diakibatkan oleh bunga. Semakin tinggi suku bunga semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menyebabkan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan.
Islam mendorong praktek bagi hasil dan mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberikan keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu ialah sebagai berikut :
1. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi selalu untung, sedangkan penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemuungkinan untung rugi.
2. Besarnya prsentase bunga berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan, sedangkan besarnya rasio bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh.
3. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan, tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. Sedangkan bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah piihak.
4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming, sedangkan jumlah pembagian laba dalam bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
5. Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama, termasuk Islam, sedangkan bagi hasil tidak diragukan keabsahannya.
Pada akhirnya kita berpendapat bahwa untuk kestabilan ekonomi keadilan dan kesejahteraan masyarakat, sistem ekonomi bagi hasil harus terus menerus disosialisasikan sekaligus dipraktekkkan sebagai pengganti sistem bunga.
DAFTAR PUSTAKA
Baiquni, A. Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Bandung; Pustaka Pelajar, 1983
Chapra, Umer, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Cet. I; Jakarta : Gema Insani Press, 2000
DJatnika, Rahmat, Sistem Etika Islami; Akhlak Mulia, Surabaya: Pustaka Islam, 1987
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan terjemahnya, Ed. Revisi; Surabaya: Mahkota, 1989
Anshari, Endang Saifudin, Wawasan Islam; Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam, Cet I; Jakarta : Gema Insani, 2004
Hafiduddin, Didin, Islam Aplikatif, Cet. II; Jakarta : Gema Insani, 2004
Saleh, Abdul Rahman, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, Cet. I; Jakarta : RadjaGarfindo Persada, 2005
Thoha Hasan, Muhammad, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta : Lantabora Press, 2005
Chapra, Umer, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Cet. I; Jakarta : Gema Insani Press, 2000
DJatnika, Rahmat, Sistem Etika Islami; Akhlak Mulia, Surabaya: Pustaka Islam, 1987
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan terjemahnya, Ed. Revisi; Surabaya: Mahkota, 1989
Anshari, Endang Saifudin, Wawasan Islam; Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam, Cet I; Jakarta : Gema Insani, 2004
Hafiduddin, Didin, Islam Aplikatif, Cet. II; Jakarta : Gema Insani, 2004
Saleh, Abdul Rahman, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, Cet. I; Jakarta : RadjaGarfindo Persada, 2005
Thoha Hasan, Muhammad, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta : Lantabora Press, 2005
Sistem menurut Chester A. Bernard, adalah suatu kesatuan yang
terpadu secara holistik, yang di dalamnya terdiri atas bagian-bagian dan
masing-masing bagian memiliki ciri dan batas tersendiri. Suatu sistem pada
dasarnya adalah “organisasi besar” yang menjalin berbagai subjek (atau objek)
serta perangkat kelembagaan dalam suatu tatanan tertentu. Subjek atau objek
pembentuk sebuah sistem dapat berupa orang-orang atau masyarakat, untuk suatu
sistem sosial atau sistem kemasyarakatan dapat berupa makhluk-makhluk hidup dan
benda alam, untuk suatu sistem kehidupan atau kumpulan fakta, dan untuk sistem
informasi atau bahkan kombinasi dari subjek-subjek tersebut.
Perangkat kelembagaan dimaksud meliputi lembaga atau wadah tempat
subjek (objek) itu berhubungan, cara kerja dan mekanisme yang menjalin hubungan
subjek (objek) tadi, serta kaidah atau norma yang mengatur hubungan subjek
(objek) tersebut agar serasi. Kaidah atau norma yang dimaksud bisa berupa
aturan atau peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, untuk
suatu sistem yang menjalin hubungan antar manusia. Contohnya aturan-aturan
dalam suatu sistem kekerabatan. Secara toritis pengertian sistem ekonomi dapat
dikatakan sebagai keseluruhan lembaga-lembaga ekonomi yang dilaksanakan atau
dipergunakan oleh suatu bangsa atau negara dalam mencapai cita-cita yang telah
ditetapkan. Pengertian lembaga atau institusi ekonomi adalah suatu pedoman
atau, atauran atau kaidah yang digunakan seseorang atau masyarakat dalam
melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan
ekonomi adalah kegiatan yang berkaitan dengn usaha(bisnis), dengan pasar,
transaksi jual- beli, dan pembayaran dengan uang. Pengertian ekonomi secara
lembaga yaitu produk-produk hokum tertulis, seperti Tap MPR, Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Daerah, ARD/ART suatu organisasi dan lain-lain.
B.Sistem Ekonomi
Persoalan-persoalan ekonomi pada hakekatnya adalah masalah
transformasi atau pengolahan alat-alat/sumber pemenuh/pemuas kebutuhan, yang
berupa faktor- faktor produksi yaitu tenaga kerja, modal, sumber daya alam dan
keterampilan (skill) menjadi barang dan jasa. Sistem ekonomi merupakan cabang
ilmu ekonomi yang membahas persoalan pengambilan keputusan dalam tata susunan
organisasi ekonomi untuk menjawab persoalan-persoalanekonomi untuk mewujudkan
tujuan nasional suatu negara. Menurut Dumairy (1966), Sistem ekonomi adalah
suatu sistem yang mengatur serta menjalin hubungan ekonomi antar manusia dengan
seperangkat kelembagaan dalam suat tatanan kehidupan, selanjutnya dikatakannya
pula bahwa suatu sistem ekonomi tidaklah harus berdiri sendiri, tetapi
berkaitan dengan falsafah, padangan dan pola hidup masyarakat tempatnya
berpijak. Sistem ekonomi sesungguhnya merupakan salah satu unsur saja dalam
suatu supra sistem kehidupan masyarakat. Sistem ekonomi merupakan bagian dari
kesatuan ideologi kehidupan masyarakat di suatu negara.Pada negara-negara yang
berideologi politik leiberalisme dengan rezim pemerintahan yang demokratis,
pada umumnya menganut ideologi ekonomi kapitalisme dengan pengelolaan ekonomi
yang berlandaskan pada mekanisme pasar. Di negara-negara ini penyelenggara
kenegaraannya cendrung bersifat etatis dengan struktur birokrasi yang
sentralistis. Sistem ekonomi suatu negara dikatakan bersifat khas sehingga dibedakan
dari sistem ekonomi yang berlaku atau diterapkan di negara lain. Berdasarkan
beberapa sudut tinjauan seperti :
1. Sistem pemilikan sumber daya atau faktor-faktor produksi
2. Keluwesan masyarakat untuk saling berkompentisi satu sama lain
dan untuk
menerima imbalan atas prestasi kerjanya
3. Kadar peranan pemerintah dalam mengatur, mengarahkan dan
merencanakan
kehidupan bisnis dan perekonomian pada umumnya
C.Macam-Macam Sistem Ekonomi
1.Sistem Ekonomi Liberal-Kapetalis
Pemikiran-pemikiran liberalisme, rasionalisme, materialisme, dan
humanisme menjadi dasar Sistem Ekonomi Kapitalis. Pemikiran liberalisme
meletakkan kebebasan individu sebagai hal yang paling utama. Rasionalisme
mengajarkan bahwa peranan rasio (pikiran) lebih penting daripada perasaan.
Materialisme adalah paham yang menyatakan bahwa hakikat kebenaran adalah
sesuatu yang dapat dibuktikan secara empiris, yaitu diraba, didengar, dan
dirasa. Sementara itu humanisme adalah paham yang menyatakan bahwa bagi manusia
yang penting adalah kehidupan di dunia ini, hidup sesudahnya di luar jangkauan
manusia sehingga tidak perlu dipikirkan. Ciri-ciri Sistem Ekonomi Kapitalis
adalah adanya penjaminan atas hak milik perseorangan, mementingkan diri sendiri
(self interest), pemberian kebebasan penuh, persaingan bebas (free
competition), harga sebagai penentu (price system), dan peran negara minimal.
Tiga poin dasar ekonomi kapitalis neo-Liberal dalam multilateral adalah: pasar
bebas dalam barang dan jasa; perputaran modal yang bebas; dan kebebasan investasi.
Sejak itu Kredo neo-Liberal telah memenuhi pola pikir para ekonom di
negara-negara tersebut. Kini para ekonom selalu memakai pikiran yang standar
dari neo-Liberal, yaitu deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan segala
jampi-jampi lainnya.
Poin-poin pokok neo-Liberal adalah meliputi aturan pasar. memotong
pengeluaran publik dalam hal pelayanan sosial, deregulasi, privatisasi BUMN,
dan menghapus konsep barang-barang publik (public goods) atau komunitas. Dalam
kaitannya dengan pelaksanaan program di Bank Dunia dan IMF ini, maka program
neo-Liberal, mengambil bentuk sebagai berikut:
1. Paket kebijakan Structural Adjustment (Penyesuaian Struktural),
terdiri dari komponen- komponen:
o Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas.
o Devaluasi.
o Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembatasan kredit,
peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan
harga public utilities, dan penekanan untuk tidak menaikkan upah dan
gaji.
2. Paket kebijakan deregulasi, yaitu:
o intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimumkan karena
dianggap telah mendistorsi pasar;
o privatisasi yang seluas-luasnya dalam ekonomi sehingga mencakup
bidang-bidang yang selama ini dikuasai negara;
o liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan
segala jenis proteksi;
o memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan
fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan longgar.
Paket kebijakan yang direkomendasikan kepada beberapa negara Asia
dalam menghadapi krisis ekonomi akibat anjloknya nilai tukar mata uang terhadap
dollar AS, yang Globalisasi Ekonomi dan Kapitalisme Global
Dalam pengertian umum, Davies dan Nyland (dalam Hamid, 2005:8)
menemukan paling tidak lima pengertian globalisasi tersebut, yaitu (1) internasionalisasi;
(2) liberalisasi; (3) universalisasi (universalization); (4) Westernisasi
(westernization) atau modernisasi; (5) suprateritorialitas
(supraterritoriality), yang mengandung makna bahwa “ruang sosial tidak lagi
dipetakan atas dasar tempat, jarak, dan batas-batas wilayah”. Secara lebih
sempit yang mengaitkannya dengan ekonomi, Pieterse (2001:1) mendefinisikan
globalisasi sebagai proses percepatan untuk menyatukan (interneshing) dunia
dalam bidang ekonomi. Globalisasi di era kolonial diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan negara yang sudah lebih dulu maju dengan mengeksploitasi negara atau
daerah yang masih terbelakang. Sejak era tahun 1860-an dan 1870-an perdagangan
dunia mengalami puncaknya (booming) dan dianggap sebagai ‘golden era’ perdagangan
dunia walaupun itu hanya bertumpu pada hubungan yang lebih menguntungkan
negara-negara Eropa. Kekayaan dari negara-negara terjajah mengalir ke Perancis,
Inggris, Belanda, dan Spanyol, dan sebagian dari kekayaan itu kembali
diinvestasikan ke negara jajahan dalam bentuk jalan kereta api, jalan raya,
pelabuhan, bendungan irigasi, dan kota-kota. Sebagai gambaran, transfer modal
dari negara Utara (kaya) ke negara Selatan (miskin) Tahun 1890-an secara aktual
jauh lebih besar dibandingkan akhir tahun 1990-an (Elwood, 2001: 14).
Globalisasi ekonomi lebih berpihak dan menguntungkan negara-negara
maju, yang tingkat industrialisasinya sudah mapan, dan menghasilkan berbagai
barang manufaktur yang diekspor ke negara sedang berkembang. Dengan terbukanya
pasar di negara-negara lain, semakin mudah barang-barang manufaktur dari negara
industri tersebut masuk ke pasar global, yang mengalirkan kembali devisa yang
diperoleh negara-negara berkembang dari ekspornya yang umumnya barang primer
atau manufaktur yang sederhana. Dalam transaksi demikian, tidak mengherankan
jika nilai tukar produk yang diekspor negara sedang berkembang terus merosot.
Globalisasi perdagangan bagi negara sedang berkembang telah memerosotkan nilai
tukar ekspornya terhadap impor barang-barang manufaktur yang dibutuhkannya.
Bahkan, kemerosotan nilai tukar ini cenderung semakin parah dan menyebabkan
perpindahan sumber daya riil yang diakibatkan oleh hilangnya potensi pendapatan
atas ekspornya sebagai akibat kemerosotan nilai tukar. Berdasarkan kenyataan
demikian Stiglitz (2002: x) meminta agar pelaksanaan globalisasi, termasuk
berbagai agreement mengenai perdagangan dikaji ulang dan dipertimbangkan
kembali secara radikal.
3. merupakan gabungan dua paket di atas ditambah tuntutan-tuntutan
spesifik di sana-sini.
2.Sistem Ekonomi Sosialis-Komunistik
Sosialisme muncul karena adanya eksploitasi kelas-kelas atas
terhadap kelas-kelas bawah, penghisapan manusia atas manusia lain yang
menyebabkan alienasi, keterasingan seseorang dari apa yang telah dibuat oleh
tangannya sendiri. Hukum persaingan menuntut adanya peningkatan produktivitas
secara terus-menerus. Artinya, biaya produksi perlu ditekan serendah mungkin
sehingga hasilnya dapat dijual semurah mungkin dan dengan demikian menang
terhadap hasil produksi saingan. Dengan demikian, lambat-laun semua bentuk
usaha yang diarahkan secara tidak murni ke keuntungan akan kalah. Dan itu
berarti bahwa hanya usaha-usaha besar yang dapat survive. Toko-toko dan
perusahaan-perusahaan kecil tidak dapat menyaingi efisiensi kerja usaha-usaha
besar. Lama-kelamaan semua bidang produksi maupun pelayanan dijalankan secara
kapitalistik. Yang akhirnya tinggal dua kelas sosial saja; para pemilik modal
yang jumlahnya sedikit dan modalnya amat besar, dan kelas buruh yang jumlahnya
banyak dan tak punya apa-apa. Kelas buruh menjadi semakin sadar akan
situasinya, akan eksploitasi yang mereka derita, akan kesamaan situasi mereka
sebagai kelas proletariat. Mereka berhadapan dengan kaum kapitalis, kemudian
kaum buruh mengorganisasikan diri dalam serikat-serikat buruh. Dengan demikian
perjuangan proletarian semakin efektif. Solidaritas antara mereka semakin
besar. Menurut Marx, kaum kapitalis yang memproduksi kelas proletar yang akan
menghancurkan kapitalis sendiri, yakni ledakan revolusioner oleh kaum proletar
yang tak dapat dihindari. Dalam Sistem Ekonomi Sosialis, pemerintah sangat
berperan untuk menentukan jalannya perekonomian, atau umum dikenal sebagai
perencanaan terpusat atau centralized planning sehingga hak milik dan inisiatif
ekonomis individu kurang mendapat tempat yang layak. Di samping itu, negara
adalah pelayan rakyat. Negara harus membuat undang-undang untuk melindungi
kepemilikan bersama seluruh masyarakat atas alat-alat produksi. Di samping itu
negara harus melaksanakan kebijakan politik yang melindungi dan menguntungkan
kaum pekerja.
Ciri-ciri Sistem Ekonomi Sosialis adalah:
1. Negara sangat berkuasa dalam pemilikan bersama (kolektivitas)
semua faktor produksi.
2. Produksi dilakukan sesuai dengan kebutuhan (production for
needs).
3. Perencanaan ekonomi (economic planning).
Kelebihan dari sistem ekonomi sentralistik adalah ia bisa membuat
perencanaan tertentu secara mudah. Negara atau pemerintah dapat menentukan arah
perekonomiannya secara keseluruhan. Perencanaan makroekonomi yang bisa mengatur
tingkat konsumsi dan investasi serta pengadaan barang-barang kolektif (barang
publik) dan barang-barang konsumen akan lebih mudah dirumuskan dan diawasi.
Model perencanaan sentralistik menekankan pentingnya pengetahuan mengenai
faktor-faktor teknologi atas pengelolaan perekonomian secara keseluruhan sesuai
dengan tujuan atau kehendak lembaga perencana pusat. Kelemahan sistem ekonomi
sentralistik terletak pada kecenderungan inefisiensi yang sangat besar atas
pelaksanaan fungsi alokasi, terutama alokasi terhadap aneka barang atau produk
konsumen dan alokasi permodalan. Meskipun lembaga pusat itu pada prinsipnya
dapat, secara efisien, memberlakukan harga-harga bayangan dan rasio-rasio
pertukaran antara berbagai jenis sumber daya atau faktor-faktor produksi,
kemungkinan praktik pelaksanaan dari mekanisme semacam itu masih sangat
diragukan. Pengawasan harga dan penerapannya sebagai alat atau instrumen untuk
menentukan keputusan-keputusan ekonomi dari para konsumen dan produsen ternyata
lebih cenderung mengakibatkan inefisiensi, baik dalam konsumsi maupun dalam
produksi.
Sistem Ekonomi Sosialis-Pasar
Konsepsi teori ekonomi pasar sosial mengacu pada pemikiran liberal
klasik dengan sedikit perubahan. Pemikiran ini dibangun sejak tahun 1940-an,
terutama melalui aliran pemikiran kelompok Freiburg. Dua pemikir utama kelompok
ini adalah Walter Eucken dan Andreas Muller-Armack, yang menamainya Ekonomi
Pasar Sosial. Dalam pemikiran ini aspek yang diperhatikan bukan hanya persoalan
ekonomi semata, namun juga persoalan kebebasan dan keadilan sosial. Menurut
Muller-Armack tanggung jawab memerlukan kebebasan sebagai kondisi yang penting
bagi seseorang/individu untuk memilih tanggung-jawab di antara pilihan yang
berbeda.
Konsep ekonomi pasar liberal memiliki tiga elemen prinsip yang
utama:
1. Prinsip Individualitas: yang bertujuan pada ideal liberal bagi
kebebasan individu.
2. Prinsip Solidaritas: Mengacu pada ide setiap individu manusia
terlekat dengan masyarakat yang saling tergantung sama lain dengan tujuan
menghapus ketidakadilan.
3. Prinsip Subsidiaritas: yang berarti sebuah tugas institusional
yang bertujuan menajamkan hubungan antara individualitas dan solidaritas.
Aturan tersebut harus memberikan jaminan hak individu dan menempatkannya
sebagai prioritas utama, yang berarti apa yang mampu dilakukan oleh individu
harus dilakukan oleh individu dan bukan oleh negara.
Tujuan lain yang ingin dicapai oleh ekonomi pasar sosial adalah
menciptakan dan membangun tatanan ekonomi yang dapat diterima oleh berbagai ideologi
sehingga berbagai kekuatan di dalam masyarakat dapat terfokus pada tugas
bersama menjamin kondisi kehidupan dasar dan membangun kembali perekonomian.
Inilah sebabnya kita dapat melihat bahwa ekonomi pasar sosial merupakan
kompromi pada masa-masa awal pemerintahan Federal Republik Jerman. Selain ini
kekuatan permintaan dan penawaran ia juga didorong oleh konsep moral yang kuat.
Semua model sosialisme pasar mengasumsikan keberadaan suatu lembaga koordinasi
namun ruang lingkup kerjanya dan pengaruh atau kekuatannya tidak sama pada
suatu model dibandingkan dengan yang diuraikan dalam model-model lainnya. Oleh
karena lembaga tersebut diserahi tanggung jawab untuk menciptakan aplikasi yang
efisien maka operasinya sukar dibatasi mengingat tanggung jawab seberat itu
harus diimbang dengan wewenang yang sangat luas.
SISTEM EKONOMI CAMPURAN : Negara Kesejahteraan (Welfare
State)
Welfare State adalah suatu negara yang ingin menciptakan demokrasi
seluas-luasnya seperti kesempatan mendapatkan lapangan pekerjaan, penguasaan
teknologi, pendidikan dan sebagainya. Negara memiliki kewajiban menanggulangi
penyebab kemiskinan struktural yang menghalangi kelompok-kelompok tertentu
masuk ke dalam pasar. Tindakan yang dilakukan negara dapat dikelompokkan
menjadi tiga hal: Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa yang
digunakan untuk operasional negara. Dalam hal-hal tertentu, tindakan ini
dilakukan untuk mendistribusikan pendapatan. Penarikan pajak, biasanya yang
dikenakan pajak progresif sehingga semakin besar kekayaan seseorang maka
semakin besar pula harta yang diberikan kepada negara. Pajak ini digunakan
untuk melakukan tindakan yang ketiga. Subsidi diberikan kepada para pihak yang
membutuhkan sehingga kemiskinan struktural dapat diselesaikan dan distribusi
pendapatan dapat terjadi.
Menurut Esping Andersen, yang studi-studinya menjadi acuan para
sarjana dan pengambil kebijakan, negara kesejahteraan dibangun atas dasar
nilai-nilai sosial, seperti:
1. kewarganegaraan sosial;
2. demokrasi penuh;
3. sistem hubungan industrial modern; serta
4. hak atas pendidikan dan perluasan pendidikan massal yang
modern.
Merujuk pada Spicker (1995), Midgley, Tracy dan Livermore (2000),
Thompson (2005), Suharto, (2005a), dan Suharto (2006), pengertian kesejahteraan
sedikitnya mengandung empat makna sebagai:
1. kondisi sejahtera (well-being);
2. pelayanan sosial;
3. tunjangan sosial;
4. proses atau usaha terencana.
Dilihat dari besarnya anggaran negara untuk jaminan sosial
setidaknya ada empat model negara kesejahteraan, yaitu model:
1. Universal.
2. Korporasi atau Work Merit Welfare States.
3. Residual.
4. Minimal.
Sistem Ekonomi Dualistik
Dr. Boeke berpendapat bahwa dalam arti ekonomi masyarakat memiliki
tiga ciri, yaitu semangat sosial, bentuk organisasi dan teknik yang
mendominasinya. Saling keterkaitan dan ketergantungan antara ketiga ciri
disebut sistem sosial atau gaya sosial. Suatu masyarakat disebut homogen
apabila di dalamnya hanya terdapat satu sistem sosial yang berlaku. tetapi
suatu masyarakat mungkin memiliki sekaligus dua sistem sosial atau lebih.
Masyarakat seperti ini disebut masyarakat dualistik atau majemuk.
Boeke menggambarkan adanya dua keadaan yang amat berbeda dalam
suatu masyarakat, yang hidup berkembang secara berdampingan. Keadaan pertama
bersifat “superior”, sedangkan yang lainnya bersifat “inferior”, seperti halnya
adanya cara produksi modern berdampingan dengan cara produksi tradisional,
antara orang kaya dengan orang miskin tak berpendidikan, dan keadaan lain yang
kontras dalam satu masa dan tempat (Hudiyanto, 2002: 88-91).
Derajat hubungan (ketergantungan) antara kedua sistem (pelaku)
umumnya terjadi dalam pola yang tidak seimbang. Dalam hal ini, sistem (pelaku)
ekonomi superior (dominan) cenderung mensubordinasi sistem (pelaku) ekonomi
inferior karena kekuatan ilmu pengetahuan, teknologi, modal, dan SDM yang
dikuasai pelaku ekonomi di sektor modern tersebut. Namun, tetap saja ada resistensi
dari pelaku ekonomi tradisional di pedesaan yang berupaya mengembangkan tatanan
sosial-ekonomi yang sesuai dengan sistem nilai dan sistem sosial-budaya mereka.
Teori dualisme ekonomi dalam konteks Indonesia saat ini membantu untuk
menganalisis dialektik hubungan ekonomi antarpelaku ekonomi. Dalam
perkembangannya, antara dua keadaan yang kontras tersebut tidak lagi dapat
berdampingan secara sejajar, melainkan satu sistem tersubordinasi oleh sistem
yang dominan.
Kenyataan model dualisme ekonomi ini berpengaruh dalam pengambilan
kebijakan ekonomi dan penyusunan strategi pembangunan. Dalam struktur dualistik
yang timpang, pengaruh kebijakan ekonomi dapat berbeda (trade-off), sehingga
dibutuhkan kebijakan afirmatif (pemihakan) kepada pelaku ekonomi yang kecil,
rentan, dan miskin. Jika tidak, kebijakan yang didesain secara makro-deduktif
cenderung selalu menguntungkan (makin memakmurkan) pelaku ekonomi besar (sektor
modern), yang membawa korban pada kemerosotan kesejahteraan pelaku ekonomi
rakyat yang umumnya bergerak di sektor informal, pertanian, dan di wilayah
perdesaan.
Reformasi Sistem Ekonomi Indonesia
Pada awal era kolonial, VOC memonopoli pasar rempah-rempah yang
pada masa itu merupakan komoditi andalan Nusantara. Ketika Tahun 1799 VOC
bangkrut dan bubar, pemerintah Belanda melaksanakan sistem tanam paksa (culture
stelsel) untuk menutup defisit anggaran kerajaan akibat perang melawan berbagai
perlawanan di Nusantara. Selanjutnya melalui Undang-Undang Agraria Tahun 1870,
pemerintah Belanda mengundang sektor swasta untuk menyewa lahan perkebunan
dalam jangka waktu yang lama. Setelah Indonesia merdeka, para pemimpin bangsa
berusaha merumuskan kembali Sistem Ekonomi Indonesia yang dianggap ideal dengan
kondisi bangsa. Muhammad Hatta mengemukakan sebuah konsep tentang Sistem
Ekonomi Indonesia, yaitu Sistem Ekonomi Kerakyatan. Dalam Sistem Ekonomi
Kerakyatan, semua aktivitas ekonomi harus disatukan dalam organisasi koperasi
sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan. Hanya dalam asas kekeluargaan
dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh
semua, untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi oleh anggota
masyarakat sendiri.
Rejim Orde Baru ternyata muncul dengan membawa sistem ekonomi yang
ternyata tidak sepenuhnya sesuai dengan dasar sistem ekonomi yang termuat dalam
UUD 1945. Sistem Ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru bersandar pada “trilogi
pembangunan”, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas ekonomi, dan
pemerataan. Meskipun pemerintah selalu mengklaim dirinya tidak menerapkan
Sistem Ekonomi Kapitalis, tetapi pada praktiknya Indonesia telah melakukan
berbagai liberalisasi ekonomi yang semakin memarjinalisasi peranan ekonomi
rakyat. Kebijakan ekonomi pemerintah pasca reformasi pun cenderung seirama
dengan arus utama ekonomi global, yaitu globalisasi (pasar bebas). Padahal
pasar bebas tidak lain adalah kepentingan pemerintah dan korporat negara maju
untuk melanggengkan imperium global (korporatokrasi) mereka. Agenda-agenda
neolib, pasca Program Penyesuaian Struktural (LoI IMF), tampak pada kebijakan
kembar liberalisasi ekonomi dan privatisasi (BUMN dan Aset SDA), yang telah
dikukuhkan melalui amandemen pasal 33 UUD ’45. Target utamanya adalah
minimalisasi campur tangan pemerintah dan penguatan pengaruh sektor swasta
(korporat). Imperialisme berkelanjutan, yang berwujud ketidakadilan ekonomi dan
eksploitasi (alam dan manusia) hingga kini menampakkan wajah penderitaan rakyat
yang luar biasa. Sritua Arief (2000) mengungkap bahwa pada setiap US $ 1 modal
asing, net transfer revenue yang disedot ke luar negeri adalah sepuluh kali
lipatnya (US 10$). Mubyarto (2005) pun menyatakan bahwa rasio konsumsi per
kapita dengan PDRB per kapita menunjukkan fakta “derajat penghisapan” ekonomi
Indonesia sebesar 57%. Artinya, hanya 43% nilai PDRB yang dinikmati rakyat di
daerah, selebihnya “dihisap” ke kota-kota besar dan dibawa ke luar negeri.
Beberapa agenda reformasi sistem ekonomi nasional yang perlu dilakukan oleh
pemerintah berdasar kondisi objektif dan cita-cita konstitusional di atas
adalah mengembalikan Pasal 33 UUD 1945 yang asli, menghentikan privatisasi BUMN
dan aset strategis nasional, mereka ulang kebijakan liberalisasi pasar bebas,
menghentikan pembajakan produk lokal, menghentikan pola-pola subsidi ekonomi
rakyat ke korporasi (asing), meluruskan bias terminologi ekonomi rakyat, dan
merombak pendidikan ekonomi Indonesia.
Sistem Ekonomi Pancasila
Ekonomi Pancasila merupakan Sistem Ekonomi yang khas
(berjati-diri) Indonesia, yang digali dan dikembangkan berdasar kehidupan
ekonomi riil (real-life economy) rakyat Indonesia. Ekonomi Pancasila adalah
Sistem Ekonomi yang mengacu pada sila-sila dalam Pancasila, yang terwujud dalam
lima landasan ekonomi, yaitu ekonomi moralistik (ber-Ketuhanan), ekonomi
kemanusiaan, nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan), dan
diarahkan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima
prinsip penerapan Sistem Ekonomi Pancasila, yaitu: Pertama, roda kegiatan
ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Kedua,
ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, yaitu
tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan
kesenjangan sosial. Ketiga, semangat nasionalisme ekonomi; dalam era
globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang
kuat, tangguh, dan mandiri.
Keempat, demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan:
koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan
masyarakat. Kelima, keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara
perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas,
bebas, dan bertanggung jawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia
Mengacu pada rumusan Sistem Ekonomi Pancasila Prof Mubyarto (BPFE,
2002), maka dapat dikemukakan bahwa platform (pilar) Sistem Ekonomi Pancasila
tersebut meliputi ekonomika etik dan ekonomika humanistik (dasar), nasionalisme
ekonomi dan demokrasi ekonomi (cara/metode operasionalisasi), dan ekonomi
berkeadilan sosial (tujuan). Makna "ekonomi kerakyatan" tersebut
adalah suatu perekonomian yang orientasinya pada keterlibatan orang banyak
dalam aktivitas ekonomi, baik aktivitas produksi, konsumsi, maupun distribusi (Hamid
dan Hendrianto, 2000). Agenda-agenda ekonomi kerakyatan mengacu pada sistem
ekonomi Pancasila dan amanat konstitusionalnya dapat ditekankan pada
demokratisasi modal institusional (kelembagaan ekonomi rakyat) melalui
penguatan organisasi koperasi, demokratisasi modal material melalui
pengembangan lembaga keuangan mikro (kredit rakyat), dan demokratisasi modal
intelektual melalui pembangunan manusia dan sistem jaminan sosial.
Fatwa Ekonomi Islam Perkembangan ekonomi
syari’ah di Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan,
asuransi dan pasar modal. Jika pada tahun 1990-an jumlah kantor layanan
perbankan syariah masih belasan, maka tahun 2000an, jumlah kantor pelayanan
lembaga keuangan syariah itu melebihi enam ratusan yang tersebar di seluruh
Indonesia. Asset perbankan syari’ah ketika itu belum mencapai Rp 1 triliun,
maka saat ini assetnya lebih dari Rp 22 triliun. Lembaga asuransi syariah pada
tahun 1994 hanya dua buah yakni Asuransi Takaful Keluarga dan Takaful Umum,
kini telah berjumlah 34 lembaga asuransi syariah (Data AASI 2006). Demikian
pula obligasi syariah tumbuh pesat mengimbangi asuransi dan perbankan
syariah.Para praktisi ekonomi syari’ah, masyarakat dan pemerintah (regulator)
membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan
praktek dan produk di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut. Perkembangan
lembaga keuangan syariah yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa
hukum syari’ah yang valid dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan
yang kuat secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia.
Kedudukan Fatwa
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk
memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat
Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan
bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil
di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil
Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi
mujtahid.
Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan
ekonomi islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur
bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah
hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh
muamalah maliyah. (fiqh ekonomi)
Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin
artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga
keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan taujih,
yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas
tentang norma ekonomi syari’ah.
Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat
bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini,
teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter
fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama
tentang fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan
proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustaft (orang yang
minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini
tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi
masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi
melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR baru-baru ini, telah
mengamandemen UU No 7/1989 tentang Perdilan Agama yang secara tegas memasukkan
masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama.
Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah saat di Indonesia dikeluarkan melalui
proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut
ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi
(individu), Validitas jama’iy dan fardi jelas sangat berbeda. Ijtihad jama’iy
telah mendekati ijma’. Seandainya hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini,
pastilah kesepakatan para ahli dan ulama Indonesia itu disebut Ijma’.
Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional ”ikhtiyariah”
(pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi
mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat
”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka
untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang ahli
yang lain.
Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama
maka ummat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah
(penerimaan/kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Sifat fatwa yang
demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan (qadha) yang mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara.
Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di
zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang
cendrung individual atau lembaga parsial.
Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada
dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota
plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang
mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak
dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga
mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan
Biro Syari’ah dari Bank Indonesia.
Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan
posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik
yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan
kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa
tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang
dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku umum serta
mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa
DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS)
yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi
dengan LKS.
Kaedah dan Prinsip
Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi
diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini
demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah
dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan
dua kaedah.
Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid
aslah, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan
membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada
petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala
at-tahrim ( Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang
mengharamkannya).
Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama
muamalah, seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau
ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan
praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah
menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.
Formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau
”ashlahiyah” (mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang
difatwakan. Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting.
Dalam ushul fiqh telah populer kaedah, ”Di mana ada mashlalah, maka di situ ada
syariah Allah”. Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua
pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah, nasabah,
pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas.
Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan
teoritis) tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan).
Karena itu untuk menguji shalahiyah (validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah
maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup dalam
implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoritis
mendapatkan pembenaran dalam penerapannya di lapangan.
Produk Fatwa DSN
Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah
mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa
tentang giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah,
musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah,
sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam
murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan
penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah,
pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan
dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah
bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan
rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah
mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat
wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi
mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di
pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dsb.
Saran
Struktur dan format fatwa sudah memadai dengan rumusan yang
simple. Jika dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN
MUI lebih komplet muatannya. Namun format fatwa DSN-MUI hanya terbatas
memberikan penentuan status hukum masalah yang difatwakan, belum bersifat
”ifadah ’ilmiah” yakni memberikan kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, sehingga
kurang memberikan bekalan kepada kalangan di luar para ulama ekonomi syariah.
Karena itu disarankan agar setiap fatwa disertai lampirannya, berupa uraian
ilmiyah singkat yang mengantarkan pada kesimpulan-kesimpulan isi fatwa.
Fatwa ini seharusnya disebarkan oleh MUI kepada masyarakat, agar
umat mengetahui hukum-hukum ekonomi syariah. Sangat disayangkan pengursu MUI
kabupaten kota pun kadang tidak memiliki buku fatwa ekonomi syariah MUI
tersebut. Padahal telah dikirim ke MUI Propinsi.
Para ulama harus meningkatkan pengetahuan ekonomi syariah
kontemporer melalui workshop, training atau seminar, sehingga wawasannya
menjadi luas dan mampu memahami bahkan menjawab persoalan kekinian secara valid
dan akurat, Jangan hanya berkutat dalam persoalan kajian ibadah, pemikiran
teologi, pahala, syorga dan neraka, tapi kajian Islam yang komprehensif
PERKEMBANGAN SISTEM EKONOMI INDONESIA
A.Perkembangan Pemikiran Sistem Ekonomi Indonesia
Seperti yang kita ketahui bahwa yang menentukan bentuk suatu
sistem ekonomi kecuali dasar falsafah negara yang dijunjung tinggi, maka yang
dijadikan kriteria adalah lembaga-lembaga, khususnya lembaga ekonomi yang
menjadi perwujudan atau realisasi falsafah tersebut. Pergulatan pemikiran
tentang sistim ekonomi apa yang sebaiknya di diterapkan Indonesia telah dimulai
sejak Indonesia belum mencapai kemerdekaannya. Sampai sekarang pergulatan
pemikiran tersebut masih terus berlangsung, hal ini tecermin dari perkembangan
pemikiran tentang sistim ekonomi pancasila SEP. Menurut Sri-Edi Suwasono (1985),
pergulatan pemikiran tentang ESP pada hakikatnya merupakan dinamika penafsiran
tentang pasal-pasal ekonomi dalam UUD 1945.
1. Pasal Ekonomi Dalam UUD 1945
Pasal 33 UUD 1945, yang dimaksud dengan cabang-cabang produksi
yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah barang dan jasa yang vital bagi
kehidupan manusia, dan tersedia dalam jumlah yang terbatas. Tinjauan terhadap
vital tidaknya suatu barang tertentu terus mengalami perubahan sesuai dengan
dinamika pertumbuhan ekonomi, peningkatan taraf hidup dan peningkatan
permintaan. Dengan demikian penafsiran pasal-pasal di ataslah yang banyak
mendominasi pemikiran SEP. Pemikiran tentang ESP, sudah banyak, namun ada
beberapa yang perlu dibahas secara rinci karena mereka merupakan faunding
father dan juga tokoh- tokoh ekonomi yang ikut mewarnai sistem ekonomi kita,
diantaranya :
a. Pemikiran Mohammad Hatta (Bung Hatta)
Bung Hatta selain sebagai tokoh Proklamator bangsa Indonesia, juga
dikenal sebagai perumus pasal 33 UUD 1945. bung Hatta menyusun pasal 33
didasari pada pengalaman pahit bangsa Indonesia yang selama berabad-abad
dijajah oleh bangsa asing yang menganut sitem ekonomi liberal-kapitalistik.
Penerapan sistem ini di Indonesia telah menimbulkan kesengsaraan dan
kemelaratan, oleh karena itu menurut Bung Hatta sistem ekonomi yang baik untuk
diterapkan di Indonesia harus berasakan kekeluargaan
b. Pemikiran Wipolo
Pemikiran Wipolo disampaikan pada perdebatan dengan Wijoyo
Nitisastro tentang pasal 38 UUDS (pasal ini identik dengan pasal 33 UUD 1945),
23 september 1955.menurut Wilopo, pasal 33 memiliki arti SEP sangat menolak
sistem liberal, karena itu SEP juga menolak sector swasta yang merupakan
penggerak utama sistem ekonomi liberal-kapitalistik
c. Pemikiran Wijoyo Nitisastro merupakan tanggapan terhadap
pemikiran Wilopo. Menurut Wijoyo Nitisastro, pasal 33 UUD 1945 sangat
ditafsirkan sebagai penolakan terhadap sector swasta.
d. Pemikiran Mubyarto
Menurut Mubyarto, SEP adalah sistem ekonomi yang bukan kapitalis
dan juga sosialis. Salah satu perbedaan SEP dengan kapitalis atau sosialis
adalah pandangan tentang manusia. Dalam sistem kapitalis atau sosialis, manusia
dipandang sebagai mahluk rasional yang memiliki kecenderungan untuk memenuhi
kebutuhan akan materi saja.
e. Pemikiran Emil Salim
Konsep Emil Salim tentang SEP sangat sederhana, yaitu sistem
ekonomi pasar dengan perencanaan. Menurut Emil Salim, di dalam sistem
tersebutlah tercapai keseimbangan antara sistem komando dengan sistem pasar.
“lazimnya suatu sistem
ekonomi bergantung erat dengan paham-ideologi yang dianut suatu
negara
Sumitro Djojohadikusumo dalam pidatonya di hadapan School of
Advanced
International Studies di Wasington, AS Tanggal 22 Februari 1949,
menegaskan bahwa yang dicita-citakan bangsa Indonesia adalah suatu macam
ekonomi campuran. Lapangan-lapangan usaha tertentu akan dinasionalisasi dan
dijalankan oleh pemerintah, sedangkan yang lain-lain akan terus terletak dalam
lingkungan usaha swasta.
TAHAP-TAHAP PERTUMBUHAN EKONOMI
A. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Sebelum membahas tentang pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu kita
akan bahas beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan beberapa ahli.
Pada abad-19 banyak ahli ekonomi yang menganalisis dan membahas, serta
mengemukakan teori-teori tentang tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi. Antara
lain Retrich List, Brunohilder Brand, Karl Bucher dan Walt Whitman Rostow.
Retrich List adalah penganut pahamlaisser-vaire dan berpendapat bahwa sistim
ini dapat menjamin alokasi sumber-sumber secara optimal tetapi proteksi
terhadap industri-industri tetap diperlukan. Brunohilder Brand adalah
pengkritik Retrich List, mereka mengatakan bahwa perkembangan masyarakat atau
ekonomi bukan karena sifat-sifat produksi atau konsumsinya, tetapi lebih
ditekankan pada metode distribusi yang digunakan. Brunohilder Brand
mengemukakan 3 (tiga) sistim distribusi yaitu :
1. Natural atau perekonomian barter
2. Perekonomian uang
3. Perekonomian kredit
Sedangkan Karl Bucher mempunyai pendapat yang serupa walaupun
tidak sama. Karl Bucher mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah melalui 3
(tiga) tingkatan yaitu :
1. Produksi untuk kebutuhan sendiri
2. Perekonomian kota, dimana pertukaran sudah meluas
3. Perekonomian nasional, dimana peranan pedagang-pedagan tampak
makin penting jadi barang-barang itu diproduksi untuk pasar. Ini merupakan
gambaran revolusi di Jerman.
Walt Whitman Rostow dalam bukunya : De Stages of Economic Growth
mengemukakan bahwa proses pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan dalam 5 tahap dan
setiap negara di dunia dapat digolongkan ke dalam salah satu tahap dari 5 tahap
pertumbuhan ekonomi tersebut. Tahap-tahap pertumbuhan ekonomi Rostow adalah :
1. Tahap masyarakat tradisional
2. Tahap prasyarat lepas landas
3. Tahap lepas landas
4. Gerakan kea rah kedewasaan
5. Masa konsumsi tinggi
B. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Sejak kemerdekaan pada tahun 1945, masa orde lama, masa orde baru
sampai masa sekarang (masa reformasi) Indonesia telah memperoleh banyak
pengalaman politik dan ekonomi. Peralihan dari orde lama dan orde baru telah
memberikan iklim politik yang dinamis walaupun akhirnya mengarah ke otoriter
namun pada kehidupan ekonomi mengalami perubahan yang lebih baik.
1.Masa Orde Lama (1945-1966)
Pada masa ini perekonomian berkembang kurang menggembirakan,
sebagai
dampak ketidakstabilan politik dan seringnya pergantian
cabinet.
2. Masa Orde Baru (1966-1997)
Menghadapi perekonomian yang sedemikian rupa, pemerintah
peralihan
menetapkan beberapa langkah perioritas kebijakan ekonomi sebagai
berikut :
a. Memerangi inflasi
b. Mencukupkan stok cadangan bahan pangan terutama beras
c. Merehabilitasi prasarana perekonomian
d. Meningkatkan ekspor
e. Menyediakan/menciptakan lapangan kerja
f. Mengundang kembali investor asing
3. Masa Reformasi (1998-sekarang)
Pada masa reformasi ini perekonomian indoensia ditandai dengan
krisis monoter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi yang sampai saat ini belum
menunjukkan tanda-tanda kea rah pemulihan. Walaupun ada pertumbuhan ekonomi
sekitar 6% untuk tahun 1997 dan 5,5% untuk tahun 1998 dimana inflasi sudah
duperhitungkan namun laju inflasi masih cukup tinggi yaitu sekitar 100%.
Pada tahun 1998 hampir seluruh sector mengalami pertumbuhan
negatif, hal
ini berebeda dengan kondisi ekonomi tahun 1999.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia
Adapun faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonom Indonesia,
secara
umum adalah :
1. Faktor produksi
2. Faktor investasi
3. Faktor perdagangan luar negeri dan neraca pembayaran
4. Faktor kebijakan moneter dan inflasi
5. Faktor keuangan Negara
PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI INDONESIA
A. Perubahan Struktur Ekonomi
Chenery mengatakan bahwa perubahan struktur ekonomi disebut
sebagai transformasi struktur yang diartikan sebagai suatu rangkaian perubahan
yang saling terkait satu sama lain dalam komposisi agregat demand
(AD),ekspor-impor (X-M). Agregat supplay (AS) yang merupakan produksi dan
penggunaan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal guna mendukung
proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berlanjut (Tambunan, 2003). Ada
dua teori utama yang umum digunakan dalam menganalisis perubahan struktur
ekonomi, yakni dari Arthur Lewis tentang teori migrasi dan hoilis chenery
tentang teori transportasi struktural. Teori Lewis pada dasarnya membahas
proses pembangunan ekonomi yang terjadi di daerah pedesaan dan daerah
perkotaan. Dalamnya Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada
dasarnya terbagi menjadi dua yaitu perekonomian tradisional di pedesaan yang
didominasi sector pertanian dan perekonomian modern di perkotaan dengan industri
sebagai sector utama. Karana perekonomiannya masih bersifat tradisional dan sub
sistem, dan pertumbuhan penduduk yang tinggi maka terjadi kelebihan supplay
tenaga kerja.
B. Struktur Perekonomian Indonesia
Berdasarkan tinjauan makro-sektoral perekonomian suatu negara
dapat
berstruktur agraris (agricultural), industri (industrial), niaga
(commercial) hal ini
tergantung pada sector apa/mana yang dapat menjadi tulang punggung
perekonomian
negara yang bersangkuatan. Pergeseran struktur ekonomi secara makro-sektoral
senada dengan pergeserannya secara keuangan (spasial). Ditinjau dari sudut
pandang keuangan (spasial), struktur perekonomian telah bergeser dari struktur
pedesaan menjadi struktur perkotaan modern. Struktur perekonomian indoensia
sejak awal orde baru hingga pertengahan dasa warsa 1980-an berstrukturetatis
dimana pemerintah atau negara dengan BUMN dan BUMD sebagai perpanjangan
tangannya merupakan pelaku utama perekonomian Indonesia. Baru mulai pertengahan
dasa warsa 1990-an peran pemerintah dalam perekonomian berangsur-angsur
dikurangi, yaitu sesudah secara eksplisit dituangkan melalui GBHN 1988/1989
mengundang kalangan swasta untuk berperan lebih besar dalam perekonomian
nasional. Struktur ekonomi dapat pula dilihat berdasarkan tinjauan birokrasi
pengambilan keputusan. Berdasarkan tinjauan birokrasi pengambilan keputusannya
dapat dikatakan bahwa struktur perekonomian selama era pembangunan jangka
panjang tahap pertama adalah sentralistis. Dalam struktur ekonomi yang
sentralistik, pembuatan keputusan (decision-making) lebih banyak ditetapkan
pemerintah pusat atau kalangan atas pemerintah (bottom-up).
PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI
A. Pendahuluan
Pengertian perencanaan bermakna sangat kompleks apa lagi disertai
dengan istilah pembangunan. Sampai sekarang belum ada defenisi perencanaan yang
memuasakan semua semua pihak, karena masing-masing ahli tentang perencanaan
mendefenisikan menurut pengertiannya masing-masing. Y. Dior dalam bukunya “The
Planing Process” mengatakan bahwa perecanaan adalah suatu proses penyiapan
seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang yang
diarahkan pada pencapaian sasaran tertentu. Dengan defenisi tersebut bahwa
perencanaan mempunyai unsure-unsur sebagai berikut :
1. Berhubungan dengan hari depan
2. Menyusun seperangkat kegiatan secara sistematis
3. Dirancang untuk mencapai tujuan tertentu
C. Perencanaan Pembangunan di Indonesia
Sejarah perencanaan pembangunan di Indonesia sejak tahun 1945
hingga kini mengalami berbagai perkembangan sejalan dengan tingkat stabilitas
politik dan keamanan. Artinya faktor-faktor sosial politik ekonomi, perhitungan
akurat yang tidak ambisius, pengawasan yang kontinyu, pelaksanaan koordinasi
dan singkronisasi yang baik, serta pembiayaan yang memada, merupakan hal yang
sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan suatu negara.
Salah satu kendala pada awal kemerdekaan adalah keterbatasan
datal, sehingga pemerintah belum menyusun perencanaan yang baik. Namun
pemerntah Indonesia terus berupaya memperbaiki perekonomian yang berantakan
akibat peperangan, pemberontakan dan reformasi perpolitikan di Indonesia.
Usaha-usaha tersebut mulai tercermin mulai dari pembentukan Panitia Pemikiran
Siasat Ekonomi sampai disusunnya Program Pembangunan Nasional (Propenas). C.
Plan Mengatur Ekonomi Indonesia Program yang direncanakan dalam Plan Mengatur
Ekonomi Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat merata
melalui :
1. Mengintensifkan usaha produksi
2. Memajukan perdagangan internasional
3. Meningkatkan standar hidup masyarakat
4. Meningkatkan kecerdasan bangsa
Perogram-program yang telah direncanakan tersebut akan dicapai
melalui
kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Meningkatkan impor barang-barang sandang, alat-alat
transportasi dan
perhubungan, barang-barang modal, barang-barang keperluan
lainnya
2. Meningkatkan ekspor yang diprioritaskan pada hasil perkebunan,
kehutanan,
minyak dan logam
3. Memperbaiki organisasi ke dalam melalui
a. Penetapan upah minimum
b. Perbaikan perumahan rakyat
c. Transmigrasi
d. Peningkatan pembangunan jalan kereta api baru, bendungan,
tenaga listrik dan
pelabuhan
e. Industrilisasi
f. Tambang dan minyak tanah
g. Industri pertanian
h. Pertanian dan perikanan
i. Penanaman hutan
j. Pelayaran dan perhubungan antar pulau
D. Rencana Kasimo
Masalah yang sangat mendesak dan perlu ditanggulangi adalah
penyediaan pangan. Karena itu rencana kasimo ditujukan untuk memecahkan
bagaiaman Indonesia dapat mencapai swasembada pangan.
E. Rencana Urgensi Perkembangan Industri
“Rencana Urgensi perkembangan industri dan industri kecil”
dicanangkan oleh Sumitno Djojohadikusumo antara tahun 1951 sampai dengan tahun
1952. rencana ini didasarkan atas pemikiran bahwa industrialisasi dipandang
sebagai bagian integral dari kebijakan umum untuk menambah kekuatan ekonomi
nasional yang sehat. Konsep dasar rencana ini meliputi kegiatan sebagai berikut
:
1. Memperbaiki dan memperkuat balai-balai penelitian dan
pendidikan untuk mempercepat perkembangan industri
2. Menambah pinjaman kepada perusahaan kerajinan rumah tangga dan
industri kecil untuk memperkuat kedudukan ekonomi mereka dan memungkinkan
meningkatkan mekanisme perusahaan
3. Mendirikan induk-induk perusahaan dengan bantuan langsung dari
pemerintah pada pusat-pusat industri di daerah agrarian. Tujuannya untuk
membimbing perusahaan-perusahaan kecil, perseorangan baik dalam proses produksi
maupun pembelian bahan mentah dan penjualan barang jadi
4. Mendirikan perusahaan-perusahaan industri besar pada
sector-sektor yang
dipandang penting dengan biaya pemerintah dan swasta.
BAB III
Kesimpulan:
Indonesia seharusnya sudah belajar pada krisis ekonomi dan moneter
yang mengguncang dunia pada tahun 1998, dengan hanya sector pertanian dan
perkebunan yang tumbuh positif dan turut menyelamatkan ekonomi domestic.Belajar
dari kasus itu, Indonesia sudah saatnya memberi perhatian utama pada bidang
pertanian dan perkebunan, agar bisa keluar dari krisis pangan yang kini
mengancam dunia. Maka dari itu, setiap komoditas harus didekati secara spesifik
karena masing-masing memiliki spesifikasi yang berbeda.Kemudian lemahnya
koperasi dan usaha kecil menengah dalam memasarkan produk. Contohnya, pada saat
gula pasir naik dan langka pada waktu lalu, petani gula merah malah sedang
bingung bagaimana memsarkan produknya. Jika semua pihak saling membantu, meka
gula merah bisa dijadikan komoditas pengganti gula pasir karena biaya
pembuatannya lebih murah dan tersedia banyak di seluruh Indonesia. Yaitu dengan
cara :
a. Bantuan Promosi
Bantuan yang diperlukan UKM bukan hanya modal, tetapi juga promosi
baik di luar maupun di dalam ruang seperti yang dilakukan Malaysia. Dengan
promosi yang baik, maka produk dalam negeri khususnya UKM, akan dikenal dan
mudah dpasarkan.Disamping promosi, produk UKM juga membutuhkan bimbingan dalam
pengemasan, menjaga kualitas dan ketetapan waktu dalam memenuhi pemasaran.
b. Moratorium Ekonomi Liberal
Indonesia sudah saatnya melakukan moratorium pada system ekonomi
liberal yang saat ini dilaksanakan. Melemahnya daya ekonomi Indonesia saat ini
menjadi momentum untuk melakukan moratorium of liberalism, dengan menunda
liberalisasi perdagangan dengan dan memperkuat perekonomian domestic.Seiring
dengan moratorium itu, perlu dilakukan strategi penguat daya saing, yakni
revitalisasi agroindustri, peningkatan nilai tambah, penguatan daya saing
domestic, peningkatan penetrasi pasar ekspor dan pegembangan tekhnologi
agroindustri.
Perekonomian sebagai salah satu sendi kehidupan yang penting bagi
manusia, oleh al-Qur'an telah diatur sedemikian rupa. Riba secara tegas telah
dilarang karena merupakan salah satu sumber labilitas perekonomian dunia.
Al-Qur'an menggambarkannya sebagai orang yang tidak dapat berdiri tegak
melainkan secara limbung bagai orang yang kemasukan syaithan.
Hal terpenting dari semua itu adalah bahwa kita harus dapat
mengembalikan fungsi asli uang yaitu sebagai alat tukar / jual-beli.
Memperlakukan uang sebagai komoditi dengan cara memungut bunga adalah sebuah
dosa besar, dan orang-orang yang tetap mengambil riba setelah tiba larangan Allah,
diancam akan dimasukkan ke neraka (Qs.al-Baqarah:275). Berdirinya Bank Muamalat
Indonesia merupakan salah satu contoh tantangan untuk membuktikan suatu
pendapat bahwa konsepsi Islam dalam bidang moneter dapat menjadi konsep
alternatif.
Sumber :
1)http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=83:espa4318-sistem-ekonomi&Itemid=73&catid=28:fekon
2)
http://independent89.blogspot.com/2010/03/sistem-perekonomian-indonesia.html
3) buku prof. Dr. Edy
Sunandi Hamid, M. Ec
1 comments:
Posting Komentar