Tekstur
mencakup ukuran, bentuk, dan keteraturan komponen penyusun batuan.
Tekstur pada dasarnya merupakan mikro-geometri batuan. Istilah “berbutir
kasar”, “menyudut”, dan “terimbrikasi” merupakan ungkapan yang
digunakan untuk mernyata-kan tekstur. Seorang ahli geologi mungkin tidak
puas hanya dengan ungkapan seperti itu. Dia ingin memberikan pemerian
yang lebih teliti; dia ingin tahu seberapa kasar komponen penyusun suatu
batuan, bagaimana bentuk sudut-sudutnya, serta arah dan kemiringan
imbrikasinya. Untuk itu, dalam bab ini kita akan memformulasikan
definisi-definisi yang jelas dari setiap ungkapan itu, membahas metoda
pengukurannya, serta teknik-teknik analisis statistik yang dapat
diterapkan pada berbagai aspek tekstur. Selain itu, dalam bab ini kita
juga akan mencoba memahami arti geologi dari setiap aspek tekstur
tersebut.
Beberapa
aspek tekstur bersifat kompleks dan tergantung pada aspek-aspek lain
yang lebih mendasar. Sebagai contoh, porositas tergantung pada
pembandelaan (packing), bentuk, dan pemilahan partikel penyusun batuan.
Berbeda
dengan tekstur, yang pada dasarnya berkaitan dengan hubungan antar
partikel penyusun batuan, struktur merupa-kan gejala batuan berskala
besar seperti perlapisan dan gelembur (ripple mark). Tekstur sebaiknya dipelajari dalam sampel genggam (hand specimen)atau
sayatan tipis. Struktur, di lain pihak, sebaiknya dipelajari pada
singkapan, meskipun ada juga struktur yang terlihat pada sampel genggam.
Sejak
diendapkan, sebagian besar sedimen telah berbeda dengan batuan beku dan
batuan kristalin lain karena memiliki rangka partikel(framework of grains) yang
bersifat stabil dalam medan gravitasi bumi. Berbeda dengan mineral
penyusun batuan beku dan batuan metamorf, yang satu sama lain berada
dalam kontak menerus, kontak antar partikel sedimen adalah kontak noktah
(kontak tangensial). Akibatnya, batuan sedimen memiliki rangka tiga
dimensi yang terbuka. Partikel penyusun sebagian besar sedimen
ditempatkan pada posisinya sebagai zat padat oleh fluida pengangkutnya,
di bawah pengaruh gaya gravitasi. Partikel tersebut umumnya tidak
terbentuk secara in situ. Karena itu, batuan sedimen dikatakan memiliki tekstur hidro-dinamik(hydrodynamic texture).
Sedimen
yang baru terbentuk memiliki porositas yang tinggi. Porositas awal dari
pasir sekitar 35–40%, sedangkan porositas awal dari lanau dan lempung
mungkin sekitar 80%. Salah satu perbedaan utama antara batuan sedimen
dengan batuan beku dan batuan metamorf adalah bahwa batuan sedimen
memiliki porositas, sedangkan batuan beku dan batuan metamorf hanya
sedikit atau tidak memiliki porositas. Namun, dari waktu ke waktu, ruang
pori sedimen akan mengecil hingga mendekati nol. Ruang pori sedimen
mengecil karena terjadinya presipitasi mineral dalam ruang pori. Mineral
yang dipresipitasikan dalam ruang pori berasal dari larutan yang ada
dalam ruang pori atau larutan yang masuk kedalamnya. Tekstur presipitat
kimia itu, dan tekstur yang terbentuk akibat alterasi unsur-unsur rangka
sedimen, disebut tekstur diagenetik (diagenetic texture).
Sebagian besar komponen batuan yang memper-lihatkan tekstur diagenetik
merupakan material kristalin. Tekstur diagenetik terkadang demikian
pervasif sehingga tekstur awal (tekstur pengendapan) dari batuan itu
tertindih atau bahkan hilang sama sekali. Walau demikian, dalam
kasus-kasus umum, kemas awalnya masih terlihat sebagai relik atau “ghost” yang terlihat samar.
Dari
penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa hampir semua sedimen
memperlihatkan dua kemas: kemas hidrodinamik dan kemas diagenetik.
Kesimpulan ini tidak hanya sahih untuk batupasir, namun juga untuk
sebagian besar batugamping. Jadi, perbedaan antara batupasir dengan
batugamping sebenarnya terletak pada komponen penyusunnya, bukan pada
kemasnya.
Banyak
kemas diagenetik disusun oleh material mikrokristalin. Hal itu terjadi
karena sedimen yang mengalami perubahan diagenetik itu memang berupa
material mikrokristalin atau karena terjadinya degradasi pada material
pembentuk rangka partikel yang semula berukuran besar. Degradasi parsial
pada partikel pasir, yang prosesnya disebut “greywackesation”, menyebabkan terbentuknya matriks berbutir halus. Devitrifikasi (devitrification) partikel gelas atau shards juga menghasilkan produk seperti itu. Mikritisasi (micritization) dapat
terjadi pada oolit dan sisa organisme dalam batugamping. Walau
demikian, karena sedimen karbonat lebih rentan terhadap tekanan dan
temperatur normal dibanding pasir, maka proses diagenetik cenderung
menyebab-kan terbentuknya kemas kristalin kasar dalam batuan karbonat.
Sayang sekali, tekstur sebagian sedimen, khususnya serpih, demikian
halus sehingga sangat sukar dipelajari di bawah mikroskop. Pada batuan
seperti itu, kita biasanya tidak dapat mem-bedakan kemas primer (kemas
pengendapan) dengan kemas diagenetik. Karena itu, tidak mengherankan
apabila pengetahuan kita mengenai tekstur batuan seperti itu jauh lebih
sedikit dibanding pengetahuan kita mengenai batupasir atau batugamping.
Beberapa
jenis sedimen tidak memperlihatkan tekstur hidrodinamik maupun tekstur
diagenetik. Sedimen ini mungkin memliki tekstur biogenik (biogenic texture), bila dihasilkan oleh organisme, atau tekstur koloform (colloform texture) bila dihasilkan oleh pembentukan dan koagulasi gel.
Dalam
bab ini pertama-tama kita akan mempelajari kemas pengendapan, terutama
kemas hidrodinamik yang mencirikan pasir dan lanau, baik pasir dan lanau
klastika maupun pasir dan lanau karbonat. Kemudian kita akan
mempelajari kemas kristalin yang terbentuk akibat diagenesis atau
sebab-sebab lain.
3.1 BESAR BUTIR PARTIKEL BATUAN DETRITUS
Besar
butir partikel sedimen detritus sangat penting artinya karena merupakan
variabel dasar yang digunakan untuk mem-baginya menjadi konglomerat,
batupasir, dan serpih. Besar butir dan pemilahan (keseragaman butir)
mencerminkan kompetensi dan efisiensi medium (agen) pengangkut. Dalam
sedimen akuatis, besar butir dapat dipakai sebagai indikator untuk
menentukan jarak endapan dari sumbernya. Endapan yang banyak disusun
oleh partikel kasar biasanya tidak terangkut jauh. Jenis medium
pengangkut dan cara pengangkutan akan mempengaruhi daya angkut dan daya
pilah yang dimiliki oleh medium tersebut. Mengingat fungsinya yang cukup
banyak, besar butir merupakan salah satu aspek tekstur yang perlu
dipahami oleh setiap ahli sedimentologi.
Pemahaman yang menyeluruh tentang arti geologi dari besar butir hanya dapat diperoleh apabila:
- Kita memahami pengertian besar butir.
- Kita mengetahui karakter distribusi besar butir, proses-proses yang bertanggungjawab terhadap distribusi besar butir, serta hubungan antara besar butir dengan jarak dan arah pengangkutan.
3.1.1 Konsep Besar Butir
Apabila
partikel penyusun sedimen klastika semuanya berbentuk bola, maka tidak
akan muncul berbagai kesulitan yang berkaitan dengan masalah pengertian
besar butir seperti sekarang ini. Hanya dengan menyatakan diameternya,
orang sudah paham maksudnya. Kenyataannya, kita justru hampir tidak
pernah menemukan partikel sedimen yang berbentuk bola; yang ada justru
partikel yang tidak beraturan. Karena itu, para ahli sedimentologi
dituntut untuk membuat suatu skema penggolongan yang sesuai dengan
kenyataan tersebut. Jika ada yang mengatakan bahwa konglomerat A tersusun oleh kerikil berdiameter x, maka pertanyaannya adalah: Apa yang dimaksud dengan kata “diameter” dari partikel yang tidak beraturan seperti itu?
Pengukuran
langsung diameter partikel yang tidak beraturan banyak menimbulkan
masalah. Beberapa peneliti memakai istilah panjang, lebar, dan tebal
untuk menyatakan ukuran partikel, tanpa menjelaskan pengertian ketiga
istilah itu. Istilah diameter terpendek, diameter terpanjang, dan
diameter menengah dari suatu elipsoid triaksial memang mudah dikatakan
namun sukar dipraktekkan. Haruskah setiap diameter itu melalui suatu
titik pusat? Haruskah kita mengkombinasikan nilai ketiga diameter itu
dan kemudian membaginya untuk mendapatkan nilai diameter “rata-rata”?
Atau apakah kita cukup menyatakan diameter menengahnya saja? Krumbein
(1941) mengangkat pertanyaan-pertanyaan tersebut dan membuat suatu
kerangka definisi operasionalnya (gambar 3-1). Definisi-definisi yang
agak berbeda dari berbagai definisi yang dikemukakan Krumbein (1941),
diajukan oleh Humbert (1968).
Dalam
praktek, istilah diameter memiliki pengertian yang beragam, tergantung
cara pengukurannya. Semua metoda peng-ukuran partikel sedimen didasarkan
pada suatu premis, yaitu bahwa semua partikel berbentuk bola atau
hampir berbentuk bola atau bahwa hasil pengukuran dinyatakan sebagai
diameter ekivalen bola. Karena tidak ada kondisi faktual yang memenuhi
per-syaratan itu, maka nilai besar butir yang selama ini dikemukakan
orang sebenarnya tidak ada yang benar. Jadi, besar butir suatu partikel
sebenarnya tidak dapat diukur. Sebagai gantinya, beberapa sifat lain
dipakai untuk “mengukur” diameter dan hasilnya kemudian dikonversikan ke
dalam nilai diameter. Pengkonversian dilakukan dengan memakai beberapa
asumsi. Sebagian orang meng-ukur volume suatu partikel, kemudian
menghitung diameter bola yang volumenya sama dengan volume partikel itu.
Diameter seperti itu disebut diameter nominal (nominal diameter) oleh
Wadell (1932). Metoda itu tidak tergantung pada densitas atau bentuk
partikel. Jadi, sahih untuk dipakai. Ahli lain “menguku” diameter
berdasarkan settling velocity partikel. Karena settling velocity tidak
hanya tergantung pada besar butir, namun juga pada bentuk dan
densitasnya, maka metoda ini hanya sahih jika densitas dan bentuk butir
partikel tetap. Hasil pengukuran itu selanjutnya direduksi dan
dikonversikan ke dalam harga diameter atau jari-jari dengan asumsi bahwa
butirannya berbentuk bola dengan densitas 2,65 (densitas kuarsa).
Pada
bab ini kita tidak akan membahas semua metoda pengukuran besar butir
(gambar 3-2). Masalah ini telah dibahas panjang lebar dalam beberapa
buku seperti yang disusun oleh Krumbein & Pettijohn (1938), Dalla
Valle (1943), Irani & Callis (1963), Köster (1964), Müller (1967),
Folk (1968), Allen (1968), dan Carver (1971). Hubungan antara konsep
besar butir dengan diameter dapat dilihat pada tabel 3-1. Kita harus
memahami konsep dasar besar butir ketika menafsirkan hasil-hasil
analisis besar butir karena limitasi setiap metoda menyebabkan hasil
analisis itu hanya memberikan suatu nilai pendekatan.
3.1.2 Istilah-Istilah Besar Butir
Para
ahli geologi menggunakan cukup banyak istilah untuk menyatakan besar
butir partikel sedimen. Beberapa ahli telah mengganti istilah-istilah
yang berasal dari bahasa umum dengan istilah-istilah yang kurang
dikenal. Beberapa istilah tersebut, serta modifikasinya, dapat dilihat
pada tabel 3-2.
Istilah-istilah psefit (psephite), psamit (psammite), dan pelit (pelite) yang diambil dari Bahasa Yunani serta istilah ekivalen-nya—rudit (rudite), arenit (arenite), dan lutit (lutite)—yang
diambil dari Bahasa Latin, diusulkan untuk menggantikan istilah gravel,
pasir, dan lempung. Ketiga istilah yang disebut terakhir ini tidak
hanya menyatakan besar butir, namun mengimplikasikan juga komposisi atau
sifat lain. Istilah lempung, misalnya saja, sekarang ini memiliki arti
ganda, yaitu sebagai istilah besar butir dan jenis mineral. Jika istilah
lempung kemudian disepakati untuk digunakan secara terbatas hanya untuk
menyatakan jenis mineral, maka kita perlu mencari istilah lain untuk
menyatakan besar butir yang semula disebut lempung. Istilah yang agaknya
dapat digunakan sebagai pengganti istilah lempung dalam pengertian
besar butir adalah lutit; suatu istilah yang sebenarnya tidak terlalu
asing bagi kita karena dipakai dalam penamaan batugamping (ingat,
batugamping klastika halus disebut kalsilutit). Sebenarnya, dalam
prakteknya, pemakaian istilah lempung dalam pengertian berganda seperti
tersebut di atas kurang disetujui oleh para ahli. Sebagai buktinya,
agaknya tidak ada ahli geologi yang setuju untuk menamakan lumpur
gamping murni sebagai lempung. Dengan dipakainya istilah lutit, kita
dapat menamakan sedimen seperti itu sebagai kalsilutit (calcilutite). Sedimen lain yang disusun oleh partikel klastika berukuran lempung dapat disebut argilutit(argillutite).
Analog dengan itu, pasir karbonat murni akan disebut batugamping, bukan
batupasir. Tyrell (1921) mengusulkan agar istilah-istilah yang berasal
dari Bahasa Latin digunakan untuk menamakan batuan sedimen, sedangkan
istilah-istilah yang berasal dari Bahasa Yunani digunakan untuk
menamakan batuan metamorf yang berasal dari batuan sedimen.
Istilah-istilah
manapun yang dipilih, setiap istilah itu kemungkinan besar akan
dipersepsikan secara beragam oleh orang yang terlibat dalam suatu bentuk
komunikasi. Sebagai contoh, ketika seseorang mengatakan bahwa dia
menemukan pasir, orang-orang yang mendengarnya mungkin mempersepsikan
pasir itu dengan besar butir yang berbeda-beda karena limit-limit kelas
pasir itu sendiri memang beragam (gambar 3-3). Fakta ini mendorong kita
untuk membuat pembakuan. Sayang sekali, hingga kini keinginan itu masih
belum tercapai. Para ahli rekayasa, ahli tanah, dan ahli geologi masih
memakai rujukan yang berbeda. Sebernarnya, jangankan kesepakatan
diantara orang-orang yang disiplin ilmunya berbeda-beda, diantara
ahli-ahli sedimentologi sendiri masih belum ada kesepakatan.
Skala
besar butir yang biasa digunakan oleh para ilmuwan di Amerika Utara
adalah karya J. A. Udden (1898, 1914). Udden mengembangkan suatu skala
geometri dan menggunakan istilah umum untuk menamakan setiap kelas besar
butir (gravel, pasir, lanau, dan lempung). Pada 1922, Wentworth
menyempurnakan skala Udden dengan mempertimbangkan pendapat para ahli
yang didapatkannya melalui kuestioner. Pada 1947, suatu komite ahli
geologi dan hidrologi mendukung penggunaan skala dan istilah besar butir
Udden-Wentworth, kecuali untuk granul (granule)(Lane dkk, 1947).
Sejak itu, skala Udden-Wentworth digunakan secara luas oleh para
peneliti di Amerika Utara. Kemudian, setelah dilengkapi dengan notasi
phi yang diperkenalkan oleh Krumbein pada 1938, skala besar butir
Udden-Wentworth juga banyak dipakai di tempat lain.
Committee
on Sedimentation dari National Research Council (Amerika Serikat) telah
menerbitkan sejumlah laporan tentang tatanama sedimen, termasuk
didalamnya pendefinisian ulang istilah-istilah besar butir. Skala besar
butir yang mereka usulkan dapat dilihat dalam tabel 3-3, sedangkan
definisi-definisi baru yang mereka ajukan adalah sbb:
- Bongkah (boulder) adalah suatu massa batuan lepas yang agak membundar karena terabrasi selama terangkut dan memiliki diameter minimal 256 mm. Bongkah hasil pelapukan in situ disebut bongkah disintegrasi (boulder of disintegration) atau bongkah ekstrafolasi (boulder of extrafolation). Blok (block) adalah fragmen batuan yang berukuran sama dengan bongkah, namun menyudut dan tidak memperlihatkan jejak pengubahan oleh media pengangkut.
- Kerakal (cobble) adalah suatu massa batuan lepas yang agak membundar karena terabrasi selama terangkut dan memiliki diameter 64–256 mm. Kerakal hasil pelapukan in situ disebut kerakal exfoliasi(cobble of exfoliation).
- Kerikil (pebble) adalah suatu fragmen batuan yang lebih besar dari pasir kasar atau granul dan lebih kecil dari kerakal serta membundar atau agak membundar karena terabrasi oleh aksi air, angin, atau es. Jadi, diameter kerikil adalah 4–64 mm.
- Akumulasi bongkah, kerakal, kerikil, atau kombinasi ketiganya dan tidak terkonsolidasi disebut gravel. Berdasarkan besar butir partikel dominannya, suatu gravel dapat disebut gravel bongkah (boulder gravel), gravel kerakal (cobble gravel), atau gravel kerikil (pebble gravel). Bentuk ekivalen dari gravel, namun sudah terkonsolidasi, disebut konglomerat(conglomerate). Seperti juga gravel, konglomerat dapat berupa konglomerat bongkah (boulder conglomerate), konglomerat kerakal(cobble conglomerate), atau konglomerat kerikil (pebble conglomerate).Rubble adalah akumulasi fragmen batuan yang lebih kasar dari pasir, menyudut, dan belum terkonsolidasi. Bentuk ekivalen dari rubble, namun telah terkonsolidasi, disebut breksi (breccia).
- Istilah pasir (sand) digunakan untuk menamakan agregat partikel batuan yang berdiameter lebih dari 1/16–2 mm.
- Wentworth (1922) mengusulkan istilah granul (granule) untuk menamakan material yang berukuran 2–4 mm.
- Lanau (silt) adalah agregat partikel batuan yang berukuran 1/125–1/16mm.
- Lempung (clay) adalah agregat partikel batuan yang berukuran kurang dari 1/256 mm.
Setiap
kategori itu dapat dibagi lebih jauh. Sebagai contoh, kelas pasir dapat
dibedakan menjadi sub-kelas pasir kasar, pasir sedang, dsb. Istilah
yang ekivalen dengan istilah-istilah tersebut adalah batupasir kasar,
batupasir sedang, dsb.
Dalam
beberapa hal, definisi-definisi di atas agak lemah karena memasukkan
konsep lain, selain konsep ukuran. Kebundar-an, pengubahan besar butir
(abrasi), dan media pengangkut (air, angin, dan es) sebenarnya tidak
perlu diperhitungkan. Jadi, istilah-istilah itu tidak murni deskriptif;
didalamnya terkandung implikasi genetik. Sebenarnya, mungkin tak
seorangpun yang dapat mengikuti batasan itu. Jadi, untuk menentukan
besar butir pasir, seseorang tidak perlu menentukan atau memisahkan
partikel yang berasal dari batupasir tua dengan partikel yang berasal
dari granit.
Dalam
beberapa hal, tata peristilahan yang disusun oleh komite itu juga
kurang lengkap. Sebagai contoh, komite itu telah menyebabkan
terduplikasinya istilah blok yang sebelumnya khusus diterapkan untuk
fragmen piroklastik. Selain itu, komite juga tidak mengusulkan istilah
analog dari blok untuk fragmen yang diameternya kurang dari 256 mm. Hal
itu tampaknya lewat dari perhatian komite. Barangkali komite itu
menyetujui usul Woodford (1925) yang memperluas batasan blok, yaitu
untuk fragmen menyudut, lebih kurang ekuidimensional, dan berdiameter
lebih dari 4 mm. Istilah lemping (slab) telah diusulkan Woodford (1925) untuk menamakan fragmen pipih dengan diameter maksimum lebih dari 64 mm; istilah keping (chip) digunakan untuk menamakan fragmen pipih, menyudut, dan berdiameter kurang dari 64 mm; dan istilah lembaran (flake) dipakai
untuk menama-kan fragmen pipih, menyudut, dan berdiameter maksimum 4
mm. Perhatikan bahwa definisi-definisi yang diusulkan oleh Woodford
(1925) melibatkan dua sifat: besar butir dan bentuk butir. Karena itu,
definisi-definisi itu juga kurang kritis.
Sebelum
dan setelah diterbitkannya laporan-laporan Committee on Sedimentation,
sebenarnya ada beberapa usulan yang diajukan untuk menyempurnakan
tatanama besar butir. Sebagai contoh, Fernald (1929) mengusulkan
istilah roundstone untuk menamakan batuan yang tersusun oleh
partikel berukuran besar (bongkah, kerakal, dan kerikil). Shrock (1948b)
mengusulkan istilah sharpstone untuk analog klastik darirubble. Jadi, istilah sharpstone conglomerate bisa dipakai untuk menamakan breksi sedimen dan istilah roundstone conglomerate untuk
menamakan konglomerat biasa. Dalam usulan Shrock (1948) di atas, sekali
lagi kita melihat adanya dua konsep yang terkandung dalam pendefinisian
istilah besar butir, yakni besar butir dan kebundaran.
Istilah
granul yang diusulkan oleh Wentworth (1922) juga taksa. Istilah granul
hingga saat ini masih dipakai untuk menama-kan presipitat kimia,
khususnya yang disusun oleh silikat besi seperti granul grinalit(greenalite granule) dan granul glaukonit (glauconite granule).
Para ahli umumnya juga tidak menyetujui istilah dan batasan kelas ini.
Lane Committee memasukkan material yang berukuran 2–4 mm ke dalam
kerikil.
Pembahasan
tentang masalah tatanama atau kompendia istilah besar butir dan
agregatnya dapat ditemukan dalam karya tulis Bonorino & Teruggi
(1952) serta dalam tulisan lain, misalnya karya tulis Köster (1964).
Limit-limit
kelas besar butir pada dasarnya bersifat arbitrer dan dipandang “benar”
selama disepakati dan dilaksanakan secara konsisten oleh suatu kelompok
studi sedimen. Walau demikian, Wentworth (1933) menyatakan bahwa skema
peng-golongan yang diusulkannya didasarkan pada dasar “alami”. Dia
berkeyakinan bahwa kelas-kelas besar butir utama berkaitan erat dengan
cara pengangkutannya oleh aliran air dan dengan cara disintegrasi
batuan. Bagnold (1941) menggunakan sifat dinamik dalam mendefinisikan
pasir. Menurut Bagnold, limit bawah dari “pasir” merupakan ukuran butir
yangterminal settling velocity-nya lebih kecil dibanding arus
eddy naik, sedangkan limit atasnya merupakan ukuran butir yang bila
terletak pada suatu bidang akan bergerak bila dikenai oleh tekanan
langsung dari fluida atau dorongan butiran lain yang bergerak dalam
fluida itu. Definisi yang didasarkan pada sifat dinamik ini tergantung
pada khuluk fluida yang bergerak dan hanya sahih untuk kondisi aliran
“rata-rata”. Lebih jauh Bagnold menyatakan bahwa pasir memiliki suatu
karakter yang khas dan tidak dimiliki oleh material lain yang lebih
kasar atau lebih halus daripadanya. Bagnold menamakan karakter itu
sebagai daya akumulasi sendiri (the power of self-accumulation),
yakni kemampuan pasir untuk memanfaatkan energi yang dimiliki medium
pengangkut untuk mengumpul-kan partikel-partikel pasir yang
terpisah-pisah ke tempat tertentu, sedangkan tempat lain dibiarkan tidak
ditutupi oleh pasir.
3.1.3 Penggolongan Agregat Sedimen
Bila
dalam masalah pemakaian istilah individu partikel klastika telah
tercapai sedikit kesepakatan, para ahli sama sekali belum sepakat dalam
pemakaian istilah agregat partikel sedimen. Karena agregat alami jarang
tersusun oleh fragmen yang berukuran sama, maka masalah yang timbul
dalam kaitannya dengan hal ini adalah tatanama agregat yang disusun oleh
campuran fragmen yang berbeda ukurannya. Sebagai contoh, meskipun
definisi kerikil telah disusun demikian rinci, namun definisi gravel
atau konglomerat sendiri sama sekali belum tersentuh. Berbagai pendapat
telah dikemukakan oleh para ahli untuk memecahkan masalah itu. Mungkin
dengan tujuan mempertahankan pemakaian istilah gravel, sebagian ahli
berpendapat bahwa gravel harus mempunyai besar butir rata-rata yang
jatuh pada kisaran besar butir gravel. Ahli lain berpendapat bahwa suatu
endapan baru dapat disebut gravel apabila mengandung paling tidak 50%
(atau angka lain) partikel yang ukurannya termasuk ke dalam kategori
gravel.
Metoda-metoda
di atas, atau metoda lain, yang digunakan untuk menamakan agregat
sedimen tidak ada yang ekivalen satu sama lain dan tidak ada satupun
yang memuaskan semua pihak. Sebagai contoh, suatu sedimen yang terpilah
buruk dan merupakan campuran gravel kasar dengan pasir mungkin akan
digolongkan sebagai pasir kasar jika harga rata-rata besar butirnya
jatuh pada kisaran besar butir pasir kasar, meskipun partikel pasir
hanya menyusun 10-20% tubuh sedimen tersebut. Bila suatu saat kita
menemukan sedimen yang terpilah buruk secara ekstrim, berupa campuran
gravel, pasir, lanau, dan lempung dengan proporsi masing-masing tidak
ada yang lebih dari 50%, akan dinamakan apa batuan seperti itu? Beberapa
nama khusus pernah diusulkan oleh beberapa ahli misalnya Flint dkk
(1960a, 1960b) serta Schermerhorn (1966).
Banyak usul diajukan para ahli untuk memecahkan masalah di atas. Secara umum ada dua ancangan yang diusulkan, yakni:
- Mencoba membakukan tata peristilahan yang digunakan selama ini. Dengan cara ini, dukungan diberikan pada praktek pemakaian istilah-istilah tertentu dan limit-limit istilah tertentu didefinisikan kembali.
- Membuat serangkaian batas arbitrer untuk bentuk-bentuk campuran serta mendefinisikan dan memberikan nama untuk tiap campuran itu menurut suatu kerangka pemikiran yang sistematis.
Ancangan
pertama cenderung pada ketidakteraturan dan tampaknya akan mendorong
munculnya batas-batas dan definisi-definisi yang kurang logis. Ancangan
kedua akan menyebabkan timbulnya masalah ketidaksesuaian antara seorang
peneliti dengan peneliti lain. Kedua ancangan di atas dapat dilukiskan
dengan masalah penamaan campuran pasir dengan gravel. Misalkan ada suatu
campuran pasir dan gravel yang membentuk sistem biner yang terdiri dari
dua anggota-tepi(end-member), yaitu pasir dan gravel. Campuran
sistem biner itu dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, kemudian
memberi nama setiap kelompok itu (gambar 3-4A). Meskipun skema itu
sederhana, namun ternyata kurang terpakai. Willman (1942) menyatakan
bahwa sebagian besar endapan yang sehari-hari dinamakan gravel ternyata
mengandung lebih kurang 50% pasir, bahkan ada juga yang mengandung pasir
hingga 75%. Karena itu, dia mengusulkan skema penggolongan seperti yang
terlihat pada gambar 3-4B. Jadi, yang dinamakan pasir kerakalan
mengandung kerakal kurang dari 25%; gravel pasiran mengandung 50–75%
pasir, dan 25–50% gravel. Menurut skema penggolongan itu, suatu endapan
yang mengandung partikel berukuran gravel 25% akan disebut gravel.
Karena itu, bila seseorang menyetujui klasifikasi itu, kemudian di
lapangan dia menemukan endapan ter-konsolidasi yang disusun oleh 25%
komponen berukuran gravel, maka dia harus menamakannya konglomerat.
Campuran
tiga komponen seperti campuran pasir-lanau-lempung, meskipun jarang
ditemukan, namun memang ada. Hingga dewasa ini banyak usaha dilakukan
oleh para ahli untuk menyusun skema penggolongan campuran seperti itu
(gambar 3-5). Seperti terlihat pada gambar 3-5, agregat tiga komponen
dapat direpresentasikan oleh diagram segitiga sama sisi (triangular diagram),
dimana setiap sudut segitiga itu mewakili jenis komponen, sedangkan
sisi-sisinya sebanding dengan proporsi setiap komponen. Segitiga itu
selanjutnya dapat dibagi menjadi beberapa ruang, dan sebuah istilah
diberikan kepadanya.
Sebagaimana
terlihat pada gambar 3-5, hingga saat ini belum ada kesepakatan
diantara para ahli geologi, oseanografi, ilmu tanah, dan rekayasa
mengenai skema penggolongan campuran pasir-lanau-lempung. Sebagai
contoh, istilah lempung dipakai sebagai nama agregat yang mengandung
paling tidak 50% lempung (diagram A) atau minimal 80% (diagram D).
Untuk
menggantikan sistem tiga komponen, beberapa ahli mengusulkan skema
penggolongan lain yang didasarkan pada dua parameter. Sebagai contoh,
Baker (1920) mendasarkan skema penggolongannya pada “besar butir
ekivalei” (“equivalent grade”; maksudnya besar butir rata-rata) dan “faktor besar butir” (“grading factor”;
maksudnya koefisien pemilahan). Niggli (1934), sebagaimana Baker,
mengusulkan skema penggolongan yang hanya dapat dipakai bila si
pemakainya mengetahui distribusi besar butir sedimen secara keseluruhan.
Penentuan nama setiap jenis sedimen yang ada dalam skala itu didasarkan
pada nisbah dua nilai kritis yang diperoleh dari kurva distribusi besar
butir.
Dari
seluruh penjelasan di atas, jelas sudah bahwa hingga sekarang bukan
saja tidak ada kesepakatan mengenai tatanama, namun juga tidak ada
satupun sistem penggolongan yang dapat digunakan tanpa melalui analisis
besar butir yang lengkap. Di lain pihak, kita tahu bahwa analisis besar
butir tidak mungkin, atau paling tidak sangat sukar, dilakukan pada
sedimen yang sangat kompak. Karena itu, manfaat skema-skema klasifikasi
itu relatif terbatas sewaktu diterapkan pada sedimen purba.
Meskipun
secara teoritis sedimen klastika mungkin merupakan campuran dari tiga
(atau empat) komponen, namun nyatanya endapan seperti itu jarang
ditemukan. Sebagian besar sedimen disusun oleh satu komponen dan hanya
sedikti diantaranya yang mengandung material lain. Karena itu,
penyusunan skema klasifikasi tiga atau empat komponen yang rumit dapat
dikata-kan tidak perlu. Kita mungkin perlu mencontoh skema klasifikasi
yang disusun oleh Wentworth pada 1922 (tabel 3-4). Meskipun skema itu
tidak mencakup semua tipe campuran yang mungkin ada, namun hampir tidak
menemui hambatan bila diterapkan pada endapan alami, kecuali untuk
jenis-jenis yang sangat spesifik. Berdasarkan analisisnya terhadap 50
hasil pengukuran Udden (1914) yang diambil secara random, Wentworth
melihat bahwa hanya satu sampel (yakni sampel till) yang tidak sesuai dengan skema klasifikasi itu.
Prinsip
seperti itu dipakai oleh Krynine (1948) yang mengusulkan bahwa istilah
konglomerat, batupasir, dan batulanau dapat dipertahankan dan kata lain
dapat ditambahkan jika memang diperlukan untuk menunjukkan adanya
komponen lain dengan proporsi yang layak diperhitungkan. Sebagai contoh,
suatu batupasir bisa disebut konglomeratik jika mengandung kerikil >
20%; disebut kerikilan jika mengandung kerikil 10–20%; disebut lanauan
jika mengandung lanau > 20%; dan disebut lempungan jika mengandung
lempung > 20%. Demikian pula untuk batuan lain.
Penggolongan
breksi atau agregat lain yang disusun oleh partikel menyudut didasarkan
pada azas yang sama dengan usulan Woodford (1925). Dengan memakai
istilah rubble untuk agregat fragmen menyudut yang berukuran >
2 mm, kita dapat menamakan beberapa batuan sebagai berikut: breksi
tersusun oleh > 80% rubble; breksi pasiran mengandung pasir
> 10%; breksi lanauan mengandung lanau > 10%; breksi lempungan
mengandung lempung > 10%. Selain itu, syarat lain yang diperlu-kan
adalah tidak ada komponen lain yang proporsinya > 10%. Jika kasus
seperti itu muncul, maka diusulkan untuk mengguna-kan istilah breksi
tanah (earthy breccia). Kasus yang disebut terakhir ini dapat dipandang sebagai masalah khusus (lihat Bab 6).
3.1.4 Distribusi Besar Butir
3.1.4.1 Skala Besar Butir
Meskipun
besar butir partikel sedimen membentuk suatu deret kontinu, namun para
ahli menemukan bahwa deret itu perlu dan terasa bermanfaat apabila
dibagi-bagi ke dalam sejumlah kelas besar butir. Skema penggolongan
hasil pembagian itu disebut skala besar butir(grade scale). Alasan dibuatnya skala itu adalah:
- Pembagian itu memungkinkan dilakukannya pembakuan tata peristilahan sedemikian rupa sehingga pemerian material sedimen dapat lebih sistematis dan, pada gilirannya, menghindarkan kita dari salah pengertian.
- Pembagian itu memungkinkan distribusi besar butir mudah dianalisis secara statistik.
Kisaran
nilai besar butir yang harus dibagi sangat lebar, mulai dari besar
butir lempung yang mungkin hanya sekitar 1 μm, hingga bongkah yang
berukuran lebih dari 1 m. Untuk kisaran yang begitu lebar, sukar bagi
kita untuk membaginya berdasarkan skala linier karena, misalnya saja,
jika 1 mm digunakan sebagai rentang tiap kelas, maka akan terlihat bahwa
hampir semua material yang kita kenal sebagai pasir, lanau, dan lempung
akan masuk ke dalam satu kelas tersendiri, sedangkan material yang kita
kenal sebagai pasir atau gravel justru akan terbaik ke dalam 999 kelas.
Jadi, untuk membagi kelas besar butir harus dipakai skala geometri.
Dalam skala geometri, selang kelas yang panjang diterapkan pada partikel
kasar dan selang kelas yang pendek diterapkan pada partikel halus.
Ketika Bagnold (1941) menerapkan skala geometri untuk membagi kelas
besar butir, dia melihat bahwa skala ini memang sesuai dengan keadaan
alaminya.
Skala
alami untuk besar butir partikel sedimen adalah skala geometri. Udden
telah menyadari hal itu sejak 1898. Dia memilih satu milimeter sebagai
titik awal, kemudian memakai perbandingan ½ (atau 2, tergantung darimana
kita melihatnya) sedemikian rupa sehingga limit-limit kelas besar butir
itu adalah … ¼, ½, 1, 2, 4, 8, … (gambar 3-3). Skala Udden itu didukung
oleh Wentworth (1922) dan Lane Committee dari National Research Council
(1947) (tabel 3-3).
Skala
Udden memiliki beberapa kelemahan. Skala itu kurang sesuai untuk
digunakan dalam menganalisis sedimen yang ter-pilah baik, misalnya pasir
gumuk, karena jumlah kelas besar butir pada sedimen tersebut terlalu
sedikit untuk dapat dianalisis secara statistik. Karena itu, skala Udden
perlu disempurnakan dengan cara membagi setiap kelas besar butir
menjadi beberapa sub-kelas. Namun, jika skala geometri tetap
dipertahankan, maka pembagian kelas itu akan menyebabkan munculnya
limit-limit kelas besar butir yang merupakan bilangan irasional sehingga
sukar untuk dilibatkan dalam perhitungan. Selain itu, nilai titk-titik
tengah (geometric mean) dari setiap kelas dan sub-kelas yang
merupakan salah satu unsur kuantitatif yang dilibatkan dalam perhitungan
statistik, juga merupakan bilangan irasional.
Untuk
menghindarkan munculnya bilangan irasional dan untuk menyederhanakan
perhitungan statistik, Krumbein (1934) mengusulkan suatu skala lain yang
disebut skala phi (phi scale). Skala itu disusun berdasarkan
hasil observasinya terhadap skala Udden, dimana dia melihat bahwa
limit-limit kelas besar butir dalam skala Udden dapat dinyatakan sebagai
pangkat dua dari dua: 4 adalah 22, 8 adalah 23, 16 adalah 24, 1 adalah 20, ½ adalah 2–1,
dsb. Karena itu, dia mengusulkan pemakaian nilai eksponen (logaritma
dengan bilangan dasar 2) dari nilai besar butir untuk menyatakan
diameter partikel. Selanjutnya, untuk menghindarkan adanya angka negatif
dalam nilai logaritma partikel halus, Krumbein mengalikan log itu
dengan –1 (gambar 3-6). Jadi, f =2log diameter (mm).
Selain
skala-skala tersebut di atas, ada beberapa skala besar butir lain yang
pernah diusulkan para ahli (lihat gambar 3-3). Beberapa diantaranya ada
yang bersifat geometris reguler seperti skala Udden. Skala yang lain
agak berbeda. Sebagai contoh, skala yang diusulkan oleh Atterberg
(1905), selain bersifat geometris reguler, juga bersifat desimal dan
siklitis. Dalam skala desimal, angka limit-limit kelas besar butirnya
sama, hanya letak tanda komanya yang berbeda. Sebagai contoh, pada skala
Atterberg, angka limit-limit kelas besar butirnya adalah … 0.02, 0.2,
2, 20, 200 … Jumlah kelas dalam skala Atterberg tidak cukup banyak untuk
dapat dipakai dalam analisis statistika. Bila setiap kelas ini dibagi
lagi menjadi sejumlah sub-kelas, dimana nilai limit-limit sub-kelas
besar butir itu dibuat sedemikian rupa sehingga mengikuti aturan
logaritmik, maka nilai limit-limit sub-kelas besar butir itu akan berupa
bilangan irasional yang sukar diingat, kecuali bila dibulatkan, dan
kurang sesuai untuk analisis statistik. Karena itu, dilihat dari
segi-segi tersebut, skala Atterberg tidak penting. Walau demikian, skala
Atterberg pernah dipakai secara luas oleh para ahli ilmu tanah dan ahli
geologi Eropa.
Beberapa
skala besar butir yang lain tidak bersifat geometris dan tidak pula
linier. Skala tidak beraturan seperti itu digunakan oleh U.S. Department
of Agriculture dan para ahli ilmu tanah di Amerika Serikat. Skala itu
memang memberikan hasil yang memuaskan bila digunakan untuk memerikan
material berbutir sedang dan halus, namun kurang sesuai bila digunakan
untuk meneliti material berbutir kasar atau untuk analisis statistik.
Meskipun
cukup banyak skala besar butir yang telah disusun oleh para ahli, namun
hingga saat ini para ahli ilmu tanah, ahli teknik sipil, ahli
oseanografi, dan ahli geologi masih belum sepakat untuk memakai salah
satu diantara skala-skala itu sebagai skala baku. Bagi para ahli
sedimentologi, suatu skala baku harus bersifat geometris agar
memungkinkan dilakukannya analisis statistik. Skala Udden dan skala phi
yang diturunkan daripadanya dapat memenuhi tuntutan tersebut. Karena
itu, skala ini digunakan secara luas oleh para ahli sedimentologi. Skala
itu dijadikan dasar untuk menentukan limit-limit kelas besar butir yang
disajikan dalam buku ini.
3.1.4.2 Tampilan Distribusi Frekuensi Besar Butir
Unsur-unsur
detritus dari sedimen klastika (butir pasir, kerakal, dsb), apabila
disusun berdasarkan ukurannya, akan memperlihatkan distribusi yang
kontinu. Maksudnya, nilai besar butir dari semua unsur itu akan dapat
disusun secara berurutan, dari kecil hingga besar, dimana nilai-nilai
besar butir itu hanya sedikit berbeda sedemikian rupa sehingga dapat
dipandang berubah secara berangsur dan kontinu. Seperti telah diketahui,
secara konvensi biasanya kita membagi distribusi kontinu itu ke dalam
sejumlah kelas besar butir. Pembagian tersebut memungkinkan kita untuk
membandingkan distribusi besar butir suatu tubuh sedimen dengan tubuh
sedimen lain serta untuk menganalisis distribusinya.
Distribusi
frekuensi besar butir suatu sedimen dapat ditampilkan dalam bentuk
tabel (gambar 3-5) atau grafik. Tampilan distribusi frekuensi secara
grafik lebih mudah ditangkap maksudnya daripada tampilan yang berupa
tabel.
Bentuk-bentuk tampilan grafis yang sering dipergunakan adalah histogram dan kurva kumulatif (cumulative curve) (gambar
3-7 dan 3-8). Bentuk histogram dan kurva kumulatif yang digunakan dalam
sedimentologi agak menyimpang dari bentuk umum. Karena digunakan untuk
analisis besar butir, histogram dan kurva kumulatif itu umumnya
memperlihatkan prosentase setiap kelas berdasarkan berat material, bukan
prosentase jumlah partikel dalam setiap kelas besar butir. Selain itu,
pada beberapa tahun terakhir, nilai besar butir yang dirajahkan pada
sumbu-x biasanya berupa logaritma besar butir; bukan besar
butirnya sendiri. Karena itu, lebar setiap batang pada histogram, yang
merepresentasikan kisaran besar butir, dilukiskan sama, meskipun rentang
kelas yang diwakilinya sebenarnya tidak sama. Cara ini mempermudah
interpolasi kurva kumulatif. Selain itu, arah perubahan nilai skala
dalam kedua bentuk tampilan itu bertolak-belakang dengan pola
konvensional. Nilai-nilai besar butir dalam histogram dan kurva
kumulatif itu menurun ke arah kanan (kita tahu biasanya suatu kuantitas
dalam histogram dan kurva kumulatif konvensional bertambah ke arah
kanan). Namun, “keanehan” itu justru menambah tingginya nilai praktis
dari kedua gambar itu karena memungkinkan dirajahkannya kurva kumulatif
dalam kertas log probabilitas (gambar 3-9). Nilai-nilai diameter atau
phi dirajahkan dalam skala biasa, sedangkan frekuensi kumulatif
dirajahkan pada skala probabilitas. Banyak kurva kumulatif hasil
perajahan itu tampak sebagai garis lurus, bukan berbentuk “S” seperti
yang biasa tampak dalam plot biasa (bandingkan gambar 3-8 dengan gambar
3-9).
3.1.4.3 Karakter Distribusi Frekuensi Besar Butir
Hasil
pembandingan histogram dari beberapa sedimen yang berbeda
memperlihatkan adanya kesamaan dan perbedaan. Perbedaan-perbedaan
tersebut juga terlihat dalam kurva kumulatif, namun sukar untuk
ditafsirkan. Udden (1914) membahas masalah ini dan memperkirakan bahwa
perbedaan itu muncul akibat adanya hal-hal yang berkaitan dengan agen
atau lingkungan pengendapan. Beberapa contoh variasi karakter distribusi
frekuensi besar butir dapat dilihat pada gambar 3-10.
Ada
beberapa sifat distribusi frekuensi yang penting untuk dipahami.
Seperti terlihat pada gambar 3-10, diantara semua kelas besar butir itu
terdapat suatu kelas besar butir yang frekuensinya lebih tinggi daripada
kelas besar butir lain. Kelas itu disebut kelas modus (modal class).
Kelas-kelas lain memiliki frekuensi yang secara berangsur makin rendah
dengan makin jauhnya letak kelas itu dari kelas modus. Walau demikian,
kadang-kadang ditemukan pengecualian dimana dua atau tiga kelas besar
butir yang terletak cukup jauh dari kelas modus memiliki frekuensi yang
lebih tinggi dibanding kelas yang berdampingan dengan kelas modus
(gambar 3-10F). Kelas seperti itu disebut kelas modus sekunder(secondary modal class). Sedimen yang memiliki lebih dari satu kelas modus disebut polimodus (polymodal).
Dengan
mengamati hasil-hasil analisis yang ditampilkan secara grafis, misalnya
yang terlihat pada gambar 3-10, kita dapat menemukan beberapa karakter
lain, yaitu:
- Jumlah kelas besar butir tidak selalu sama. Dengan kata lain, sedimen dapat memiliki derajat pemilahan yang beragam. Perhatikan jumlah kelas besar butir dalam gambar 3-10A ada 5; dalam gambar 3-10D dan E ada 6; dalam gambar 3-10B dan C ada 9; sedangkan dalam gambar 3-10F ada 10.
- Letak kelas modus terhadap kelas-kelas lain tidak selalu sama. Dengan kata lain, sedimen dapat memiliki kemencengan (skewness) yang beragam. Berdasarkan letak modus kelas, relatif terhadap kelas-kelas lain, distribusi besar butir sedimen ada yang setangkup (gambar 3-10A, B, C) maupun tidak setangkup atau menceng (gambar 3-10D dan E).
- Frekuensi kelas modus, relatif dibanding frekuensi kelas-kelas lain, juga tidak selalu sama. Dengan kata lain, sedimen dapat memiliki kemancungan (kurtosis) yang beragam.
Dari pembahasan di atas, jelaslah sudah bahwa ada empat sifat distribusi besar butir, yakni:
- Besar butir “rata-rata” atau kecenderungan pertengahan (central tendency): mean, median, dan modus.
- Dispersi atau “pemilahan”. Dalam istilah statistik, dispersi disebut simbangan baku (standard deviation).
- Kesetangkupan (symmetry) atau kemencengan (skewness).
- Kemancungan (kurtosis).
Penjelasan
yang lebih mendetil tentang sifat-sifat tersebut, yang dapat digunakan
untuk memerikan distribusi frekuensi besar butir, dapat ditemukan dalam
berbagai buku ajar statistika elementer.
Sudah
barang tentu akan sangat baik apabila kita dapat menyajikan sifat-sifat
itu dalam bentuk angka. Penampilan yang ringkas seperti itu tidak hanya
memungkinkan kita untuk mengatakan apakah suatu sedimen memiliki
pemilahan yang lebih baik (memiliki simpangan baku yang lebih kecil)
atau lebih buruk (memiliki simpangan baku yang lebih besar) dibanding
sedimen lain, namun juga dapat mengungkapkan seberapa baik pemilahannya.
Angka-angka seperti itu juga memungkinkan kita untuk merajahkan ukuran
partikel rata-rata (atau sifat lain) terhadap jarak endapan dari
sumbernya serta menyajikan hubungan antara ukuran partikel dengan jarak
angkut secara kuantitatif. Demikian pula, adanya angka-angka seperti itu
memungkinkan kita untuk merajahkan nilai-nilai tertentu, misalnya saja
median atau parameter besar butir lain, ke dalam sebuah peta. Dalam peta
seperti itu, setiap angka berkorespondensi dengan satu parameter besar
tertentu yang diketahui dari sampel yang diambil pada lokasi tersebut.
Setelah itu, kita dapat membuat sebuah peta kontur yang didasarkan pada
angka-angka yang telah dirajahkan pada peta itu. Dengan cara seperti
itu, kita akan dapat menafsirkan arah aliran atau hal lain.
Parameter-parameter
distribusi frekuensi besar butir dapat dibaca atau dihitung dari
titik-titik tertentu yang ada pada kurva kumulatif. Parameter-parameter
sejenis juga dapat ditentukan dengan cara melakukan perhitungan tertentu
dengan memakai data mentah. Parameter-parameter seperti itu disebut
“ukuran-ukuran momen”(“moment measures”).
Banyak
usaha telah dilakukan oleh para ahli untuk menelaah distribusi besar
butir dan banyak diantaranya kemudian mengajukan berbagai cara untuk
menaksir parameter-parameter besar butir. Ikhtisar berbagai usaha para
ahli itu, beserta hasil-hasilnya, telah disajikan secara ringkas oleh
Folk (1966). Selain itu, perlu juga ditelaah karya tulis Inman (1952),
Krumbein & Pettijohn (1938), serta McBride (1971). Tidak mungkin
bagi kita untuk membahas dan mengevaluasi semuanya disini. Secara umum,
dapat dikatakan bahwa dewasa ini ada kecenderungan di kalangan para ahli
untuk menggunakan nilai phi, bukan nilai diameter sebenarnya, dalam
mengungkapkan karakter distribusi besar butir serta untuk menghitung
parameter-parameter besar butir dari titik-titik tertentu yang ada pada
kurva kumulatif, misalnya nilai-nilai kuartil (persentil 25, 50, dan 75)
bersama-sama dengan persentil 10 dan 90 atau nilai-nilai persentil 5,
16, 50, 84, dan 95. Tabel 3-6 merupakan ikhtisar dari beberapa rumus
yang dapat digunakan untuk menyatakan parameter-parameter besar butir.
3.1.4.4 Khuluk Matematis dari Distribusi Frekuensi Besar Butir
Udden
(1914) menemukan fakta bahwa skala besar butir geometris cenderung
menyebabkan terbentuknya kurva frekuensi (atau histogram) yang simetris.
Dengan kata lain, apabila kita merajahkan distribusi frekuensi bukan
dengan memakai nilai besar butir sebenarnya, melainkan nilai log besar
butir sebagai variabel bebas, maka distribusi besar butir akan cenderung
simetris. Fakta itu mendorong sebagian ahli untuk menelaah khuluk
distribusi besar butir serta menentukan jenis fungsi, menyatakan fungsi
itu dalam bentuk persamaan, dan mencari faktor-faktor fisik apa yang
melatarbelakanginya.
Krumbein
(1938) menyimpulkan bahwa banyak sedimen memiliki distribusi besar
butir log normal dan dia menyajikan distribusi itu sebagai sebuah fungsi
Gauss, di dalam distribusi mana nilai log besar butir digunakan sebagai
pengganti nilai besar butir sebenarnya. Krumbein kemudian melakukan
sejumlah pengujian untuk meneliti normalitas fungsi tersebut sedemikian
rupa sehingga akhirnya dia dapat menemukan sejumlah persyaratan yang
dapat dipenuhi oleh kebanyakan sedimen. Karakter log normal dari
distribusi besar butir dapat dengan cepat diketahui dari kertas
probabilitas yang telah dimodifikasi (Otto, 1939). Distribusi besar
butir, yang dinyatakan sebagai prosentase berat, dikumulasikan dengan
cara biasa dan kemudian dirajahkan sebagai fungsi dari log besar butir
(gambar 3-9). Sedimen pada umumnya hanya memperlihatkan sedikit deviasi
dari garis lurus; bahkan ada sebagian yang benar-benar muncul sebagai
sebuah garis lurus. Walau demikian, harus diakui bahwa ada sedimen yang
tidak memperlihatkan distribusi log normal.
Bagnold
(1941) berkeyakinan bahwa distribusi besar butir bukan merupakan fungsi
log normal, melainkan fungsi probabilitas lain. Roller (1937, 1941)
mengajak para ahli untuk memperhatikan kekeliruan teoritis dan aktual
dari hukum probabilitas Gauss untuk partikel kasar dan partikel halus
yang ada dalam sedimen. Pada beberapa kasus, distribusi besar butir
mungkin lebih mendekati distribusi partikel yang merupakan produk
penghancuran random. Distribusi besar butir itu, sebagaimana
diperlihat-kan oleh batubara yang dihancurkan, dapat dinyatakan dalam
bentuk persamaan seperti yang diajukan oleh Rosin & Rammler (1934).
Beberapa endapan piroklastik kasar, glacial boulder clayatau till,
serta produk pelapukan residu yang diamati oleh Krumbein & Tisdel
(1940) memiliki distribusi yang mengindikasikan bahwa pembentukannya
terjadi akibat proses penghancuran random. Kesimpulan itu didukung oleh
hasil-hasil penelitian Kittleman (1964). Lihat gambar 3-11. Bahkan,
distribusi besar butir dalam beberapa sedimen biasa (misalnya batupasir
arkose dan batupasir kuarsa) mendekati Hukum Rosin (Dapples dkk, 1953).
Walau demikian, Roller (1937, 1941) menyatakan bahwa Hukum Rosin juga
memiliki beberapa kelemahan teoritis dan praktis.
Beberapa
bukti menunjukkan bahwa banyak, jika bukan sebagian besar, distribusi
frekuensi besar butir sedimen alami merupakan gabungan dari dua atau
lebih distribusi diskrit. Setiap distribusi itu merupakan sebuah
populasi tersendiri, dimana masing-masing mungkin merupakan distribusi
log normal. Kombinasi dari sejumlah distribusi itu menyebabkan munculnya
distribusi yang cenderung memiliki kemencengan tinggi, bahkan dalam
beberapa kasus menyebabkan munculnya distribusi bimodus (atau
polimodus). Beberapa usaha telah dilakukan oleh para ahli—misalnya
Tanner (1959), Spencer (1963), dan Visher (1969)—untuk “memisahkan”
kurva kumulatif dan memisahkan populasi-populasi dfskrit yang membentuk
populasi total itu.
3.1.5 Distribusi Besar Butir dan Penyebabnya
Secara
umum, penafsiran hasil analisis besar butir dilakukan dengan tiga
metoda. Metoda pertama mengaitkan karakter kurva distribusi besar butir
dengan hidrodinamika (dengan proses pengendapan). Metodologi ini
dikembangkan oleh Udden (1914) untuk menelaah distribusi bimodus yang
diperlihatkan oleh banyak sedimen sungai yang berbutir kasar, dimana
modus kasar ditafsirkan sebagai produk pengangkutan traksional,
sedangkan modus yang lebih halus ditafsirkannya sebagai produk
pengangkutan saltasional. Penafsiran kurva-kurva distribusi besar butir
dalam kaitannya dengan hidrodinamika dikembangkan lebih jauh oleh Inman
(1949), Moss (1962, 1963), Friedman (1967), dan Visher (1969). Metoda
kedua didasarkan pada asumsi bahwa distribusi besar butir sedimen pada
dasarnya merupakan produk dari proses-proses pembentukan sedimen. Dalam
metodologi ini, distribusi besar butir dinisbahkan pada batuan sumber
dan distribusi itu sendiri merupakan cerminan dari proses disintegrasi
batuan sumber. Breakage theories yang dikembangkan oleh Rosin
& Rammler (1934), Kolmogorov (1941), dan Tanner (1959) serta
berbagai pengamatan yang dilakukan oleh Rogers dkk (1963) dan Smalley
(1966) merupakan contoh dari penerapan metoda ini. Metoda ketiga adalah
melakukan penelitian empiris terhadap karakter distribusi besar butir
sedimen yang diambil dari berbagai lingkungan geomorfik untuk melihat
hubungan, jika ada, antara distribusi besar butir dengan lingkungan
pengendapan. Metodologi ini ditemukan pertama kali oleh Udden (1914),
kemudian dikembangkan oleh Wentworth (1931a), Sindowski (1957), Friedman
(1961, 1962), Moiola & Weiser (1968), dan beberapa ahli lain.
Dalam
tulisan di bawah ini kita akan membahas secara lebih mendetil setiap
ancangan tersebut di atas dalam mempelajari distribusi besar butir
sedimen.
3.1.5.1 Besar Butir dan Provenance
Besar
butir tertentu terlihat kurang terepresentasikan secara layak dalam
sistem sedimen. Wentworth (1933) mengajak para ahli untuk menelaah
masalah itu dan berpendapat bahwa hasil penelaahan itu akan menjadi
dasar alami untuk mendefinisikan kelas-kelas besar butir. Dia menyatakan
bahwa kurang terepresentasikannya kelas besar butir tertentu, dan lebih
terepresentasi-kan kelas besar butir lain, terjadi akibat proses
pembentukan partikel dan faktor-faktor hidrodinamika (tabel 3-7).
Apa
buktinya bahwa kelas-kelas besar butir tertentu kurang
terepresentasikan dalam distribusi besar butir sedimen? Einstein dkk
(1940) menyitir hasil penelitian Nesper di Sungai Rhine, Swiss, di
tempat mana material dasar sungai disusun oleh partikel dengan diameter
5–100 mm. Selain itu, diantara bongkah yang relatif besar serta pada
lubuk yang relatif terlindung ditemukan pasir dengan diameter 1 mm dan
material lain yang lebih halus daripadanya. Walau demikian, partikel
dengan diameter 1–5 mm tidak ditemukan di sana. Para peneliti itu
menyimpulkan bahwa partikel dengan diameter 1–5 mm “jarang ditemukan
karena adanya pengaruh faktor-faktor geologi dan hidrolika tertentu”. Di
Sungai Rhine, material kasar merupakan bagian dari beban dasar,
sedangkan pasir merupakan bagian dari beban suspensi.
Statistik
dari sekitar 1000 data analisis besar butir yang telah diterbitkan
menunjukkan adanya defisiensi pada kelas granul (2–4 mm) dan pasir kasar
(1–2 mm), bahkan mungkin juga pada kisaran pasir halus (1/16–1/8 mm)
(Pettijohn, 1940). Bukti yang menyokong kesimpulan tersebut terutama
berupa fakta bahwa kelas modus sedimen jarang yang jatuh pada
kelas-kelas besar butir tersebut. Kalau memang tidak terjadi defisiensi,
maka hasil analisis besar butir yang ada selama ini akan memperlihatkan
bahwa kelas modus juga akan sering jatuh pada kelas-kelas tersebut,
sesering kelas modus yang jatuh pada kelas-kelas besar butir lain. Hasil
analisis terhadap 241 sampel pasir dan gravel aluvial dari bagian
selatan California (Conkling dkk, 1934) menunjukkan bahwa kelas modus
hanya jatuh tiga kali pada kelas besar butir 2–4 mm. Angka itu jauh
lebih kecil dibanding dengan kelas modus ½–1/4 mm
yang jatuh sebanyak 63 kali dan kelas modus 32–64 mm yang jatuh sebanyak
41 kali. Hasil-hasil penelitian itu didukung oleh Schlee (1957) yang
meneliti gravel aluvial pada bagian hulu sungai di selatan Maryland.
Dari 72 sampel alur, tidak ada satupun yang memiliki kelas modus 1–2 mm
atau 2–4 mm. Distribusi besar butir komposit, yang dibuat dengan cara
menyatakan nilai rata-rata dari 72 sampel tersebut, juga memperlihatkan
defisiensi pada kelas-kelas besar butir tersebut (gambar 3-12).
Keanehan
tersebut tidak hanya berlaku pada sedimen fluvial karena, sebagaimana
diperlihatkan oleh Hough (1942), sedimen pesisir dan sedimen dasar teluk
Buzard dan Cape Cod juga memperlihatkan defisiensi seperti itu. Hough
menyatakan bahwa median dari beberapa ratus sampel jarang yang jatuh
pada kelas 2–4 mm atau kelas 1/16–1/32mm.
Demikian pula, data distribusi besar butir komposit dari 64 sampel
sedimen Massachussetts Bay yang dianalisis oleh Trowbridge & Shepard
(1932) menunjukkan rendahnya frekuensi pada kelas 1–2 mm. Rendahnya
frekuensi itu dijelaskan sebagai kekosongan (gap) antara dua
beban sedimen: salah satu beban diangkut oleh gelombang badai, sedangkan
beban lain diangkut oleh gelombang yang lebih tenang. Perlu dicamkan
bahwa sedimen pada umumnya, baik sedimen lepas pantai maupun sedimen
gisik, tidak bersifat bimodus seperti sedimen fluvial yang berbutir
kasar dan bahwa defisiensi kelas-kelas besar butir tertentu hanya akan
terlihat apabila semua hasil analisis diamati. Tidak semua peneliti
merasa yakin bahwa kelas-kelas besar butir 1–2 mm dan 2–4 mm kurang
terepresentasikan. Russell (1968) meninta perhatian para ahli terhadap
konsentrasi-konsentrasi pasir sangat kasar dan gravel halus pada gisik
tertentu, dimana material itu hadir dalam kelimpahan yang luar biasa.
Dia menyimpulkan bahwa, secara hidrodinamik, kelas-kelas besar butir itu
tidak stabil dalam sungai serta cenderung terpilah dan terangkut dengan
cepat menuju laut untuk kemudian terakumulasi pada gisik.
Sedimen eolus tampaknya memperlihatkan defisiensi pada kelas1/8–1/16 mm.
Keanehan itu dikemukakan oleh Udden (1914). Sebagaimana sedimen sungai
yang berbutir halus, sedimen eolus jarang yang bersifat bimodus. Walau
demikian, kelas modus itu jarang yang jatuh pada kelas 1/8–1/16 mm.
Udden tidak menganalisis sebab musabab munculnya keanehan tersebut,
namun dia menyatakan bahwa gejala itu mungkin tidak umum dan kita
mungkin dapat menemukan endapan eolus lain yang modus kelasnya jatuh
pada kelas besar butir itu sehingga apa yang semula tampak merupakan
defisiensi itu sebenarnya tidak ada. Bahwa ada suatu kekosongan antara
lanau dan pasir juga dikemukakan oleh Rogers dkk (1963) serta oleh
Tanner (1958). Masalah itu telah dikaji lebih jauh oleh Wolff (1964).
Suatu distribusi komposit yang disusun dari hasil 930 analisis besar
butir memperlihatkan defisiensi pada kelas lanau kasar. Wolff mengira
bahwa defisiensi itu berkaitan dengan pemakaian teknik analitik untuk
lanau dan lempung yang berbeda dengan teknik analitik yang digunakan
untuk pasir. Jika bukan merupakan artefak dari perbedaan teknik
analisis, maka kekosongan itu mungkin muncul akibat ketidaksempurnaan
sampel dan bahwa kekosongan itu mungkin akan hilang apabila sedimen lain
dimasukkan ke dalam sampel yang dianalisis.
Ada
beberapa hal yang dapat digunakan untuk menjelaskan defisiensi
kelas-kelas besar butir tertentu atau paling tidak defisiensi sedimen
dengan modus kelas seperti itu. Kita mungkin dapat mengasumsikan bahwa
material yang berada dalam kisaran kelas-kelas besar butir itu
dihasilkan oleh pelapukan dan tidak pernah diendapkan sebagai kelas
modus untuk alasan-alasan hidrodinamika tertentu atau material itu
hilang sewaktu terangkut karena ketidakstabilan mekanisnya. Kita juga
dapat menganggap ada suatu defisiensi primer untuk kelas-kelas besar
butir tertentu. Mungkin pelapukan tidak menghasilkan berbagai kelas
besar butir dalam jumlah yang sama. Sukar bagi kita untuk menentukan
hipotesis mana yang dengan tepat memaparkan sebab-musabab munculnya
defisiensi tersebut. Jika kelas-kelas besar butir itu dihasilkan oleh
pelapukan atau abrasi, apa yang menjadi sumber partikel-partikel
tersebut? Faktor-faktor hidrolika mungkin dapat menghambat pengendapan
partikel tersebut pada tempat-tempat tertentu, namun tidak mungkin dapat
menghambat pengendapannya di setiap tempat. Mungkin partikel itu
tersegregasi, sebagaimana diperkirakan oleh Russell (1968), dan kemudian
diendapkan secara terpisah pula. Kita juga dapat menganggap bahwa
partikel itu memang dihasilkan oleh pelapukan, namun memiliki stabilitas
mekanik yang rendah sehingga kemudian terhancurkan. Kita pun tidak
dapat menolak perkiraan yang menyatakan bahwa partikel itu mungkin tidak
dihasilkan dalam jumlah yang cukup banyak pada lingkungan pelapukan.
Hipotesis pertama telah digunakan untuk menjelaskan defisiensi pada
kelas 2–4 mm (Hough, 1942). Partikel seperti itu memang dapat terbentuk
akibat disintegrasi (namun tidak terbentuk akibat dekomposisi) batuan
plutonik. Butiran-butiran mineral yang menyusunnya relatif besar
dibanding ukuran total dari partikel tersebut. Karena itu ada sebagian
ahli yang berpendapat bahwa partikel granul secara struktural memang
lemah dan tidak mampu menyelamatkan diri dari aksi sungai yang keras.
Di
lain pihak, bukan tidak mungkin bahwa proses-proses disintegrasi batuan
asal menghasilkan lebih banyak partikel dengan ukuran tertentu dan
relatif kurang banyak menghasilkan partikel dengan ukuran lain
sedemikian rupa sehingga sejak awal memang telah ada defisiensi
distribusi besar butir. Ada tiga kategori ukuran partikel yang
kemungkinan besar akan terbentuk dari hancuran batuan (disini kita
menujukan perhatian pada batuan sumber kristalin; untuk batuan sedimen
klastika, pelapukan hanya akan menyebabkan terlepasnya partikel-partikel
yang terbentuk pada fasa sedimentasi sebelumnya). Sebagian batuan
secara khas menghasilkan blok sewaktu terlapukkan, sedangkan sebagian
lain mengalami proses penghancuran lanjut dan menghasilkan partikel
berukuran pasir. Contoh batuan yang biasanya menghasilkan blok adalah
kuarsit; sedangkan contoh batuan yang biasa mengalami penghancuran tahap
lanjut dan menghasilkan partikel berukuran pasir adalah batuan beku
asam yang berbutir kasar dan gneiss. Produk disintegrasi yang berukuran
pertengahan mungkin relatif jarang. Walau demikian, data yang ada dewasa
ini masih inkonklusif; lima sampel batuan granitik yang terdisintegrasi
(namun tidak terdekomposisi) yang dianalisis oleh Krumbein & Tisdel
(1940) terlihat paling banyak mengandung partikel 2–4 mm (gambar 3-13).
Walau demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Dake (1921) dan Smalley
(1966), distribusi besar butir partikel kuarsa sangat dibatasi oleh
distribusi besar butir kuarsa dalam batuan kristalin faneritik. Partikel
yang berukuran lebih dari 1 mm jarang ditemukan. Blok yang dihasilkan
akan menjadi material berukuran kerikil; bukan pasir. Selain itu, proses
penghancuran lanjut pada umumnya tidak terjadi, kecuali apabila ada
gaya-gaya yang luar biasa.
Dekomposisi
menghasilkan partikel berukuran lempung. Karena itu, akan tampak adanya
defisiensi dalam kelas besar butir lanau. Walau demikian, lanau relatif
umum ditemukan dan proses pembentukannya merupakan satu masalah
tersendiri. Rogers dkk (1963) memperkirakan bahwa lanau dihasilkan oleh
pelepasan partikel berukuran lanau dari partikel kuarsa yang ukurannya
lebih besar. Pandangan seperti itu juga dikemukakan oleh Smalley &
Vita-Finzi (1968) yang berpendapat bahwa proses itu paling efektif
bekerja selama terjadinya pengangkutan oleh angin di daerah gurun.
Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Kuenen (1969) mengenai
pengangkutan eolus gagal untuk mendukung gagasan tersebut. Kuenen
menisbahkan lanau pada pelapukan batuan berbutir halus yang banyak
mengandung kuarsa. Vita-Finzi & Smalley (1970) menyimpulkan bahwa glacial grinding bertanggungjawab terhadap ruah lanau dalam rekaman geologi. Eratnya asosiasi antaraloess—yang
terutama disusun oleh lanau—dengan glasiasi kontinental sedikit
banyaknya memperlihatkan kesesuaian dengan pendapat tersebut.
Hingga
sejauh mana komposisi besar butir dari populasi yang lebih besar
mempengaruhi kurva distribusi besar butir dari sedimen tertentu?
Karakter bimodus yang diperlihatkan oleh sedimen sungai berbutir kasar
dinisbahkan pada defisiensi primer dalam kelas-kelas besar butir yang
memisahkan kelas-kelas modus (gambar 6-2). Apakah karakter bimodus dari
material itu akan dipertahankan dalam endapan yang terbentuk oleh
sungai? Agaknya hal itulah yang terjadi pada kasus sedimen yang
diendapkan oleh es—boulder clay atau till. Analisis till umumnya
memperlihatkan satu atau lebih modus sekunder yang agaknya tidak
bersifat random. Modus sekunder itu mungkin merepresentasikan
“pembebanan” es oleh material khusus yang pernah terpilah dan
terendapkan pada siklus sedimentasi sebelumnya. Es yang bergerak di
atas sandy outwash dapat mengambil banyak material penyusun sandy outwash itu
sehingga hasil analisis besar butir endapan es akan memperlihatkan
bahwa endapan itu hanya mengandung sedikit pasir. Masalah apakah hal
yang analog terjadi juga pada sedimen endapan akuatis, hal itu masih
belum dapat dipastikan, meskipun sejumlah peneliti berkeyakinan bahwa
hal itu juga terjadi dalam sedimen endapan akuatis. Swenson (1942)
berpendapat bahwa sedimen penyusun tepi Sungai Mississippi banyak
terubah oleh input dari suatu anak sungai utama, yakni Sungai Maquoketa.
Curray (1960) berkeyakinan bahwa kurva distribusi besar butir dari
banyak sedimen di dasar Teluk Mexico ditentukan oleh proporsi beberapa
sedimen yang sebenarnya kecil kemungkinannya untuk diendapkan secara
bersama-sama.
3.1.5.2 Besar Butir dan Pengangkutan
Seberapa
jauh dan dengan cara bagaimana proses-proses pengangkutan mempengaruhi
besar butir dan distribusi besar butir sedimen? Efek-efek pengangkutan
belum dapat dipahami sepenuhnya. Konsep-konsep yang ada dewasa ini
terutama didasarkan pada penalaran deduktif dan hanya didukung oleh data
percobaan atau data lapangan yang jumlahnya sangat terbatas. Meskipun
banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui efek-efek pengangkutan
terhadap ukuran material yang di-angkut, namun kita masih belum dapat
memastikan sebab-musabab timbulnya efek-efek besar butir sebagaimana
yang terlihat dalam lingkungan-lingkungan alami. Secara umum, gravel
yang diangkut oleh sungai tampaknya mengalami penurunan ukuran ke arah
hilir (gambar 3-14). Selain itu, karena sudut-sudut material berukuran
besar makin membundar dan karena sisi-sisinya makin halus ke arah hilir,
maka diasumsikan bahwa abrasi merupakan proses yang bekerja aktif
selama pengangkutan dan, oleh karenanya, penurunan ukuran ke arah hilir
disebabkan oleh proses penghancuran seperti itu. Hal itu mungkin ada
benarnya. Namun, sebagaimana dikemukakan pada Bab 14, penurunan ukuran
dalam beberapa kasus kemungkinan besar tidak hanya disebabkan oleh
abrasi, namun merupakan cerminan penurunan kompetensi sungai. Penurunan
kompetensi itu sendiri pada gilirannya berkaitan dengan penurunan
gradien sungai ke arah hilir.
Pernyataan
bahwa pasir dan gravel mengalami penurunan ukuran ke arah hilir selama
berlangsungnya pengangkutan hampir merupakan sebuah aksioma. Pembundaran
yang terlihat pada semua kecur matang mengimplikasikan terjadinya
peng-hancuran dan penurunan berat.
Abrasi
merupakan sebuah istilah umum yang berarti penghancuran atau atrisi.
Dengan pengertian seperti itu, istilah abrasi dapat diterapkan pada
hampir setiap proses penurunan ukuran secara mekanis. Walau demikian,
sebagian peneliti mengenal adanya beberapa jenis proses penurunan ukuran
dan kemudian mendefinisikan ulang istilah abrasi dalam pengertian yang
lebih terbatas. Marshall (1927) menyatakan adanya tiga proses penurunan
ukuran: abrasi (dalam pengertian terbatas), tumbukan (impact), dan grinding.
Abrasi adalah efek pengeratan yang dilakukan oleh suatu partikel
terhadap partikel lain. Abrasi merupa-kan proses penghancuran yang
berlangsung paling lambat. Tumbukan adalah pukulan suatu partikel
berukuran relatif besar terhadap partikel lain yang ukurannya lebih
kecil. Karena itu, tumbukan hanya memegang peranan penting jika ada
perbedaan ukuran yang berarti antara partikel yang menumbuk dengan
partikel yang tertumbuk. Jika perbedaan ukuran itu cukup jauh dan jika
suatu sistem didominasi oleh partikel besar, maka partikel kecil akan
mengalami penghancuran dalam waktu relatif singkat. Grinding adalah crushing partikel
kecil sewaktu berhubungan terus menerus dengan partikel yang lebih
besar daripadanya dan dikenai oleh tekanan partikel-partikel besar itu.Grinding merupakan proses penghancuran yang paling efektif, bahkan lebih efektif dibanding tumbukan sekalipun. Dalam abrasion mill, partikel pasir yang bercampur dengan gravel dalam beberapa jam akan terubah menjadi partikel lanau dan lempung.
Wadell (1932) menyatakan adanya empat proses abrasi: pelarutan(solution), atrisi (attrition), chipping, dan penyubanan (splitting).
Perbedaan diantara keempat proses itu terutama terletak pada nisbah
ukuran material yang dihasilkan oleh abrasi, relatif terhadap ukuran
partikel sebelum terabrasi. Modus abrasi sendiri tidak dipertimbangkan
dalam penggolongan tersebut. Jika partikel hasil abrasi berukuran
suboptik, maka penghancurannya disebut pelarutan. Pelarutan dapat
merupakan peng-hancuran ionik atau penghancuran koloidal. Jika partikel
hasil abrasi dapat dilihat, namun ukurannya kurang dari 1/150kali
ukuran partikel asalnya, maka penghancurannya disebut atrisi. Jika
partikel hasil abrasi masih cukup besar dan terbentuk akibat hilang-nya
sudut-sudut partikel asal, maka proses penghancurannya disebutchipping.
Jika proses penghancuran itu menghasilkan fragmen-fragmen yang
ukurannya lebih kurang sama, maka proses itu disebut penyubanan.
Atrisi normal pada gravel menghasilkan material berukuran lanau atau lempung, bukan pasir. Chipping dan penyubanan jarang terjadi, kecuali di bawah aliran yang sangat cepat, dimana kondisi itu memicu terbentuknya spalls dan broken rounds. Bretz (1929) mengajak para ahli untuk memperhatikan berbagai broken rounds dari
sejumlah gravel yang ada di scabland areas, Washington. Menurut Bretz
(1929), persentase kerikil dan kerakal yang dahulu membundar dan
sekarang ditemukan terpecah-pecah jauh melebihi jumlah pecahan gravel
yang ditemukan dalam gosong-gosong di Sungai Columbia. Dengan demikian,
dia menyimpulkan bahwa gravel scabland areas diangkut oleh banjir yang
luar biasa besarnya. Sekuat apapun aliran “normal” dalam sungai masa
kini, namun gravel yang diangkutnya tidak akan membentuk broken rounds,
melainkan hanya akan menyebabkan pembundaran pada gravel itu. Meskipun
atrisi normal jauh lebih sering terjadi dibanding penyubanan, namun hal
itu tidak berarti bahwa penyubanan jarang terjadi. Sebagai buktinya,
kita bisa menemukan broken rounds dalam kebanyakan gravel. Proporsi broken rounds dalam
suatu gravel mungkin tidak hanya berkaitan dengan kekuatan aliran,
namun mungkin juga dengan ketahanan partikel dan proses-proses pemecahan
batuan pasca-pengendapan.
Kuenen (1956) mencoba untuk menganalisis proses abrasi. Dia mengenal adanya tujuh proses penurunan ukuran partikel: penyubanan, crushing, chipping, cracking, grinding, pelarutan, danblasting. Cracking adalah proses yang bertanggungjawab terhadap pembentukan percussion marks berbentuk bulan sabit pada permukaan kerikil. Sand blasting adalah penghancuran yang disebabkan oleh pasir yang menumbuk suatu kerikil yang sedang diam.
Hingga
dewasa ini belum ada penelitian lengkap atau menyeluruh terhadap
efek-efek penurunan ukuran butir terhadap parameter-parameter besar
butir. Hal itu antara lain terjadi karena proses itu berlangsung secara
bersamaan dengan proses pe-milahan sehingga para ahli mendapatkan
kesukaran untuk memisahkan efek-efek penurunan ukuran dari efek-efek
pemilahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Marshall (1927), di bawah
kondisi tertentu, beberapa partikel dikenai oleh proses penurunan ukuran
yang lebih cepat dibanding partikel lain. Hal itu banyak menimbulkan
perubahan dalam komposisi “campuran” asli dalam abrasion mill.
Jika produk abrasi yang berbutir halus dipengaruhi oleh efek-efek
pemilahan, maka hasilnya adalah peningkatan besar butir rata-rata dari
residu dan peningkatan pemilahan (penurunan simpangan baku).
Para
ahli juga makin lama makin tertarik pada laju penurunan ukuran dan
faktor-faktor yang mengontrolnya. Sebagian aspek laju abrasi dapat
dipelajari dalam abrasion mill dan percobaan lain yang berkaitan
dengannya, namun para ahli menemukan kesulitan untuk menerapkan hasil
percobaan-percobaan tersebut pada situasi alami dimana penurunan ukuran
hanya sebagian (mungkin sebagian kecil saja) yang berkaitan dengan
penghancuran. Sebagian besar penurunan ukuran ke arah hilir dinisbah-kan
pada pemilahan.
Penelitian-penelitian
laboratorium yang terkontrol menawarkan ancangan lain untuk memecahkan
masalah itu. Percobaan-percobaan itu pertama kali dilakukan oleh Daubrée
(1879) yang memberikan sumbangan pemikiran penting mengenai hal itu.
Walau demikian, penelitian eksperimental seperti itu memiliki beberapa
kelemahan. Pertama, penelitian itu menyederhanakan permasalahan karena
tidak seorang pun yang dapat memastikan bahwa kondisi-kondisi dalamabrasion mill mendekati
(karena yang jelas tidak sama) kondisi-kondisi sungai atau pesisir.
Hasil-hasil penelitian eksperimental dapat diekstrapolasikan hingga
limit-limit tertentu: karena sebagian besar penelitian abrasion mill dilakukan
pada fragmen berukuran kerikil, maka berbagai kesimpulan yang diambil
daripadanya dapat menimbulkan galat ketika diterapkan pada pasir. Sejak
penelitian pionir yang dilaku-kan oleh Daubrée (1879), tidak sedikit
ahil mencoba melakukan penelitian sejenis terhadap penghancuran gravel,
termasuk Wentworth (1919, 1931b), Marshall (1927), Schoklitsch (1933),
Krumbein (1941b), Raleigh (1943, 1944) dan Potter (1955). Lihat gambar
3-14. Penelitian-penelitian itu dilakukan dengan memakai abrasion mill atau tumbling barrel. Penelitian-penelitian ter-akhir (Kuenen, 1955, 1956, 1964; Bradley dkk, 1972) menggunakan circular moat, sebuah alat yang diyakini lebih mendekati kondisi sungai alami.
Penelitian-penelitian
eksperimental tersebut di atas memperlihatkan bahwa penurunan ukuran
gravel oleh abrasi dan proses-proses lain yang berkaitan dengannya
merupakan fungsi dari ukuran partikel, khuluk (ketahanan) partikel,
khuluk dan “kehebatan” (rigor; violence)aksi abrasi, ukuran dan
proporsi material yang mengalami abrasi, khuluk material dasar dimana
gravel bergerak (apakah berupa pasir atau gravel), serta durasi proses
abrasi atau jarak abrasi.
Efek
besar butir jelas terlihat: gravel dengan cepat terabrasi dan
membundar, sedangkan pasir sangat lambat terabrasi. Bahkan, untuk
partikel kerikil sekalipun, prosentase material yang hilang untuk suatu
jarak pengangkutan tertentu lebih banyak terjadi pada partikel yang
ukurannya lebih besar (Kuenen, 1956). Hasil penelitian itu menjadi makin
kompleks pada saat diguna-kan sebuah campuran yang terdiri dari
beberapa kategori besar butir, bukan material yang hanya disusun oleh
satu kategori besar butir. Dalam campuran, justru partikel halus yang
lebih banyak mengalami penghancuran. Hal itu mungkin terjadi karena
pengaruh gaya-gaya yang diberikan oleh partikel besar terhadap partikel
kecil. Sebagaimana diakui oleh semua peneliti, ketahanan (durability) material
memegang peranan penting. Secara umum, rijang, kuarsit, dan kuarsa urat
merupakan material yang paling tahan terhadap penghancuran; batuan
metamorf menempati posisi kedua, sedangkan batupasir dan batugamping
merupakan material yang paling lemah terhadap penghancuran (Plumley,
1948; Kuenen, 1956). “Kehebatan” aksi penghancuran juga merupakan faktor
penting. Laju penghilangan massa meningkat dengan makin hebatnya aksi
penghancuran. Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh Kuenen (1956)
menunjukkan bahwa abrasi sebanding dengan pangkat dua kecepatan aliran.
Masalah apakah ada atau tidak ada kecepatan kritis untuk mineral atau
batuan tertentu, di atas kecepatan kritis manachipping dan
penyubanan lebih dominan dibanding tipe abrasi lain, sebagaimana
dikemukakan oleh Krynine (1942), tidak diketahui. Sebagaimana
diperlihatkan oleh Kuenen (1956), khuluk permukaan dasar sungai, di atas
mana gravel diangkut, juga memegang peranan penting. Penghilangan massa
akan relatif rendah jika material penyusun dasar sungai berupa pasir
dan akan relatif tinggi, mungkin sekitar lima kali lipat, apabila
material penyusun dasar sungai berupa gravel. Efek bentuk asal dari
partikel tampaknya sangat kecil. Walau demikian diketahui bahwa laju
penghilangan massa menjadi menurun sejalan dengan ber-tambahnya
kebundaran partikel. Pengaruh agen geologi pada penghancuran gravel
lebih rendah dibanding pengaruhnya terhadap penghancuran pasir.
Penelitian-penelitian eksperimental yang dilakukan terhadap surf action masih sangat sedikit (Kuenen, 1964). Penghancuran gravel oleh surf action agaknya berlangsung cepat.
Semua
penelitian eksperimental yang dilakukan selama ini menunjukkan bahwa
laju penurunan besar butir mencapai nilai tertinggi pada tahap awal
proses pengangkutan dan cenderung menurun secara eksponensial sejalan
dengan bertambahnya waktu dan jarak angkut (Krumbein, 1941b;
Schoklitsch, 1933).
Penelitian-penelitian
eksperimental terhadap abrasi pasir antara lain dilakukan oleh Daubrée
(1879), Anderson (1926), Thiel (1940), Kuenen (1959, 1960a, 1960b),
serta Berthois & Portier (1957). Semua penelitian itu menunjukkan
bahwa, apabila tidak terdapat partikel kasar, abrasi pasir berlangsung
dengan laju yang jauh lebih rendah. Daubrée (1879), misalnya saja,
menunjuk-kan bahwa partikel pasir hanya akan kehilangan massa sebanyak
0,01% per kilometer jarak angkut. Dengan menggunakan circular moat, bukan revolving mill,
Kuenen (1958) menemukan fakta bahwa butiran kuarsa yang berdiameter
sekitar 0,5 mm akan kehilangan sekitar 0,0001% material per kilometer
jarak angkut. Hasil penelitiani itu mengimplikasikan bahwa pengangkut-an
sejauh 10.000 km tidak akan menghasilkan pembundaran yang berarti pada
partikel kuarsa dengan ukuran sebesar itu. Karena sungai pada umumnya
memiliki panjang sekitar 1000 km, bahkan kurang dari itu, maka 10 siklus
abrasi mekanis oleh sungai hanya akan menyebabkan penghilangan massa
kurang dari 1%. Penelitian lain, dengan memakaiabrasion mill (Berthois
& Portier, 1957; Thiel, 1940) menunjukkan penghilangan massa yang
lebih besar dari itu, namun hasil penelitian itu tetap menunjukkan bahwa
penurunan ukuran yang berarti pada pasir kuarsa tidak dapat dicapai
oleh aksi sungai. Untuk mengubah suatu partikel pasir berbentuk kubus
dengan panjang sisi 1 mm agar sudut-sudutnya berubah sedemikian rupa
sehingga kubus itu berubah menjadi bola dengan diameter 1 mm diperlukan
penghilangan massa sebanyak 47,5%. Padahal, penghilangan terbanyak
sekalipun yang pernah dilaporkan selama ini tidak menyebabkan terjadinya
penurunan besar butir dan perubahan bentuk yang berarti; paling-paling
hanya menyebabkan sedikit perubahan kedua sifat itu. Foto-foto partikel
kuarsa berukuran pasir yang disajikan oleh Thiel (1940), sebelum dan
setelah mengalami abrasi yang setara dengan pengangkutan sejauh 5000 mil
(sekitar 8333 km), mendukung kesimpulan tersebut. Foto-foto partikel
kuarsa berukuran pasir yang disajikan oleh Kuenen (1958), sebelum dan
setelah mengalami abrasi sejauh 248 km, juga praktis tidak
memperlihatkan perubahan apa-apa. Efek-efek yang ditimbulkan oleh
pengangkutan angin tampaknya beberapa kali lebih kuat dibanding
efek-efek pengangkutan air (Kuenen, 1960b). Fakta itu mendorong Kuenen
untuk berpendapat bahwa pembundaran partikel pasir harus dinisbahkan
pada aksi angin. Partikel yang diameternya lebih kecil dari 0,05 mm sama
sekali tidak terabrasi.
Setelah
memperhatikan hasil berbagai penelitian eksperimental di atas, ada satu
pertanyaan yang perlu dijawab: Apa peran-an abrasi alami dalam
mengurangi atau mengubah ukuran individu-individu partikel atau dalam
mengubah distribusi besar butir suatu populasi partikel? Jelas bahwa
proses itu menyebabkan terjadinya perubahan bentuk, kebundaran, dan
tekstur permuka-an partikel (efek-efek pengangkutan terhadap perubahan
sifat-sifat tersebut akan dibahas pada sub bab 3.2). Walau demikian,
penurunan ukuran yang berarti ke arah hilir sebagaimana yang teramati
pada banyak sungai kemungkinan besar hanya sedikit dipengaruhi oleh
abrasi. Penurunan ukuran itu sangat dipengaruhi oleh penurunan gradien
dan kompetensi sungai ke arah hilir (lihat Bab 14). Pada
lingkungan-lingkungan alami, partikel kuarsa agaknya tidak atau hanya
sedikit mengalami penurunan ukuran akibat abrasi. Pendeknya, distribusi
besar butir merupakan produk aksi hidrolik, bukan produk abrasi, dan
secara umum distribusi besar butir suatu endapan merupakan warisan dari
disintegrasi batuan dan bukan merupakan produk agen atau proses
pengangkutan.
3.1.5.3 Besar Butir dan Proses-Proses Pengendapan
Gagasan
yang menyatakan bahwa sebagian besar distribusi frekuensi besar butir
merupakan campuran dari dua atau tiga populasi besar butir yang
berkaitan dengan modus pengangkutan sedimen dan bahwa penafsiran kurva
distribusi besar butir merupakan sebuah masalah dalam mengenal dan
mengaitkan subpopulasi-subpopulasi itu dengan proses-proses
hidrodinamika tertentu makin lama makin mendapatkan dukungan (gambar
3-15).
Ancangan
ini pertama-tama diterapkan pada endapan sungai yang berbutir kasar.
Khuluk bimodus terutama sering ditemu-kan dalam endapan tersebut. Pasir,
di lain pihak, cenderung unimodus. Diantara beratus-ratus karya tulis
yang menyajikan hasil analisis gravel sungai di California, misalnya
saja, 92% diantaranya memiliki lebih dari satu modus (Conkling dkk,
1934). Sedangkan untuk kasus endapan pasir, hanya 42% saja yang memiliki
modus lebih dari satu. Secara umum, gravel yang memiliki modus lebih
dari satu memiliki kelas modus pada salah satu kelas gravel, sedangkan
modus sekunder berada pada kelas pasir. Modus sekunder itu 4 atau 5
kelas lebih kecil daripada kelas modus utama. Dengan demikian,
partikel-partikel penyusun utama endapan itu 16 hingga 32 kali lebih
besar dibanding partikel sekunder. Gravel aluvial lain juga
memperlihatkan sifat bimodus. Krumbein (1940, 1942a) menemukan bahwa 85%
gravel endapan banjir di San Gabriel dan Arroyo Seco bersifat bimodus.
Dua puluh diantara 23 sampel gravel teras Black Hills juga bersifat
bimodus (Plumley, 1948).
Semua
data tersebut di atas digunakan sebagai dasar pemikiran adanya dua
populasi yang berkorespondensi dengan dua modus pengangkutan partikel.
Udden (1914) menyatakan bahwa, “… medium pengangkut… cenderung
mengangkut dan meng-endapkan dua kategori besar butir, bukan satu
kategori besar butir. Endapan utama yang dihasilkannya akan mengandung
partikel-partikel kasar yang jumlahnya lebih sedikit dibanding kelas
modus.” Dia mengasumsikan bahwa kelas modus akan terletak pada kelas
partikel yang relatif halus, sedangkan kelas modus sekunder akan
terletak pada kelas gravel. Sebenarnya, justru yang sebaliknya lah yang
sering ditemukan.
Fraser
(1935) berpendapat bahwa pengendapan kerakal dan pasir halus secara
simultan tidak mungkin terjadi dan dia menjelaskan bahwa kecepatan arus
yang mengangkut kerakal berukuran 25 cm harus menurun sebanyak 60%
sebelum mampu mengendapkan partikel berukuran 1 mm. Perubahan kecepatan
aliran yang drastis seperti itu kemungkinan besar tidak akan terjadi dan
Fraser (1935) berkeyakinan bahwa pada satu titik waktu, sungai hanya
mengendapkan partikel-partikel dengan kisaran ukuran yang terbatas dan
bahwa material relatif halus yang ditemukan dalam gravel sebenarnya
terbentuk kemudian melalui infiltrasi. Pendapat seperti itu juga
dikemukakan oleh Dal Cin (1967), berdasarkan hasil penelitiannya
terhadap gravel di Sungai Piave, Itali. Plumley (1948) juga menafsirkan
material halus, yang merupakan modus sekunder dalam banyak gravel,
sebagai material yang terjebak dan mengisi ruang kosong diantara
partikel-partikel besar. Untuk mendukung pendapatnya itu, Plumley (1948)
menyatakan bahwa jika diasumsikan bahwa ada dua fraksi besar butir
dalam suatu endapan—dimana fraksi halus cukup kecil sedemikian rupa
sehingga dapat menempati ruang yang terletak diantara fraksi kasar—maka
fraksi halus itu akan menempati sekitar 22–32% berat dari keseluruhan
endapan, tergantung pada keketatan pembandelaannya. Karena gravel alami
rata-rata mengandung 20% modus sekunder dan besar butir yang berkaitan
dengannya, agaknya fraksi itu memang terjebak diantara partikel-partikel
kasar. Meskipun terdapat perbedaan antara bentuk gravel alami dengan
partikel ideal yang berbentuk bola, meskipun dalam suatu gravel sering
terdapat dua fraksi besar butir yang ukurannya jauh berbeda, dan
meskipun pembandelaan endapan alami tidak memperlihatkan keteraturan
geometris sempurna, namun hasil-hasil pengamatan selama ini
memperlihatkan banyak kesesuaian dengan hasil-hasil kajian teoritis.
Sudah
barang tentu distribusi bimodus dapat muncul akibat prosedur
pengambilan sampel dimana material yang dikumpul-kan berasal dari dua
lapisan yang berbeda, masing-masing dengan populasinya sendiri-sendiri
(Bagnold, 1941). Namun banyak dsitribusi bimodus memang bukan merupakan
artefak teknik pengambilan sampel sebagaimana distribusi besar butir
yang diperlihatkan oleh sampel-sampel yang berasal dari satu lapisan.
Kedua populasi itu tampak diendapkan pada episode peng-endapan yang
sama.
Distribusi
bimodus hanya merupakan sebuah kasus khusus dari pencampuran dua
populasi, dimana pada kasus itu kedua populasi besar butir itu
terpisahkan cukup jauh sedemikian rupa sehingga distribusi keseluruhan
tampak bimodus. Apabila kelas-kelas besar butir dengan frekuensi yang
relatif tinggi itu tidak berjauhan, maka populasi keseluruhan akan
tampak unimodus. Walau demikian, populasi komposit akan tampak menceng
dan distribusi frekuensi besar butir itu akan berbeda dengan log normal.
Peningkatan kesadaran bahwa banyak distribusi besar butir merupakan
komposit dari dua atau tiga populasi telah mendorong sebagian ahli untuk
mengaitkan subpopulasi-subpopulasi itu pada modus pengangkutan sedimen
yang berbeda-beda.
Doeglas
(1946) dan Harris (1958a, 1958b) mencoba mengaitkan sifat itu dengan
kondisi-kondisi pengangkutan yang ber-beda. Kemajuan besar dalam hal ini
terjadi dengan diterbitkannya karya-karya tulis Moss (1962, 1963,
1972). Moss melihat adanya tiga subpopulasi yang berkaitan dengan proses
sedimentasi yang berbeda-beda. Populasi-populasi itu dapat diketahui
dari kurva distribusi besar butir. Bagian utama dari distribusi besar
butir terletak antara persentil 20 dan 80. Populasi itu merupakan beban
saltasi utama. “Ekor” kasar dari distribusi besar butir merupakan beban
traksi, sedangkan “ekor” halus merupakan material suspensi yang terjebak
pada ruang diantara rangka utama endapan tersebut. Sebagaimana
dikemukakan oleh Moss (1962), dalam sejumlah endapan sungai yang
berbutir kasar, beban traksi menjadi bagian utama dari endapan itu.
Endapan-endapan itu merupakan endapan bimodus yang telah dijelaskan di
atas.
Penelitian
utama pada beberapa tahun terakhir, yang mengaitkan populasi-populasi
distribusi besar butir dengan hidro-dinamika, adalah penelitian yang
dilakukan oleh Visher (1969). Dia mengasumsikan bahwa kurva distribusi
besar butir dari semua sedimen klastika merupakan komposit dari tiga
populasi dasar—populasi yang diangkut dengan cara traksi, saltasi, dan
suspensi—dan setiap populasi itu memiliki distribusi log normal sehingga
akan tampak sebagai sebuah garis lurus dalam skala probabilitas (dengan
menggunakan log diameter atau notasi phi). Lihat gambar 3-15. Hubungan
seperti itu diperlihatkan oleh lebih dari 2000 hasil analisis besar
butir yang dilakukan pada endapan yang berasal dari lingkungan yang
berbeda-beda.
Apa
hubungan antara bentuk partikel dan kurva distribusi besar
butir—kelimpahan relatif dan karakter komponen-komponen-nya—dengan
lingkungan pengendapan yang ditentukan keberadaannya berdasarkan
aspek-aspek morfologi? Visher ber-keyakinan bahwa karakter individu
kurva distribusi besar butir memberikan dasar untuk mengenal lingkungan,
namun dia juga menyatakan bahwa “setiap usaha untuk mendefinisikan
secara cermat limit-limit segmen garis yang miring, titik-titik
infleksi, dan persentase ketiga populasi dasar untuk setiap lingkungan
pengendapan tidak mungkin dapat dilakukan.”
Hingga
disini dapat disimpulkan bahwa beberapa ancangan untuk mencari arti
dari kurva distribusi besar butir sedimen klastika memiliki kesahihan
tersendiri. Faktor-faktor hidrodinamika hingga tingkat tertentu dapat
dihubungkan dengan lingkungan geomorfologi. Suatu proses tertentu
mungkin bekerja dominan pada suatu lingkungan, namun mungkin hanya
berperan sekunder pada lingkungan lain.
3.1.6 Distribusi Besar Butir dan Analisis Lingkungan
Udden
berkeyakinan bahwa komposisi besar butir suatu sedimen klastika
dikontrol oleh kondisi hidrodinamika yang ada sewaktu sedimen itu
diendapkan. Karena itu, jika sedimen purba diendapkan di bawah kondisi
yang lebih kurang sama dengan kondisi pengendapan masa kini, maka
pemelajaran sedimen modern akan akan mampu mengungkapkan karakter besar
butir setiap tipe sedimen, dimana karakter itu selanjutnya dapat
digunakan untuk mengungkapkan asal-usul endapan purba. Karena itu pula,
Udden melakukan banyak “analisis mekanik”, khususnya endapan angin, dan
menerbitkan pada 1914 lebih dari 350 hasil analisis mekanik bersama-sama
dengan sebuah ikhtisar mengenai “hukum-hukum” yang menurut dia mengatur
komposisi sedimen klastika. Wentworth (1931a) menerbitkan lebih dari
800 hasil analisis mekanik dalam bentuk grafik untuk memperluas hasil
penelitian Udden. Pengamatan terhadap pola grafik yang disajikan dalam
berbagai histogram yang dibuat oleh Wentworth menunjukkan bahwa pola
yang berasal dari lingkungan yang berbeda juga berbeda-beda. Glacial till dan
pasir gisik, misalnya saja, sangat jauh berbeda. Di lain pihak,
beberapa sedimen yang diendapkan pada lingkungan pengendapan yang
berbeda memperlihatkan komposisi mekanik yang mirip satu sama lain,
misalnya pasir gisik dan pasir gumuk.
Ketidakmampuan
untuk memisahkan lingkungan atau agen pengendapan berdasarkan pola
grafik distribusi besar butir tidak menyurutkan hasrat para ahli untuk
mencari sifat-sifat distribusi besar butir yang lebih samar. Keller
(1945) memakai nisbah kuantitas dua kelas proksimal terhadap kelas
modus—apa yang dia sebut sebagai nisbah F : C—untuk membedakan
pasir endapan angin dengan pasir gisik. Nisbah yang diajukannya
merupakan nilai taksiran dari kemencengan. Sejak itu, usaha-usaha yang
lebih canggih dan menggunakan satu atau beberapa parameter besar butir
dilakukan untuk membedakan pasir sungai, gisik, dan gumuk. Friedman
(1961, 1962, 1967) mencoba untuk membedakan pasir gisik dan pasir gumuk
dengan memakai plot kemencengan terhadap mean dan untuk membedakan pasir
sungai dengan pasir gisik dengan memakai plot kemencengan terhadap
simpangan baku (gambar 3-16). Penelitian yang dilakukan oleh Moiola
& Weiser (1968), dengan memakai ancangan yang mirip, mendukung
gagasan yang dikemukakan oleh Friedman. Ahli lain juga menggunakan
diagram tebar (scatter diagram) yang melibatkan dua variabel. Passega (1957, 1964), misalnya saja, merajahkan persentil 1,C (pada dasarnya ukuran paling kasar), terhadap besar butir rata-rata,M. Demikian pula dengan apa yang dilakukan oleh Bull (1962). Diasumsikan bahwa pola CM tertentu
mengindikasikan proses atau agen pengendapan tertentu. Passega (1957,
1964), misalnya saja, mampu memisahkan aksi arus turbid dengan aksi arus
biasa.
Pemakaian
parameter-parameter besar butir dalam berbagai kombinasi sebagai
indikator lingkungan juga pernah dicobakan oleh Mason & Folk (1958),
Gees (1965), Schlee dkk (1965), Kolduk (1968), Doeglas (1968), Solohub
& Klovan (1970), serta Buller & McManus (1972). Tidak semua
penulis itu berhasil memisahkan lingkungan-lingkungan pengendapan pasir
dengan ancangan tersebut. Bahkan, pada beberapa kasus, ancangan itu
tidak memberikan hasil apa-apa. Pada kasus lain, terjadi
pertumpang-tindihan pada diagram tebar. Karena itu, hasil-hasil yang
diperoleh menjadi taksa.
Metoda lain yang lebih canggih lagi menggunakan lebih dari dua variabel sekaligus. Teknik itu adalah analisis diskriminan (discriminant analysis)yang dikembangkan oleh Sahu (1964a, 1964b). Klovan (1966) memakai analisis faktor (factor analysis) pada
sedimen Barataria Bay, Louisiana, untuk mengisolasi faktor-faktor yang
berkaitan dengan proses-proses yang mengontrol pengendapan sedimen di
tempat itu: surf, arus dasar, dan pengendapan air tenang.
Pendeknya,
dapat dikatakan bahwa usaha-usaha untuk mengaitkan distribusi besar
butir suatu sedimen dengan lingkungan pengendapannya hanya berhasil
secara terbatas. Agaknya hasil-hasil negatif muncul dari premis bahwa
kurva distribusi besar butir dikontrol oleh faktor-faktor hidrodinamika
dan bahwa setiap lingkungan dicirikan oleh rezim hidrodinamika yang
khas. Tidak satupun diantara kedua premis itu yang sahih. Efek
provenansi (maksudnya, karakter besar butir sedimen yang masuk ke dalam
lingkungan pengendapan) belum diperhitungkan sewajarnya. Selain itu,
proses-proses hidrodinamika yang sama dapat bekerja pada lebih dari satu
lingkungan pengendapan. Dengan kata lain, lingkungan hidrodinamika dan
lingkungan pengendapan seperti yang biasa didefinisikan berdasarkan
geomorfologi mungkin tidak tepat sama (Solohub & Klovan, 1970).
Terakhir, kita dapat mengambil kesimpulan-kesimpulan berikut:
- Berbagai pengukuran (misalnya berat dan volume) dapat dilakukan terhadap individu-individu partikel atau pada agregat partikel. Pengukuran itu dapat dilakukan dengan banyak cara, misalnya dengan pengayakan, elutriasi, dan penyerapan gas. Hasil-hasil pengukuran itu kemudian dikonversikan menjadi “diameter” partikel berdasarkan asumsi-asumsi tertentu. Banyak diantara asumsi-asumsi itu hanya merupakan suatu pendekatan yang tidak terlalu dekat.
- Distribusi besar butir yang diketahui dari hasil pengukuran itu dinyatakan dalam prosentase jumlah partikel atau prosentase berat partikel yang ada dalam setiap kelas besar butir. Kurva distribusi besar butir, baik yang didasarkan pada prosentase berat maupun prosentase jumlah partikel, memiliki bentuk yang beragam.
- Prosedur-prosedur analitik baku dapat diterapkan dengan baik pada sedimen yang tidak terkonsolidasi, terutama sedimen masa kini. Namun, prosedur-prosedur itu tidak dapat diterapkan pada sedimen purba yang kompak. Karena itu, prosedur-prosedur tersebut memiliki manfaat yang terbatas. Demikian pula, berbagai kesimpulan yang diperoleh dari hasil penerapan prosedur-prosedur itu pada sedimen masa kini juga memiliki penerapan yang terbatas, misalnya dalam membedakan beberapa lingkungan pengendapan berdasarkan parameter-parameter tekstur.
- Faktor pembatas lain yang lebih serius adalah alterasi diagenetik. Alterasi diagenetik dapat menyebabkan berubahnya distribusi besar butir asli. Alterasi itu muncul akibat peletisasi oleh organisme, degradasi unsur-unsur rangka batuan yang berukuran besar, rekristalisasi, dan proses lain. Karena itu, kita perlu melaksanakan berbagai prosedur analitik seperti disagregasi dan dispersi sebelum melakukan analisis sedimentasi. Distribusi besar butir serpih paling rentan terhadap perubahan diagenetik dan teknik analisis yang digunakan. Karena itu, sebagian besar analisis besar butir dilakukan pada batupasir yang tidak terlalu rentan terhadap perubahan-perubahan seperti itu.
- Masih perlu dipertanyakan lagi apakah distribusi besar butir memang indikatif untuk agen dan/atau lingkungan tertentu atau tidak. Selain itu, kalaupun distribusi besar butir memang merupakan indikator agen dan/atau lingkungan pengendapan, namun analisis besar butir mungkin tetap tidak dapat diterapkan pada batuan purba yang telah terlitifikasi dengan baik.
- Pendeknya, meskipun literatur mengenai disrtibusi besar butir sedimen klastika demikian banyak dan tidak sedikit usaha telah dilakukan para ahli untuk mendefinisikan besar butir, mengukurnya, dan menghitung parameter-parameter distribusi besar butir, namun input akhir yang diberikannya dalam pemecahan masalah-masalah geologi sangat mengecewakan dan tidak sesuai dengan begitu banyaknya usaha yang telah dilakukan selama ini.
- Walau demikian, masih ada aspek besar butir yang bermanfaat. Aspek itu bahkan dapat diketahui dari batuan yang telah terlitifikasi. Aspek yang dimaksud adalah ukuran dan penyebaran ukuran kerikil terbesar yang ada dalam konglomerat, jenis fenoklas (phenoclast, yakni fragmen luar yang mengindikasikan bahwa fragmen itu telah diangkut jauh dari sumbernya), dan unsur-unsur rangka yang, meskipun bukan sekedar sifat besar butir, namun memiliki kebenaan geologi yang penting. Kita juga dapat melakukan penelitian terhadap bentuk, kebundaran, tekstur permukaan, dan komposisi.
3.2 BENTUK DAN KEBUNDARAN
Bentuk (shape) dan kebundaran (roundness) pasir
dan gravel sejak lama digunakan untuk mengungkapkan sejarah endapan
dimana partikel itu berada. Bentuk khas dari kerikil yang terbentuk oleh
aksi es dan angin telah lama diketahui. Efek agen-agen lain tidak
terlalu jelas dan menjadi bahan perdebatan hangat. Apakah kerikil gisik
lebih pipih dibanding kerikil sungai? Apakah angin menyebabkan
pembundaran partikel pasir lebih efektif dibanding air? Berapa limit
besar butir minimal, jika ada, yang bentuknya dapat dipengaruhi oleh
aliran air? Apakah partikel kuarsa dapat mengalami pembundaran yang
efektif dalam satu daur sedimentasi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu
masih belum mendapatkan jawaban konklusif. Padahal, jawaban konklusif
itu akan membantu kita dalam menafsirkan sejarah geologi suatu sedimen.
3.2.1 Bentuk
Bentuk
sebuah benda dapat digolongkan dengan banyak cara. Para ahli geometri
telah mendefinisikan bentuk-bentuk reguler seperti kubus, prisma, bola,
silinder, dan kerucut. Demikian pula, para ahli kristalografi telah
mendefinisikan berbagai bentuk kristal. Tidak satupun diantara kedua
sistem klasifikasi itu sesuai untuk diterapkan pada partikel sedimen.
Bentuk partikel sedimen paling banter hanya mendekati bentuk geometris.
Istilah-istilah yang digunakan untuk menyatakan kemiripan suatu partikel
sedimen dengan benda geometris—misalnya prismoid, bipiramid (bipyramidal), piramid (pyramidal), membaji (wedge-shape), atau tabuler-sejajar (parallel-tabular)—memang
dapat dipakai (Wentworth, 1936a). Namun, penggolongan seperti itu tidak
saja kualitatif sifatnya, namun juga tidak memiliki kaitan dengan sifat
dinamis benda-benda itu selama terangkut. Karena itu, kita memerlukan
adanya suatu indeks bentuk yang memungkinkan dilakukannya analisis
matematis atau analisis grafis sedemikian rupa sehingga kita akan dapat
merekonstruksikan kurva frekuensi distribusi bentuk partikel.
Bentuk-bentuk
tertentu tidak dapat dinyatakan dengan bilangan sederhana. Sebagai
contoh, kristal euhedra dari beberapa mineral berat dan bentuk kurvatur
khas dari fragmen gelas vulkanik sukar untuk dinyatakan secara numerik.
Bentuk khas dari wind-faceted stone—sepertieinkanter dan dreikanter (Bryan, 1931; Whitney & Dietrich, 1973)—broken rounds (Bretz, 1929), serta flat-iron form dari glacial cobble (Von
Engelen, 1930) tidak dapat direduksi ke dalam satu angka tunggal. Walau
demikian, untuk alasan yang telah dikemukakan di atas, suatu indeks
numerik atau indeks kuantitatif sangat bermanfaat apabila digunakan
dalam analisis bentuk partikel dan banyak usaha telah dilakukan oleh
para ahli untuk menemukan indeks seperti itu.
Salah
satu rancangan yang digunakan adalah memilih suatu rujukan baku.
Rujukan yang biasa digunakan adalah sebuah bola. Bola dipilih sebagai
rujukan karena: (1) bola merupakan bentuk akhir yang akan dicapai oleh
banyak fragmen batuan dan mineral yang terabrasi pada jangka panjang;
dan (2) bola memiliki beberapa sifat unik. Diantara semua bentuk
geometris yang volumenya sama, bola memiliki luas permukaan yang paling
kecil. Karena itu, dibanding benda-benda lain yang volume dan
densitasnya sama, bola memiliki settling velocitytertinggi ketika
mengendap melalui suatu fluida (Krumbein, 1942b). Lihat gambar 3-17.
Karena itu pula, di bawah kondisi pengangkutan suspensional, partikel
yang membundar cenderung untuk terpisah dari partikel lain yang tidak
berbentuk bola, meskipun densitas dan volumenya sama.
Idealnya, kebolaan (sphericity) suatu partikel didefinisikan sebagai s/S, dimana s adalah luas permukaan suatu bola yang volumenya sama dengan partikel, sedangkan S adalah luas permukaan aktual dari partikel itu. Untuk partikel berbentuk bola, maka s/S akan berharga 1,0. Partikel lain yang tidak berbentuk bola akan memiliki nilai s/S yang
lebih kecil dari 1,0. Karena kita akan menemukan kesukaran untuk
menentukan luas permukaan partikel sedimen yang pada umumnya berukuran
kecil dan tidak beraturan, maka nilai kebolaan suatu partikel dapat
didekati dari nilai dn/Ds, dimana dn adalah diameter sebuah bola yang volumenya sama dengan partikel, sedangkan Ds adalah
diameter suatu bola imajiner yang dapat melingkupi partikel itu
(umumnya merupakan nilai diameter terpanjang dari partikel itu) (Wadell,
1935).
Dalam
suatu sampel pasir atau gravel, setiap partikel akan memiliki nilai
kebolaan tersendiri. Walau demikian, sebagian partikel itu akan
berbentuk seperti cakram (salah satu sumbunya pendek, sedangkan dua
sumbu yang lain lebih kurang sama). Partikel lain mungkin berbentuk
seperti batang (salah satu sumbunya panjang, sedangkan dua sumbu yang
lain lebih kurang sama). Kedua bentuk itu akan memiliki nilai kebolaan
yang rendah. Namun, indeks kebolaan seperti yang telah dijelaskan di
atas tidak mampu membedakan kedua bentuk tersebut. Padahal, pembedaan
antara kedua bentuk itu sangat penting artinya dalam penelitian
tertentu, misalnya saja penelitian kemas gravel.
Hal
itulah yang kemudian mendorong sejumlah ahli untuk mengajukan indeks
kebolaan lain. Semua indeks itu melibatkan pendefinisian dan pengukuran
beberapa “diameter” partikel dan pemilihan satu atau lebih nisbah untuk
mengungkapkan bentuk. Zingg (1935) menggunakan nisbah b/a dan c/b (dimana a, b, dan c berturut-turut
panjang, lebar, dan tebal partikel) untuk mendefinisikan empat kategori
bentuk (gambar 3-18 dan tabel 3-8). Kategori-kategori itu—oblate, prolate, triaxial, dan equi-axial—dan hubungannya dengan indeks kebolaan Wadell diperlihatkan pada gambar 3-19.
Sebagian ahli juga mengusulkan ukuran lain, misalnya kepipihan(flatness) dan kepanjangan (elongation).
Sebagian besar ukuran itu dikaji ulang oleh Konzewitsch (1961), Köster
(1964), Flemming (1965), Humbert (1968), dan Carver (1971). Sneed &
Folk (1958) mengusulkan suatu ancangan yang merupakan hasil
penyempurnaan dari ancangan Zingg-Wadell dan mendefinisi-kan indeks
proyeksi kebolaan maksimum(maximum projection sphericity index) (c2a–1b–2)1/3 yang mereka lihat berkorelasi lebih baik dengan settling velocity dibanding kebolaan operasional yang dikemukakan oleh Wadell.
Kesulitan-kesulitan
praktis muncul pada semua metoda pengukuran dan pengungkapan
hasil-hasil pengukuran itu. Semua metoda tersebut di atas melibatkan
pengukuran yang hanya dapat dilakukan pada kerikil yang bebas matriks
dan sukar atau tidak mungkin diterapkan pada pasir atau pada gravel dan
pasir yang telah terlifitikasi. Walau demikian, kita tetap perlu
mem-pelajari proses-proses menyebabkan munculnya bentuk partikel serta
arti geologinya.
Apa
yang dapat kita katakan mengenai kebenaan geologi dari bentuk partikel
pasir atau gravel? Partikel kuarsa yang ada dalam suatu endapan pasir
memiliki bentuk yang beragam. Pada umumnya partikel itu cenderung
membundar. Walau demikian, dalam pasir yang paling matang sekalipun,
partikel kuarsa terlihat agak memanjang, dimana nisbah sumbu panjang
terhadap sumbu pendek berkisar mulai dari 1,0 hingga 2,5, dengan nilai
rata-rata mendekati 1,5. Wayland (1939) menunjukkan adanya kecenderungan
pemanjangan kuarsa detritus pada arah sumbu-c. Hal itu
dinisbahkannya pada abrasi yang tidak seragam dan pada perbedaaan
kekerasan pada arah kristalografi yang berbeda-beda. Walau demikian,
Ingerson & Ramisch (1942) melihat bahwa partikel kuarsa yang berasal
dari batuan beku dan batuan metamorf, bahkan granit, cenderung
memanjang pada arah yang sejajar dengan sumbu-c (gambar 3-20).
Dengan demikian, pemanjangan partikel kuarsa itu terutama ditentukan
oleh bentuk asalnya. Bloss (1957) dan Moss (1966) memperlihatkan secara
eksperimental bahwa kuarsa memiliki belahan prismatik dan belahan
rhombohedra yang lemah sehingga partikel yang terbentuk akibat pemecahan
kuarsa cenderung untuk memanjang pada arah yang sejajar dengan sumbu-c
atau membentuk sudut dengan sumbu-c. Hal senada dikemukakan pula
oleh Turnau-Morawska (1955). Dengan demikian, bentuk kuarsa detritus
terutama dapat dinisbahkan pada bidang pertumbuhan atau pecahan asal.
Diasumsikan bahwa kuarsa dari batuan metamorf memiliki bentuk asal yang
lebih memanjang dibanding kuarsa yang berasal dari batuan beku (Krynine,
1946) dan bahwa perbedaan itu memungkinkan setiap orang untuk
membedakan kuarsa yang berasal dari kedua batuan sumber itu (Bokman,
1952). Penelitian-penelitian yang dilakukan kemudian (Blatt &
Christie, 1963) tidak mendukung asumsi itu.
Secara
umum diyakini pula bahwa bentuk kerikil terutama ditentukan oleh bentuk
asal partikel itu. Dalam beberapa kasus, bentuk asal partikel itu
sendiri dikontrol oleh struktur batuan asalnya. Walau demikian, tidak
diragukan lagi bahwa beberapa agen geologi menyebabkan terubahnya bentuk
kerikil dan meninggalkan jejaknya dalam partikel itu seperti pada
kasus eolian sandblast. Apakah kesimpulan di atas dapat diterapkan pada gravel gisik dimana, menurut beberapa peneliti, swash cenderung
menghasilkan kerikil yang lebih pipih dibanding aksi sungai? Pendapat
terakhir ini didukung oleh hasil-hasil penelitian Landon (1930),
Cailleux (1945), Lenk-Chevitch (1959), serta Dobkins & Folk (1970).
Walau demikian, pendapat itu ditentang oleh Gregory (1915), Wentworth
(1922b), Kuenen (1964), dan Grogan (1945). Lihat gambar 3-21 dan 3-22.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian eksperimental dan lapangan, banyak
ahli berpendapat bahwa penghancuran mekanis pada gisik tidak banyak
mem-pengaruhi kepipihan gravel (Kuenen, 1964). Walau demikian,
sebagaimana dikemukakan sendiri oleh Landon (1930), mungkin saja gravel
terpilah sedemikian rupa sehingga gravel pipih cenderung untuk
terakumulasi pada gisik. Hingga tingkat tertentu pendapat itu didukung
oleh hasil-hasil penelitian Humbert (1968) yang menemukan bahwa kerikil
pipih bermigrasi downbeach, sedangkan partikel yang lebih
membundar tertinggal di belakang. Hal itu tidak mengandung pengertian
bahwa kebolaan tidak terubah oleh abrasi. Namun, sebagian besar hasil
penelitian yang diterbitkan selama ini—seperti karya Russell &
Taylor (1937a), Plumley (1948), Sneed & Folk (1958), Humbert (1968),
Unrug (1957), dan Dal Cin (1967)—menunjukkan bahwa pengubahan bentuk
itu relatif kecil dan fakta yang memperlihatkan seolah-olah terjadi
perubahan bentuk ke arah hilir mungkin disebabkan oleh pemilahan bentuk,
bukan akibat perubahan bentuk. Walau demikian, Dobkins & Folk
(1970), yang mempelajari dan meng-ukur kebolaan dan kebundaran sejumlah
besar kerikl yang ada di sungai-sungai dan pantai Tahiti, menemukan
fakta bahwa kerikil gisik memiliki kebundaran yang lebih tinggi,
memiliki kebolaan yang lebih rendah, dan jelas lebih oblatedibanding kerikil sungai, meskipun material yang diangkut oleh arus pantai dan arus sungai itu memiliki komposisi yang sama.
Kesimpulan-kesimpulan
di atas menunjukkan bahwa bentuk mungkin merupakan salah satu faktor
penting dalam proses sedimentasi dan dalam menentukan tanggapan partikel
terhadap aliran. Krumbein (1942b) serta Sneed & Folk (1958)
menemu-kan adanya korelasi yang baik antara indeks kebolaan atau indeks
bentuk dengan settling velocity(gambar 3-17). Berbagai penelitian
eksperimental oleh Briggs dkk (1962) menunjukkan bahwa kebolaan
memegang peranan yang sama pentingnya dengan berat jenis dalam
mempengaruhi settling velocityberbagai spesies mineral berat.
Selain itu, tanggapan yang diberikan oleh partikel pasir atau gravel
terhadap aliran sangat dipengaruh oleh bentuk partikel itu. Menurut
definisinya, partikel ekuidimensional tidak memiliki pengarahan;
partikel berbentuk cakram pipih diasumsikan memiliki imbrikasi yang
jelas; partikel memanjang memberikan tanggapan yang lain lagi (lihat
bagian 3.4.5).
3.2.2 Kebundaran
Kebundaran
berkaitan dengan ketajaman tepi atau sudut suatu fragmen klastika;
kebundaran tidak berkaitan dengan kebola-an. Beberapa bentuk geometris
yang sudut-sudutnya 90o—kubus, prisma, balok, dsb (gambar
3-18)—memiliki sudut-sudut yang tajam sehingga jari-jari kurvaturnya
berharga nol. Walau demikian, kita tahu bahwa bentuk benda-benda itu
berbeda sama sekali. Istilah kebundaran digunakan secara keliru dalam
literatur sebagai sinonim dari bentuk (Russell & Taylor, 1937a).
Per-bedaan antara kedua istilah itu sangat mendasar dan hendaknya
dicamkan dengan baik dan benar. Kebundaran pertama kali di-definisikan
dengan jelas oleh Wentworth (1919) sebagai ri/R, dimana ri adalah jari-jari kurvatur tepi partikel yang paling runcing, sedangkan R adalah
setengah diameter terpanjang dari partikel. Wadell (1932)
mendefinisikan kebundaran sebagai nisbah radius rata-rata dari kurvatur
beberapa tepi partikel terhadap radius kurvatur maksimum yang dapat
ditutupi oleh partikel. Karena definisi-definisi itu sukar diterapkan,
akan lebih mudah untuk bekerja dengan gambar dua dimensi, yakni
penampang melintang atau proyeksi partikel, bukan partikel itu sendiri
yang merupakan benda tiga dimensi. Pada kasus itu, kebundaran
didefinisikan sebagai radius rata-rata kurvatur sudut-sudut penampang
melintang partikel dibagi dengan lingkaran terbesar yang dapat
diletakkan dalam penampang partikel itu (gambar 3-23). Definisi yang
disebut terakhir ini dapat dinyakan dengan persamaan:
dimana: ri adalah individu-individu radius lingkaran yang sisinya berimpit dengan sudut partikel.
R adalah jari-jari lingkaran maksimum yang dapat ditutupi oleh partikel.
N adalah jumlah lingkaran yang sisinya berimpit dengan sudut partikel.
Dengan
definisi seperti itu, sebuah bola akan memiliki kebundaran 1,0. Selain
itu, sebagaimana telah dikemukakan di atas, bola juga akan memiliki
kebolaan 1,0. Benda lain yang tidak berbentuk bola juga dapat memiliki
kebundaran 1,0, misalnya saja benda berbentuk kapsul yang pada
hakekatnya merupakan sebuah silinder yang ujung-ujungnya berupa setengah
bola. Berbagai bentuk modifikasi dari definisi kebundaran yang telah
disebutkan di atas diajukan oleh peneliti lain. Masalah itu telah dikaji
ulang oleh Köster (1964), Humbert (1968), dan Pryor (1971).
Seperti
telah dikemukakan di atas, istilah kebundaran selama ini digunakan agak
serampangan. Demikian pula dengan istilah membundar(rounded), membundar tanggung (subrounded), menyudut tanggung(subangular), dan menyudut (angular).
Agar pengertiannya menjadi lebih cermat, istilah-istilah itu akan
didefinisikan kembali secara kuantitatif di sini. Hal itu terutama
dilakukan dengan merujuk pada nilai-nilai kebundaran yang dulu diajukan
oleh Wadell (Russell & Taylor, 1937b; Folk, 1955). Kelas-kelas
kebundaran (tabel 3-9) tidak memiliki kisaran yang sama. Hal itu
dilakukan karena kita biasanya sukar untuk membedakan partikel-partikel
yang relatif membundar, apabila perbedaan kebundaran antara
partikel-partikel itu relatif kecil. Di lain pihak, kita biasanya dapat
membedakan partikel-partikel yang relatif menyudut, meskipun perbedaan
kebundaran antara partikel-partikel itu relatif kecil. Dengan pemikiran
seperti itu, Pettijohn mendefinisikan kembali limit-limit kelas
kebundaran sedemikian rupa sehingga nilai tengah dari kelas-kelas
kebundaran itu bersifat geometris. Powers (1953) mendefinisikan dan
menamakan enam skala kebundaran sedemikian rupa sehingga limit-limit
kelas kebundaran itu mendekati skala geometris dengan nisbah √2.
Limit-limit kelas kebundaran itu kemudian diberi nilai r oleh Folk (1955) dengan cara yang mirip dengan cara Krumbein (1938) dalam memberikan nilai f untuk menyatakan besar butir.
Skala kebundaran Pettijohn (tabel 3-9 dan gambar 3-24) adalah sbb:
- Menyudut (angular) (0-0,15): sangat sedikit atau tidak ada jejak penghancuran; sudut dan sisi partikel tajam; sudut sekunder (tonjolan minor dari profil partikel; bukan sudut antar-muka partikel) banyak dan tajam.
- Menyudut tanggung (subangular) (0,15-0,25): sedikit jejak penghancuran; sudut dan tepi partikel hingga tingkat tertentu membundar; banyak terdapat sudut sekunder (10-20), meskipun tidak sebanyak seperti pada partikel menyudut.
- Membundar tanggung (subrounded) (0,25-0,40): jejak penghancuran cukup banyak; sudut dan sisi partikel membundar; jumlah sudut sekunder relatif sedikit (5-10) dan umumnya membundar. Luas permukaan partikel berkurang; sudut-dalam asli, meskipun membundar, masih terlihat jelas.
- Membundar (rounded) (0,40-0,60): Bidang-bidang asli hampir terhancurkan seluruhnya; bidang yang relatif datar masih dapat ditemukan. Sisi dan sudut asli menjadi melengkung dan membentuk kurva yang relatif besar; hanya sedikit ditemukan sudut sekunder (0-5). Pada kebundaran 0,60, semua sudut sekunder hilang. Bentuk asli masih terlihat.
- Sangat bundar (well rounded) (0,60-1,00): tidak ada permukaan, sudut, atau sisi asli; semuanya membentuk lengkungan-lekungan besar; tidak ada bagian yang datar; tidak ada sudut sekunder. Bentuk asli tidak terlihat lagi, namun dapat diperkirakan dari bentuknya yang sekarang.
Apa
kebenaan geologi dari kebundaran dan apa manfaat kebundaran dalam
menentukan jarak, arah, dan kecepatan per-gerakan partikel sedimen?
Dengan diawali oleh Daubrée (1879), banyak peneliti mencoba untuk
menjawab pertanyaan tersebut, baik dengan cara melakukan penelitian
lapangan maupun penelitian laboratorium. Hasil semua penelitian itu
menunjukkan bahwa kebundaran partikel makin tinggi dengan makin jauhnya
jarak angkut dan bahwa laju pembundaran partikel pada mula-nya tinggi,
namun kemudian menurun (gambar 3-25 dan 3-26). Fakta itu, meskipun telah
dinyatakan oleh Daubrée (1879), baru dapat diungkapkan secara
kuantitatif oleh Wentworth (1919, 1922a, 1922b). Krumbein (1941b) adalah
orang yang pertama kali memformulasikan rumus matematika yang
memperlihatkan hubungan antara kebundaran dengan jarak angkut. Dia
menyatakan bahwa laju perubahan kebundaran merupakan fungsi dari
perbedaan antara kebundaran pada suatu titik dengan limiting roundness. Limiting roundness itu
sendiri merupakan sebuah angka yang nilainya tergantung pada beberapa
ukuran dari material yang mengalami pembundaran serta pada rezim sungai
atau gisik tertentu. Hubungan itu dapat dinyatakan dengan persamaan:
dimana: R adalah kebundaran pada suatu titik.
PL adalah limiting roundness.
k adalah koefisien pembundaran.
x adalah jarak.
Persamaan
di atas tampaknya sesuai dengan data percobaan dan data lapangan
(Krumbein, 1940, 1942a). Lihat gambar 3-27. Keraguan terhadap kesahihan
persamaan itu muncul sejalan dengan diterbitkannya hasil penelitian
eksperimental lain, baik yang dilakukan oleh Krumbein (1941b) sendiri,
maupun hasil penelitian Plumley (1948) terhadap gravel dalam
sungai-sungai di sekitar Black Hills. Proses pembundaran jauh lebih
kompleks daripada apa yang tercermin dari persamaan itu. Plumley (1948)
menyimpulkan bahwa perubahan kebundaran tidak hanya sebanding dengan
perbedaan antara kebundaran pada suatu titik dengan limiting roundness, namun juga dengan pangkat sekian dari jarak angkut.
Baik hasil percobaan dengan menggunakan abrasion mill maupun
hasil penelitian pada sungai alami sama-sama menunjukkan bahwa
kebundaran bertambah sejalan dengan bertambahnya jarak (waktu) angkut.
Selain itu, proses pembundar-an pada mulanya berlangsung cepat, namun
kemudian makin lambat. Tampaknya memang ada suatulimiting roundness yang paling tidak sebagian diantaranya berhubungan dengan litologi. Sebagai contoh, nilai limiting roundness rijang lebih rendah dibanding limiting roundness kuarsa
atau batugamping (Sneed & Folk, 1958). Selain itu, pembundaran
gravel berlangsung cepat. Seberapa jauh suatu partikel gravel harus
terangkut agar membundar baik (0,60)? Penelitian-penelitian lapangan dan
laboratorium tidak memberikan satu jawaban pasti terhadap pertanyaan
itu, namun memberikan nilai pendekatannya. Peng-ubahan suatu kubus
menjadi sebuah bola yang diameternya sama mengharuskan hilangnya 47,5%
volume atau berat kubus itu. Jadi, mungkin dapat dikatakan bahwa
penghilangan berat sebanyak 1/3 hingga ½ bagian
akan menyebabkan partikel mencapai kebundaran maksimum; penurunan ukuran
pada tahap selanjutnya tidak akan disertai dengan peningkatan
kebundaran. Seperti terlihat dalam data yang disajikan oleh Krumbein
(1941b), penghilangan sekitar 1/3 bagian
berkorespondensi dengan kebundar-an sekitar 0,60 (sangat bundar). Data
itu juga menunjukkan bahwa penghilangan berat pada tahap selanjutnya
tidak menyebab-kan kebundaran partikel menjadi lebih tinggi. Partikel
batugamping yang diteliti oleh Krumbein (1941b) mencapai nilai
ke-bundaran 0,60 setelah terangkut sejauh 11,7 km. Apabila kita
menggunakan hasil penelitian Daubrée yang menyatakan bahwa suatu
partikel granit akan kehilangan 0,001 hingga 0,004 berat per kilometer
pengangkutan, maka partikel itu akan sangat bundar setelah terangkut
84–333 km. Meskipun perhitungan itu masih sangat kasar, namun secara
umum mungkin benar. Kuenen (1956b), yang melakukan percobaan terhadap
pergerakan gravel dalam circular flume, menemukan bahwa
batu-gamping menjadi sangat bundar setelah terangkut hingga jarak
sekitar 50 km; gabro kehilangan berat sekitar 35–40% setelah terangkut
sekitar 140 km. Kuarsa urat memperlihatkan kehilangan berat 0,001 per
kilometer jarak angkut dan, oleh karena itu, akan sangat membundar
setelah terangkut sekitar 300 km.
Plumley
(1948) menemukan fakta bahwa kerikil batugamping pada dua sungai di
sekitar Black Hills menjadi sangat bundar (0,60) setelah terangkut
sekitar 18 dan 37 km (gambar 3-26). Kerikil kuarsit dalam gravel di
daerah Brandwine, Maryland, memiliki kebundaran 0,59 (Schlee, 1957).
Singkapan terdekat yang mungkin menjadi sumber kerikil itu terletak
sekitar 72 km dari tempat itu. Kuarsa dalam gravel Sungai Colorado,
Texas, menjadi sangat bundar setelah terangkut kurang dari 161 km,
sedangkan kerikil batugamping di daerah itu telah sangat bundar ketika
memasuki sungai utama (Sneed & Folk, 1958). Hasil-hasil penelitian
itu didukung oleh Unrug (1957) yang menemukan bahwa kerikil granit
mencapai kebundaran maksimum setelah terangkut sekitar 125 km di Sungai
Dunajec, Polandia. Hasil-hasil penelitian Dal Cin (1967) di Sungai
Piave, Itali, juga mendukung hasil-hasil penelitian Sneed & Folk
(1958).
Dengan
mengetahui bahwa pembundaran terutama diperoleh pada beberapa kilometer
pertama jarak angkut, jelas sudah bahwa gravel menyudut atau menyudut
tanggung tidak mungkin terangkut lebih dari beberapa puluh kilometer,
atau paling jauh terangkut 16–24 km, oleh sungai. Selain itu, dengan
pengecualian untuk bagian proksimal dari suatu endapan gravel,
kebundar-an hanya akan memperlihatkan sedikit variasi regional. Hal itu
pada gilirannya membatasi manfaat kebundaran gravel sebagai indikator
arus purba.
Pembundaran
gravel gisik telah banyak diketahui. Walau demikian, untuk kasus gravel
gisik, para ahli menemukan lebih banyak kesulitan untuk menghubungkan
kebundaran dengan jarak angkut (gambar 3-22). Untuk kasus itu, para ahli
hanya dapat menyatakan bahwa sering gravel itu terangkut, makin bundar
gravel itu. Sebagaimana gravel sungai, gravel gisik juga tampaknya
memiliki limiting roundness tertentu.
Berbeda
dengan kasus pembundaran gravel, semua data penelitian lapangan dan
laboratorium menunjukkan bahwa pem-bundaran pasir merupakan proses yang
sangat lambat. Daubrée (1879) menemukan bahwa butiran-butiran pasir
hanya kelihangan 0,0001 bagian per kilometer jarak angkut.
Percobaan-percobaan abrasi yang dilakukan oleh Thiel (1940) terhadap
butiran-butiran kuarsa berukuran pasir menunjukkan bahwa partikel itu
kehilangan 22% setelah terangkut selama 100 jam dalam abrasion mill.
Waktu angkut itu diperkirakan setara dengan jarak angkut 5000 mil
(sekitar 8333 km). Dengan kata lain, partikel kuarsa itu kehilangan
sekitar 0,0001 bagian per mil jarak angkut. Marshall (1927) menunjukkan
bahwa partikel berdiameter 2–3 mm mengalami penghilangan 0,005 bagian
per mil jarak angkut. Kuenen (1960a), dengan memakai flume (bukan memakai tumbling barrel),
menemukan angka penghilangan yang lebih rendah lagi. Kuarsa hanya
kehilangan 1% berat setelah terangkut 10.000 km (Kuenen, 1958).
Penghilangan itu demikian sedikit sehingga pembundaran yang diakibatkan
oleh penghilangan massa itu boleh dikatakan tidak terdeteksi sama
sekali. Karena sebagian besar sungai memiliki panjang kurang dari 1000
km, maka dapat disimpulkan bahwa satu kali pengangkutan sungai tidak
akan menyebabkan terjadinya pembundaran pada partikel pasir. Tentu saja
kesimpulan yang disebut terakhir ini hanya sahih apabila data-data yang
diperoleh Marshall (1927) dan Kuenen (1958; 1960a) juga sahih adanya.
Pengaruh
aksi eolus terhadap pembundaran pasir, seperti diperlihatkan oleh
penelitian-penelitian eksperimental yang dilaku-kan oleh Kuenen (1960b),
jauh lebih efektif dibanding agen akuatis dimana penghilangan massa
pada partikel kuarsa 100–1000 kali lebih tinggi dibanding dengan
penghilangan massa yang terjadi akibat pengangkutan akuatis untuk jarak
angkut yang sama. Aksi eolus menyebabkan partikel berbentuk kubus dapat
berubah menjadi bola sempurna. Hasil berbagai percobaan yang di-lakukan
oleh Kuenen (1960b) menunjukkan bahwa pengangkutan fluvial sama sekali
tidak efektif dalam membundarkan partikel kuarsa dan felspar. Aksi gisik
mungkin lebih efektif, namun diperkirakan tidak terlalu banyak
mempengaruhi rata-rata dari semua pasir. Aksi eolus merupakan mekanisme
abrasi yang potensial untuk pasir yang diameternya hingga 0,1 mm; aksi
eolus tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap partikel yang
diameternya kurang dari 0,05 mm. Dengan demikian, pasir membundar dapat
digunakan untuk mengindikasikan bahwa, dalam keseluruhan sejarah pasir
itu, paling tidak sekali diantaranya pernah terangkut oleh angin.
Efektivitas
aksi gisik terhadap pasir masih belum dievaluasi sepenuhnya. Folk
(1960), yang meneliti perselingan pasir kuarsa yang membundar kurang
baik dan pasir kuarsa yang membundar baik dalam Tuscarora Quartzite
(Silur) di West Virginia, menafsirkan pasir kuarsa yang membundar baik
sebagai produk surf action. Swett dkk (1971) memperkirakan jarak
angkut pasir dalam estuarium pasut memiliki nilai yang memadai untuk
menyebabkan terbundarkannya partikel kuarsa, meskipun dalam laju
pembundaran yang rendah sebagaimana yang dikemukakan oleh Kuenen.
Hasil
berbagai penelitian lapangan cenderung mendukung hasil penelitian
laboratorium. Penelitian klasik yang dilakukan oleh Russell & Taylor
(1937b) menunjukkan bahwa pasir yang diangkut oleh Sungai Mississippi
yang terletak diantara Cairo (Illinois) dan Teluk Mexico, dengan jarak
sekitar 1770 km, tampaknya tidak menyebabkan penurunan pasir ke arah
hilir. Karena itu, mereka menyimpulkan bahwa aksi sungai tidak
menyebabkan bundarnya partikel pasir dan bahwa penurunan kebundaran yang
ke arah hilir sebenarnya disebabkan oleh pemecahan partikel. Penurunan
kebundaran yang terlihat adalah dari 0,24 menjadi 0,18, atau sekitar
23,5%. Di lain pihak, Plumley (1948) menunjukkan bahwa pasir kasar
(diameternya 1,0–1,414 mm) di Battle Creek, Black Hills (Dakota
Selatan), mengalami peningkatan kebundaran 71% dari 0,21 menjadi 0,36
setelah terangkut 64 km. Walau demikian, pasir yang sama di Sungai
Chayenne, Dakota Selatan, hanya mengalami peningkatan kebundaran
sebanyak 5% dari 0,42 menjadi 0,44 setelah terangkut 150 mil (gambar
3-28). Kuarsa yang berukuran 0,088–0,250 mm dalam pasir Rio Grande,
Argentina, tidak menunjukkan perubahan yang berarti setelah terangkut
100 km (Mazzoni & Spalletti, 1972). Pasir yang terangkut di
sepanjang gisik Danau Erie, sebagaimana pasir di Sungai Mississippi,
mengalami penurunan kebundar-an ke arah hilir (Pettijohn & Lundahl,
1943), penurunan mana agaknya berkaitan dengan aksi pemilahan. Karena
kebundaran pada umumnya berkorelasi positif dengan kebolaan, maka
penurunan kebolaan ke arah hilir akan disertai dengan penurunan
kebundaran. Aksi pemilahan pada sungai besar yang mengalir tenang,
seperti Sungai Mississippi, terus berlangsung sehingga setiap gejala
peningkatan kebundaran ke arah hilir tertutupi oleh aksi pemilahan.
Kemungkinan kecil saja bahwa sungai peng-angkut gravel dan bergradien
tinggi di sekitar Black HIlls akan menyebabkan pembundaran partikel
pasir dan bahwa Sungai Mississippi akan menyebabkan penurunan kebundaran
akibat pemecahan.
Peranan
pelarutan terhadap pembundaran kuarsa juga masih belum dianalisis
secara memadai. Kuenen (1960b) ber-keyakinan bahwa efek pelarutan
terhadap pembundaran partikel kuarsa dapat diabaikan karena jika
pelarutan memegang peranan penting dalam pembundaran partikel kuarsa,
maka partikel kecil lah yang akan terkena efek paling kuat. Di bawah
kondisi tertentu, perlarutan in situ pada partikel kuarsa memang
terjadi, terutama pada kuarsa yang ada dalam tanah. Crook (1968) secara
khusus meminta perhatian para ahli terhadap efek pelarutan.
Perlu
dicamkan bahwa apabila suatu partikel, terutama pasir kuarsa, telah
membundar (0,60), maka sifat itu tidak akan hilang. Selain itu, karena
pasir kuarsa umumnya akan masuk ke dalam siklus sedimentasi berikutnya,
maka kuarsa membundar yang ditemukan dalam suatu endapan mungkin bukan
merupakan produk siklus sedimentasi terakhir, melainkan produk siklus
sedimentasi sebelumnya. Demikian juga dengan kerikil kuarsit dan kuarsa
urat.
Banyak
usaha telah dilakukan para ahli untuk menggunakan kebundaran pasir
kuarsa untuk mengenal lingkungan peng-endapan, namun usaha-usaha itu
kurang berhasil. Beal & Shepard (1956) serta Waskom (1958) hanya
menemukan sedikit perbedaan kebundaran antara tubuh-tubuh pasir masa
kini yang ada dalam beberapa sub-lingkungan pada zona pesisir di Gulf
Coastal Region.
3.3 TEKSTUR PERMUKAAN
Mikrorelief
dari permukaan suatu partikel—yang tidak tergantung pada ukuran,
bentuk, atau kebundaran partikel itu—disebut tekstur permukaan (surface texture). Polish, frosting, striation,
dsb termasuk ke dalam kategori tekstur permukaan. Sebagian tekstur
permukaan dapat dilihat dengan mata telanjang; sebagian yang lain hanya
dapat dilihat dengan mikroskop optik, bahkan sebagian lain lagi hanya
dapat dilihat dengan mikroskop elektron. Banyak tekstur permukaan
dipandang memiliki kebenaan genetik tersendiri (Krinsley, 1973). Striation pada kerikil endapan gletser merupakan satu contoh dari pentingnya tekstur per-mukaan. Frosting pada partikel pasir dinisbahkan pada aksi angin.
Karena
suatu partikel pasir atau kerikil dapat terbentuk pada siklus
sedimentasi sebelumnya, maka tekstur permukaan yang tampak pada
partikel-partikel penyusun suatu endapan mungkin bukan merupakan produk
aksi pengangkutan yang menyebab-kan terbentuknya endapan tersebut,
melainkan produk aksi pengangkutan pada siklus sedimentasi sebelumnya.
Jumlah aksi abrasi dan pengangkutan yang diperlukan untuk membentuk
tekstur permukaan tidak sebanyak seperti aksi abrasi dan peng-angkutan
yang menyebabkan terubahnya kebundaran, bentuk, atau ukuran partikel.
Tekstur permukaan mudah terhapus dan tercetak dalam partikel sedimen.
Wentworth (1922a), misalnya saja, menentukan secara eksperimental bahwa
jarak angkut sekitar 560 meter dapat menghapus glacial striation yang
semula ada pada permukaan kerikil batugamping tanpa menyebabkan banyak
berubahnya bentuk kerikil itu. Bond (1954) menyatakan bahwa frostingpada
pasir di Gurun Kalahari menjadi hilang setelah pasir itu terangkut
sejauh 64 km oleh Sungai Zambesi. Dengan demikian, tekstur permukaan
kemungkinan besar merupakan rekaman dari siklus pengangkutan terakhir.
Walau demikian, sebagaimana karakter sedimen yang lain, pasir yang
disusun oleh partikel yang asal-usulnya beragam akan mengandung partikel
dengan tekstur permukaan yang juga beragam. Sebagian ahli mengasumsikan
bahwa tekstur permukaan yang terbentuk pada satu siklus sedimentasi
akan tertutup oleh tekstur permukaan yang terbentuk pada siklus
sedimentasi berikutnya (Krinsley & Funnell, 1965) sehingga suatu
partikel dapat merekam beberapa episode pengangkutan.
Tekstur
permukaan sangat beragam, namun secara umum dapat digolongkan ke dalam
dua kategori. Pertama, tekstur permukaan yang berkaitan dengan
kekusaman (dullness) atau polish partikel. Kedua, tekstur permukaan yang berkaitan dengan jejak-jejak pada permukaan (gejala mikrorelief) seperti striation, percussion scar, dsb.
3.3.1 Polish vs. Frost
Istilah polish, atau gloss,
yang merujuk pada kilap permukaan, adalah kualitas yang berkaitan
dengan keteraturan cahaya yang dipantulkan oleh suatu partikel. Difusi
cahaya menyebabkan terbentuknya permukaan yang kusam (dull; matte). Polish diindikasikan oleh kehadiranhighlights. Sebab musabab munculnya polish atau
munculnya permukaan yang kusam belum dapat dipahami sepenuhnya.
Kemungkinan ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya gejala itu. Polish dapat
terbentuk secara mekanik akibat atrisi lemah, terutama jika agen abrasi
itu merupakan partikel berukuran kecil. Mekanisme itulah yang
diperkira-kan merupakan penyebab terbentuknya wind polish pada beberapa singkapan kuarsit dan fragmen kuarsit (ventifact). Polish juga dapat terbentuk akibat diendapkannya suatu film yang mirip dengan kaca atau gelas seperti pada kasus desert varnish. Meskipun asal-usul desert varnish belum diketahui secara pasti, namun para ahli (a.l. Laudermilk, 1931) umumnya berkeyakinan bahwa desert varnish agaknya
dihasilkan oleh air yang semula ada dalam batuan, namun kemudian naik
ke permukaan dan menguap meninggalkan endapan yang berupa zat-zat yang
relatif tidak dapat larut dalam bentuk selaput tipis yang disusun oleh
silika, oksida besi, dan oksida mangan. Sebagian ahli geologi
menisbahkan polish yang tinggi pada sandblasting. Laudermilk (1931) berpendapat bahwa lumut kerak (lichen) tertentu
memegang peranan penting sebagai akumulator senyawa besi dan mangan.
Pertumbuhan lumut itu terhenti setelah lapisan tipis itu, sedangkan
endapan itu sendiri kemudian ditebarkan ke seluruh permukaan partikel
oleh asam yang dikeluarkan dari tubuh lumut yang telah mati. Dehidrasi
dan oksidasi di bawah pengaruh teriknya sinar matahari gurun juga dapat
menyebabkan terbentuknya residu yang mirip dengan desert varnish. Hunt (1954), sewaktu memaparkan bahwa desert varnish merupakan
gejala paling jelas di daerah kering, berpendapat bahwa gejala seperti
itu juga terbentuk di daerah iklim basah dan bahwa banyak desert varnish yang terlihat di gurun merupakan produk dari iklim basah yang ada sebelum iklim daerah itu berubah menjadi kering.
Polish yang paling menjadi teka-teki ditemukan pada beberapa kerikil yang diselimuti oleh lempung, misalnya gastrolit (gastrolith), atau “batu perut” (“stomach stone”) dari
reptil plesiosaurus purba. Kerikil yang paling terkenal adalah kerikil
yang ditemukan dalam serpih bahari Kapur (Hares, 1917; Stauffer, 1945).
Meskipun kerikil itu telah banyak dibahas oleh para ahli, namun para
ahli masih belum mencapai kesepakatan mengenai asal-usul polish yang dimilikinya. Selama ini, polish itu dinisbah-kan pada aksi angin, abrasi dalam perut binatang, dan pergerakan-pergerakan kompaksional dalam matriks serpih.
Polish, dan tentu saja high polish atau
gloss, merupakan gejala istimewa. Sebagian besar kerikil memiliki
permukaan yang kusam. Butiran kuarsa jarang yang memiliki high polish. Sebagian pasir, di lain pihak, memiliki karakter permukaan tertentu yang disebut “matte” atau“frosted”.
Permukaan seperti itu terlihat, misalnya saja, pada partikel sangat
membundar dan kaya akan kuarsit yang ada dalam Peter Sandstone
(Ordovisium) di Upper Mississippi Valley. Frosted pernah
dinisbahkan pada abrasi eolus, bahkan pernah dipetakan dalam endapan
Plistosen di Eropa oleh Cailleux (1942) yang menganggap bahwa frosted surface merupakan kriteria untuk mengenal aksi periglasial. Kemiripan umum antara frosted surface dengan permukaan gelas yang dikenai sandblast mendukung
teori itu. Walau demikian, penelitian yang dilakukan oleh Kuenen &
Perdok (1962) serta Ricci Lucchi & Casa (1970) menunjukkan bahwa
korosi kimia (chemical corrosion)kemungkinan besar merupakan proses yang menyebabkan terbentuknya gejala itu. Frosted surface dapat terbentuk pada partikel kuarsa akibat etching oleh
larutan HCl sangat cair dalam waktu yang relatif singkat. Partikel
kuarsa dalam pasir gampingan sedikit terkorosi atau tergantikan oleh
semen karbonat. Penyerangan partikel secara kimiawi seperti itu, yang
menyebabkan terbentuknya frosted surfacepada partikel sedimen
(Walker, 1957), mengindikasikan bahwa tekstur itu merupakan gejala
pasca-pengendapan. Walau demikian, Roth (1932) berkeyakinan bahwa frosting bukan merupakan produk abrasi atau pelarutan, melainkan produk pelebaran baru (incipient enlargement).
Sebagaimana dikemukakan oleh Kuenen & Perdok (1962), mikrorelief bertanggungjawab terhadap penebaran cahaya, dan kenampakanfrosted yang
dihasilkannya, mungkin disebabkan oleh beberapa proses. Gejala
bertekstur kasar mungkin dapat dinisbahkan pada abrasi, sedangkan
mikrorelief yang bertekstur halus (dengan ukuran 2 μm atau kurang), yang
terutama ber-tanggungjawab terhadap munculnya gejalafrosting,
terbentuk secara kimia oleh kondisi basah dan kondisi kering yang
berkaitan dengan pembentukan dan penguapan embun serta dengan pelarutan
dan presipitasi yang berkorelasi dengannya.“Chemical frost” itu mempengaruhi semua partikel, termasuk lekuk-lekuknya. Frost bertekstur
kasar yang disebabkan oleh aksi abrasi hanya mempengaruhi bagian-bagian
yang menonjol dan bagian-bagian partikel yang tidak terlindung.
3.3.2 Mikrorelief
Mikrorelief pada kerikil dan kerakal—yang dapat dilihat dengan mata telanjang—mencakup striation, scratch, percussion mark, dan indentationatau pit. Striation adalah
goresan yang terutama merupakan produk aktivitas es, umumnya es
gletser, yang terbentuk pada permukaan partikel. Wentworth (1932, 1936b)
memperlihatkan peranan aksi sungai subartik dalam menghasilkan kerikil
yang permukaannya dihiasi olehstriation. Persentase striated cobbles dalam beberapa sungai subartik sangat tinggi. Prosentase striated cobbles dalam endapan sungai subartik mungkin sama, bahkan melebihi, prosentase striated cobblesdalam endapan gletser. Walau demikian, striated cobbles dalam
sungai subartik tidak mengandung faset-faset yang dimiliki secara khas
dimiliki oleh partikel yang dikenai oleh aksi gletser. Wentworth (1936a)
mempelajari beberapa endapan morena Wisconsin yang terkenal akan
kesempurnaan striated stone yang ada didalamnya. Dari sekitar 600 kerikil atau kerakal yang diamatinya, 40% diantaranya tidak memperlihatkan striation sama sekali, 50% diantaranya hanya memilikistriation yang samar atau hanya memiliki striation yang jelas pada satu sisinya saja, dan 10% diantaranya memperlihatkan gejala lain. Striationpaling
banyak terbentuk dan paling jelas terlihat dalam kerakal batugamping,
sedangkan kerakal batuan silikaan dan batuan beku berbutir kasar boleh
dikatakan tidak tergores sama sekali. Karena itu, tidak mengherankan
apabila komponen tillite purba yang telah kompak hanya memperlihatkan sedikit striation, bahkan tidak memperlihatkanstriation sama sekali.
Striation adalah
goresan sempit, lurus, atau hampir lurus yang terdapat dalam permukaan
partikel yang tergores. Gejala lain yang berkaitan dengan striation adalah bruises yang lebih kasar, lebih pendek, dan lebih lebar dibanding striation serta umumnya memperlihatkan pola en echelon. Nailhead scratches adalah striation yang
memiliki bagian kepala atau titik asal yang jelas. Goresan yang disebut
terakhir ini cenderung lebih sempit atau sedikit meruncing dari titik
itu, sedangkan ujung yang lain tidak terlalu jelas. Jika kerikil yang
memperlihatkan striationtertanam dalam suatu matriks, maka striation itu cenderung sejajar dengan arah pergerakan aliran es. Dengan demikian, striationcenderung terletak sejajar dengan sumbu panjang kerikil.
Ada empat pola utama dari striation: (1) sejajar (parallel); (2) hampir sejajar (subparallel); (3) tersebar (scatter) atau random; dan (4) membentuk jaring (grid).
Jaring disusun oleh dua atau tiga sistem goresan yang saling menyilang.
Pola hampir-sejajar dan random paling sering ditemukan dalam kerakal
gletser. Striation sejajar dan hampir-sejajar cenderung terletak
sejajar dengan sumbu panjang kerakal. Wentworth (1936b) menyatakan bahwa
pola jaring, terutama yang disusun oleh goresan-goresan yang spasinya
relatif jauh, serta striationyang melengkung, lebih banyak ditemukan dalam ice-jam cobbles dan kerakal sungai dibanding kerakal gletser.
Striation (dan slickenside)
juga bisa terbentuk selama berlangsungnya deformasi suatu batuan di
bawah pengaruh tekanan. Kerikil dan kerakal yang tertanam dalam matriks
yang agak halus cenderung memperlihatkan pergoresan seperti itu. Striation yang dihasilkan oleh pergerakan itu umumnya merupakan microstriation, dimana hanyastriation terbesar saja yang dapat dilihat dengan mata telanjang (Judson & Barks, 1961; Clifton, 1965). Microstriation umumnya sejajar satu sama lain dan kerikil yang memiliki microstriation umumnya memperlihatkan “tectonic polish”. Hal itu, serta kehadiran sesar mikro(microfault), merupakan aspek pembeda antara striation yang terbentuk pada saat berlangsungnya pengendapan dengan striation yang terbentuk akibat deformasi.
Lekukan melengkung yang terbentuk akibat tumbukan, dan disebutpercussion mark,
sering ditemukan pada beberapa kerikil, khususnya rijang dan kuarsit
padat. Lekukan kecil itu disebabkan oleh tumbukan sebuah benda yang
bergerak dengan kecepatan tinggi terhadap kerikil atau kerakal. Percussion mark dinisbahkan pada aksi fluvial, bukan aksi gisik (Klein, 1963).
Banyak kerikil memiliki lekukan di permukaannya. Lekukan-lekukan itu dapat terbentuk akibat etching dan
pelarutan diferensial yang berasosiasi dengan ketidakhomogenan batuan.
Batuan beku berbutir kasar dicirikan oleh lekukan, sedangkan batuan
berbutir halus, misalnya rijang, kuarsit, dan berbagai tipe batugamping,
mungkin memiliki permukaan yang mulus. Lebih umumnya lagi, istilah pitted pebblesditerapkan
pada kerikil atau kerakal yang memiliki lekukan yang tidak berkaitan
dengan tekstur batuan itu atau dengan pelapukan diferensial. Lekukan
seperti itu sering ditemukan pada bidang kontak antar kerikil. Ukuran
lekukan itu bermacam-macam, dengan panjang maksimum centimeter dan
kedalaman 1 centimeter. Lekukan itu umum-nya mulus seolah-olah
tercungkil oleh sendok. Kuenen (1942) menelaah literatur mengenai pitted pebbles dan masalah pem-bentukannya. Pitted pebblesdijelaskan
sebagai produk tekanan (hipotesis ini terbukti tidak sahih) dan akibat
pelarutan yang dipicu oleh adanya tekanan pada titik-titik kontak antar
kerikil (Sorby, 1863; Kuenen, 1942).
Pitted pebbles hendaknya tidak tertukar dengan “cupped pebbles”. Sisi atas dari “cupped pebbles” dikenai oleh aksi pelarutan dan sisi itu demikian terkorosi sehingga tidak lebih dari sebuah kerak (Scott, 1947).
Mikrorelief
kerikil mudah dilihat dengan mata telanjang. Walau demikian,
mikrorelief pada butiran pasir hanya dapat terlihat di bawah mikroskop.
Karena itu, tidak mengherankan apabila mikrorelief partikel pasir
merupakan hal yang relatif baru diteliti, terutama setelah adanya
mikroskop elektron dan scanning-electron microscope (Krinsley
& Takahashi, 1962a, 1962b, 1962c; Porter, 1962; Wolfe, 1967;
Krinsley & Donahue, 1968; Margolis, 1968; Stieglitz, 1969; Krinsley
& Margolis, 1969; Ricci Lucchi & Casa, 1970; Fitzpatrick &
Summerson, 1971). Penelitian-penelitian itu menghasilkan pengetahuan
mengenai kehadiran sekian banyak jejak pada permukaan partikel pasir
kuarsa dengan ukuran dan bentuk yang sangat beragam. Banyak usaha
dilakukan oleh para ahli untuk mengaitkan pola-pola mikrorelief dengan
lingkungan pengendapan. Perhatian para ahli secara khusus ditujukan pada
pola-pola yang diperlihatkan dari lingkungan litoral, eolus, dan
glasial. Ancangan yang digunakan adalah meng-ambil sampel
lingkungan-lingkungan tersebut untuk mengetahui tekstur permukaan yang
khas dari endapan pada lingkungan-lingkungan itu. Sayang sekali,
partikel-partikel pasir dalam beberapa lingkungan yang telah diambil
sampelnya memiliki sejarah yang kompleks karena telah terangkut oleh es
atau air pada siklus sedimentasi sebelumnya. Tekstur permukaan itu, yang
diperkirakan terbentuk pada lingkungan yang beragam, saling
bertumpang-tindih (Krinsley & Funnell, 1965). Padahal dulu
diperkirakan bahwa jejak-jejak permukaan lama dapat dengan mudah
terhapus selama berlangsungnya siklus sedimentasi baru. Ketidaktahuan
para ahli mengenai jenis agen yang menghasilkan gejala-gejala tertentu,
atau mengenai kepastian asal-usul jejak tertentu (apakah terbentuk hanya
oleh satu agen atau oleh beberapa agen tertentu), serta mengenai cara
khusus untuk meng-ukur atau memerikan gejala-gejala yang terlihat pada
permukaan partikel telah mengurangi nilai tekstur permukaan sebagai
suatu kriterion untuk mengenal agen dan/atau lingkungan pengendapan.
Manfaat ancangan itu untuk batupasir purba hampir tidak diketahui sama
sekali. Diagenesis tidak diragukan lagi menyebabkan timbulnya perubahan
drastis pada permukaan partikel sedemikian rupa sehingga, meskipun para
ahli telah memiliki kriteria lingkungan yang didasarkan pada data
non-subjektif dan dapat direproduksikan, namun kriteria itu mungkin
sukar untuk diterapkan pada batuan tua, terutama batupasir yang kompak,
sedemikian rupa sehingga batuan itu hanya akan dapat diteliti dengan
sayatan tipis.
3.4 KEMAS DAN GEOMETRI RANGKA
3.4.1 Kemas
Para ahli geologi sejak lama tertarik pada kemas (fabric) sedimen,
khususnya sedimen klastika. Jamieson (1860) melakukan pengamatan
terhadap imbrikasi batuan di Scotlandia. Walau demikian, penelitian
kemas yang sistematis baru dimulai setelah terbitnya Gefügekunde der Gesteine karya
Bruno Sander pada 1936. Meskipun buku itu terutama membahas tentang
kemas batuan metamorf, namun isinya memberikan prinsip-prinsip dan
metodologi yang sistematis dan dapat diadaptasikan pada batuan sedimen.
Akhir-akhir ini, literatur mengenai kemas batuan sedimen banyak
bermunculan dan telah disarikan oleh Potter & Pettijohn (1963) serta
Johansson (1965a).
Tujuan
utama dari kebanyakan penelitian kemas primer sedimen klastika adalah
perekonstruksian arus purba. Walau demikian, akhir-akhir ini penelitian
kemas juga diarahkan untuk mengetahui proses pengangkutan sedimen.
Penelitian kemas terutama dilakukan pada pasir, gravel, dan till.
Kemas
juga merupakan salah satu sifat sedimen yang penting karena memiliki
kaitan erat dengan sifat-sifat fisik batuan, misalnya konduktivitas
termal, listrik, fluida, dan sonik.
Penelitian
kemas dolomit dan batugamping kurang mendapat perhatian semestinya.
Manfaat kemas batugamping dan dolomit diperlihatkan dengan jelas oleh
Sander (1936) melalui penelitiannya terhadap dolomit dan batugamping
Trias di Austria.
3.4.2 Definisi dan Konsep
Kemas (fabric),
dalam sedimentologi, diartikan sebagai hubungan ruang dan orientasi
unsur-unsur kemas. Dengan pengerti-an seperti itu, istilah kemas lebih
sempit dibanding istilah Gefüge. Istilah yang disebut terakhir
ini digunakan oleh Sander (1936) untuk mencakup sifat-sifat seperti
besar butir, pemilahan, porositas, dsb, yang biasanya dianggap sebagai
bagian dari tekstur. Unsur-unsur kemas (fabric elements) suatu
batuan sedimen dapat berupa kristal tunggal, partikel pasir dan gravel,
cangkang binatang, atau benda lain yang biasa berperan sebagai komponen
batuan.
Pembandelaan (packing) adalah
“densitas” atau spasi antar unsur kemas. Suatu batuan dapat memiliki
pembandelaan yang beragam, sekalipun disusun oleh unsur-unsur kemas yang
berbentuk bola dan ukurannya seragam. Pembandelaan itu akan lebih
kompleks lagi apabila unsur-unsur itu tidak berbentuk bola dan ukurannya
tidak seragam. Meskipun pembandelaan memiliki kaitan yang erat dengan
kemas, namun keduanya merupakan dua sifat yang berbeda.
Setiap
unsur kemas yang tidak berbentuk bola akan memiliki orientasi tertentu.
Jika sejumlah besar unsur kemas pada suatu batuan (misalnya sebagian
besar kerikil dalam suatu gravel) memperlihatkan orientasi pada arah
tertentu, maka dikatakan bahwa batuan itu memiliki preferred orientation atau memiliki kemas anisotrop (anisotropic fabric).
Kemas seperti itu dapat di-wujudkan oleh kesejajaran sumbu panjang
kerikil penyusun gravel, kesejajaran graptolit dalam serpih, keseragaman
orientasi cangkang moluska (misalnya sebagian besar cangkang itu cekung
ke atas), dsb. Kemas seperti itu disebut kemas dimensi(dimensional fabric) karena
kesejajaran itu muncul akibat dimensi aktual dari unsur-unsur tersebut.
Jika kemas seperti itu diperlihatkan oleh kesejajaran arah
kristalografi (misalnya kesejajaran sumbu-c kristal kuarsa), maka kemasnya disebut kemas kristalografi (crystallographic fabric).
Kemas dimensi dapat memiliki hubungan yang erat dengan kemas
kristalografi, namun keduanya dapat pula tidak memiliki hubungan
apa-apa. Pada kasus fragmen batuan atau fosil, sudah barang tentu tidak
ada hubungan antara kemas dimensi dengan kemas kristalografi.
Dilihat dari asal-usulnya, kita dapat mengenal adanya dua tipe kemas, yakni kemas deformasi (deformational fabric) dan kemas aposisi(apositional fabric). Kemas deformasi dihasilkan oleh stress eksternal yang diterima oleh suatu batuan dan ter-bentuk akibat rotasi atau pergerakan unsur-unsur kemas di bawah pengaruh stress tersebut atau akibat pertumbuhan unsur-unsur baru dalam stress field.
Kemas inilah yang pada dasarnya diperlihatkan oleh batuan metamorf.
Kemas aposisi terbentuk pada saat pengendapan dan merupakan kemas
“primer”. Sebagian besar kemas batuan sedimen merupakan kemas aposisi.
Walau demikian, kompaksi batuan sedimen, yang sebagian merupakan
fenomenon deformasi, dapat menyebabkan terubahnya kemas primer.
Deformasi seperti itu mungkin tertahan oleh sementasi awal. Beberapa
jenjang proses pembentukan kemas dapat terekam dalam konkresi (Oertel
& Curtis, 1972). Kemas aposisi atau kemas primer merupakan rekaman
tanggapan unsur-unsur linier (misalnya sumbu panjang kerikil) terhadap
medan gaya, misalnya saja medan gravitasi bumi dan medan magnet.
Sebagian besar unsur kemas yang tidak berbentuk bola cenderung untuk
diam pada posisi stabilitas maksimumnya, dimana dimensi terpanjang dari
benda itu akan terletak sejajar dengan bidang perlapisan, sebagai
perwujudan tanggapan unsur-unsur tersebut terhadap medan gravitasi bumi.
Walau demikian, posisi atau orientasi unsur-unsur itu dapat terubah
akibat aliran fluida.
Tidak semua kemas aposisi seperti itu. Sebagian kemas aposisi merupakan kemas pertumbuhan (growth fabric).
Orientasi unsur-unsur pada kemas pertumbuhan merupakan hasil
pertumbuhan kristal. Pertumbuhan kristal itu sendiri seringkali
berkaitan erat dengan kehadiran ruang bebas di dalam batuan. Pertumbuhan
kristal yang tegak lurus terhadap suatu bidang—seperti yang terlihat
pada geode, urat, dsb—merupakan contoh kemas pertumbuhan. Kemas ini akan
dibahas lebih jauh pada Bab 12.
3.4.3 Unsur dan Analisis Kemas
Hanya unsur-unsur kemas yang dimensinya tidak sama saja yang akan memberikan tanggapan terhadap aliran fluida dan akan memilikipreferred orientation.
Sebuah unsur berbentuk bola memiliki dimensi yang seragam dan tidak
akan memperlihat-kan tanggapan apapun terhadap aliran fluida. Sebuah
unsur berbentuk elipsoid tiga sumbu, di lain pihak, akan memiliki
orientasi dan akan memperlihatkan tanggapan terhadap aliran fluida.
Aspek unsur kemas yang diukur adalah orientasi sumbu panjang (apabila
unsur itu berbentuk batangan) atau orientasi sumbu pendek (apabila unsur
itu berbentuk cakram).
Meskipun
setiap komponen detritus merupakan unsur kemas yang potensial, namun
hanya komponen-komponen yang dimensinya berbeda-beda saja yang dapat
memberikan manfaat besar dalam analisis kemas. Partikel-partikel kerikil
dan pasir merupakan unsur kemas yang posisi sumbu-sumbunya paling
sering diteliti. Lembar-lembar mika, bahkan mika lempung, serta banyak
material organik (ranting kayu, fragmen daun berbentuk tali) merupakan
unsur-unsur kemas yang sangat bermanfaat, terutama dalam sedimen
argilit. Rangka atau cangkang binatang—khususnya orthocerids, Tentaculites,
cangkang bivalvia, serta gastropoda berulir banyak—umumnya
memperlihatkan pengarahan dan merupakan unsur kemas yang juga sangat
bermanfaat.
Orientasi
suatu unsur kemas dinyatakan dengan “jurus” dan “kemiringan”-nya.
“Jurus” atau azimuth unsur kemas adalah sudut yang dibentuk oleh
sumbu-sumbu tertentu dari unsur itu dengan arah utara magnet.
“Inklinasi” unsur kemas adalah sudut vertikal yang dibentuk oleh
sumbu-sumbu tertentu dari unsur itu dengan bidang horizontal. Sumbu
panjang kerikil dapat mem-perlihatkan preferred orientation. Walau demikian, kerikil tertentu, misalnya kerikil berbentuk cakram, tidak memperlihatkan preferred orientation atau
paling banter hanya memperlihatkan orientasi yang sangat samar.
Orientasi partikel-partikel yang disebut terakhir ini dikontrol oleh
permukaan partikel yang luas dan datar. Nilai pendekatan untuk posisi
bidang itu (yakni bidang a–b) dapat dinyatakan dengan azimuth dan
inklinasi garis yang tegak lurus terhadap bidang tersebut. Arah itu
pada dasarnya merupakan orientasi diameter terpendek (sumbu-c) dari kerikil itu.
Jika
suatu kerikil dapat dikeluarkan dari matriksnya, dan diberi tanda, maka
posisinya dapat diorientasikan kembali di laboratorium. Kemudian,
dengan bantuan sebuah goniometer, azimuth dan sudut kemiringan sumbu
panjang kerikil itu atau orientasi garis yang tegak lurus terhadap
bidang proyeksi maksimumnya akan dapat diukur (Karlstrom, 1952). Jika,
strata dimana kerikil itu berada telah terangkat, maka efek pengangkatan
itu sudah barang tentu harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga
data orientasi yang diperoleh sudah bebas dari pengaruh tektonik. Para
pembaca yang tertarik untuk mengetahui lebih jauh teknik-teknik
pengambilan sampel dan prosedur-prosedur pengukuran itu hendaknya
membaca karya-karya tulis Potter & Pettijohn (1963) serta Bonham
& Spotts (1971).
Data
pengamatan terhadap sekitar 100 atau lebih kerikil dapat diringkaskan
secara grafis dengan beberapa cara. Sebagai contoh, untuk mengetahui
arah aliran es, kita dapat mengukur dan menganalisis sekian data azimuth
sumbu panjang till stone. Nilai-nilai bacaan azimuth dapat
dikelompokkan ke dalam kategori-kategori tertentu (dengan memakai
interval yang sesuai, misalnya saja 20o). Setelah itu kita
cari kelas modus atau nilai rata-rata hitungnya. Metoda-metoda itu
mencakup analisis distribusi frekuensi “sirkuler” (“circular” frequency distribution) itu
telah dibahas panjang lebar oleh Jizba (1971). Kita juga dapat
menyajikan nilai-nilai bacaan dalam sebuah histogram sirkuler(circular histogram). Nilai-nilai kemiringan partikel itu dapat ditangani dengan cara yang sama.
Diagram yang memperlihatkan azimuth dan inklinasi sumbu panjang suatu unsur kemas disebut “petrofabric diagram” (Knopf & Ingerson, 1938). Posisi setiap sumbu panjang direpresentasikan oleh suatu titik dalam kertas koordinat kutub (polar coordinate paper), dalam jaring kutub sama-luas Lambert (Lambert equiarea polar net), atau dalam jaring Schmidt (Schmidt net) (gambar
3-29A). Ada tidaknya pengkonsentrasian titik-titik data dalam jaring
seperti itu mengindikasikan ada tidaknya pengarah-an unsur kemas
tersebut. Diagram seperti itu dapat dengan mudah dipahami apabila kita
membayangkan bahwa setiap kerikil itu ditempatkan pada bagian tengah
suatu bola sesuai dengan posisinya pada singkapan. Sumbu panjang (atau
sumbu lain) dari kerikil itu kemudian diperpanjang hingga sumbu itu
berpotongan dengan permukaan bola. Titik perpotongan antara sumbu itu
dengan permukaan bola bagian bawah (“belahan selatan”) kemudian
dirajahkan pada peta “kutub” dari belahan bola itu. Jadi, dalam diagram
itu, orientasi suatu garis dalam ruang (misalnya saja sumbu panjang
suatu kerikil) akan direpresentasikan oleh suatu titik. Sebuah bidang
juga dapat direpresentasikan oleh suatu titik. Caranya adalah dengan
merajahkan posisi suatu garis yang tegak lurus terhadap bidang itu.
Jadi, kita dapat merajahkan orientasi suatu lapisan silang-siur dengan
sebuah titik padapetrofabric diagram. Dengan cara itu pula, orientasi dari sekian banyak lapisan silang-siur dapat ditampilkan pada satu diagram.
Jika
unsur-unsur linier memiliki penyebaran random, maka titik-titik yang
mererpesentasikan unsur-unsur itu juga akan tersebar secara random
dalam petrofabric diagram. Jika unsur-unsur itu memperlihatkan
pengarahan, maka titik-titik yang me-representasikannya akan
terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu. Untuk memperlihatkan
penyebaran atau densitas titik-titik tersebut, kita dapat menyajikan
data itu dengan garis-garis kontur. Setiap daerah yang dibatasi oleh
kontur tertentu kemudian dapat diberi simbol tersendiri. Dengan
demikian, dalam petrofabric diagram, kontur digunakan untuk
menunjukkan jumlah titik data dalam setiap satuan luas (gambar 3-29B).
Para ahli biasanya tidak menyatakan angka aktual dari densitas
titik-titik tersebut, melainkan jumlah relatifnya (persentasenya).
Satuan luas yang digunakan biasanya 1% luas keseluruhan diagram.
Titik-titik
yang merepresentasikan sumbu unsur-unsur kemas yang berbentuk garis
atau titik-titik yang merepresentasikan garis yang tegak lurus terhadap
unsur-unsur kemas yang berbentuk bidang dapat membentuk zona atau sabuk
dengan konsentrasi titik proyeksi yang beragam. Zona-zona seperti itu
disebut girdle.
Meskipun
konsep kemas dimensi dapat diterapkan pada semua sedimen klastika,
termasuk beberapa tipe batugamping, namun pengukuran unsur-unsur kemas
dalam batuan klastika yang kompak sukar untuk dilakukan. Imbrikasi
kerikil-kerikil pipih dalam suatu konglomerat dapat dengan relatif mudah
dilihat, namun apabila kita tidak dapat menandai, memindahkan, dan
melakukan reorientasi kerikil-kerikil seperti itu, maka analisis kemas
tidak mungkin dapat dilaksanakan pada konglomerat itu. Bidang-bidang
perlapisan mungkin dapat memberikan informasi penting. Pada bidang
perlapisan itu kita dapat melihat orientasi kerikil memanjang, fosil
berbentuk kerucut atau fosil memanjang, serta material rombakan
tumbuhan.
Orientasi
partikel pasir dalam suatu batupasir tidak mudah untuk ditentukan.
Sayatan-sayatan tipis pada arah yang tegak lurus terhadap bidang
perlapisan biasanya memperlihatkan bahwa sumbu panjang partikel sejajar
dengan bidang perlapisan atau, pada kasus-kasus tertentu, terimbrikasi.
Sayatan pada arah yang sejajar dengan bidang perlapisan umumnya
memper-lihatkan pengarahan partikel-partikel memanjang. Beberapa teknik
telah dikembangkan untuk mempelajari kemas batupasir (Martinez, 1963;
Nanz, 1955; Bonham & Spotts, 1971).
3.4.4 Konsep Simetri dan Tipe-Tipe Kemas
Apabila orientasi unsur-unsur kemas dalam suatu batuan tidak beraturan, maka batuan itu dikatakan memiliki kemas isotrop (isotropic fabric). Namun, apabila unsur-unsur kemas dalam suatu batuan memperlihatkan preferred orientation, maka dikatakan bahwa batuan itu memiliki kemas anisotrop (anisotropic fabric).
Meskipun pola kemas sangat beragam, namun endapan sedimen hanya
memperlihatkan beberapa aturan-susunan yang sederhana. Karena orientasi
suatu unsur kemas tergantung pada bentuk unsur itu, maka akan terasa
bermanfaat apabila pada saat ini kita meninjau secara singkat pola-pola
umum yang diperlihatkan oleh kategori-kategori utama dari bentuk butir.
Pola-pola
umum yang diperlihatkan oleh kategori-kategori utama bentuk butir
paling baik dicandra dengan merujuk pada dua bidang. Pertama, bidang
horizontal yang lebih kurang mendekati bidang pengendapan(surface of deposition).
Kedua, bidang vertikal yang sejajar dengan arah aliran. Hal yang sangat
penting artinya adalah orientasi suatu unsur kemas dan hubungan antara
pola yang dihasilkan oleh populasi unsur-unsur tersebut dengan
bidang-bidang rujukan tersebut.
Unsur kemas yang berbentuk bola sudah barang tentu tidak dapat memperlihatkan pola kemas tertentu.
Unsur
kemas yang berbentuk batang dicandra dengan menyatakan orientasi sumbu
panjangnya. Pola kemas yang dihasilkan dapat random atau isotrop (gambar
3-30A). Unsur-unsur itu juga dapat tersebar secara terbatas pada bidang
horizontal tertentu, namun pola penyebaran horizontalnya bersifat
random dan kutub-kutubnya membentuk suatu girdle (gambar 3-30B). Unsur-unsur itu juga dapat memperlihatkan kemas arus (current fabric) yang
disebabkan oleh penyusunan-ulang pada bidang horizontal dengan
kutub-kutub terletak tegak lurus terhadap arus pembentuknya (gambar
3-30C) atau sejajar dengan arus pembentuknya (gambar 3-30D). Selain itu,
unsur berbentuk batang masih dapat membentuk kemas lain, namun
kemas-kemas itu jarang ditemukan, misalnya saja sebagai suatu kutub
tunggal di bagian tengah diagram (sumbu panjang sebagian dropstones yang vertikal akan memperlihatkan kemas seperti itu).
Orientasi
unsur berbentuk cakram dapat dicandra berdasarkan pola kemas yang
diperlihatkan oleh sumbu pendek yang pada dasarnya terletak tegak lurus
terhadap bidang cakram. Cakram dapat terletak pada bidang perlapisan
dimana sumbu pendek cakram itu terletak tegak lurus terhadap bidang
perlapisan (gambar 3-30E). Unsur-unsur kemas berbentuk cakram juga dapat
tersusun-ulang oleh arus dan memperlihatkan kemas imbrikasi yang miring
ke hulu. Pada kasus ini, sumbu pendek tidak akan terletak di tengah
diagram (gambar 3-30F).
3.4.5 Kemas Sedimen
3.4.5.1 Kemas Gravel
Preferred orientation dalam
beberapa gravel telah diketahui sejak lama. Pola susunan kerikil pipih
yang seperti susunan genting dalam beberapa gravel dan konglomerat
dinamakan “struktur imbrikasi” (“imbricate structure”) (Becker,
1893). Lihat gambar 3-32. Cailleux (1945) mempelajari kemiringan sekitar
4000 kerikil dalam formasi-formasi yang umurnya berkisar mulai dari
Paleozoikum hingga resen. Hasilnya menunjukkan bahwa imbrikasi merupakan
jenis kemas yang paling sering ditemukan. Dalam formasi bahari,
imbrikasi itu memperlihatkan arah yang agak bervariasi, sedangkan dalam
endapan sungai sudut kemiringan imbrikasi sangat seragam. Inklinasi
partikel-partikel gravel endapan sungai, ke arah hulu, rata-rata
berharga 15–30o; endapan bahari memperlihatkan inklinasi 2–15o.
Secara umum, kerikil pipih memiliki inklinasi yang lebih kecil
dibanding kerikil yang tidak terlalu pipih; partikel-partikel yang
relatif besar memiliki orientasi yang lebih baik dibanding partikel yang
relatif kecil. Kerikil-kerikil yang saling bersentuhan memiliki
orientasi yang lebih baik dibanding kerikil-kerikil terisolir. Menurut
Unrug (1957), sudut inklinasi cenderung berkurang ke arah hilir. Hal itu
dinisbahkan oleh Unrug (1957) pada “pemilahan gravel yang lebih buruk
ke arah hilir”. Johansson (1965b), yang melakukan penelitian paling
komprehensif terhadap kemas gravel setelah Cailleux (1945), menyatakan
bahwa imbrikasi merupakan indikator arus yang paling dapat diandalkan
dalam endapan sungai masa kini. Inklinasi pada endapan sungai masa kini
bervariasi mulai dari sekitar 10o hingga sekitar 30o. Inklinasi sebesar itu memiliki kaitan dengan kepipihan dan “kondisi-kondisi hidrodinamika”. Inklinasi yang tinggi (sekitar 40o)
dalam konglomerat Keweenawan (Prakambrium) ditafsirkan oleh White
(1952) sebagai akibat terkonsentrasinya kerikil pipih pada sayap-sayap
lubang kerukan. Karena itu, kemiringan itu merupakan sebuah ukuran dari
sudut henti (angle of repose).
Orientasi
sumbu panjang kerikil berbentuk batang tidak terlalu dipahami
sebagaimana orientasi kerikil berbentuk cakram. Bahkan, para ahli
menemukan fakta-fakta yang kontroversial. Kesejajaran sumbu panjang
dengan arah arus telah dikemukakan oleh banyak ahli seperti Krumbein
(1940, 1942a), Schlee (1957), serta Dumitriu & Dumitriu (1961).
Walau demikian, Twenhofel (1932), Unrug (1957), Doeglas (1962),
Sedimentary Petrology Seminar (1965), serta Rust (1972) melaporkan
adanya orientasi sumbu panjang yang tegak lurus terhadap arah arus.
Pendapat itu ditunjang oleh hasil penelitian eksperimental yang
dilakukan oleh Sarkisian & Klimova (1955) serta Kelling &
Williams (1967). Fakta-fakta yang berlawanan itu mungkin dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Johansson menyatakan bahwa kerikil yang ketika
diangkut selalu bersentuhan dengan substrat cenderung untuk diendapkan
sedemikian rupa sehingga sumbu panjang kerikil itu tegak lurus terhadap
arah arus. Di lain pihak, kerikil yang diangkut dalam medium
pengangkut—misalnya dalam es gletser, aliran lumpur, dsb—cenderung
sejajar dengan arah aliran karena adanya pengaruh shearing stress medium
yang bergerak. Menurut Rust (1972), orientasi yang tegak lurus terhadap
arah arus paling jelas terlihat apabila kerikil-kerikil yang
terorientasi itu terisolasi pada bidang batas sedimen-fluida yang
disusun oleh pasir. Orientasi itu akan menghilang sejalan dengan makin
bertambah banyaknya kerikil sedemikian rupa sehingga akhirnya terbentuk
orientasi yang sejajar dengan arah aliran. Kecepatan aliran tampaknya
merupakan salah satu faktor yang menentukan orientasi kerikil. Torrential flow menyebabkan terbentuknya orientasi yang sejajar dengan arah aliran.
3.4.5.2 Kemas Till
Preferred orientation dari till stone telah
lama digunakan sebagai kriterion arah aliran es (Richter, 1932, 1936;
Krumbein, 1939; Holmes, 1941; Karlstrom, 1952; Harrison, 1957; Virkkala,
1960; Seifert, 1954; West & Donner, 1956; Kauranne, 1960; dll).
Seperti yang dapat diinferensikan dari glacial striation, chatter mark, dan kriteria pergerakan es yang lain, partikel berbentuk batang dalam ground morainal till cenderung
sejajar dengan arah pergerakan es. Pada beberapa kasus, ditemukan
adanya partikel yang terletak lebih kurang tegak lurus terhadap arah
pergerakan es, meskipun frekuensinya jauh lebih rendah dibanding
partikel yang sejajar dengan arah pergerakan es. Pada morainal till lain, kemas yang terlihat mungkin kompleks. Kemas till secara
umum merupakan alat yang bermanfaat untuk menentukan arah pergerakan
es, khususnya pada saat tidak ditemukan kriteria lain (Lindsey, 1966;
Halbach, 1962).
3.4.5.3 Kemas Pasir
Kemas
pasir dan batupasir kurang begitu dipahami dibanding kemas gravel. Hal
itu terutama terjadi karena adanya berbagai kesulitan dalam pemelajaran
kemas material yang relatif halus. Banyak usaha telah dilakukan oleh
para ahli untuk mengukur posisi sumbu panjang (Schwarzacher, 1951) dan
sumbu panjang semu (Griffiths, 1949; Griffiths & Rosenfeld, 1950)
partikel membatang serta orientasi sumbu-c kristal (Rowland, 1946) yang didasarkan pada premis bahwa sumbu panjang partikel memiliki hubungan yang erat dengan sumbu-c kristal.
Wayland (1939) menyatakan bahwa orientasi sumbu panjang kristal kuarsa cenderung sama dengan orientasi sumbu-c kristal
itu. Ramisch (1942) mendukung hasil-hasil penelitian Wayland (1939).
Karena itu, jika partikel kuarsa yang tidak ber-bentuk bola diarahkan
oleh arus dasar pada saat diendapkan, maka batupasir itu kemungkinan
besar akan memperlihatkan kemas kristalografi. Analisis petrofabric yang dilakukan Wayland terhadap St. Peter Sandstone (Ordovisium) menunjukkan bahwa sumbu optik c dari
kuarsa memang memperlihatkan orientasi seperti itu. Rowland (1946)
mencoba untuk mengeksplorasi lebih jauh hubungan antara arah dimensi
dengan arah kristalografi dalam kuarsa klastika, namun hasil-hasil
penelitiannya agak kurang konklusif. Kesulitan agaknya sebagian muncul
dari fakta bahwa kuarsa memiliki belahan rhombohedra dan, meskipun tidak
sempurna, belahan itu cenderung menyebabkan terbentuknya
fragmen-fragmen memanjang yang sumbu panjangnya sejajar dengan sumbu
kristal c(Bloss, 1957; Bonham, 1957; Zimmerle & Bonham,
1962). Hubungan antara orientasi dimensi dengan orientasi kristalografi
memungkinkan kita untuk menentukan orientasi dimensi dengan menggunakan
suatu fotometer pada sayatan tipis yang dipotong pada arah yang sejajar
dengan bidang perlapisan (Martinez, 1958; 1963).
Secara
umum, kemas dimensi dari kuarsa yang berkaitan dengan aliran adalah
kemas yang terlihat pada sayatan yang sejajar dengan bidang perlapisan,
khususnya sayatan batupasir yang bidang perlapisan horizontalnya tidak
terganggu (gambar 3-32). Rajahan dari sumbu panjang semu yang terlihat
pada sayatan itu umumnya memperlihatkan bahwa arah rata-rata sumbu itu
sejajar atau hampir sejajar dengan arah aliran sebagaimana yang terlihat
dari hasil analisis struktur bidang perlapisan bawah (Sestini &
Pranzini, 1965). Kesesuaian seperti itu juga ditemukan antara kemas
partikel dengan dielectric anisotropy (McIver, 1970). Lihat
gambar 3-33. Walau demikian, adanya pengecualian dari itu telah
dilaporkan oleh beberapa ahli (Onions & Middleton, 1968; Parkash
& Middleton, 1970).
Hubungan
antara sumbu panjang semu dengan arah arus didukung oleh hasil-hasil
penelitian eksperimental (Dapples & Rominger, 1945). Ujung yang
relatif besar dari partikel yang tidak setangkup cenderung mengarah ke
hulu. Pemelajaran ter-hadap sedimen gisik, sungai, dan gumuk masa kini
menunjukkan adanya kemas dimensi yang jelas pada bidang yang sejajar
dengan bidang perlapisan (Nanz, 1955; Curray, 1956).
Sayatan
tipis batupasir yang dipotong pada arah yang tegak lurus terhadap
bidang perlapisan dan sejajar dengan arah arus memperlihatkan bahwa
imbrikasi partikel pasir umumnya, meskipun tidak selalu, miring ke arah
hulu (Sestini & Pranzini, 1965).
Kemas
pasir diketahui memiliki kaitan yang sangat erat dengan permeabilitas
vektoral (Griffiths, 1949; Griffiths & Rosenfeld, 1950, 1953).
3.4.5.4 Kemas Lempung dan Serpih
Partikel-partikel
lempung, khususnya mineral lempung, memiliki perawakan seperti mika dan
umumnya pipih (Marshall, 1941; Bates, 1958). Meskipun partikel-partikel
itu diendapkan secara random, namun tekanan gravitasi dan kompaksi yang
ditimbulkan oleh tekanan gravitasi itu pada akhirnya akan menyebabkan
partikel-partikel terputar dan terletak pada satu bidang yang sama
sedemikian rupa sehingga partikel-partikel itu akan terletak sejajar
atau terletak hampir sejajar satu sama lain. Orientasi seperti itu
menyebabkan porositas serpih atau lempung menjadi berkurang serta
menyebabkan terbentuknya anisotropi kemas dan penyubanan (fissility).
Hal itu terlihat dengan jelas dari hasil-hasil analisis sinar-X yang
dilakukan terhadap kemas kaolinit dari serangkaian sampel yang diambil
dari suatu nodul siderit secara berturut-turut mulai dari pusat hingga
bagian tepi nodul itu (Oertel & Curtis, 1972). Tampaknya konkresi
itu merekam sejarah kompaksi serpih yang melingkupinya. Konkresi itu
sendiri terbentuk sebelum serpih yang melingkupinya terkompaksi dan
pertumbuhan konkresi terus berlanjut hingga kompaksi hampir selesai.
Kemas kaolinit memperlihatkan perubahan progresif, mulai dari kemas yang
hampir random di bagian tengah konkresi, hingga kemas yang sangat
terarah pada permukaan konkresi. Pembahasan yang lebih mendalam mengenai
faktor-faktor kimia dan mekanis yang mengontrol kemas lempung disajikan
oleh Meade (1964).
Pengamatan
terhadap sayatan tipis serpih yang dipotong pada arah yang tegak lurus
terhadap bidang perlapisan menunjuk-kan adanya efek-efek “kepunahan
massa” di bawah nikol bersilang. Hal itu mengindikasikan bahwa
lempeng-lempeng mineral lempung terletak sejajar dengan bidang
perlapisan. Walau demikian, Keller (1946) menunjukkan bahwa sebagian fire clay disusun
oleh lempeng-lempeng mineral yang tersebar secara random. Dia
berkeyakinan bahwa hal itu terjadi sebagai akibat pertumbuhan
lempeng-lempeng itu dalam suatu gel lempung setelah lempung itu sendiri
diendapkan. Lempung seperti itu memiliki bidang belahan konkoidal hingga
tidak beraturan.
3.4.5.5 Kemas Batugamping dan Dolomit
Kemas
primer dari batugamping dan dolomit telah diteliti oleh Sander (1936)
dan Hohlt (1948). Kemas kristalografi yang berkembang baik telah
dilaporkan oleh Hohlt. Pola-pola yang diperlihatkan oleh Sander sebagian
besar merupakan kemas pertumbuhan (growth fabric) dalam ruang
pori dan bukaan lain. Kemas itu terbentuk akibat tumbuhnya deretan
kristal pada dinding lubang tersebut. Kemas kristalografi kemungkinan
besar tidak akan ditemukan dalam batugamping dan dolomit yang tidak
dikenai stress.
Kemas
dimensi juga sering ditemukan dalam batugamping dan dolomit. Kemas itu
berkaitan dengan pengarahan berbagai unsur rangka yang datar (atau
berbentuk seperti batang) atau cekung-cembung (Dunham, 1962). Kemas itu
akan dibahas lebih jauh pada 3.4.5.6. Kemas diagenetik akan dibahas pada
bagian akhir dari bab ini dan dalam Bab 10.
3.4.5.6 Orientasi Fosil
Benda
organik juga memberikan tanggapan terhadap aliran. Cangkang organisme
berbentuk cekung-cembung dapat ter-letak demikian rupa sehingga cekung
ke atas atau cembung ke atas. Walau demikian, apabila cangkang seperti
itu diangkut oleh arus, orientasinya cenderung seragam, dalam hal ini
cembung ke atas. Dengan demikian, pengarahan cangkang seperti itu
merupakan indeks kecepatan arus sekaligus indeks posisi stratigrafi
(Shrock, 1948). Walau demikian, ada ahli yang melaporkan bahwa pada
beberapa endapan yang ditafsirkan sebagai turbidit, cangkang itu cekung
ke atas (Cromwell dkk, 1966). Orientasi seperti itu memang dapat
dihasilkan oleh arus turbid (Middleton, 1967).
Fosil
yang memperlihatkan pengarahan juga dapat berperan sebagai indeks arah
arus. Sebagaimana dikemukakan oleh para ahli sejak lama,Tentaculite,
koloni-koloni graptolit (Ruedemann, 1897; Moors, 1969), dan fosil lain
yang bentuknya mirip dengan itu memperlihatkan gejala pengarahan pada
bidang perlapisan. Chenowith (1952) menunjukkan bahwa orthoceracone cephalopods dan high-spired gstropodsmemperlihatkan
orientasi yang baik dalam Formasi Trenton di Negara Bagian New York.
Fosil-fosil itu cenderung sejajar dan tegak lurus terhadap pararipples yang
ada dalam lapisan itu. Chenowith berkeyakinan bahwa orientasi
fosil-fosil itu, yakni tegak lurus terhadap gelembur dan sejajar dengan
arah arus, muncul karena terpindahkan-nya pusat gravitasi fosil-fosil
itu. Untuk mendukung gagasannya itu, dia merajahkan posisi sumbu panjang
dan puncak (apex) fosil-fosil itu (gambar 3-34). Menurut
Seilacher (1960), diagram mawar yang memperlihatkan pengarahan yang
berlawanan (pola “dasi kupu-kupu”) merepresentasikan orientasi cangkang
detritus tegak lurus terhadap arah arus, sedangkan pola yang cenderung
mengarah ke satu arah mengindikasikian orientasi yang sejajar dengan
arah arus (gambar 3-35).
Salah satu kriteria arus purba yang paling sering ditemukan adalah “lineasi arang kayu” (“charcoal lineation”).
Berdasarkan asosiasinya dengan struktur sedimen lain, diketahui bahwa
lineasi arang kayu itu dapat sejajar (Colton & DeWitt, 1959) maupun
tegak lurus (Pelletier, 1958) terhadap arah arus. Orientasi yang normal
kemungkinan sejajar dengan arah arus. Walau demikian, sebagaimana kasus
partikel berbentuk batang (Ingerson, 1940) dan banyak fosil berbentuk
batang (Seilacher, 1960), kesejajar-an arang kayu dapat dikontrol oleh
gelembur. Pada kasus itu, sumbu panjang arang kayu akan sejajar dengan
arah lembah gelembur.
3.4.6 Evaluasi Kemas Sedimen
Sebagaimana
kasus besar butir, para ahli telah banyak melakukan penelitian terhadap
kemas sedimen, namun hasil-hasil penelitian itu masih belum sebanding
dengan tenaga, waktu, dan biaya yang selama ini dikeluarkan. Selain itu,
sebagaimana kasus besar butir, keterbatasan hasil-hasil penelitian
kemas antara lain disebabkan oleh fakta bahwa teknik-teknik yang dapat
diterapkan secara langsung pada gravel dan pasir masa kini tidak dapat
diterapkan pada batuan yang telah terlitifikasi dengan baik. Kemas
dimensi pasir juga cenderung terganggu atau terhapus oleh nendatan,
deformasi, atau bioturbasi. Pergerakan-pergerakan tektonik menyebabkan
tertutupnya kemas primer dan kemudian menutupinya dengan kemas
deformasi. Pemelajar-an kemas terutama ditujukan pada penentuan arah
arus purba. Kriteria lain yang digunakan untuk menafsirkan arus
purba—lapisan silang-siur, gelembur, dan struktur bidang perlapisan
bawah—lebih mudah untuk dilihat dan diukur sehingga para ahli umumnya
hanya akan melakukan analisis kemas yang banyak memakan tenaga dan waktu
itu apabila dia tidak menemukan kriteria lain yang dapat digunakan
untuk menentukan arah arus purba.
Manfaat
terbesar dari kemas, terutama kemas pasir, adalah membantu seseorang
dalam menentukan orientasi tubuh pasir yang ditemukan dalam lubang bor.
Jika ada korelasi antara kemas dengan bentuk tubuh pasir, dan jika kemas
suatu oriented core dapat diketahui, maka manfaat kemas dalam
memprediksikan trend tubuh pasir dari satu lubang tunggal sangat besar.
Pengetahuan mengenai kemas sedimen juga membantu kita dalam memahami
sifat-sifat geofisika yang berkatain dengan anisotropi tubuh pasir.
3.4.7 Geometri Rangka dari Sedimen Detritus
3.4.7.1 Pembandelaan
Pembandelaan (packing) berkaitan
dengan aturan-susunan unsur-unsur rangka, dimana setiap unsur didukung
dan tertahan oleh unsur lain yang berada dalam kontak tangensial (tangential contact; point contact)dengannya (Graton & Fraser, 1935).
Ada beberapa alasan yang menyebabkan pentingnya pemelajaran pembandelaan. Pembandelaan tertutup (close packing) menyebabkan
menurunnya volume dan ukuran ruang pori batuan. Karena itu,
pembandelaan tertutup menyebabkan terubahnya porositas dan permeabilitas
batuan. Pembandelaan “terbuka” (“open” packing; “loose” packing) memiliki
efek yang berlawanan dengan pembandelaan tertutup. Pertanyaan mengenai
proses dan agen apa yang bertanggungjawab terhadap pemunculan
pembandelaan yang beragam dalam endapan gisik (sebagian terbuka dan
sebagian lain tertutup) telah menjadi bahan kajian para ahli yang
mempelajari endapan itu (Kindle, 1936). Meskipun kontak antar partikel
pada mulanya berupa kontak noktah, namun kontak itu dapat terubah
kemudian karena terjadinya pelarutan intrastrata sedemikian rupa
sehingga partikel-partikel penyusun batuan menjadi makin berdekatan.
Pemelajaran tentang hubungan antar partikel mampu memberikan informasi
yang bermanfaat mengenai khuluk perubahan-perubahan diagenetik
pasca-pengendapan.
Pemelajaran
pembandelaan memerlukan adanya suatu definisi yang lebih cermat dari
istilah pembandelaan itu sendiri. Definisi itu antara lain diperlukan
untuk mengukur “ketertutupan” pembandelaan serta untuk melihat
perubahan-perubahan apa yang terjadi pada pembandelaan akibat
proses-proses pasca-pengendapan. Pemelajaran itu dapat diarahkan pada
analisis teoritis atau eksperimental terhadap pembandelaan
partikel-partikel berbentuk bola serta pengamatan yang mendetil terhadap
pembandelaan agregat alami, baik dengan cara melakukan pengamatan
langsung terhadap endapan alami maupun dengan melakukan penelitian
eksperimental. Pembahasan yang lebih mendetil mengenai berbagai ancangan
untuk meneliti pem-bandelaan dapat ditemukan dalam berbagai karya tulis
ilmiah, khususnya dalam monograf yang disusun oleh Graton & Fraser
(1935), Fraser (1935), serta Kahn (1956a, 1956b, 1959).
Unsur-unsur
rangka sedimen klastika kasar (gravel dan pasir) ialah butiran-butiran
kerikil dan pasir yang menjadi penyusun endapan itu. Unsur-unsur
klastika itu tidak berbentuk seperti bola dan memiliki ukuran yang tidak
seragam. Walau demikian, pemahaman mengenai fenomenon pembandelaan dan
efeknya terhadap porositas dan permeabilitas dapat diperoleh dengan
mengasumsikan bahwa suatu batuan disusun oleh partikel-partikel
berbentuk bola yang ukurannya seragam (pada kebanyakan sedimen klastika
kasar, partikel penyusunnya memiliki bentuk yang hampir mendekati bentuk
bola; sebagai contoh, pada pasir tertentu, partikel-partikel
penyusunnya memiliki kebolaan rata-rata 0,80, bahkan lebih). Karena itu,
penelaahan pertama hendak-nya dilakukan terhadap agregat yang disusun
oleh partikel-partikel yang ukurannya seragam. Setelah itu, baru
dilakukan penelaahan terhadap agregat yang disusun oleh
partikel-partikel yang ukurannya tidak seragam.
Pembandelaan
partikel-partikel berbentuk bola yang ukurannya seragam mungkin tidak
beraturan, namun mungkin pula repretitif dan sistematis. Hasil
penelaahan terhadap hal itu menunjukkan bahwa meskipun pada dasarnya ada
enam pola pembandelaan sistematis yang berbeda, namun hanya ada satu
pola pembandelaan yang paling tertutup dan paling ketat, yakni pola
rhombohedra (Slichter, 1899). Pembandelaan itu memiliki porositas paling
rendah. Karena pola itu juga merupakan pola pembandelaan yang paling
stabil dan alami, maka agregat alami yang disusun oleh partikel-partikel
yang ukurannya hampir sama pada umumnya memiliki pembandelaan
rhombohedra. Sebagian besar endapan alami memperlihatkan pembandelaan
yang tidak beraturan, meskipun dalam setiap endapan itu dapat ditemukan
beberapa “koloni” atau “zona” dimana pembandela-annya tertutup.
Pembandelaan rhombohedra dicirikan oleh suatu unit cell yang
terdiri dari enam bidang yang melewati pusat-pusat bola yang terletak
pada sudut-sudut rhombohedron; setiap sisi bidang itu memiliki panjang
2R (gambar 3-36). Pem-bandelaan rhombohedron jauh berbeda dengan
pembandelaan kubus yang merupakan tipe pembandelaan sistematis yang
paling “terbuka”. Pembandelaan kubus disusun oleh unit cell yang
terdiri dari enam bidang yang sudut-sudutnya merupakan pusat-pusat bola
(gambar 3-36). Dalam pembandelaan rhombohedra, porositas berharga
25,95%, sedangkan pada pem-bandelaan kubus porositas berharga 47,64%.
Setiap
bidang yang diletakkan secara random pada bola-bola yang terbandelakan
secara sistematis akan memperlihatkan adanya zona-zona zat padat dan
zona-zona ruang pori. Walau demikian, ruang-ruang pori itu bukan
merupakan ukuran yang sebenarnya dari luas ruang total yang memungkinkan
mengalirnya fluida karena sebagian ruang pori tertutup dan tidak
ber-hubungan dengan ruang pori lain. Namun, jika bidang potong itu
melewati pusat-pusat bola yang ada dalam satu lapisan rhombohedra, maka
zona-zona ruang pori pada bidang itu merupakan ukuran luas penampang
minimal sebenarnya dari ruang pori yang yang dapat dilalui oleh fluida.
Ukuran itu dapat disebut sebagai “porositas yang bermanfaat” (“useful porosity”).
Pada pembandelaan rhombohedra, meskipun porositasnya berharga 25,95%,
namun porositas efektifnya hanya 9,30%. Perbedaan antara porositas
dengan porositas efektif itu tidak mempengaruhi kapasitas sistem ruang
pori untuk menyimpan fluida, namun akan mempengaruhi pergerakan fluida
melalui batuan atau, dengan kata lain, akan mempengaruhi
permeabilitasnya.
Jika
sejumlah besar bola yang diameternya sama disusun secara sistematis,
maka akan ada nilai diameter maksimum yang tidak boleh dilebihi oleh
suatu partikel kecil berbentuk bola agar dapat melewati ruang-ruang pori
yang terletak diantara partikel-partikel besar itu. Untuk pembandelaan
rhombohedra, diameter kritis itu adalah 0,154D (dimanaD adalah
diameter partikel besar). Demikian pula, ada nilai diameter maksimum
yang tidak boleh dilebihi oleh suatu partikel kecil berbentuk bola agar
dapat menempati ruang-ruang pori yang terletak diantara
partikel-partikel besar. Untuk pembandelaan rhombohedra, diameter kritis
itu adalah 0,414D dan 0,225D (diameter kritis itu ada dua
karena dalam pembandelaan tersebut ada dua tipe dan ukuran ruang pori).
Konsep-konsep teoritis itu tidak dapat diterapkan begitu saja pada
endapan alami karena endapan alami tidak disusun oleh partikel-partikel
berbentuk bola, karena endapan alami tidak disusun oleh
partikel-partikel yang ukurannya seragam, dan karena endapan alami tidak
seluruhnya memiliki pembandelaan yang sistematis. Walau demikian, jika
material pengisi ruang pori yang terletak diantara partikel-partikel
besar memiliki diameter lebih dari 0,154 kali diameter partikel-partikel
besar, maka dapat disimpulkan bahwa partikel-partikel “halus” itu tidak
diendapkan setelah rangka batuan itu terbentuk, melainkan diendap-kan
bersama-sama dengan partikel-partikel besar. Fakta itu akan menyebabkan
munculnya distribusi besar butir bimodus seperti yang diperlihatkan oleh
beberapa gravel.
Pada
endapan baru, partikel-partikel berhubungan dengan kontak tangensial.
Karena itu, suatu sayatan random yang melalui endapan itu jarang
memotong titik-titik kontak tersebut. Karena itu, pada sayatan seperti
itu, banyak partikel tampak tidak berhubungan sama sekali (gambar 3-37).
Namun, jika kontak itu terubah sedemikian rupa sehingga luas bidang
kontak menjadi bertambah, maka daerah kontak itu akan memiliki
probabilitas yang lebih tinggi untuk terlihat pada sayatan random (tabel
3-10). Ketika terubah, kontak tangensial menjadi makin panjang,
cekung-cembung, atau memperlihatkan sutura (gambar 3-38). Jane Taylor
(1950) mempelajari kontak antar partikel dalam batupasir yang terletak
pada kedalaman yang berbeda-beda dalam sumur-dalam di Wyoming. Pasir
normal terlihat memiliki 1,6 kontak per butir (kemungkinan besar 0,85
kontak per butir menurut Gaither, 1953). Pada kedalaman 900 meter, pasir
memiliki 2,5 kontak per butir, dan pada kedalaman 2570 meter pasir itu
memiliki 5,2 kontak per butir. Data tersebut mengindikasikan bahwa
batupasir mengalami “kondensasi” yang menyebabkan partikel-partikel
penyusunnya lebih dekat satu sama lain dan meningkatnya kontak antar
butir. Taylor menisbahkan fakta itu pada pelarutan dan presipitasi
intrastrata serta pada aliran partikel-partikel kuarsa dalam wujud
padat. Taylor mengajukan beberapa fakta yang diyakininya merupakan bukti
adanya tekanan yang, pada gilirannya, memicu terjadinya pelarutan dan
presipitasi. Fakta-fakta yang diajukannya antara lain adalah mika yang
melengkung dan butiran-butiran kuarsa yang pecah. Walau demikian, aliran
zat padat itu sendiri sukar untuk dibuktikan. Selain itu, sebagaimana
diperkirakan oleh Waldschmidt (1943), kontak cekung-cembung yang dilihat
oleh Taylor mungkin merupakan efek pelarutan. Selain kuarsa, partikel
lain yang menyusun batuan mungkin likat. Deformasi partikel-partikel
likat dapat menyebabkan menurunnya porositas batuan. Rittenhouse (1971)
mengajukan sejumlah estimasi mengenai efek-efek kompaksi mekanik seperti
itu.
Banyak
ahli telah berusaha untuk mengukur pembandelaan. Jumlah kontak per
butir merupakan salah satu ukuran atau indeks pembandelaan. Kahn (1956a)
mengusulkan dua ukuran. Pertama,packing proximity, yang pada
dasarnya merupakan jumlah kontak per butir (nisbah jumlah kontak antar
butir terhadap jumlah total butiran yang terhitung pada suatu sayatan).
Kedua, packing density, yakni nisbah panjang kontak partikel
terhadap panjang total lintasan pengukuran. Indeks pembandela-an lain
pernah diusulkan oleh Smalley (1964a, 1964b), Allen (1962), Emery &
Griffiths (1964), serta Melton (1964).
Sayang
sekali, pemelajaran terhadap kontak antar partikel serta pengukuran
pembandelaan masih agak subjektif. Hal itu antara lain disebabkan oleh
ketidakakuratan atau ketidaktepatan pengamatan. Batas-batas asli antar
partikel kuarsa dalam beberapa batupasir sebagian atau seluruhnya hilang
karena adanya secondary overgrowthkuarsa serta hanya dapat dilihat dengan metoda catholuminescence.
Kontak-kontak lain tertutup oleh matriks sedemikian rupa sehingga
banyak orang sering ragu apakah pada suatu bagian batuan ada kontak
antar partikel atau tidak.
3.4.7.2 Porositas
Porositas
didefinisikan sebagai persentase ruang pori dalam volume total batuan.
Ruang pori sendiri diartikan sebagai ruang dalam tubuh batuan yang tidak
diisi oleh zat padat. Dengan demikian, porositas yang dimaksud di atas
adalah ruang pori total, bukan ruang pori efektif. Ruang pori total
mencakup semua ruang yang tidak terisi oleh zat padat, baik ruang yang
berhubungan maupun ruang yang tidak berhubungan. Ruang pori efektif
adalah ruang-ruang pori yang berhubungan satu sama lain.
Berbeda
dengan batuan kristalin yang tidak memiliki porositas, sedimen klastika
memiliki porositas. Adanya porositas itu dinisbahkan pada fakta bahwa
komponen-komponen klastika, sewaktu diendapkan, tidak membentuk kontak
menerus satu sama lain. Partikel-partikel penyusun sedimen klastika
hanya membentuk kontak tangensial. Sistem ruang pori, selain dapat
berperan sebagai tempat penyimpan fluida, juga membentuk jalur-jalur
yang dapat dilalui oleh fluida. Karena itu, volume ruang pori dalam
suatu batuan, kapasitas batuan itu untuk menyimpan fluida, dan kemampuan
batuan itu untuk melewatkan fluida, sangat penting artinya dalam
pemelajaran minyakbumi, gasbumi, garam-garam alami, dan air tanah.
Karena itu, banyak ahli mencoba untuk memahami porositas dan banyak cara
telah dirancang untuk mengukur porositas. Pembahasan mengenai cara-cara
untuk mengukur porositas dapat ditemukan dalam berbagai manual
laboratorium seperti karya Müller (1967) dan Curtis (1971). Pembahasan
yang lebih mendalam mengenai porositas dapat ditemukan dalam karya tulis
von Engelhardt (1960).
Khuluk
batuan detritus yang sarang merupakan salah satu faktor dan kondisi
utama yang menyebabkan terjadinya re-organisasi diagenetik. Porositas,
misalnya saja, menyebabkan ketidakhomogenan penyebaran tekanan yang
diberikan oleh strata yang terletak di atas suatu batuan; tekanan itu
hanya diterima oleh titik-titik kontak antar partikel yang tidak begitu
luas apabila dibandingkan dengan luas seluruh batuan. Hal itu pada
gilirannya menyebabkan terjadinya pelarutan pada titik-titik kontak dan
terjadinya presipitasi pada ruang-ruang pori. Selain itu, fluida yang
menempati ruang-ruang pori merupakan medium tempat terjadinya
reaksi-reaksi kimia. Fluida itu sendiri dapat bereaksi dengan
unsur-unsur padat penyusun batuan. Karena terjadinya pelarutan,
presipitasi, pengisian, dan perubahan-perubahan diagenetik lain,
porositas suatu sedimen dapat hilang sejalan dengan bertambahnya umur
batuan dan kedalaman (Füchtbauer & Reineck, 1963; Füchtbauer, 1967).
Makin tinggi derajat diagenesisnya, makin mirip suatu batuan sedimen
dengan batuan metamorf atau batuan beku.
Porositas
dapat dianggap sebagai sifat primer maupun sifat sekunder (Fraser,
1935). Porositas primer merupakan sebuah sifat inheren dan muncul pada
saat sedimen diendapkan. Porositas sekunder terbentuk akibat
perubahan-perubahan yang dialami sedimen setelah fasa pengendapan
selesai, perubahan-perubahan mana menyebabkan bertambahnya porositas
primer. Sedimen karbonat merupakan batuan yang paling rentan terhadap
proses-proses pembentukan porositas sekunder, meskipun sebagian
batupasir juga memiliki porositas sekunder sebagai hasil pelindian (leaching) semen karbonat yang ada didalamnya.
Porositas
primer dari suatu sedimen dipengaruhi oleh keseragaman
partikel-partikel penyusunnya, bentuk partikel-partikel itu, cara
pengendapannya, pembandelaan partikel-partikel itu, serta kompaksi yang
berlangsung selama dan setelah sedimen itu diendapkan.
Secara
teoritis, ukuran aktual dari partikel-partikel penyusun batuan tidak
mempengaruhi porositas. Walau demikian, fakta menunjukkan bahwa sedimen
berbutir halus memiliki porositas yang lebih tinggi dibanding sedimen
berbutir kasar (tabel 3-11). Fakta itu tidak mengimplikasikan adanya
hubungan sebab akibat antara porositas dengan ukuran partikel penyusun
batuan karena pada kasus itu ukuran partikel sendiri sebenarnya lebih
berkorelasi dengan bentuk partikel; bentuk partikel itulah yang
menyebabkan munculnya fenomena tersebut.
Keseragaman
ukuran partikel merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan
porositas sedimen (Rogers & Head, 1961). Porositas tertinggi
biasanya ditemukan pada sedimen yang disusun oleh partikel-partikel yang
ukurannya sama. Masuknya partikel-partikel lain ke dalam sedimen
seperti itu, baik yang ukurannya lebih besar maupun lebih kecil, akan
menyebabkan turunannya porositas sedimen tersebut. Penurunan itu
sendiri, hingga tingkat tertentu, berbanding lurus dengan jumlah
partikel yang masuk (Gaither, 1953) hingga campuran itu dibentuk oleh
fraksi-fraksi ukuran yang jumlahnya lebih kurang sama. Di lain pihak,
penambahan lempung menyebabkan naiknya porositas (Füchtbauer &
Reineck, 1963). Walau demikian, hubungan antara distribusi besar butir
dengan porositas tidaklah sederhana. Fraser (1935) dan ahli-ahli lain
memperlihatkan bahwa campuran yang berbeda-beda dapat memiliki porositas
yang sama.
Efek
bentuk partikel terhadap porositas belum banyak dipahami. Secara umum,
partikel-partikel yang memiliki kebolaan tinggi cenderung untuk
terbandelakan dengan membentuk porositas minimum. Sebagai contoh, Fraser
(1935) menemukan bahwa keseragaman ukuran pada pasir gisik dan gumuk
yang dikompaksikan secara eksperimental berturut-turut memiliki
porositas 38% dan 39%, sedangkan kuarsa yang ditumbuk memiliki porositas
sekitar 44%. Karena kebolaan kuarsa tumbuk itu berharga sekitar
0,60–0,65 dan bahwa pasir gisik kemungkinan memiliki kebolaan sekitar
0,82–0,84, jelas sudah bahwa bentuk partikel memiliki pengaruh yang
sedikit (namun terlihat) terhadap porositas. Fraser menemukan fakta
bahwa efek bentuk partikel paling jelas terlihat pada kasus kerikil yang
sangat pipih. Batugamping detritus tertentu, misalnyacoquina, sangat sarang dan memperlihatkan kemas “kentang goreng”(“potato-chip” fabric).
Endapan seperti itu dapat memiliki porositas hingga sekitar 80%
(Dunham, 1962). Demikian pula, lempung yang baru diendapkan dapat
memiliki porositas hingga sekitar 85%.
Metoda
pengendapan dan pembandelaan sangat mempengaruhi porositas. Untuk
partikel-partikel berbentuk bola yang ukurannya seragam, nilai porositas
pada saat pembandelaannya paling tertutup berharga 26%, sedangkan pada
saat pem-bandelaannya paling terbuka berharga 48%. Pasir yang
dibandelakan secara eksperimental memiliki porositas 28–36%. Walau
demikian, di alam, endapan umumnya mengalami pembandelaan paling ketat
dengan ruang pori minimum. Karena itu, pengaruh pembandelaan pada
endapan alami cenderung rendah.
Efek
kompaksi terhadap porositas akan dibahas pada Bab 8 dan 12. Efek
kompaksi terhadap lempung dan serpih sangat besar; porositas tampaknya
merupakan fungsi dari kedalaman penguburan sesuai dengan persamaan di
bawah ini (Athy, 1930):
dimana P adalah porositas.
p adalah porositas rata-rata permukaan lempung.
b adalah konstanta.
x adalah kedalaman.
Porositas
lempung menurun hingga menjadi sekitar 50% atau bahkan 10% setelah
terkompaksi. Kompaksi pasir, di lain pihak, dapat diabaikan. Walau
demikian, porositas primer dari pasir (35–45%) dapat menurun hingga
tinggal beberapa persen saja akibat pelarutan dan presipitasi atau
akibat pengisian ruang pori oleh material penyemen. Batupasir rata-rata
memiliki porositas 15–20%. Tingginya porositas batupasir tertentu,
misalnya batupasir Oriskany (Devon) di bagian tengah Appalachia,
dinisbahkan pada pelindian semen karbonat yang semula ada didalamnya
(Krynine, 1941).
3.4.7.3 Permeabilitas
Permeabilitas
adalah sifat batuan yang memungkinkan lewatnya fluida melalui batuan
tanpa menyebabkan rusaknya struktur batuan atau menyebabkan
terpindahkannya partikel-partikel penyusun batuan itu. Suatu batuan
dikatakan permeabel jika memungkinkan sejumlah besar fluida dapat
mengalir melalui batuan itu dalam suatu rentang waktu tertentu. Suatu
batuan dikatakan impermeabel jika laju pengaliran fluida melalui batuan
itu sangat rendah. Sudah barang tentu laju aliran fluida melalui suatu
batuan tidak hanya dipengaruhi oleh batuan itu sendiri, namun juga oleh
khuluk fluida serta hydraulic head atau tekanan.
Permeabilitas suatu medium permeabel dapat dinyatakan sebagai kuantitas fluida Q (cm3/det) yang melalui suatu penam-pang melintang C(cm2) dan panjang tertentu L (cm). Kuantitas itu berbanding lurus dengan perbedaan tekanan, P (atm), pada kedua ujung sistem tersebut, dan berbanding terbalik dengan viskositas fluida V (centipoise). Jadi:
Faktor kesebandingan, K,
adalah permeabilitas; suatu faktor yang khas untuk batuan. Koefisien
permeabilitas itu disebut darcy. Suatu pasir dikatakan memiliki
permeabilitas 1 darcy ketika memungkinkan lewatnya 1 cm3 fluida (yang berviskositas 1 centi-poise) per detik melalui penampang batuan yang berukuran 1 cm2 di
bawah gradien tekanan 1 atmosfir per cm panjang batuan. Pasir masa kini
memiliki permeabilitas 10–100 darcy, bahkan sebagian diantaranya lebih
dari 100 darcy (gambar 3-39). Walau demikian, sebagian batupasir
memiliki permeabilitas kurang dari 1 atau 2 darcy. Karena itu,
permeabilitas batuan biasanya dinyatakan dalam satuan milidarcy.
Permeabilitas
sangat penting artinya dalam pemelajaran migas dan akuifer. Karena itu,
tidak mengherankan apabila banyak ahli mencoba untuk merancang berbagai
teknik pengukuran permeabilitas serta menentukan faktor-faktor geologi
yang mengontrolnya. Teknik-teknik pengukuran permeabilitas telah dibahas
secara mendetil oleh Curtis (1971) dan Müller (1967).
Koefisien permeabilitas, K,
dari pasir yang tidak terkonsolidasi dipengaruhi oleh besar butir
partikel, pemilahan partikel, bentuk partikel, dan pembandelaan. Efek
ukuran dan pemilahan partikel telah dipelajari secara eksperimental.
Krumbein & Monk (1942), misalnya saja, menggunakan glacial outwash sand yang
diayak dan dikombinasikan untuk membentuk campuran-campuran dengan
komposisi tertentu. Karena kebanyakan pasir alami memiliki distribusi
besar butir log normal, campuran-campuran itu dibuat agar memiliki
distribusi log normal. Campuran-campuran itu kemudian dibagi-bagi ke
dalam beberapa sampel uji yang memiliki besar butir rata-rata sama,
namun simpangan bakunya (pemilahannya) berbeda-beda, atau ke dalam
beberapa sampel uji yang memiliki pemilahan sama, namun besar butir
rata-ratanya beragam. Krumbein & Monk (1942) menemukan bahwa
permeabilitas berbanding lurus dengan pangkat dua diameter partikel
serta berbanding terbalik dengan log simpangan baku (gambar 3-40). Dalam
batupasir alami, permeabilitas tampaknya memiliki hubungan yang erat
dengan besar butir: permeabilitas bertambah dengan bertambahnya ukuran
partikel (gambar 3-41).
Bentuk
partikel penyusun batuan, yang dinyatakan dengan kebolaannya, hingga
tingkat tertentu mempengaruhi permeabili-tas. Hal itu mungkin terjadi
karena pasir dengan kebolaan rendah cenderung memiliki porositas yang
tinggi dan pembandelaan yang terbuka. Hal itu, pada gilirannya,
menyebabkan pasir itu memiliki permeabilitas yang tinggi.
Permeabilitas
juga tergantung pada pembandelaan karena, sebagaimana terlihat dalam
material yang disusun oleh partikel-partikel berbentuk bola yang
ukurannya sama, dimensi ruang pori (yang menentukan permeabilitas)
tergantung pada tipe pembandelaan. Karena itu, setiap perubahan
pembandelaan, yang akan menyebabkan bertambahnya porositas, juga akan
menyebabkan bertambahnya permeabilitas. Kesimpulan yang disebut terakhir
ini ditunjang oleh hasil-hasil penelitian eksperimental yang dilakukan
oleh von Engelhardt & Pitter (1951).
Secara
teoritis, permeabilitas tidak memiliki hubungan apapun dengan
porositas, meskipun batuan yang tidak sarang sudah barang tentu tidak
permeabel. Di lain pihak, batuan yang sangat sarang belum tentu sangat
permeabel. Batuan berbutir halus, meskipun sangat sarang, memiliki
permeabilitas yang rendah. Hubungan antara porositas, permeabilitas, dan
besar butir telah dipelajari baik secara eksperimental maupun secara
teoritis oleh von Engelhardt & Pitter (1951) serta dikaji secara
teoritis oleh Scheidegger (1957) dan ahli-ahli lain. Sebagai suatu
pendekatan, permeabilitas dapat dikatakan sebanding dengan porositas dan
berbanding terbalik dengan pangkat dua luas permukaan partikel (cm2/cm3).
Karena itu, makin halus partikel penyusun suatu endapan (dan dengan
demikian makin luas permukaan partikel penyusunnya), makin rendah
permeabilitas endapan itu. Dalam batupasir, porositas secara umum
berkorelasi dengan permeabilitas. Nilai permeabilitas tampak memiliki
kisaran yang lebih lebar dibanding porositas (gambar 3-42).
Dalam
sedimen berlapis, permeabilitas pada arah yang sejajar dengan bidang
perlapisan lebih tinggi dibanding permeabili-tas pada arah yang tegak
lurus terhadap bidang perlapisan. Pada pasir tertentu, permeabilitas
pada arah yang sejajar dengan bidang perlapisan, namun terletak pada
bagian-bagian batuan yang berbeda, juga memperlihatkan perbedaan.
Semuanya itu diperkirakan muncul karena adanya ketidakisotropan kemas
partikel (Mast & Potter, 1963; Potter & Pettijohn, 1963).
3.5 TEKSTUR KRISTALIN DAN TEKSTUR ENDOGENETIK LAIN
Tekstur endogenetik (endogenetic texture),
yakni tekstur yang diperlihatkan oleh presipitat-presipitat larutan
atau presipitat-presipitat yang dihasilkan oleh rekristalisasi atau
alterasi material yang sebelumnya ada, sangat khas dan jauh berbeda dari
tekstur eksogenetik (tekstur batuan klastika). Dalam tekstur
endogenetik, mineral-mineral diendapkan pada posisi sebagaimana
posisinya pada saat ditemukan; dalam tekstur eksogenetik (exogenetic texture),
partikel-partikel yang ada berasal dari tempat lain dan kemudian
ditendapkan ke dalam kerangka batuan sebagai partikel-partikel padat.
Kita
telah membahas tentang segala sesuatu yang kita ketahui mengenai
tekstur primer batuan sedimen klastika. Sekarang kita akan membahas
berbagai fakta mengenai tekstur yang dihasilkan oleh proses-proses
kimia. Namun, perlu dicamkan bahwa kedua tipe tekstur itu bukannya tidak
memiliki hubungan apapun. Banyak batuan sedimen memperlihatkan kedua
tipe tekstur itu. Sebuah batupasir, misalnya saja, dapat memiliki
tekstur eksogenetik atau tekstur klastika, namun juga mengandung semen
endogenetik yang memperlihatkan kemas kristalin. Demikian pula, banyak
batugamping memperlihatkan kedua tipe tekstur tersebut. Dalam banyak
kasus, pasir karbonat yang diendapkan secara mekanis diikat satu sama
lain oleh semen kristalin yang dipresipitasikan dari larutan.
3.5.1 Tekstur Kristalin
Dalam
pengertian terbatas, boleh dikatakan bahwa semua batuan sebenarnya
merupakan zat kristalin, termasuk lempung. Walau demikian, istilah
kristalin (crystalline) biasanya digunakan secara terbatas untuk batuan-batuan yang memperlihatkan agregat kristal yang saling kesit (interlocking aggregate of crystals), misalnya garam batu(rock salt). Batuan seperti itu disebut batuan granuler kristalin(crystalline granular rocks) atau batuan sakaroid (sacharoidal rocks). Arkose yang disemen oleh kalsit merupakan sebuah agregat kristalin(crystalline aggregate),
meskipun tidak dinyatakan seperti itu. Batuan yang disusun oleh
unsur-unsur rangka yang berupa partikel-partikel felspar dan kuarsa,
yang masing-masing jelas terlihat bersifat kristalin, tidak dikatakan
memiliki tekstur kristalin melainkan memiliki tekstur klastika. Semen
karbonat, di lain pihak, memiliki kemas kristalin.
Tata
peristilahan yang diterapkan pada tekstur dan kemas kristalin dari
batuan sedimen belum dibakukan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan
tata peristilahan itu telah dibahas oleh Friedman (1965) yang menyatakan
bahwa banyak ahli mengguna-kan istilah yang beragam untuk menyatakan
tipe kemas kristalin dalam batuan sedimen dan bahwa banyak diantara
istilah-istilah itu berasal dari tata peristilahan batuan beku dan
batuan metamorf. Kondisi yang memprihatinkan itu kemudian mendorong
Friedman (1965) untuk mengusulkan digunakannya sekumpulan istilah khusus
untuk mencandra tekstur dan kemas kristalin pada batuan sedimen. Banyak
diantara istilah-istilah yang diusulkannya khusus dirancang untuk
batuan karbonat. Pembatasan seperti itu tidak menguntungkan karena
tekstur kristalin juga dapat ditemukan dalam gipsum, anhidrit, dan
sedimen kristalin lain.
Disini
kita akan menggunakan tata peristilahan yang biasa digunakan dalam
penelitian batuan metamorf. Hal itu dilakukan karena penulis tidak ingin
membebani pembaca dengan istilah-istilah baru dan terutama sekali
karena diagenesis—rekristalisasi, penggantian, dan reorganisasi internal
(neomorfisme)—pada hakekatnya merupakan transformasi metamorfik.
Berbeda dengan definisi yang biasa dijadikan pegangan oleh para ahli
petrologi, sebenarnya tidak ada batasan yang tegas antara diagenesis
dengan metamorfisme. Selain itu, sebenarnya semua bentuk transformasi
yang berlangsung pada fasa padat dianggap sebagai transformasi
metamorfik dalam arti luas, baik yang berlangsung pada temperatur
dan/atau tekanan normal maupun pada kondisi temperatur dan/atau tekanan
tinggi. Tekstur yang dihasilkannya pun pada dasarnya sama karena
proses-proses yang menyebabkan pembentukannya pun lebih kurang sama.
3.5.1.1 Unsur-Unsur Kristal
Komponen
dasar dari kemas kristalin adalah individu-individu kristal. Jika
individu-invididu kristal itu besar, maka teskturnya dinamakan tekstur
makrokristalin (macrocrystalline texture); jika individu-individu kristal itu kecil, maka teksturnya dinamakan tekstur mikrokristalin (microcrystalline texture); jika invididu-individu kristalnya berukuran sedang, maka teksturnya dinamakan tekstur mesokristalin (mesocrystalline texture). Tekstur kristalin yang demikian halus, sehingga sukar diamati sekalipun di bawah mikroskop, disebut tekstur kriptokristalin (cryptocrystalline texture).
Sebagian ahli telah berusaha untuk mengkuantifikasikan istilah-istilah
tersebut (tabel 3-12). Beberapa istilah—misalnya saja mikrit (micrite), mikrospar (microspar), dan sparry—dipakai untuk memerikan kristalinitas batugamping. Istilah-istilah itu akan dijelaskan pada Bab 10.
Disini
kita tidak hanya menujukan perhatian pada ukuran kristal, namun juga
pada keseragaman ukuran kristal. Jika ukuran kristalnya seragam, maka
kita dapat menerapkan istilah ekuigranuler (equigranular) untuk memerikan tekstur kristalin; jika ukuran kristalnya tidak seragam, maka kita dapat menerapkan istilah anekuigranuler (inequigranular).
Pada beberapa kasus, ukuran kristal tidak memperlihatkan kesinambungan
(maksudnya kristal-kristal penyusun suatu batuan kristalin
memperlihatkan perbedaan ukuran paling tidak satu orde) sehingga tampak
adanya “komponen” dan “matriks”, dimana “komponen itu lebih besar paling
tidak 1 orde dibanding “matriks”. Kristal-kristal berukuran besar
seperti itu homolog dengan porfiroblas (porphyroblast) dalam
garnet atau dengan staurolit dalam sekis sehingga dapat disebut
porfiroblas atau staurolit. Perlu diketahui bahwa Friedman (1965)
menamakan kristal seperti itu sebagai porfirotop (porphyrotope) dan Phemister (1956) menamakan kemas itu sebagai kemas porfirokristalik(porphyrocrystallic fabric).
Sebagian lapisan anhidrit, misalnya saja, mengandung kristal-kristal
gipsum berukuran besar yang tertanam dalam matriks kristal anhidrit.
Ketika
kristal-kristal berukuran besar tertanam dalam matriks yang disusun
oleh kristal-kristal lain, maka teksturnya disebut tekstur
poikiloblastik (poikiloblastic texture). Friedman (1965) menamakannya sebagai tekstur poikilotopik (poikilotopic texture), sedangkan Phemister (1956) menamakannya tekstur poikilokristalik (poikilocrystallic texture).
Kemas seperti itu dapat ditemukan dalam sebagian batupasir, ketika
semen kalsit memiliki orientasi kristal yang seragam dan menyelubungi
banyak butiran pasir. Kristal-kristal barit juga dapat mengelilingi
butir-butir pasir seperti itu.
Bentuk
unsur-unsur kristal dapat dicandra berdasarkan kesempurnaan muka
kristal eksternal dan kesimetriannya. Kristal-kristal yang tidak
memperlihatkan muka kristal disebut kristal anhedral; kristal-kristal
yang memperlihatkan muka kristal yang sempurna disebut kristal euhedral;
sedangkan kristal-kristal yang tidak memperlihatkan muka kristal secara
lengkap disebut kristal subhedral.
Aspek
lain yang penting untuk dicandra adalah khuluk batas antar kristal
dalam agregat kristalin. Batas-batas antar unsur kristal dapat lurus (straight), melengkung (curved), seperti teluk (embayed), berbentuk bulan sabit (scalloped; cuspate), atau sutura (sutured).
Kebenaan batas-batas kristal itu telah dibahas oleh Spry (1969) dan
pembahasan batas-batas kristal dalam kaitannya dengan kemas kristalin
telah disajikan oleh Bathurst (1971) dan Folk (1965a). Karakter batas
kristal dapat memberi petunjuk mengenai umur relatif mineral atau dapat
digunakan sebagai kriterion pelarutan timbal balik (batas-batas
mikrostilolitik),replacement, korosi (corrosion; embayment), dsb.
3.5.1.2 Kemas Semen
Kemas semen (cement fabric) adakan
kemas pengisi ruang pori. Dalam kaitannya dengan hal inilah kemas
kristalin dari sedimen berbeda dengan kemas kristalin batuan metamorf.
Ada dua kasus yang mungkin muncul. Pada kasus pertama, kerangka bersifat
lembam (inert) dan tidak bereaksi dengan semen atau dengan
larutan yang menjadi material asal dari semen. Pada kasus kedua, rangka
bereaksi dengan semen dan rangka itu sendiri ikut terubah. Pada kasus
rangka lembam, akan terjadi presipitasi mineral pada permukaan partikel.
Mineral itu tumbuh secara bebas ke arah ruang pori. Secara umum,
material yang dipresipitasikan membentuk deretan kristal yang tumbuh
pada dinding ruang pori. Kristal-kristal itu cenderung tumbuh ke arah
luar, menuju bagian tengah ruang pori; sebagian kristal tumbuh lebih
baik dan menahan pertumbuhan kristal lain (gambar 3-43). Kristal-kristal
yang tumbuh pada permukaan partikel yang berbeda-beda akhirnya akan
saling bertemu dan ruang pori akan terisi seluruhnya oleh material
penyemen. Pada kasus lain, mineral penyemen (kalsit atau barit)
membentuk satuan-satuan kristal berukuran besar yang tidak berhubungan
dengan sistem ruang pori dan semen itu kemudian mendapatkan orientasi
optik dan kristal yang seragam pada suatu wilayah yang relatif luas dan
yang menutupi partikel-partikel detritus. Tekstur yang dibentuk pada
kasus yang disebut terakhir ini disebut tekstur poikiloblas (poikiloblastic texture).
Ketika
butiran-butiran rangka bersifat reaktif, akan terbentuk kemas semen
yang berbeda. Pada beberapa kasus, butiran-butiran rangka tumbuh atau
bertambah besar akibat dipresipitasikannya meterial baru pada
partikel-partikel itu dari larutan pengisi ruang pori. Pada kasus ini,
partikel-partikel rangka itu pada dasarnya merupakan sebuah “bibit
kristal” dan menjadi inti dari kristal yang tumbuh. Proses seperti
itulah yang menyebabkan terjadinya “secondary enlargement” pada
kuarsa dan felspar, bahkan kalsit pada beberapa pasir krinoid. Dengan
cara itu, semen menjadi kelanjutan optik dan kristalografi dari
partikel-partikel rangka. Produk akhirnya adalah tekstur granuler
kristalin. Pada kasus lain, partikel-partikel rangka terkorosi oleh
semen dan sebagian diantaranya kemudian digantikan oleh material
penyemen. Pada kasus-kasus ekstrim, partikel-partikel rangka yang tidak
stabil terdegradasi bahkan terdekomposisi dan kemudian membentuk agregat
mikrokristalin. Detritus karbonat pada banyak batugamping
memperlihatkan cincin mikrit. Partikel-partikel batuan dalam sebagian
batupasir menghasilkan apa yang oleh Dickinson (1970) disebut sebagai
epimatriks (epimatrix).
3.5.1.3 Kemas Rekristalisasi
Banyak
batuan sedimen mengalami rekristalisasi di bawah kondisi tekanan dan
temperatur normal. Hal itu terutama terjadi pada batuan karbonat,
meskipun tidak jarang terjadi pula pada gipsum, anhidrit, bahkan pada
rijang. Cangkang aragonit dan rangka organisme serta semen mengalami
rekristalisasi menjadi kalsit. Perubahan gipsum menjadi anhidrit, atau
sebaliknya, merupakan suatu contoh yang baik dari rekristalisasi.
Tekstur mikrokristalin pada rijang juga diperkirakan terbentuk akibat
neo-kristalisasi gel silika. Pada beberapa kasus, perubahan yang terjadi
memang merupakan rekristalisasi murni (misalnya re-kristalisasi
aragonit menjadi kalsit). Pada kasus lain, perubahan itu mencakup
hidrasi dan dehidrasi (misalnya perubahan dari opal menjadi kalsedon
atau perubahan gipsum menjadi anhidrit). Pada kasus yang lain lagi, ada
penambahan material baru (misalnya perubahan kalsit menjadi dolomit).
Kristalisasi atau rekristalisasi pada solid state menghasilkan
tekstur yang pada dasarnya merupakan tekstur “metamorf” atau tekstur
kristaloblastik. Kristal-kristal yang tumbuh dengan cara itu cenderung
banyak mengandung inklusi yang terkonsentrasi di bagian tengah kristal
atau tersebar membentuk zona-zona tertentu dalam kristal itu.
Sebagaimana pada kasus batuan metamorf, batuan yang kristalisasinya
terjadi akibat perubahan-perubahan diagenetik akan memperlihatkan
sisa-sisa tekstur dan struktur batuan asalnya. Sisa-sisa itu muncul
karena tidak seluruhnya hancur oleh proses-proses reorganisasi pasca
pengendapan. Laminasi, oolit, fosil, bahkan tekstur klastika mungkin
masih dapat ditemukan dalam batuan tersebut.
Rekristalisasi
mungkin berlangsung secara selektif (hanya melibatkan komponen-komponen
tertentu), namun dapat pula pervasif (melibatkan seluruh komponen
batuan). Konversi cangkang aragonit menjadi kalsit merupakan contoh dari
rekristalisasi selektif, sedangkan dolomitisasi total merupakan contoh
dari rekristalisasi pervasif. Meskipun rekristalisasi dapat menyebabkan
berkurangnya ukuran partikel, namun proses itu pada umumnya menyebabkan
bertambah kasarnya tekstur batuan.
Para
ahli petrologi sedimen dihadapkan pada masalah-masalah yang sukar untuk
dipecahkan, misalnya saja masalah per-bedaan antara epimatriks yang
terbentuk akibat degradasi unsur-unsur rangka dengan matriks
mikrokristalin (microcrystalline matrix) yang terbentuk akibat
rekristalisasi lumpur yang terletak diantara partikel-partikel yang
relatif besar. Matriks yang disebut terakhir ini dinamakan ortomatriks(orthomatrix) oleh
Dickinson (1970). Semen kristalin kasar pada beberapa batugamping
merupakan produk presipitasi dalam sistem pori. Walau demikian, produk
yang sama juga dapat terbentuk akibat rekristalisasi lumpur yang
terletak diantara komponen-komponen batugamping. Dalam kaitannya dengan
batuan non-karbonat, pertanyaan-pertanyaan seperti itu telah dikaji oleh
Dickinson (1970). Untuk batuan karbonat, pertanyaan-pertanyaan sejenis
dikaji oleh Folk (1965a) dan Bathurst (1971). Masalah-masalah itu akan
dibahas lebih lanjut pada Bab 7 dan Bab 10.
Pada beberapa batuan, kristal-kristal baru tidak tumbuh secara sempurna. Material baru muncul dalam bentuk porfiroblas (porphyroblast)berukuran besar. Pada kasus lain, mineral-mineral baru tumbuh sebagai sfelurit berukuran renik.
3.5.1.4 Replacement Texture dan Paragenesis
Mineral-mineral
yang dipresipitasikan secara kimia dan memperlihatkan tekstur atau
kemas kristalin dapat terbentuk baik pada saat berlangsungnya
pengendapan sedimen maupun setelah proses pengendapan sedimen itu
berakhir. Mineral-mineral yang terbentuk pasca-pengendapan sedimen
mungkin tumbuh pada ruang diantara komponen-komponen penyusun batuan,
namun mungkin pula merupakan merupakan produk replacement mineral-mineral
yang ada sebelumnya, baik mineral detritus maupun mineral kimia. Dengan
demikian, jelas bahwa setiap usaha untuk memahami sejarah sedimen
mensyaratkan kita untuk: (1) membedakan mineral detritus dengan mineral
yang dipresipitasikan secara kimia; (2) menentukan umur relatif beberapa
mineral yang dipresipitasikan secara kimia; dan (3) menentukan tempat
pembentukan material yang dipresipitasikan secara kimia (apakah
terbentuk dalam ruang antar partikel atau merupakan produk replacement).
Untuk dapat melakukan hal-hal tersebut, setiap ahli petrologi akan
memerlukan kriteria tertentu serta harus menerapkan kriteria itu dalam
membaca sejarah batuan (Grout, 1932). Kriteria itu sebagian besar
merupakan kriteria tekstur yang berkaitan dengan bentuk kristal, khuluk
batas-batas partikel, dll.
Untuk
memperoleh pemahaman yang menyeluruh mengenai sejarah suatu batuan,
kita harus menentukan umur relatif dan paragenesis mineral-mineral yang
ada dalam batuan itu. Masalah paragenesis mineral, dan masalah replacement yang
ber-kaitan dengannya, telah menarik perhatian para ahli petrografi dan
ahli mineral bijih selama beberapa dasawarsa. Para ahli yang biasa
menelaah mineral bijih telah memformulasikan banyak kriteria untuk
memecahkan masalah umur relatif dan replacement (Bastin dkk,
1931; Bastin, 1950; Edwards, 1947). Karya-karya tulis para ahli itu
sangat bermanfaat bagi kita yang memerlukan adanya kriteria paragenesis
untuk menentukan secara tepat paragenesis mineral. Para pembaca
disarankan untuk menelaah karya-karya tulis Grout, Bastin, dan beberapa
ahli lain yang menyajikan kumpulan kriteria itu dan kemudian
mengevaluasinya. Kriteria tersebut akan dapat lebih dipahami apabila
kita menerapkannya pada kasus-kasus nyata.
Sebagian
besar mikrotekstur dan kontak antar mineral yang ditemukan dalam batuan
beku, batuan metamorf, dan bijih juga ditemukan dalam sedimen. Hubungan
relatif antara dua mineral yang saling bersentuhan antara lain
ditentukan oleh kemas batuan itu. Mineral-mineral dari rangka detritus
jelas terbentuk lebih dahulu dibanding mineral-mineral yang terbentuk
diantara rangka detritus itu. Walau demikian, sebagian ahli bersikukuh
bahwa material penyemen terbentuk bersamaan dengan mineral detritus yang
diikatnya (Krynine, 1941). Mineral-mineral pengisi lubang, retakan, dan
ruang pori jelas terbentuk belakangan dibanding rangka batuan. Apabila
ada beberapa mineral mengisi ruang yang sama, maka umur relatif dari
mineral-mineral itu ditentukan berdasarkan kontak antar mineral itu.
Secara umum, mineral muda akan menempati ruang yang tidak terisi oleh
mineral tua atau mineral muda itu mengantikan posisi mineral tua. Karena
mineral paling tua terbentuk pada ruang kosong atau ruang yang terisi
oleh fluida, maka perawakannya akan euhedral; mineral-mineral lain yang
terbentuk kemudian akan mengisi ruang-ruang yang belum terisi diantara
mineral-mineral tua dan, oleh karena itu, akan berbentuk anhedral.
Sayang sekali, perawakan mineral bukan merupakan kriterion penentuan
umur relatif yang selalu benar. Jika kristal euhedral terbentuk akibatreplacement,
mineral itu dapat terbentuk kemudian dibanding mineral lain yang ada
disekelilingnya. Kuarsa euhedral yang ditemukan dalam beberapa
batugamping merupakan contoh terbaik dari kasus yang disebut terakhir
ini. Karena itu, kita perlu berhati-hati dalam membedakan euhedra yang
terbentuk oleh pertumbuhan dalam suatu medium fluida dengan euhedra yang
terbentuk akibat replacement dalam matriks padat.
Banyak kriteria dapat digunakan untuk mengenal mineral yang terbentuk akibat replacement.
Kriteria itu antara lain kristal automorf yang memotong struktur lama,
misalnya perlapisan, fosil, atau oolit. Mineral yang terbentuk akibat replacement mengandung
inklusi material yang digantikannya. Sisa-sisa material lama yang tidak
tergantikan itu dapat memperlihatkan satu orientasi kristalografi yang
sama atau tersebar dalam suatu pola relik atau ghost pattern. Kontak teluk(embayed contact), serta residu yang terisolasi oleh embayment yang ekstrim, merupakan indikasi dari hubungan replacement. Hal yang agaknya merupakan kriterion terbaik dari replacement adalah pseudomorfisme (pseudomorphism). Pseudomorphic replacement pada
struktur organik (fosil kayu, cangkang organisme, dsb) serta pseudomorf
kristal (pseudomorf silika pada dolomit, misalnya saja) sering
ditemukan dan merupakan bukti konklusif dari replacement. Peneliti yang cerdik akan dapat menemukan kriteria lain dan kemudian memanfaatkannya untuk menentukan umur relatif dan replacement. Kriteria baru itu hendaknya dievaluasi secara hati-hati dan seksama.
3.5.1.5 Kemas Urat
Urat
memiliki tekstur dan struktur yang sangat beragam. Urat kuarsa telah
dibahas secara mendetil oleh Adams (1920), sedangkan urat karbonat telah
dibahas panjang lebar oleh Grout (1946).
Pada
beberapa retakan, sebagian wilayahnya terisi oleh material kristalin
ekuigranuler, sedangkan sebagian lain berupa lubang-lubang kosong.
Urat-urat kuarsa, kalsit, dan gipsum yang seratnya berpotongan sering
ditemukan di alam dan disusun oleh kristal-kristal berserat yang
terletak tegak lurus terhadap dinding urat. Sebagian diantara urat itu
terdeformasi. Struktur sisir (comb structure) mirip dengan
struktur tersebut, namun tidak disusun oleh kristal berserat, melainkan
oleh kristal prismatik. Di beberapa tempat, kristal itu memperlihatkan
pembesaran ke arah luar (relatif dari titik asalnya pada dinding
retakan). Gejala itu disebut struktur flamboyan (struktur flamboyant). Struktur itu dapat berkembang lebih jauh membentuk pola radial.
3.5.2 Oolit, Sfelurit, dan Peloid
Banyak
sedimen mengandung benda-benda yang bentuknya lebih kurang seperti
bola. Benda-benda itu disusun oleh mineral yang beragam serta memiliki
struktur internal yang juga bervariasi. Benda-benda yang dimaksud
adalah: (1) oolit (oolite) atau kadang-kadang disebut juga oolith, ooid, atau ovulit (ovulite); (2) pisolit (pisolite) yang kadang-kadang disebut juga oolit-semu (pseudo-oolite) atau oolit-palsu(false oolite); (3) peloid; (4) spastolit (spastolith); dan (5) sfelurit(spherulite).
3.5.2.1 Oolit dan Pisolit
Suatu batuan dikatakan memiliki tekstur oolitik (oolitic texture) apabila
batuan itu terutama disusun oleh oolit. Oolit adalah benda berbentuk
bola atau hampir berbentuk bola dengan diameter 0,25–2,00 mm (umumnya
berdiameter 0,5–1,0 mm) serta terbentuk akibat akresi. Benda yang bentuk
dan asal-usulnya sama dengan oolit, namun diameternya > 2,00 mm
disebut pisolit. Meskipun oolit umumnya berbentuk bola, namun ada pula
oolit elipsoidal. Oolit yang ada dalam satu batuan biasanya memiliki
bentuk dan ukuran yang seragam. Batuan yang mengandung oolit memiliki
umur yang beragam, mulai dari Prakambriuim sampai Holosen.
Oolit
sejak lama telah menarik perhatian para ahli petrografi dan dewasa ini
telah tersedia literatur yang banyak mengenai oolit. Untuk mengetahui
lebih jauh mengenai oolit ini, pembaca dipersilahkan untuk menelaah
karya tulis Rothpletz (1892), Barbour & Torrey (1890), Linck (1903),
Brown (1914), Bucher (1918), Carozzi (1957, 1961a, 1961b, 1963), serta
Monaghan & Lytle (1956). Selain itu, perlu juga ditelaah berbagai
makalah yang khusus membahas tentang endapan endapan oolit purba atau
oolit masa kini, seperti endapan oolit yang ditemukan di Bahama (Newell
dkk, 1960). Terakhir, ada beberapa makalah yang perlu dirujuk untuk
mengetahui masalah tata peristilahan yang berkaitan dengan oolit (DeFord
& Waldschmidt, 1946; Flügel & Kirchmayer, 1962).
Istilah
oolit digunakan baik untuk benda konkresioner seperti yang telah
disebutkan di atas, sekaligus untuk batuan yang terutama disusun oleh
benda-benda konkresioner tersebut. Untuk menghindarkan terjadinya
kerancuan, sebagian ahli memakai istilah oolith untuk menamakan benda-benda konkresioner seperti tersebut di atas, sedangkan batuan yang terutama disusun oleh oolith mereka namakan oolite (DeFord & Waldschmidt, 1946). Walau demikian, akhiran –lith digunakan oleh beberapa peneliti untuk menamakan batuan (seperti pada kasus biolithdan calcilithite). Karena itu, istilah oolith juga taksa. Untuk benda yang sama digunakan pula istilah ooid, ooide (Kalkowsky, 1980), dan ovulite(Deverin, 1945). Twenhofel (1950) mencoba untuk menghindarkan masalah kerancuan tersebut dengan menggunakan istilah oolite untuk
benda konkresioner tersebut di atas, sedangkan untuk menamakan batuan
yang disusun oleh oolit digunakan kata sifat oolitik. Istilah-istilah
seperti rijang oolitik (oolitic chert), batugamping oolitik (oolitic limestone), dsb agaknya memang memiliki pengertian yang cukup jelas.
Carozzi (1957) membedakan oolit dari superficial oolite (suatu
mineral atau partikel sisa organisme yang diselimuti oleh satu lapisan
konsentris). Jika jumlah lapisan konsentris itu paling tidak dua buah,
maka benda itu merupakan oolit asli. Superficial oolite dapat
tertukar dengan partikel gampingan yang mengandung cincin-cincin mikrit
yang tersusun secara ketat. Dalam beberapa kasus, partikel gampingan itu
merupakan produk mikritisasi periferal pada suatu butiran asli, bukan
akibat penambah-an lapisan-lapisan baru sebagaimana pada kasus oolit.
Oolit palsu (false oolite) atau oolit semu (pseudo-oolite) adalah butiran kalsium karbonat yang tidak memiliki struktur internal. Butiran itu dapat berupa pelet kotoran (fecal pellet) atau degraded oolite yang
kehilangan struktur internalnya akibat mikritisasi. Bahkan, sebagian
diantaranya merupakan intraklas dari batugamping mikrit yang
terhancurkan. Untuk partikel-partikel yang menimbulkan ketaksaan seperti
itu McKee & Gutschick (1969) menerapkan istilah peloid. Istilah ini
agaknya baik digunakan untuk menamakan partikel yang mirip dengan
ooilit, namun asal-usulnya tidak diketahui secara pasti.
Pada
penampang melintang, oolit memperlihatkan struktur konsentris, radial,
atau gabungan konsentris dan radial. Oolit tampaknya tumbuh dari bagian
tengah ke luar. Dalam banyak kasus, pertumbuhan itu dimulai dari sebuah
inti, misalnya satu butiran kuarsa atau cangkang organisme berukuran
kecil. Dalam kasus lain, tidak terlihat adanya inti. Hal itu mungkin
terjadi karena sayatan tidak melalui inti atau karena inti itu memang
tidak ada. Dalam beberapa ooid, interupsi struktur konsentris, akibat
pemotongan atau akibat erosi tubuh asalnya, dapat diikuti oleh
regenerasi atau pertumbuhan baru (Carozzi, 1961a). Hasilnya adalah suatu
“ketidakselarasan” antara lapisan-lapisan konsentris luar dengan
lapisan-lapisan konsentris dalam. Pada ooid lain, lapisan-lapisan itu
berupa material aragonit mikrokristalin yang tidak memperlihatkan
pengarahan. Hanya sedikit ooid yang memperlihatkan struktur komposit.
Sebagian ooid juga memiliki beberapa pusat pertumbuhan.
Spastolit (spastolith) adalah ooid yang terdistorsi (Rastall & Hemingway, 1941). Sebagian ooid, terutama chamosite ooid,
terpipihkan, terpilin, atau terubah bentuknya menjadi tidak beraturan.
Sebagian besar ooid itu tebal di bagian tengah, namun menipis dan
meruncing ke bagian pinggir (gejala itu disebut delphinformig oleh
Berg, 1944). Sebagian kecil diantaranya meng-alami penipisan di bagian
tengah dan penebalan di bagian pinggir (gejala itu disebut knockenformig oleh
Berg, 1944). Distorsi pada ooid dinisbahkan pada kondisi ooid yang
masih lunak sewaktu terkubur (Taylor, 1949), Karena itu, chamosite ooid dipandang merupakan gejala primer. Sebagian ooid gampingan memperlihatkan efek-efek synsedimentary deformation (Cayeux,
1935; Carozzi, 1961b). Ooid sudah barang tentu dapat dikenai pemipihan
dan pemanjangan oleh gaya-gaya tektonik yang menyebabkan terdeformasinya
batuan dan struktur internalnya (Cloos, 1947). Bentuk paling aneh dari
ooid yang terdistorsi adalah ooid yang memperlihatkan arcuate apophyseserta ooid-ooid yang dihubungkan oleh apohyse seperti
itu (Cayeux, 1935; Carozzi, 1961b). Asal-usul rantai ooid itu tidak
terlalu jelas. Selain itu, rantai ooid agaknya merupakan ciri khas dari
ooid non-gampingan, meskipun beberapa ahli melaporkan adanya rantai ooid
yang disusun oleh material gampingan.
Diagenesis
menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh struktur ooid.
Rekristalisasi dapat terjadi dan menyebabkan munculnya tekstur
granoblastik (granoblastic texture) yang mungkin mengandung
jejak-jejak inklusi yang menandai struktur konsentris asli. Hal itu
sering ditemukan jika ooid asal disusun oleh aragonit dan kemudian
terekristalisasi menjadi kalsit. Pada kasus istimewa, bagian interior
ooid menjadi satu kristal kalsit tunggal yang menempati seluruh bagian
interior itu. Pada kasus lain, ooid terkonversi menjadi karbonat
mikrokristalin padat (mikrit), dimana hampir seluruh struktur konsentris
yang semula ada menjadi terhapus. Ooid seperti itu seringkali tertukar
dengan pelet atau intraklas mikrit (micritic intraclast). Salah
satu modifikasi diagenetik yang menarik adalah pelarutan sebagian atau
seluruh ooid, dimana hasilnya berupa ruang kosong yang kemudian terisi
oleh kristal yang tumbuh mulai dari bagian tepi ruang itu ke arah dalam.
Pada kasus istimewa, dapat terbentuk ooid tengah-bulan (“half-moon ooid”) yang terbagi atas dua bagian: bagian bawah lebih padat dan disusun oleh mikrit; bagian atas berupa coarse sparry mosaic(Carozzi,
1963). Modifikasi diagenetik lain melibatkan penggantian ooid asli oleh
material lain, misalnya silika. Dolomitisasi merupakan tipe modifikasi
diagenetik yang paling sering terjadi. Dolomit pada mulanya muncul
sebagai euhedra rhombohedral dalam ooid. Rhombohedra seperti itu
terletak melintang, relatif terhadap struktur konsentris, bahkan dapat
memotong batas-batas ooid.
Sebagian
besar ooid yang terbentuk pada masa sekarang disusun oleh aragonit,
meskipun sebagian diantaranya terinversi menjadi kalsit sewaktu masih
berada dalam lingkungan pengendapannya (Eardley, 1938). Invesi dapat
menyebabkan hilangnya struktur asli dari ooid serta menyebabkan
terubahnya ooid menjadi benda mikritik yang padat atau, pada kasus
tertentu, terubah menjadi mosaik kalsit yang kasar. Lebih umum lagi,
ooid terubah menjadi material kalsitik yang berstuktur radial. Hal itu
sering ditemukan dalam batugamping oolitik purba. Di bawah nikol
bersilang, baik ooid kalsit maupun ooid aragonit sama-sama terlihat
padam. Pada kasus ooid aragonit, hal itu merupakan gambaran interferensi
semu dari kristal sumbu-satu yang disebabkan oleh orientasi tangensial
jarum-jarum aragonit, sedangkan pada kasus ooid kalsit hal itu merupakan
gambaran interferensi semu dari kristal sumbu-satu yang disebabkan oleh
orientasi radial dari serat-serat kalsit.
“Fosil” oolit juga dapat disusun oleh silika, dolomit, hematit, pirit, dsb. Sebagian diantara oolit itu terbentuk akibat replace-ment oolit
gampingan; sebagian lain mungkin merupakan endapan primer. Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, dolomit merupakan material utama yang dapat
menggantikan oolit gampingan. Silika juga dapat menjadi material
pengganti oolit gampingan, baik pada saat sebelum maupun sesudah
dolomitisasi. Bukti-bukti bahwa oolit silika merupakan endapan sekunder
antara lain adalah pseudomorf rijang terhadap rhombohedra dolomit, secondary enlargement inti kuarsa detritus pada beberapa oolit yang memiliki cincin inklusi karbonat tipis pada batas antar butir, serta quartz overlay yang mengindikasikan penjebakan(entrapment) matriks gampingan pada saat berlangsungnya overgrowth. Bukti-bukti lain (Henbest, 1968) mencakup encroach-ment dari kristal-kristal kuarsa dalam struktur ooid dan “hybrid” ooid yang
sebagian merupakan material karbonat dan sebagian lain merupakan rijang
dengan bidang batas yang memotong struktur konsentris asli. Sejarah
diagenetik sebagian oolit silikaan sangat kompleks (Choquette, 1955).
Tidak semua ooid non-gampingan merupakan produk replacement. Meskipun asal-usulnya belum diteliti, namun data petrologi menunjukkan bahwa ooid fosfat (phosphatic ooid) dan batubesi oolit (oolitic ironstone), khususnya chamosite ironstone, merupakan endapan primer.
Banyak
teori telah diajukan untuk menjelaskan pembentukan oolit dan pisolit.
Sebagian teori menyatakan adanya intervensi organisme, baik secara
langsung maupun tidak langsung, khususnya ganggang (Rothpletz, 1892).
Teori-teori lain menyatakan perlunya suatu medium gel (Bucher, 1918).
Teori-teori yang lain lagi mengasumsikan bahwa pisolit terbentuk akibat
penggantian material detritus yang bukan oolit. Sebagian benda yang
berstruktur konsentris dan berukuran relatif besar dapat dipastikan
merupakan “pisolit ganggang”, suatu tipe onkolit(oncolite). Sebagian benda yang berstruktur konsentris dan berukuran relatif besar, seperti yang ditemukan dalam bauksit pisolit (pisolitic bauxite) dan sebagian feruginous laterite,
mungkin merupakan produk penggantian material non-oolit. Walau
demikian, sebagian besar oolit gampingan dan kebanyakan oolit
non-gampingan agaknya merupakan produk presipitasi langsung dari larutan
dalam lingkungan yang memungkinkan partikel-partikel dapat
menggelinding dengan bebas. Eratnya asosiasi antara oolit dengan
partikel-patikel kuarsa detritus, adanya gejala lapisan silang-siur
dalam banyak batugamping oolitik, serta pemilahan endapan seperti itu
mengindikasikan akumulasi dalam suatu medium turbulen. Illing (1954),
yang membahas masalah oolit gampingan, menyimpulkan bahwa pasir oolit
Bahama yang terbentuk pada masa sekarang hanya ditemukan pada
tempat-tempat dimana sedimen dikenai oleh aksi arus pasut yang kuat dan
bahwa oolit terbentuk pada tempat-tempat dimana air laut yang relatif
dingin bergerak ke dalam bank dangkal dan kemudian terpanaskan
untuk menjadi lewat jenuh akan kalsium karbonat. Baik ganggang maupun
organisme lain tidak memegang peranan apapun dalam pembentukan oolit,
namun sebagian ganggang pembor mungkin memegang peranan dalam
penghancurannya jika massa oolit itu tersingkap dalam suatu lingkungan
“mati”, di tempat mana oolit itu tidak lagi berada dalam keadaan
bergerak (Illing, 1954). Hasil-hasil pengamatan Illing dan berbagai
kesimpulan yang ditariknya mendapatkan dukungan dari peneliti lain
seperti Newell & Rigby (1957) serta Newell dkk (1960).
Meskipun
para ahli telah sampai pada suatu konsensus bahwa ooid merupakan produk
presipitasi dalam lingkungan turbulen laut-dangkal, namun ada beberapa
fakta yang kontradiktif. Freeman (1962), misalnya saja, menyatakan
adanya pelet akresi (accretionary pellet), yang dia sebut oolit,
memperlihatkan pertumbuhan lapisan-lapisan yang pola pertumbuhannya
tidak konsentris terhadap inti partikel itu. Benda yang agak tidak
beraturan, tidak berbentuk bola, dan tidak memiliki permukaan licin
sebagaimana oolit, namun memiliki pola pertumbuhan asimetris, seperti
itu ditemukan pada wilayah-wilayah perairan-dangkal di Laguna Madre,
Texas. Sebagian batugamping oolit (oolitic limestone)memperlihatkan
kehadiran ooid yang tertanam dalam matriks mikrit. Kehadiran matriks
itu jelas tidak sesuai untuk lingkungan turbulen energi-tinggi
sebagaimana yang diasumsikan sebagai tempat pembentukan oolit.
3.5.2.2 Sfelurit
Istilah sfelurit (spherulite) digunakan
untuk setiap benda berbentuk bola dan memiliki struktur radial.
Beberapa benda konkresional merupakan benda sfeluritik. Banyak oolit
juga sferulitik. Namun, sebagaimana telah dijelaskan di atas, struktur
radial yang ada dalam oolit merupakan gejala pertumbuhan sekunder
(Eardley, 1938). Istilah sfelurit dalam tulisan ini digunakan untuk
menamakan benda-benda renik berbentuk hampir seperti bola dan memiliki
struktur radial in situ. Benda-benda itu agak mirip dengan benda
sferulitik yang terbentuk akibat devitrifikasi gelas sebagaimana yang
biasa ditemukan dalam lava sfeluritik. Dalam batugamping, kita dapat
menemukan sfelurit kalsedon dan sfelurit kalsit (Muir & Walton,
1957). Berbeda dengan oolit, sfelurit memiliki permukaan yang agak tidak
beraturan. Selain itu, jika pusat-pusat pertumbuhan terlalu berdekatan,
maka dapat terjadi interferensi antar benda-benda itu. Jika
interferensi seperti itu banyak terjadi, maka sfelurit yang sedang
tumbuh itu akan membentuk polihedra dengan pembandelaan tertutup. Oolit
dapat pecah, dan pecahan-pecahan itu akan menjadi inti dari oolit baru.
Hal seperti itu tidak mungkin terjadi pada sfelurit. Sebagian dari yang
disebut sebagai “pisolit polihedra”(“polyhedral pisolite”) sebenarnya merupakan sfelurit (Shrock, 1930).
3.6. KEMAS BIOGENIK
Banyak
fosil berperan sebagai bagian integral dari batuan sedimen. Fosil dapat
berfungsi sebagai komponen minor dari batuan, namun dapat pula
merupakan komponen dominan sebagaimana yang terjadi pada beberapa jenis
batugamping. Tugas kita disini bukan menelaah aspek-aspek biologi
(taksonomi), bentuk fosil (morfologi), atau kebenaan stratigrafinya,
melainkan menelaah fosil sebagai komponen batuan. Setiap ahli petrologi
hendaknya mampu mengenal fosil dalam sayatan tipis dan—berdasarkan
komposisi, preservasi, dan cara fosil itu hadir dalam batuan—mengambil
informasi penting mengenai asal-usul batuan dimana fosil itu berada.
Dalam
tulisan ini kita juga tidak menujukan perhatian pada struktur berskala
besar yang terbentuk secara organik. Terumbu, misalnya saja, merupakan
tubuh batuan sedimen dan akan dibahas pada Bab 5. Disini kita juga tidak
akan membahas berbagai jenis track, trail, lubang galian(burrow),
modifikasi perlapisan yang disebabkan oleh gangguan bioturbasi, atau
bentuk-bentuk lapisan pertumbuhan (stromatolit) yang dinisbahkan pada
organisme (struktur sedimen biogenik seperti itu akan dibahas pada Bab
4). Disini perhatian kita akan ditujukan pada fosil dan detritus fosil;
pada pengenalan komponen sedimen yang berupa rangka organisme. Kita
ingin mengetahui asal-usul rangka organik, yakni organisme yang
bertanggungjawab terhadap fragmen-fragmen itu, apakah ganggang,
foraminifera, koral, dsb.
Meningkatnya
ketertarikan para ahli terhadap petrologi batugamping selama dua
dasawarsa terakhir telah memicu banyak pertanyaan mengenai hal-hal
tersebut di atas. Meskipun Sorby (1879) merupakan orang pertama yang
mengungkapkan khuluk petrografi sisa-sisa organisme, namun topik itu
baru menarik perhatian para ahli baru-baru ini. Pada bagian ini akan
disajikan sebuah ikhtisar mengenai topik itu. Pembahasan yang lebih
mendalam dapat ditemukan dalam karya tulis Majewske (1969) serta
Horowitz & Potter (1971).
3.6.1 Komposisi dan Modus Preservasi
Fosil
merupakan bukti kehidupan purba. Fosil dapat terkubur sebagai sisa-sisa
organisme yang tidak terubah, misalnya sebagai struktur organik yang
resisten—tulang, gigi, dan cangkang. Sebagian besar cangkang dan
struktur lain pada mulanya merupakan senyawa kalsium karbonat dengan
kadar magnesium dan unsur-unsur minor lain yang beragam. Cangkang dan
struktur lain merupakan senyawa fosfatik, silikaan, atau chitinoid.
Sisa-sisa organik dapat terubah dengan tingkat perubahan yang beragam. Sebagian cangkang karbonat terlindi (leached);
sebagian lain mengalami rekristalisasi dan kehilangan struktur
internalnya; tulang dan material sejenis dapat mengalami pengayaan unsur
F. Sisa-sisa organik seperti selulosa dapat mengalami degradasi hebat
dan dalam batuan tua hanya ditemukan dalam wujud film karbon. Hal itu
juga berlaku pada jaringan tumbuhan dan sebagian chitinous materials.
Bagian lunak tubuh binatang bahkan dapat mengalami alterasi hebat.
Fosil seperti itu tidak lebih dari sekedar film karbon yang tersisa
setelah kehilangan unsur-unsur volatil di bawah kondisi anaerob. Fosil
tumbuhan yang mengalami karbonisasi banyak ditemukan dalam serpih yang
berasosiasi dengan lapisan batubara. Banyak pula kayu yang mengalami
karbonisasi ditemukan dalam lapisan serpih dan pasir. Pada beberapa
kasus, sebagaimana yang terjadi pada “arang kayu” (charcoal; fusain) dan “bola batubara” (“coal ball”) (Stopes
& Watson, 1909), dinding sel-sel tumbuhan mengalami karbonisasi,
sedangkan sel-selnya sendiri terisi oleh mineral, biasanya kalsit.
Sebagian sisa tumbuhan dapat terawetkan dengan indah. Sebagian fosil
graptolit terawetkan sebagai film-film karbon dalam batusabak dan serpih
hitam Ordovisium.
Struktur
organik mungkin tergantikan seluruhnya sedemikian rupa sehingga
komposisi fosil sewaktu ditemukan jauh berbeda dengan komposisi asalnya.
Proses penggantian seperti itu (petrifikasi) sebenarnya merupakan
segregasi-segregasi mineral minor penyusun batuan sehingga memiliki
kebenaan geokimia yang sama dengan konkresi, nodul, dan benda-benda lain
yang mirip dengan itu. Silika, karbonat, dan sulfida besi merupakan
tipe-tipe material pengganti yang sering ditemukan. Penggantian itu
sendiri dapat berlangsung dengan tingkat preservasi yang cukup mendetil.
Dalam
banyak kasus, struktur organik asli maupun struktur pengganti tidak
ditemukan. Apa yang ditemukan hanya lubang bekas kehadiran struktur
organik, yang disebut mold. Mold itu terbentuk akibat hilangnya struktur asal akibat pelarutan. Mold memperlihatkan bentuk dan ornamentasi benda asalnya. Jika mold itu kemudian terisi oleh material lain, maka benda yang dihasilkan oleh pengisian itu disebut cast. Castjuga
dapat memperlihatkan bentuk luar (namun tidak bentuk dalam) dari fosil
asli. Benda yang terbentuk akibat pengisian lubang di bagian interior
fosil sering disebut “cast of interior”. Dalam pengertian terbatas, benda itu merupakan internal mold.
Pelet kotoran (fecal pellet) adalah
kotoran (terutama invertebrata) yang ditemukan dalam endapan bahari
masa kini dan kadang-kadang juga dalam endapan purba, dimana pelet itu
telah mengalami litifikasi (Moore, 1939; Dapples, 1942). Sebagian besar
pelet merupakan produk organisme pemakan lumpur sehingga pelet umumnya
disusun oleh partikel-partikel lempung dan lanau yang direkatkan satu
sama lain oleh zat organik. Banyak pelet lunak kemudian mengalami
disintegrasi, sedangkan sebagian lain termineralisasi dan menjadi bagian
integral dari sedimen. Pada beberapa kasus, sebagian besar (30–50%)
endapan sedimen disusun oleh pelet. Pelet dapat tertransformasi menjadi
glaukonit atau mengalami piritisasi. Pelet juga dapat menjadi bagian
dalam dari akumulasi fosfat. Pelet kotoran yang paling sering ditemukan
adalah pelet berbentuk telur dan ber-ukuran kecil (panjangnya 1 mm atau
kurang dari itu). Pelet seperti itu banyak dilaporkan kehadirannya dalam
sedimen purba, terutama batugamping. Walau demikian, benda seperti itu
tidak dapat selalu diketahui asal-usulnya sebagai kotoran. Pelet yang
lebih jarang ditemukan adalah pelet memanjang dengan ornamen transversal
dan/atau longitudinal. Sebagian besar pelet kotoran tidak memiliki
struktur internal dan dalam banyak kasus sering teridentifikasikan
sebagai benda anorganik.
Koprolit (coprolite) adalah
benda berukuran besar yang asal-usulnya mirip dengan pelet kotoran.
Orang yang pertama-tama mengenal asal-usul koprolit agaknya Buckland
(1835). Dia menemukan koprolit dalam endapan Lias di Inggris (Folk,
1965b). Literatur mengenai koprolit telah dikaji secara mendalam oleh
Amstutz (1958).
Koprolit biasanya berwarna coklat muda, coklat tua, atau hitam, bentuknya seperti telur (ovoid) hingga memanjang, panjang-nya 1–15 cm, dengan permukaan yang dicirikan oleh konvolusi anular. Striationlongitudinal atau groove jarang
ditemukan dalam koprolit. Material berserat yang berwarna coklat dalam
koprolit umumnya merupakan material fosfatik dan secara optik bersifat
isotrop dengan indeks refraksi mendekati indeks refraksi kolofan (collophane) (1,58–1,62).
Bradley (1946) menunjukkan bahwa koprolit dalam Bridger Formation
(Eocene) di Wyoming kemungkinan merupakan karbonat-apatit (francolite).
Koprolit yang diteliti oleh Amstutz berkomposisi limonitik dengan inti
sideritik, dari bagian mana limonit diperkirakan berasal. Jelas bahwa
siderit itu menggantikan material asli penyusun koprolit itu. Koprolit
merupakan material penyusun batuan sedimen yang relatif jarang
ditemukan. Salah satu pengecualiannya adalah endapan terestrial Tersier
yang banyak mengandung sisa-sisa mamalia.PENDAHULUAN
Serpih, atau
dalam Bahasa Inggris shale merupakan
nama untuk suatu kelompok batuan sedimen klastik yang berukuran butir halus,
meliputi batulempung dan mudstone.
(Potter, 1984). Namun Tucker (1981)
dalam bukunya menyebutkan serpih sebagai suatu definisi yang lebih spesifik
lagi. Serpih merupakan batuan dengan ukuran butir halus yang mempunyai
ciri-ciri fisik tertentu. Pengertian menurut Tucker ini yang sekarang lebih
banyak dipakai dan lebih umum digunakan untuk menjelaskan mengenai serpih.
Secara deskriptif, dan lebih spesifik lagi, serpih merupakan batuan dengan
ukuran butir halus, berlapis halus (biasanya membentuk laminasi dengan tebal
0,1 – 0,4 mm) dan/atau mudah membelah yang umumnya tersusun oleh partikel
berukuran lanau dan lempung. Partikel berukuran lanau mendominasi komposisi
yang mana biasanya tersusun atas kuarsa detrital. Serpih umumnya lunak sehingga
mudah untuk digores, tapi cukup kompak sehingga bereaksi dengan air
partikel-partikelnya tidak mudah terpisah. Batuan ini mempunyai permukaan yang
halus dan licin di bagian retakannya.Dari
deskripsi di atas dapat kita ketahui bahwa tekstur dan struktur merupakan suatu
ciri khusus yang membedakan serpih dari batuan sedimen yang lainnya. Terutama
dalam pengamatan di lapangan, tekstur dan struktur ini yang membuat serpih banyak
dikenali, dan menjadi dasar dari definisi serpih. Oleh karena itu, di sini akan
dibahas mengenai tekstur dan struktur serpih, yang meliputi ukuran butir,
bentuk butir, struktur internal serta struktur pengendapan yang umum dijumpai
pada batuan ini.
TEKSTUR SERPIH
1. Ukuran Butir
Batu serpih tersusun oleh partikel
lempung dan lanau dengan perbandingan komposisi 2 : 1. Menurut klasifikasi
Wentworth, lempung mempunyai ukuran lebih kecil dari 1/256 mm, sedangkan lanau
memiliki ukuran 1/256 – 1/16 mm. Ukuran butir serpih sulit diamati dan biasanya
hanya diamati dengan menggunakan mikroskop elektron. Gigi depan kita dapat
digunakan untuk mengetahui keberadaan partikel berukuran lanau, sementara
partikel lempung tidak akan terasa di antara gigi depan kita, saking halusnya.
Foto mikroskop elektron dari mudstone, menunjukkan butiran kuarsa dan mineral lempung berbentuk flaky. Diambil dari : Boggs (2009) |
2. Bentuk Butir
Dari pengamatan melalui mikroskop
elektron diketahui bahwa kebanyakan mineral-mineral lempung mempunyai bentuk platy, flaky atau acicular. Bentuk platy dan
flaky merupakan bentuk seperti
lembaran-lembaran tipis yang memanjang. Flaky
dibedakan dari platy dari bentuknya
yang tidak beraturan, sementara platy mempunyai
bentuk yang lebih teratur, seperti papan. Bentuk acicular merupakan bentuk seperti sekumpulan jarum. Karena bentuk
dari partikel penyusun serpih adalah pipih, maka dari itu serpih mempunyai
sifat mudah untuk membelah. Karena ukuran butirannya yang sangat kecil, maka
bentuk dari butirannya tidak banyak terpengaruh oleh erosi dan transportasi,
sehingga mencerminkan bentuk asal partikel saat diagenesis. Partikel pada
serpih kebanyakan mempunyai roundness yang
rendah, atau sangat menyudut dengan derajat kebundaran (sphericity) yang rendah juga.
Foto elektron mineral lempung kaolinit perbesaran 4700x. Tampak bentuk platy pada mineral. Diambil dari : Boggs (2009) |
STRUKTUR SERPIH
Partikel serpih yang mempunyai bentuk
pipih tersusun saling berhadapan dan sejajar, sehingga biasanya membuat serpih
mempunyai kemampuan membelah yang baik. Kemampuan membelah atau fissility merupakan kecenderungan batuan
untuk membelah sepanjang bidang laminasi atau perlapisan. Bidang-bidang belahan
pada serpih disebut parting (Potter et al., 1980). Oleh karena itu maka
struktur utama yang terdapat dalam serpih yang murni adalah stratifikasi dan parting.
● Stratifikasi
Stratifikasi merupakan istilah untuk
menyebut lapisan-lapisan (layering) dalam
suatu batuan. Lapisan-lapisan ini dibedakan berdasarkan perbedaan vertikal
dalam tekstur, komposisi dan/atau kemas pada butiran-butirannya. Lapisan ini
dapat mempunyai tebal bervariasi. Lapisan yang mempunyai tebal > 1 cm
disebut perlapisan, sedangkan yang tebalnya < 1 cm disebut laminasi. Perlapisan
dan laminasi ini masih dibagi menjadi kelas-kelas lain berdasarkan
ketebalannya.
● Parting
Parting
merupakan suatu sifat khas dari serpih, yaitu bidang-bidang belahan yang
mana material serpih dapat terpisah melalui bidang tersebut. Parting terbentuk di antara
bidang-bidang lapisan, dan struktur ini makin diperkuat seiring dengan
pelapukan yang intensif pada batuan. Parting
diklasifikasikan berdasarkan ketebalannya. Fissile
merupakan bagian dari bidang belahan ini yang mempunyai ketebalan antara
0,5 mm hingga 1 mm. Bidang belahan yang kurang dari 0,5 mm disebut papery, dan yang lebih tebal dari 1 mm
namun masih lebih tipis dari bidang laminasi disebut platy, atau flaggy. Sedangkan
slabby merupakan sebutan untuk bidang
belahan yang lebih tebal dari laminasi (> 1 cm). Hubungan antara bidang
belahan (parting) terhadap perlapisan
dan laminasi dapat dilihat pada tabel.
Sifat fissility pada serpih membuat munculnya bidang-bidang belahan yang sejajar dengan perlapisannya. |
Ketebalan
stratifikasi dan bidang-bidang belahan bergantung pada faktor-faktor tertentu.
Faktor-faktor yang paling berpengaruh ialah sebagai berikut :
a. Komposisi
Semakin banyak kandungan mineral lempung
dan senyawa-senyawa organik pada batuan, maka stratifikasi dan bidang belahan
akan semakin tipis. Ini disebabkan karena struktur mineral lempung dan senyawa
organik yang berupa lembaran atau lempengan tipis.
b. Ukuran Butir
Semakin sedikit jumlah persentase pasir
dan lanau, yang artinya makin banyak jumlah material lempung, maka stratifikasi
dan bidang belahan semakin tipis.
c. Kemas
Bila mineral-mineral platy pada batuan saling terorientasi dengan baik, maka stratifikasi
dan bidang belahan semakin tipis.
Faktor-faktor yang lain termasuk juga
tingkat sedimentasi dan saat proses kompaksi. Namun, saat pengamatan di
lapangan kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang signifikan
dibanding komposisi, ukuran partikel dan kemas.
Ketebalan
|
Stratifikasi
|
Parting
|
Komposisi
|
|
30 cm
|
Tipis
|
Perlapisan
|
Slabby
|
Lempung
dan material organik
Pasir,
lanau dan kandungan karbonat
|
3 cm
|
Sangat tipis
|
|||
10 mm
|
Tebal
|
Laminasi
|
Flaggy
|
|
5 mm
|
Sedang
|
Platy
|
||
1 mm
|
Tipis
|
Fissile
|
||
0,5 mm
|
Sangat tipis
|
Papery
|
0 comments:
Posting Komentar