Tambora merupakan salah satu gunung
berapi di indonesia, yang pernah meletus dan merupakan letusan gunung
berapi terbesar pada tahun 1815 setelah letusah Danau Taupo (sebuah
danau yang terletak di pulau Utara Selandia Baru). Dalam bencana letusan
gunung tambora 1815, menyebabkan kematian hingga kurang lebih dari
71.000 orang dengan 11.000—12.000 di antaranya mati secara langsung
akibat dari letusan tersebut. Sebelum tahun 1815, gunung tambora
mengalami ketidakaktifan selama beberapa abad dan lebih dikenal dengan
nama gunung berapi tidur. Dan di bawah ini merupakan Goeografi Gunung
Tambora, sejarah letusan gunung tambora yang sengaja dikutip dari
wikipedia indonesia, ensiklopedia bebas, untuk kita pelajari bersama
serta untuk menambah wawasan kita.
Geografi Gunung Tambora
Secara
Geografi Gunung tambora atau gunung tomboro terletak di pulau Sumbawa
yang merupakan bagian dari kepulauan Nusa Tenggara. Gunung ini terletak
di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi selatan
sampai barat laut, dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga
barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara), Provinsi
Nusa Tenggara Barat, tepatnya pada 8°15′ LS dan 118° BT. Gunung ini
terletak baik di sisi utara dan selatan kerak oseanik. Tambora terbentuk
oleh zona subduksi di bawahnya. Hal ini meningkatkan ketinggian Tambora
sampai 4.300 m yang membuat gunung ini pernah menjadi salah satu puncak
tertinggi di Nusantara dan mengeringkan dapur magma besar di dalam
gunung ini. Perlu waktu seabad untuk mengisi kembali dapur magma
tersebut.
Aktivitas
vulkanik gunung berapi ini mencapai puncaknya pada bulan April tahun
1815 ketika meletus dalam skala tujuh pada Volcanic Explosivity Index.
Letusan tersebut menjadi letusan tebesar sejak letusan danau Taupo pada
tahun 181.[4] Letusan gunung ini terdengar hingga pulau Sumatra (lebih
dari 2.000 km). Abu vulkanik jatuh di Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan
Maluku. Letusan gunung ini menyebabkan kematian hingga tidak kurang dari
71.000 orang dengan 11.000—12.000 di antaranya terbunuh secara langsung
akibat dari letusan tersebut. Bahkan beberapa peneliti memperkirakan
sampai 92.000 orang terbunuh, tetapi angka ini diragukan karena
berdasarkan atas perkiraan yang terlalu tinggi. Lebih dari itu, letusan
gunung ini menyebabkan perubahan iklim dunia. Satu tahun berikutnya
(1816) sering disebut sebagai Tahun tanpa musim panas karena perubahan
drastis dari cuaca Amerika Utara dan Eropa karena debu yang dihasilkan
dari letusan Tambora ini. Akibat perubahan iklim yang drastis ini banyak
panen yang gagal dan kematian ternak di Belahan Utara yang menyebabkan
terjadinya kelaparan terburuk pada abad ke-19.
Selama
penggalian arkeologi tahun 2004, tim arkeolog menemukan sisa kebudayaan
yang terkubur oleh letusan tahun 1815 di kedalaman 3 meter pada endapan
piroklastik. Artifak-artifak tersebut ditemukan pada posisi yang sama
ketika terjadi letusan di tahun 1815. Karena ciri-ciri yang serupa
inilah, temuan tersebut sering disebut sebagai Pompeii dari timur.
Selain
seismologis dan vulkanologis yang mengamati aktivitas gunung tersebut,
gunung Tambora adalah daerah untuk riset ilmiah arkeolog dan biologi.
Gunung ini juga menarik turis untuk mendaki gunung dan aktivitas
margasatwa. Dompu dan Bima adalah kota yang letaknya paling dekat dengan
gunung ini. Di lereng gunung Tambora, terdapat beberapa desa. Di
sebelah timur terdapat desa Sanggar. Di sebelah barat laut, terdapat
desa Doro Peti dan desa Pesanggrahan. Di sebelah barat, terdapat desa
Calabai.
Terdapat
dua jalur pendakian untuk mencapai kaldera gunung Tambora. Rute pertama
dimulai dari desa Doro Mboha yang terletak di sisi tenggara gunung
Tambora. Rute ini mengikuti jalan beraspal melalui perkebunan kacang
mede sampai akhirnya mencapai ketinggian 1.150 m diatas permukaan laut.
Rute ini berakhir di bagian selatan kaldera dengan ketinggian 1.950 m
yang dapat dicapai oleh titik pertengahan jalur pendakian.[10] Lokasi
ini biasanya digunakan sebagai kemah untuk mengamati aktivitas vulkanik
karena hanya memerlukan waktu satu jam untuk mencapai kaldera. Rute
kedua dimulai dari desa Pancasila di sisi barat laut gunung Tambora.
Jika menggunakan rute kedua, maka kaldera hanya dapat dicapai dengan
berjalan kaki.
Sejarah Geologis Gunung Tambora
Pembentukan
Tambora
terbentang 340 km di sebelah utara sistem palung Jawa dan 180-190 km
diatas zona subduksi. Gunung ini terletak baik di sisi utara dan selatan
kerak oseanik. Gunung ini memiliki laju konvergensi sebesar 7.8 cm per
tahun. Tambora diperkirakan telah berada di bumi sejak 57.000 BP
(penanggalan radiokarbon standar). Ketika gunung ini meninggi akibat
proses geologi di bawahnya, dapur magma yang besar ikut terbentuk dan
sekaligus mengosongkan isi magma. Pulau Mojo pun ikut terbentuk sebagai
bagian dari proses geologi ini di mana teluk Saleh pada awalnya
merupakan cekungan samudera (sekitar 25.000 BP).
Menurut
penyelidikan geologi, kerucut vulkanik yang tinggi sudah terbentuk
sebelum letusan tahun 1815 dengan karakteristik yang sama dengan bentuk
stratovolcano. Diameter lubang tersebut mencapai 60 km. Lubang utama
sering kali memancarkan lava yang mengalir turun secara teratur dengan
deras ke lereng yang curam.
Sejak
letusan tahun 1815, pada bagian paling bawah terdapat endapan lava dan
material piroklastik. Kira-kira 40% dari lapisan diwakili oleh 1-4 m
aliran lava tipis. Scoria tipis diproduksi oleh fragmentasi aliran lava.
Pada bagian atas, lava ditutup oleh scoria, tuff dan bebatuan
piroklastik yang mengalir ke bawah. Pada gunung Tambora, terdapat 20
kawah.Beberapa kawah memiliki nama, misalnya Tahe (877 m), Molo (602 m),
Kadiendinae, Kubah (1648 m) dan Doro Api Toi. Kawah tersebut juga
memproduksi aliran lava basal.
Sejarah Letusan Gunung Tambora
Dengan
menggunakan teknik penanggalan radiokarbon, dinyatakan bahwa gunung
Tambora telah meletus tiga kali sebelum letusan tahun 1815, tetapi
besarnya letusan tidak diketahui.[14] Perkiraan tanggal letusannya ialah
tahun 3910 SM ± 200 tahun, 3050 SM dan 740 ± 150 tahun. Ketiga letusan
tersebut memiliki karakteristik letusan yang sama. Masing-masing letusan
memiliki letusan di lubang utama, tetapi terdapat pengecualian untuk
letusan ketiga. Pada letusan ketiga, tidak terdapat aliran piroklastik.
Pada
tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih aktif, dengan puncak
letusannya terjadi pada bulan April tahun 1815.[14] Besar letusan ini
masuk ke dalam skala tujuh Volcanic Explosivity Index (VEI), dengan
jumlah semburan tefrit sebesar 1.6 × 1011 meter kubik. Karakteristik
letusannya termasuk letusan di lubang utama, aliran piroklastik, korban
jiwa, kerusakan tanah dan lahan, tsunami dan runtuhnya kaldera. Letusan
ketiga ini memengaruhi iklim global dalam waktu yang lama. Aktivitas
Tambora setelah letusan tersebut baru berhenti pada tanggal 15 Juli
1815. Aktivitas selanjutnya kemudian terjadi pada bulan Agustus tahun
1819 dengan adanya letusan-letusan kecil dengan api dan bunyi gemuruh
disertai gempa susulan yang dianggap sebagai bagian dari letusan tahun
1815. Letusan ini masuk dalam skala kedua pada skala VEI. Sekitar tahun
1880 ± 30 tahun, Tambora kembali meletus, tetapi hanya di dalam kaldera.
Letusan ini membuat aliran lava kecil dan ekstrusi kubah lava, yang
kemudian membentuk kawah baru bernama Doro Api Toi di dalam kaldera.
Gunung
Tambora masih berstatus aktif. Kubah lava kecil dan aliran lava masih
terjadi pada lantai kaldera pada abad ke-19 dan abad ke-20. Letusan
terakhir terjadi pada tahun 1967, yang disertai dengan gempa dan terukur
pada skala 0 VEI, yang berarti letusan terjadi tanpa disertai dengan
ledakan.
Letusan Gunung Tambora Tahun 1815
Kronologis Letusan Tambora
Gunung
Tambora mengalami ketidakaktifan selama beberapa abad sebelum tahun
1815, dikenal dengan nama gunung berapi “tidur”, yang merupakan hasil
dari pendinginan hydrous magma di dalam dapur magma yang tertutup.
Didalam dapur magma dalam kedalaman sekitar 1,5-4,5 km, larutan padat
dari cairan magma bertekanan tinggi terbentuk pada saat pendinginan dan
kristalisasi magma. Tekanan di kamar makma sekitar 4-5 kbar muncul dan
temperatur sebesar 700 °C-850 °C.
Pada
tahun 1812, kaldera gunung Tambora mulai bergemuruh dan menghasilkan
awan hitam.[2] Pada tanggal 5 April 1815, letusan terjadi, diikuti
dengan suara guruh yang terdengar di Makassar, Sulawesi (380 km dari
gunung Tambora), Batavia (kini Jakarta) di pulau Jawa (1.260 km dari
gunung Tambora), dan Ternate di Maluku (1400 km dari gunung Tambora).
Suara guruh ini terdengar sampai ke pulau Sumatera pada tanggal 10-11
April 1815 (lebih dari 2.600 km dari gunung Tambora) yang awalnya
dianggap sebagai suara tembakan senapan. Pada pagi hari tanggal 6 April
1815, abu vulkanik mulai jatuh di Jawa Timur dengan suara guruh
terdengar sampai tanggal 10 April 1815.
Pada
pukul 7:00 malam tanggal 10 April, letusan gunung ini semakin kuat.
Tiga lajur api terpancar dan bergabung.Seluruh pegunungan berubah
menjadi aliran besar api.[16] Batuan apung dengan diameter 20 cm mulai
menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti dengan abu pada pukul
9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas mengalir turun menuju laut di
seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan besar
terdengar sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar sampai Jawa Barat
dan Sulawesi Selatan. Bau “nitrat” tercium di Batavia dan hujan besar
yang disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya reda antara tangal 11
dan 17 April 1815.
Letusan
tersebut masuk dalam skala tujuh pada skala Volcanic Explosivity Index.
Letusan ini empat kali lebih kuat daripada letusan gunung Krakatau
tahun 1883. Diperkirakan 100 km³ piroklastik trakiandesit dikeluarkan,
dengan perkiraan massa 1,4×1014 kg.[4] Hal ini meninggalkan kaldera
dengan ukuran 6-7 km dan kedalaman 600-700 m. Massa jenis abu yang jatuh
di Makassar sebesar 636 kg/m². Sebelum letusan, gunung Tambora memiliki
ketinggian kira-kira 4.300 m, salah satu puncak tertinggi di Indonesia.
Setelah letusan, tinggi gunung ini hanya setinggi 2.851 m.
Letusan
Tambora tahun 1815 adalah letusan terbesar dalam sejarah. Letusan
gunung ini terdengar sejauh 2.600 km, dan abu jatuh setidaknya sejauh
1.300 km. Kegelapan terlihat sejauh 600 km dari puncak gunung selama
lebih dari dua hari. Aliran piroklastik menyebar setidaknya 20 km dari
puncak.
Akibat Letusan Gunung Tambora
Semua
tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang, bercampur dengan
abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak lintas
melebihi 5 km . Rakit batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia, di
dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3 Oktober 1815. Awan dengan abu tebal
masih menyelimuti puncak pada tanggal 23 April. Ledakan berhenti pada
tanggal 15 Juli, walaupun emisi asab masih terlihat pada tanggal 23
Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus
tahun 1819, empat tahun setelah letusan.
Tsunami
besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10
April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam.
Tsunami setinggi 1-2 m dilaporkan terjadi di Besuki, Jawa Timur sebelum
tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi di Maluku.
Tinggi
asap letusan mencapai stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km.
Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat
partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa bulan
sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km. Angin bujur menyebarkan
partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat terjadinya fenomena.
Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat di London, Inggris
antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 dan 3 September dan 7 Oktober
1815. Pancaran cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di
dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda di atas.
Jumlah
perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang ada.
Zollinger (1855) memperkirakan 10.000 orang meninggal karena aliran
piroklastik. Di pulau Sumbawa, terdapat 38.000 kematian karena
kelaparan, dan 10.000 lainnya karena penyakit dan kelaparan di pulau
Lombok. Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000
orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok. Beberapa pengarang menggunakan
figur Petroeschevsky, seperti Stothers (1984), yang menyatakan jumlah
kematian sebesar 88.000 jiwa. Tanguy (1998) mengklaim figur
Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan berdasarkan referensi yang
tidak dapat dilacak. Tanguy merevisi jumlah kematian berdasarkan dua
sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di
Sumbawa setelah letusan dan catatan Raffles. Tanguy menunjukan bahwa
terdapat banyak korban di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan
kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal karena pengaruh gunung berapi
langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan kelaparan setelah letusan.
0 comments:
Posting Komentar