Di awal tahun 1960-an, penemuan teori lempeng tektonik membuat revolusi pada ilmu bumi. Sejak saat itu, ilmuwan mulai memeriksa kebenaran dan dan terus membaharui teori ini. Saat ini pengertian bagaimana bumi dibentuk oleh proses lempeng tektonik semakin lebih baik. Sekarang diketahui, lempeng tektonik secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi hampir semua proses geologi di masa lalu dan masa kini. Secara ekstrim, pengetahuan bagaimana permukaan bumi bergeser secara terus menerus telah mengubah cara pandang kita terhadap dunia.
Manusia di satu sisi mendapat keuntungan, dan pada pihak lain kehidupannya dapat sangat bergantung pada gaya-gaya yang dihasilkan lempeng tektonik. Tanpa ada peringatan, sebuah gempa atau letusan gunung api (erupsi) dapat mengeluarkan energi yang besarnya jauh dari apapun yang dapat kita bayangkan. Meskipun kita tidak bisa mengontrol proses lempeng tektonik, saat ini kita memiliki pengetahuan untuk belajar tentang prosesnya. Semakin kita mengetahui lempeng tektonik, semakin kita dapat menghargai kekuatan dan keindahan dari bumi yang kita diami, seperti juga memahami kehancuran yang kadang terjadi akibat kekuatan dahsyat bumi.
Tulisan ini merupakan pendahuluan singkat konsep lempeng tektonik dan merupakan tambahan visual dan informasi tertulis dalam This Dynamic Planet , sebuah peta yang diterbitkan USGS dan Smithsonian Institution.
Dalam istilah geologi, lempeng adalah bongkahan batuan yang kaku dan padat. Kata tektonik berasal dari kata dasar Yunani, yang berarti ”membangun”. Dengan menyatukan kedua kata tersebut kita mendapatkan istilah lempeng tektonik , yang mengacu tentang bagaimana permukan bumi dibangun oleh lempeng-lempeng.
Teori lempeng tektonik menyatakan bahwa lapisan terluar bumi terdiri dari lusinan bahkan lebih lempeng-lempeng besar dan kecil yang terpisah dan mengapung di atas material sangat panas yang bergerak.
Sebelum kelahiran teori lempeng tektonik, beberapa orang sudah terlebih dahulu meyakini bahwa benua-benua yang ada saat ini adalah hasil dari pecahan dari sebuah ”superbenua” di masa lalu. Diagram di bawah ini memperlihatkan proses terpecahnya superbenua Pangaea (dalam bahasa Yunani artinya: semua daratan). Diagram ini terkenal dalam teori Pergeseran Benua (Continental Drift Theory)—sebuah teori yang mendahului teori Lempeng Tektonik.
Lempeng Tektonik merupakan ilmu yang relatif masih baru, diperkenalkan sekitar 50 tahun yang lalu. Akan tetapi telah merevolusi pengertian kita tentang dinamika bumi yang kita diami. Teori ini telah menyatukan pengetahuan tentang bumi dengan menyatukan semua cabang-cabang dari ilmu-ilmu bumi, dari paleontology (pelajaran tentang fossil) hingga seismologi (pelajaran tentang gempa). Teori tersebut juga telah memberikan penjelasan tentang apa yang diperdebatkan ilmuwan selama berabad-abad—seperti mengapa gempa dan letusan gunung api terjadi di lokasi tertentu di bumi, dan bagaimana dan mengapa rangkaian pegunungan besar seperti Alpen dan Himalaya terbentuk.
Mengapa bumi sangat labil? Apa yang mengakibatkan bumi bergoyang dan membahayakan kehidupan, gunung api meletus dengan sangat eksplosif, dan rangkaian pegunungan besar bertambah tinggi hingga mempunyai ketinggian yang luar biasa? Ilmuwan, filsuf, dan teolog terjebak dengan pertanyaan ini selama ratusan tahun.
Hingga tahun 1700-an kebanyakan orang Eropa secara biblikal mempercayai bahwa sebuah banjir besar memainkan peran besar dalam proses pembentukan permukaan bumi. Pemikiran seperti ini disebut sebagai katastropisme. Dan ilmu bumi (geologi) didasarkan atas kepercayaan bahwa semua perubahan di bumi terjadi secara tiba-tiba dan disebabkan oleh rangkaian katastrop tadi.
Akan tetapi pada pertengahan abad ke-19 “uniformitarianisme” menggantikan “katastropisme”. Uniformitarianisme adalah sebuah pemikiran baru yang berpusat pada prinsip uniformitarianisme yang diusulkan oleh geologis Skotlandia, James Hutton pada tahun 1785. Secara umum prinsipnya dapat dinyatakan sebagai berikut: “ keadaan saat ini adalah kunci menuju masa lalu”. Mereka yang mengikuti pandangan ini mempercayai bahwa proses-proses dan gaya-gaya geologis—yang terjadi secara perlahan atau tiba-tiba—yang dialami bumi saat ini adalah sama dengan yang dialami secara geologis di masa lalu.
Kepercayaan bahwa di masa lalu, benua-benua tidak selalu tetap pada posisinya telah diprediksi jauh sebelum abad ke-20; pernyataan ini pertama sekali dikeluarkan oleh pembuat peta dari Belanda, Abraham Ortelius pada tahun 1596 dalam hasil karyanya ”Thesaurus Geographicus”. Ortelius menyatakan bahwa ”benua Amerika terpisah dari Eropa dan Afrika…oleh gempa-gempa dan banjir” dan selanjutnya ” pecahan-pecahannya adalah bukti-buktinya, yang dapat dilihat jika kita memperhatikan secara seksama tepi-tepi dari tiga benua tersebut”. Ide Ortelius ini mengemuka kembali di abad 19.
Akan tetapi barulah tahun 1912 teori ini dianggap sebagai teori ilmu yang lengkap—disebut sebagai teori Continental Drift (Pergeseran Benua)—yang diiperkenalkan oleh meteorolog Jerman berusia 32 tahun, Lothar Wagener dalam dua buah artikelnya. Dia menyatakan bahwa sekitar 200 juta tahun yang lalu, superbenua Pangaea mulai pecah. Menurut pendukung teori Wagener, Prof Alexander Du Toit dari Universitas Witwatersrand, Pangaea pecah menjadi dua bagian benua besar, yaitu Laurasia di utara hemisfer dan Gondwanaland di selatan hemisfer. Laurasia dan Gondwanaland kemudian terpecah-pecah menjadi benua-benua yang ada saat ini.Gambar atas: Pada tahun 1858, ahli geografi Antonio Snider-Pellegrini membuat peta yang menunjukkan bagaimana dua benua Amerika dan Afrika dulunya bersatu dan kemudian terpisah. Kiri: Benua yang dulunya bersatu sebelum terpisah. Kanan: Benua-benua setelah terpisah. (Sumber: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/avant.gif.)
Teori Wagener didasarkan sebagian atas kenyataan yang kasat mata bahwa bentuk Amerika Selatan sangat pas jika disatukan dengan benua Afrika, yang saat ini dipisahkan oleh samudera Atlantik.
Wagener juga tertarik pada keberadaan yang tidak biasa dari struktur geologi dan juga jenis fossil yang hampir sama yang ditemukan di tepi-tepi pantai dari Amerika Selatan dan Afrika. Menurutnya sangat sulit untuk membayangkan oganisme hidup atau binatang berenang menyeberangi samudera yang luas tersebut. Menurutnya spesies fossil yang identik di kedua tepi pantai dari kedua benua adalah bukti bahwa pada suatu waktu kedua benua pernah bersatu.
Menurut Wagener, pergeseran benua-benua setelah pecahnya Pangaea, tidak hanya menerangkan keberadaan fossil yang sama, tetapi juga bukti dari adanya perubahan iklim di beberapa benua. Sebagai contoh, penemuan dari fossil dari tanaman tropis yang terkandung dalam deposit batu bara di Antartika membawa pada kesimpulan bahwa benua yang tertutup es ini pernah sangat dekat dengan ekuator, daerah yang lebih hangat dimana tanaman hijau membutuhkan kelembaban untuk dapat tumbuh.
Teori Continental Drift (Pergeseran Benua) seharusnya menjadi cahaya yang memicu cara pandang tentang bumi kita. Akan tetapi pada masa Wagener, masyarakat ilmuwan sangat teguh pada pendirian bahwa bentuk benua-benua dan samudera yang membentuk permukaan bumi adalah bentuk yang tetap. Tidaklah mengejutkan, bahwa teorinya tidak diterima dengan baik, walau bukti-bukti ilmu pengetahuan yang ada saat itu cocok dengan teorinya.
Kelemahan yang
sangat fatal dari teori ini adalah tidak dapat menerangkan secara
mendasar gaya-gaya apa yang bisa menggerakkan benua-benua tersebut
saling menjauhi. Gaya seperti apa yang kiranya sangat kuat untuk
menggerakkan massa batuan padat yang sangat besar melalui jarak yang
sangat jauh tersebut. Wagener menerangkan dengan sangat sederhana bahwa
benua-benua bergerak di atas lantai/dasar samudera. Harold Jeffreys,
seorang ahli geofisika terkenal dari Inggris mengatakan adalah tidak
mungkin sebuah massa yang sangat besar tidak terpecah ketika bergerak di
lantai samudera.
Tidak terpengaruh dengan penolakan tersebut, Wagener membaktikan sisa hidupnya untuk membuktikan teorinya. Beliau meninggal kedinginan pada sebuah misi ke Greenland pada tahun 1930, akan tetapi kontroversi yang dia mulai terus memanas.
Setelah kematiannya, bukti-bukti baru dari ekplorasi dasar samudera/lautan dan studi lainnya memicu ketertarikan ulang atas teorinya. Hal ini secara luar biasa mengarahkan dimulainya pengembangan teori Plate Tectonic (Lempeng Tektonik).Penemuan teori Lempeng Tektonik adalah sama penting seperti penemuan struktur atom dalam fisika dan kimia, dan juga seperti penemuan teori evolusi dalam ilmu biologi. Walaupun teori Lempeng Tektonik telah diterima oleh sebagian besar komunitas ilmuwan, akan tetapi aspek-aspek teorinya masih terus diperdebatkan. Ironisnya, jawaban atas pertanyaan yang sama yang ditujukan terhadap teori Wagener yakni gaya apa yang menggerakkan lempeng belum terjawab. Ilmuwan juga berdebat apakah lempeng tektonik juga terjadi pada awal sejarah bumi dan apakah juga proses seperti ini terjadi di planet lainnya di tata surya.
Lempeng tektonik tidaklah bergerak secara acak di permukaan bumi; lempeng-lempeng tersebut pastilah digerakkan oleh gaya-gaya yang belum diketahui. Walaupun para ilmuwan belum bisa menggambarkan dan mengerti gaya-gaya tersebut secara pasti, umumnya mereka percaya gaya-gaya relatif dangkal yang menggerakkan pelat litosfer adalah merupakan pasangan dari gaya-gaya yang berasal dari kedalaman bumi.
Apa yang Menggerakkan Lempeng?
Dari bukti-bukti geofisika, gempa, dan percobaan laboratorium, para ilmuwan secara umum setuju dengan teori Harry Hess yang menyatakan bahwa gaya yang menggerakkan lempeng adalah gerakan lambat mantel yang panas dan lunak yang berada tepat di bawah lempeng-lempeng. Ide ini pertama sekali ditemukan oleh geologis Inggris, Arthur Holmes pada tahun 1930, dan kemudian mengilhami Harry Hess untuk berpikir tentang pergerakan dasar samudera.Holmes berspekulasi bahwa gerakan melingkar dari mantel yang mendukung benua-benua mirip demgan sabuk konveyor. Akan tetapi, pada masa Wagener mengusulkan teori Pergeseran Benua (Continental drift), kebanyakan ilmuwan masih percaya bahwa bumi terdiri dari material padat dan tidak bergerak.
Sekarang, pengetahuan kita lebih baik. Pada tahun 1968, J. Tuzo Wilson mengatakan dengan sangat jelas, “Bumi, – alih-alih kelihatan seperti patung yang diam-, adalah benda yang hidup dan mobil”. Permukaan dan interior terus bergerak. Di bawah lempeng litosfer, pada kedalaman tertentu mantel bumi meleleh dan dapat mengalir, meskipun lambat, sebagai reaksi terhadap gaya-gaya tunak yang diderita untuk jangka waktu yang lama. Layaknya materi padat lain seperti baja, jika terekspos terhadap panas dan tekanan, dan bisa menjadi melunak dan berubah bentuk, demikian juga yang terjadi dengan dengan batuan padat dalam mantel bumi ketika mengalami panas dan tekanan di dalam interior bumi dalam jangka jutaan tahun.
Atas: Gambar konseptual asumsi sel konveksi di dalam mantel. Di kedalam 700 km mantel bumi, lempeng yang tertekan ke dalam mantel akan melunak dan meleleh, dan kehilangan bentuknya. Bawah: Sketsa yang menunjukkan sel konveksi dapat dilihat waktu mendidihkan air atau sup. Analogi ini tentu saja tidak memperhitungkan perbedaan yang sangat jauh dalam ukuran dan rasio aliran dari sel-sel tersebut.
Batuan di bawah lempeng yang kaku dipercaya bergerak melingkar seperti gerakan air atau soup ketika dipanaskan hingga mendidih. Soup yang panas naik ke permukaan, menyebar hingga turun panasnya, dan akibatnya bergerak lagi ke bawah, dan setelah memanas, naik lagi ke permukaan. Proses ini terjadi berulang-ulang dan ilmuwan menyebutnya sel konveksi atau aliran konveksi. Jika aliran konveksi di dalam pot mudah dilihat dan diteliti, proses yang sama di dalam interior bumi sulit untuk diperlihatkan. Kita mengetahui bahwa konveksi di dalam bumi berlangsung sangat, sangat lambat dibanding proses mendidihkan soup, beberapa pertanyaan tidak terjawab muncul: Berapa sel konveksi yang terjadi? Dimana dan bagaimana munculnya? Bagaimana strukturnya?
Konveksi tak akan terjadi tanpa ada sumber panas. Panas di dalam bumi datang dari dua sumber: uraian radio-aktif dan sisa-sisa panas. Penguraian radio-aktif, proses spontan yang dipakai sebagai ”jam isotop” untuk menghitung umur batuan, akan mengeluarkan energi dalam bentuk panas ketika inti sel dari sebuah isotop (parent) kehilangan partikel-partikel untuk membentuk sebuah isotop baru (daughter). Panas ini dengan lambat berpindah ke permukaan bumi.
Sisa-sisa panas (residual heat) adalah energi gravitasi yang tertinggal pada masa-masa pembentukan bumi sekitar 4,6 milyar tahun yang lalu. Bagaimana dan mengapa pelepasan panas interior dan menjadi terkonsentrasi di daerah tertentu untuk menghasilkam sel konveksi tetap menjadi misteri.
Hingga pada tahun 1990, penjelasan yang diterima untuk jawaban apa yang menggerakkan lempeng tektonik menekankan konveksi di mantel, dan kebanyakan ilmuwan tentang bumi percaya bahwa pergerakan dasar samudera adalah mekanisme primer. Material dingin dan padat terkonveksi ke bawah dan memanas, sedang material ringan naik karena gravitasi; pergerakan material ini adalah bagian penting dari konveksi. Para ilmuwan menganggap intrusi magma ke bubungan menambah gaya-gaya konveksi dan ikut mendorong dan memelihara pergerakan lempeng.Karenanya, proses subduksi dianggap mekanisme sekunder, konsekuensi logis dari pergerakan dasar samudera.
Akan tetapi saat ini keadaan seolah berbalik. Ilmuwan lebih condong ke pemikiran bahwa proses subduksi lebih penting dibanding pergerakan dasar samudera. Professor Seiya Ueda (Universitas Tokai, Jepang), seorang pakar terkemuka dunia di bidang lempeng tektonik, menyimpulkan dalam sebuah seminar pada tahun 1994 bahwa “ subduksi….memainkan peranan yang sangat fundamental dalam pembentukan fitur permukaan bumi” dan “menjalankan mesin lempeng tektonik”. Tenggelamnya lempeng samudera yang dingin dan lebih padat akibat gravitasi ke dalam zona subduksi – menarik keseluruhan sisa lempeng—saat ini dianggap sebagai gaya penggerak lempeng tektonik.
Kita telah mengetahui gaya-gaya yang bekerja pada kedalaman interior bumi menggerakkan lempeng, akan tetapi kita mungkin tidak akan mengerti tentang detailnya. Saat ini, belum ada usulan mekanisme yang menjelaskan faktor-faktor pergerakan lempeng; dikarenakan gaya-gaya ini terkubur di sangat jauh di dalam bumi, dan tidak ada mekanisme yang dapat menguji secara langsung. Fakta bahwa lempeng tektonik sudah bergerak di masa lalu dan terus bergerak hingga hari ini sudah tidak diperdebatkan lagi, akan tetapi rincian mengapa dan bagaimana mereka bergerak akan terus menjadi tantangan bagi para ilmuwan di masa depan.
Sumber: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/unanswered.html#anchor19928310
Bagaimana lempeng bergerak dan dan
hubungannya dengan aktivitas gempa semakin dipahami oleh para ilmuwan.
Hampir semua pergerakan tersebut terjadi di sepanjang zona tipis di
antara pertemuan lempeng-lempeng dimana hasil dari gaya-gaya tektonik
kelihatan dengan jelas.
Ada empat tipe pertemuan lempeng:
- Pertemuan divergen: pertemuan dimana kulit/kerak bumi yang baru terbentuk ketika lempeng yang berdekatan saling menjauhi.
- Pertemuan konvergen: pertemuan dimana lapisan kulit bumi hancur ketika sebuah lempeng menujam ke bawah lempeng lainnya.
- Pertemuan transformasi: pertemuan dimana tidak ada kulit bumi yang terbentuk atau dihancurkan, karena lempeng-lempeng bergesekan satu sama lain secara horisontal.
- Zona-zona perbatasan antar lempeng: sabuk lebar dimana pertemuan-pertemuan tidak secara jelas didefenisikan dan interaksi antar lempeng tidak jelas.
Pertemuan Divergen
Pertemuan divergen terjadi di sepanjang
pusat pergerakan dimana kulit baru yang tercipta dari magma mantel bumi
yang naik ke atas terbentuk di saat lempeng-lempeng bergerak saling
menjauhi. Bayangkan dua sabuk konveyor raksasa yang saling berhadapan
dan kemudian bergerak ke arah yang berlawanan sambil membawa kulit baru
lautan yang baru terbentuk menjauhi puncak bubungan.
Pertemuan divergen yang paling terkenal
adalah bubungan Atlantik-tengah (Mid-Atlantic Ridge). Rangkaian
pegunungan bawah air ini, yang dimulai dari Samudera Arktik menerus ke
ujung selatan Afrika, bukan satu-satunya sistem bubungan
tengah-samudera yang mengitari bumi. Rasio penyebaran sepajang bubungan
Atlantik-tengah adalah sekitar 2,5 cm/tahun, atau 25 kilo meter dalam
satu juta tahun. Rasio ini mungkin kecil bagi manusia, akan tetapi
karena prosesnya sudah berlangsung jutaan tahun, pergerakan yang
dihasilkannya sudah mencapai ribuan kilometer. Penyebaran dasar lautan
yang telah terjadi sekitar 100-200 juta tahun telah mengakibatkan
terbentuknya samudera Atlantik yang kita kenal saat ini yang asalnya
adalah sebuah jalur masuk air yang mungil di antara benua Eropa, Afrika
dan Amerika.
Negara vulkanik Islandia, yang berada
tepat di belahan bubungan Atlantik-tengah, adalah sebuah laboratorium
darat alami bagi para ilmuwan untuk mempelajari proses dan
kejadian-kejadian yang juga terjadi di bawah laut di sepanjang sebaran
bubungan. Islandia terbelah di sepanjang pusat pergerakan antara
lempeng Amerika Utara dan lempeng Eurasia, dimana Amerika Utara
bergerak relatif ke arah barat dan Eurasia ke arah timur.
Peta yang menunjukkan terbelahnya
Islandia di sepanjang Bubungan Atlantik Tengah yang memisahkan lempeng
Amerika Utara dengan Lempeng Eurasia. Peta juga menunjukkan ibukota
Islandia, Reykjavik, area Thingvellir, dan lokasi-lokasi vulkanik aktif
(segitiga merah), termasuk Krafla.
Konsekuensi pergerakan lempeng akan
terlihat jelas di sekitar daerah vulkanik Krafla, sebuah daerah di
timur-laut Islandia. Disini retakan yang ada semakin membesar dan
retakan baru timbul dalam beberapa bulan. Dari tahun 1975 hingga 1984
tidak terbilang kejadian permukaan retak sepanjang zona retakan Krafla.
Beberapa retak permukaan ini didampingi oleh aktivitas vulkanik;
permukaan tanah bisa naik hingga 1-2 m sebelum akhirnya runtuh kembali,
menyiratkan erupsi yang bakal terjadi. Antara tahun 1975 hingga 1984
pergeseran yang terjadi akibat retakan tersebut sekitar 7m.
Di timur Afrika, proses penyebaran telah
memisahkan Arab Saudi menjauhi Benua Afrika, dan menciptakan Laut
Merah. Pemisahaan pada pertemuan lempeng Afrika dan Lempeng Arabia
disebut Simpang Tiga (Triple Junction) oleh para geolog, dimana Laut
Merah bertemu dengan Teluk Aden. Pusat Penyebaran yang baru mungkin
saja terbentuk di bawah Afrika di sepanjang Zona Retak Timur Afrika.
Jika kulit benua tertarik melebihi kapasitasnya, retak akibat tarik akan
muncul di permukaan bumi. Magma akan naik melalui retakan yang melebar,
kadang meletus dan membentuk vulkanik. Naiknya magma, apakah meletus
atau tidak, akan menaikkan tegangan di kulit bumi dan akan mengakibatkan
tambahan retakan dan pada akhirnya menciptakan zona retakan di
permukaan.
Afrika Timur mungkin saja menjadi
Samudera besar berikutnya yang ada di bumi. Interaksi lempeng di daerah
tersebut akan memberikan kesempatan kepada ilmuwan untuk mempelajari
bagaimana Samudera Atlantik terjadi sekita 200 juta tahun yang lalu.
Jika penyebaran terus berlanjut, para geolog percaya, tiga lempeng yang
bertemu akan terpisah sempurna. Air dari Samudera Hindia akan membanjiri
daerah penyebaran tersebut dan akhirnya akan terbentuk sebuah pulau
besar di ujung paling timur dari Afrika.
Pertemuan Konvergen
Ukuran dari bumi tidak berubah
signifikan selama 600 juta tahun terakhir, dan sepertinya tidak berubah
sejak terbentuknya sekitar 4,6 milyar tahun yang lalu. Tidak adanya
perubahan ukuran ini menyiratkan adanya penghancuran kulit bumi dengan
rasio yang sama dengan terbentuknya kulit baru. Penghancuran (daur
ulang) dari kulit bumi ini terjadi di pertemuan lempeng dimana lempeng
bergerak mendekati satu sama lain, dan kadang-kadang sebuah pelat
tenggelam atau menujam di bawah lempeng lainnya. Lokasi dimana penujaman
terjadi disebut zona subduksi.
Tipe konvergensi—disebut juga tabrakan
lambat—tergantung dari jenis litosfer yang terlibat. Konvergensi dapat
terjadi antar lempeng samudera dengan lempeng benua yang sangat besar.
Konvergensi Samudera-benua
Seandainya secara magis kita bisa
mengeringkan Samudera Pasifik, kita akan melihat penampakan yang luar
biasa—sejumlah palung tipis yang panjang, membujur ribuan kilometer
dengan kedalaman 8 hingga 10 km menujam masuk ke dalam dasar samudera.
Palung-palung adalah bagian terdalam dari dasar samudera dan tercipta
akibat subduksi (penujaman).
Lempeng Nazca didorong dan menujam ke
bagian bawah lempeng benua dari lempeng Amerika Selatan. Pada
gilirannya, daerah tubrukan pada sisi lempeng Amerika Selatan naik,
menciptakan peguungan Andes, tulang punggung benua tersebut. Gempa kuat
dan merusak dan naiknya ketinggian pegunungan secara cepat sangat sering
terjadi disini. Walaupun lempeng Nazca secara keseluruhan menujam
dengan sangat lambat ke palung, bagian paling dalam dari lempeng yang
menujam bisa terpecah ke bagian yang lebih kecil dan diam terkunci untuk
periode yang lama. Apabila bagian yang terkunci tersebut kemudian
terlepas akibat gerakan lempeng, akan mengakibatkan gempa yang sangat
besar. Gempa-gempa tersebut sering diiringi dengan kenaikan dataran
sebesar beberapa meter.
Pada Juli 1994, gempa dengan kekuatan
8.3 SR terjadi sekitar 320 km di arah timur laut La Paz, Bolivia.
Kedalaman gempa 636 km. Gempa yang terjadi di zona subduksi lempeng
Amerika Selatan dan Nazca, adalah gempa paling dalam yang pernah direkam
di Amerika Selatan. Akan tetapi meski gempa ini dapat dirasakan di
Toronto, Canada, kerusakan yang ditimbulkan sangat kecil diakibatkan
oleh kedalamannya.
Cincin Api
Konvergensi Samudera-Benua juga
memelihara vulkanik aktif bumi, seperti terlihat di Pegunungan Andes.
Aktivitas erupsi berkaitan nyata dengan subduksi.
Konvergensi Samudera-Samudera
Sama dengan kovergensi samudera-benua,
ketika dua lempeng samudera bertemu, salah satu pada umumnya akan
menujak ke bagian lainnya dan akibatnya palung terbentuk. Contohnya
adalah Palung Mariana (yang sejajar dengan kepulauan Mariana), yang
terbentuk akibat konvergensi gerakan cepat lempeng Pasifik dengan
gerakan lambat lempeng Filipina. The Challenger Deep di selatan palung
Mariana terbenam ke dalam interior bumi (hampir 11.000 m). Bandingkan
dengan Gunung Everest, gunung tertinggi di bumi, yang tingginya dari
permukaan laut sekitar 8.854 m.
Proses subduksi pada kovergensi lempeng
samudera-samudera juga menghasilkan formasi vulkanik. Selama jutaan
tahun, erupsi lava dan bongkahan vulkanik terjebak di dasar samudera
hingga vulkanik bawah laut naik di atas permukaan laut untuk membentuk
kepulauan vulkanik. Volkano tersebut biasanya membentuk rantaian yang
disebut busur kepulauan (island arc). Seperti namanya, busur kepulauan
volkano, yang hampir sejajar dengan palung, biasa akan berbentuk kurva.
Palung adalah kunci untuk mengetahui terbentuknya busur kepulauan
seperti kepulauan Mariana dan Aleutian dan mengapa kepulauan tersebut
banyak mengalami gempa yang kuat. Magma yang membentuk busur kepulauan
diproduksi oleh bagian lempeng menujam yang leleh dan/atau bagian atas
listosfer samudera. Lempeng yang menujam merupakan sumber tegangan
ketika dua lempeng saling berinteraksi, dan pada akhirnya menimbulkan
gempa sedang dan kuat.
Konvergensi Benua-benua.
Rangakaian pegunungan Himalaya secara
dramatis dan spektakuler memperlihatkan konsekuensi dari lempeng
tektonik. Ketika dua lempeng benua bertemu, tidak akan ada yang menujam
disebabkan batuan benua yang relatif ringan, dan seperti tabrakan dua
gunung es, gerakan ke bawah akan tertahan. Biasanya, kulit bumi
cenderung menggelembung dan didorong ke atas atau ke samping.
Tabrakan India dengan Asia sekitar 50
juta tahun yang lalu menyebabkan lempeng Eurasia melipat di atas lempeng
India. Setelah tabrakan, konvergensi dari dua lempeng tersebut terus
menekan lipatan hingga terbetuknya Pegunungan Himalaya dan Dataran
tinggi Tibet yang kita kenal saat ini. Kebanyakan pertumbuhannya terjadi
selama 10 juta tahun belakangan.
tas: Tabrakan antara lempeng India
dan Eurasia mendorong Himalaya dan dataran Tibet.
Himalaya, berpuncak hingga ketinggian
8.854 m dari permukaan laut adalah pegunungan tertinggi di bumi, dan
dataran Tibet dengan rata-rata tinggi 4.600 m, lebih tinggi dibandingkan
semua puncak di pegunungan Alpen (kecuali Puncak Mont Blanc dan Monte
Rosa).
A Bawah: Potongan yang
dibuat kartunis yang menunjukkan pertemuan kedua lempeng sebelum dan
sesudah tabrakan. Titik referens (busur sangkar kecil) menunjukkan
jumlah kenaikan titik imaginer di kulit bumi pada saat proses
pembentukan pegunungan.
Himalaya: Tabrakan dua benua
Pegunungan Himalaya & Dataran Tinggi Tibet
Pertemuan Transformasi.
Zona pertemuan dua pelat yang bergesekan
secara horisontal satu sama lain disebut pertemuan
patahan-transformasi, atau secara sederhana disebut pertemuan
transformasi. Konsep patahan-transformasi diusulkan oleh geofisikawan
Kanada, J. Tuzo Wilson, yang menyatakan bahwa patahan besar atau zona
retak menghubungkan dua pusat pergerakan (pertemuan lempeng divergen)
atau, sangat jarang, pertemuan palung-palung (pertemuan lempeng
konvergen). Kebanyakan patahan-transformasi terjadi di dasar samudera.
Biasanya terjadi untuk menyeimbangkan pergerakan bubungan yang aktif,
menghasilkan lempeng zig-zag, dan umumnya sering mengalami gempa-gempa
dangkal. Akan tetapi sebagian kecil berada di daratan, seperti Patahan
San Andreas di Amerika. Patahan transformasi ini menghubungkan lempeng
naik Pasifik Timur , pertemuan divergen ke arah selatan, dengan lempeng
Gorda Selatan – Juan de Fuca—Explorer Ridge, sebuah pertemuan divergen
yang lain.
Zona retakan Blanco, Mendocin,
Murray, dan Molokai adalah beberapa dari banyak zona retak (patahan
transformasi) yang menggurat dasar samudera dan menggeser bubungan. San
Andreas adalah patahan transform yang terlihat di dataran.
Zona patahan San Andreas, dengan panjang
sekitar 1300 km dengan lebar puluhan km, memotong dua pertiga dari
panjang California. Di sepanjang patahan, sudah berlangsung 10 juta
tahun, lempeng Pasifik bergeser horisontal melewati lempeng Amerika
Utara, dengan rasio 5cm/tahun. Daratan di sisi barat patahan (sisi
lempeng Pasifik) bergerak ke arah barat laut daratan di sisi timur dari
patahan (lempeng Amerika Utara).
Zona pertemuan lempeng
Tidak semua pertemuan atau batas-batas
antar-lempeng sesederhana seperti yang dilukiskan di atas. Di beberapa
tempat, pertemuan antar lempeng tidak bisa secara jelas ditentukan
dikarenakan deformasi gerakan yang terjadi menerus di sabuk yang sangat
lebar (disebut juga zona pertemuan-lempeng). Salah satu zona tersebut
adalah daerah di antara lempeng Eurasia dan lempeng Afrika yang
didalamnya terdapat bagian-bagian kecil dari lempeng (micro plates).
Karena zona perbatasan lempeng terdiri atas dua lempeng besar dan bisa
saja terdapat di antaranya satu atau dua lempeng kecil, zona ini
biasanya memiliki struktur geologi dan pola gempa yang kompleks.
Rasio gerakan
Berdasarkan rekaman magnetik dasar
lautan, ilmuwan mengetahui perkiraan dari setiap pembalikan magnetik,
sehingga pada akhirnya dapat menghitung pergerakan yang terjadi selama
jangka waktu tertentu. Ridge Arktik memiliki rasio pergerakan yang
sangat rendah ( kurang dai 2,5 cm/tahun) dan Lempeng Pasifik Selatan di
sisi barat Chili, memiliki rasio pergerakan yang sangat cepat (lebih
dari 15 cm/tahun)
Perdebatan panas tentang Pergeseran Benua (Continental Drift) terus
berlangsung setelah meninggalnya Wagener dan secara berangsur teori ini
hampir dilupakan karena dianggap tidak biasa, absurd, dan tidak mungkin
terjadi.
Akan tetapi, di awal tahun 1950-an banyaknya bukti baru yang timbul
membangkitkan kembali debat tentang teori yang provokatif dari Wagener
dan implikasi-implikasinya. Secara umum, terdapat perkembangan
pengetahuan yang mendukung formulasi dari Teori Lempeng Tektonik:
- Fakta kekasaran dasar samudera dan umur muda dari dari dasar samudera tersebut.
- konfirmasi adanya pengulangan pembalikan medan magnetik geologis di masa lalu.
- Munculnya Hipotesa pergerakan-dasar samudera dan kaitannya dengan daur ulang kulit/kerak samudera.
- dokumentasi yang akurat yang memperlihatkan lokasi kejadian gempa-gempa dan kejadian vulkanik di dunia terkonsentrasi di sepanjang palung samudera dan rangkaian pegunungan bawah laut.
Pemetaan Dasar Samudera.
Sekitar dua pertiga dari permukaan bumi berada di bawah samudera.
Sebelum abad 19 dalamnya laut banyak diperdebatkan, bahkan dipercayai
dasar samudera relatif datar dan sama sekali tidak punya fitur yang
lain. Akan tetapi pada awal abad 16 beberapa navigator pemberani –dengan
menggunakan peralatan tangan-, telah menemukan bahwa kedalaman samudera
terbuka ternyata berbeda sangat signifikan, yang menunjukkan bahwa
dasar samudera tidaklah datar seperti yang dianggap selama ini.
Eksplorasi samudera selanjutnya meningkatkan pengetahuan kita terhadap
dasar samudera. Kita jadi mengetahui bahwa semua peristiwa geologi di
daratan terkait secara langsung atau tidak langsung dengan dinamika yang
terjadi di dasar samudera.
Pengukuran samudera secara ‘modern’
sangat meningkat di abad 19,
dimana pengukuran laut dalam (bathymetric survey) rutin dilakukan di
samudera Atlantik dan Karibia. Pada tahun 1855, pelaut militer Amerika,
Letnan Matthew Maury memperlihatkan dalam diagram yang diterbitkannnya
adanya pegunungan bawah laut di tengah Atlantik. Hal ini kemudian
dibenarkan oleh kapal survey yang meletakkan kabel telegraf di samudera
Atlantik.
Penajaman gambaran dasar samudera yang
lebih cepat terjadi setelah Perang Dunia I (1914-1918), dimana
peralatan pantulan-suara – sistem sonar primitif—mulai dipakai untuk
pengukuran dalamnya samudera. Grafik yang dihasilkan dari pengukuran
memperlihatkan bahwa dasar samudera jauh lebih kasar dari yang
sebelumnya dipikirkan. Alat tersebut juga secara jelas memperlihatkan
kesinambungan dan kekasaran dari rangkaian pegunungan bawah laut di
Atlantik tengah (yang kemudian disebut sebagai Mid-Atlantic Ridge atau
Bubungan Mid-Atlantik), seperti juga direkomendasikan pada awal survey
bathymetrik.
Global Mid Ocen Ridge (Bubungan Global Tengah Samudera). Source: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/Fig5.gif
Pada tahun 1947, para seismolog dari kapal penelitian Amerika, Atlantis, menemukan bahwa tebal dari sedimen pada dasar samudera Atlantik tidak setebal yang diperkirakan sebelumnya. Sebelumnya ilmuwan meyakini bahwa umur dari samudera sudah 4 milyar tahun, jadi tumpukan sedimen seharusnya sudah sangat tebal. Lalu, kenapa terdapat sangat sedikit akumulasi dari batuan sedimen dan bongkahannya di dasar samudera? Jawaban atas pertanyaan ini terjawab setelah eksplorasi lebih jauh, dan akan membuktikan pengembangan vital dari konsep Lempeng Tektonik.
Peta Topografi komputer dari Bubungan Tengah Samudera. Source: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/topomap.gif
Pada 1950 an, eksplorasi samudera semakin banyak. Data-data
yang dikumpulkan dari penelitian berbagai negara menyimpulkan bahwa
rangkaian pegunungan besar di dasar samudera secara virtual mengelilingi
bumi. Disebut sebagai Bubungan Tengah-Samudera (Global Mid-Ocean
Ridge), rangkaian pegunungan yang luar biasa ini—panjangnya lebih dari
50.000 km, dan memiliki 800 km ukuran melintang—berbaris meliku di
antara benua-benua, seperti jahitan pada bola bisbol dan menjulang
tinggi hingga 4.500 m dari dasar samudera. Walau tersembunyi di bawah
permukaan samudera, bubungan tengah-samudera global adalah fitur
topografi yang paling terkenal di bumi kita ini.
Lajur Magnetik dan Polaritas Berlawanan
Berawal di tahun 1950 an, ilmuwan yang memakai peralatan magnetis
(magnetometer) yang diadopsi dari peralatan pesawat tempur untuk deteksi
kapal selam pada Perang Dunia II, menemukan keganjilan variasi magnetik
disepanjang dasar samudera. Penemuan ini, -tidak diharapkan
sebelumnya-, tidaklah sepenuhnya mengejutkan karena sudah diketahui
bahwa basalt—batuan vulkanik yang mengandung banyak besi yang merupakan
unsur pembentuk dasar samudera—mengandung mineral magnetik yang sangat
kuat (magnetit) yang dapat membelokkan pembacaan kompas.
Model teoretis dari formasi jalur magnetik.
Lapisan luar terbaru dari dasar samudera terbentuk terus menerus di
puncak dari Bubungan tengah-samudera, mendingin, dan menua seiring
menjauhnya dari puncak ridge akibat pergerakan dasar samudera (lihat
teks) a. pergerakan sekitar 5 juta tahun yang lalu; b. pergerakan
sekitar 2-3 juta tahun lalu; dan c. pergerakan saat ini. Source:
http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/Fig7.gif
Di awal abad 20, paleomagnetis (ilmuwan yang mendalami medan
magnetik purba) — seperti Bernard Brunhes di Perancis (1906) dan
Motonari Mutuyama di Jepang (1920)—memperkenalkan bahwa sifat magnetik
batuan pada dasarnya terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama, adalah
kelompok kutub normal, yang mempunya karasteristik kandungan mineral
yang memiliki kutub yang sama dengan kutub magnet bumi saat ini. Jadi
“jarum kompas” dari sisi utara dari batuan menunjuk ke arah utara magnet
bumi.
Kelompok kedua adalah yang memiliki kutub berlawanan, yang
ditunjukkan dari arah kutub mineral yang berlawanan dengan medan
magnetik bumi saat ini. Dalam hal ini, “jarum kompas” mineral dari
batuan menunjuk selatan kutub bumi. Bagaimana hal ini terjadi?
Jawabannya ada pada magnetit pada batuan vulkanik. Serbuk magnetik
–berperilaku sebagai magnet kecil—bisa mensejajarkan diri dengan arah
dari magnet bumi. Ketika magma (batuan cair panas yang mengandung
mineral dan gas) mendingin membentuk batuan vulkanik padat , garis
magnetik dari serbuk ”terkunci”, merekam arah magnet bumi atau polaritas
(normal atau terbalik) pada saat pendinginan.
Pelajuran Magnetik di barat laut Pasifik. Gambar memperlihatkan peta dasar laut jika air bisa dihilangkan. Garis putus-putus hitam adalah patahan transform. http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/Fig6.gif
Pemetaan dasar samudera yang semakin banyak dan lebih banyak lagi
selama tahun 1950 an, menunjukkan variasi magnetik tidaklah acak atau
terisolasi, akan tetapi memiliki pola yang jelas. Ketika pola magnetik
ini dipetakan dalam area yang lebar, pola zebra-cross terlihat
pada dasar samudera. Lajur polaritas magnetis bergantian dari batuan
terdapat pada dua sisi dari bubungan tengah-lautan: satu lajur dengan
polaritas normal dan lajur yang bersebelahan memiliki polaritas
berlawanan. Pola keseluruhan, yang ditunjukkan dengan adanya polaritas
normal dan terbalik secara bergantian, dikenal sebagai pelajuran
magnetik.
Pergerakan Dasar Samudera dan Daur Ulang Kulit/kerak Samudera
Penemuan sebaran magnetik pada akhirnya menimbulkan pertanyaan:
Bagaimana lajur magnetik terbentuk? Dan mengapa lajur tersebut simetris
terhadap puncak dari bubungan tengah-samudera? Pertanyaan ini tidak akan
terjawab tanpa mengetahui arti penting ridges ini.
Pada tahun 1961, para ilmuwan mulai berteori bahwa bubungan
tengah-samudera secara struktur ditandai zona yang paling lemah yang
memanjang sepanjang puncak bubungan dimana dasar samudera terbelah dalam
dua bagian. Kulit terbaru dasar samudera terbentuk dari magma baru yang
keluar dari dalam bumi yang naik dengan mudah disepanjang puncak
bubungan. Proses yang disebut pergerakan dasar samudera, sudah terjadi sekitar jutaan tahun dan telah membentuk bubungan tengah-samudera sepanjang 50.000 km.
Hipotesa ini didukung oleh beberapa bukti: (1) batuan di dekat puncak
bubungan berumur lebih muda, dan semakin jauh dari puncak bubungan,
batuan berumur semakin tua. (2) batuan yang umurnya paling muda pada
puncak bubungan tengah-samudera mempunyai polaritas yang sama dengan
polaritas saat ini dari bumi dan (3) lajur-lajur magnetik sejajar dengan
puncak bubungan berganti-ganti dengan pola: normal-berlawanan-normal ,
dst. Dengan penjelasan pola zebracross lajur magnetik dan
pembentukan sistem bubungan tengah-samudera, hipotesa pergerakan dasar
samudera secara cepat memicu perkembangan teori lempeng. Lebih jauh,
kulit atau lapisan luar dasar samudera menjadi semacam pita rekaman
sejarah dari terbaliknya medan magnet bumi.
Bukti tambahan dari pergerakan dasar samudera datang dari sumber yang
tidak diharapkan: eksplorasi minyak. Setelah perang dunia kedua
persediaan minyak bumi di dataran benua berkurang cepat dan pencarian
cadangan berpindah ke eksplorasi samudera. Untuk melakukannya perusahaan
minyak bumi memakai kapal yang diperlengkapi denga alat bor yang
mempunyai kapasitas memasukkan pipa bor hingga kilometeran dalamnya.
Ide ini mendasari dibuatnya kapal penelitian bernama Glomar Challenger,
yang didesain secara khusus untuk penelitian geologi, termasuk juga
mengumpulkan contoh material dari dasar samudera yang dalam. Pada tahun
1968, kapal tersebut melakukan penelitian satu tahun, melintasi bubungan
tengah-samudera di antara Amerika Selatan dan Afrika dan mengambil
contoh material di tempat yang ditentukan. Bukti hipotesa pergerakan
dasar samudera diberikan secara jelas ketika umur contoh ditaksir dengan
studi paleontologik dan studi umur isotop yang dikandung contoh
material.
Glomar Challenger and JOIDES Resolution [130 k]
Konsekuensi nyata dari pergerakan dasar samudera adalah bahwa kulit
baru dari dasar samudera sedang, dan akan secara terus menerus terbentuk
sepanjang bubungan samudera.
Hal ini membuat kegirangan beberapa ilmuwan yang meyakini bahwa
pergeseran benua merupakan akibat dari bumi yang semakin membesar sejak
awal pembentukan bumi. Akan tetapi hipotesa yang dikenal dengan
“Expanded Earth” (Pembengkakan Bumi) tidak memberikan bukti geologis
mekanisme apa yang bisa menghasilkan pengembangangan yang luar biasa.
Kebanyakan geolog percaya, sejak lahir sekitar 4,6 milyar tahun yang
lalu, ukuran bumi berubah sangat sedikit. Hal ini menimbulkan pertanyaan
baru: bagaimana kulit baru bumi bisa terbentuk secara terus menerus
sepanjang bubungan samudera tanpa menambah ukuran bumi?
Harry H. Hess, seorang geologis dari Princeton University dan Robert S
Dietz dari Survey Pantai dan Geodesi Amerika tertarik dengan
pertanyaan tersebut. Mereka berdua adalah sedikit orang yang
betul-betul mengerti implikasi pergerakan dasar samudera. Jika kulit
samudera bertambah di sepanjang bubungan samudera, Hess berkata, pada
suatu tempat pasti terjadi penyusutan. Beliau menyatakan bahwa
kulit/dasar samudera terus-menerus terus bergerak menjauhi bubungan
seperti gerakan sabuk konveyor.
Jutaan tahun kemudian, kulit samudera/dasar samudera pada akhirnya
akan menyusup ke bawah palung samudera – yaitu ngarai tipis yang sangat
dalam sepanjang batas dataran Samudera Pasifik. Menurut Hess, Samudera
Atlantik terus bertambah, di pihak lainnya Samudera Pasifik menyusut.
Ketika kulit/dasar samudera yang lebih tua ditelan di palung samudera,
kulit/dasar samudera yang baru terbentuk di sepanjang bubungan. Jadi,
dasar Samudera sebenarnya di daur ulang, yaitu pembentukan kulit baru
bersamaan terjadinya dengan penghancuran kulit yang lebih tua. Hal ini
menerangkan: (1) ukuran bumi tidak bertambah, (2) mengapa timbunan
sedimen sangat sedikit ditemukan di dasar samudera, dan (3) mengapa umur
batuan samudera lebih muda dibandingkan dengan umur batuan
benua/daratan.
Konsentrasi Gempa-gempa
Peningkatan kualitas instrumen gempa dan semakin mendunianya
pemakaian seismograf selama abad ke-20 membantu ilmuwan untuk
menyimpulkan bahwa gempa-gempa cenderung terkonsentrasi di lokasi
tertentu, dan lokasi itu adalah di sepanjang palung samudera dan di
sebaran bubungan. Pada akhir 1920 an para seismolog mulai
mengidentifikasi beberapa zona gempa sejajar dengan palung yang bersudut
inklinasi 40-60 derajad dari sumbu horisontal dan menujam hingga
beberapa ratus kilometer ke dalam bumi.
Zona ini lazim disebut dengan Zona Wadati-Benioff, atau Zona Benioff,
untuk menghormati Kiyoo Wadati dan Hugo Benioff , dua orang seimolog
yang pertama sekali menemukannya.
Sebaran zona-zona gempa. Source: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/earthquake_concen.gif
Akan tetapi apa arti hubungan gempa-gempa dengan palung samudera dan bubungan?
Pengenalan hubungan tersebut menolong kita untuk memastikan
kebenaran hipotesa pergerakan dasar samudera dengan menunjukkan zona
yang diprediksi Hess: kulit/dasar baru samudera terbentuk di bubungan
dan zona dimana litosfer samudera menyusup kembali ke mantel bumi di
bawah palung.
Pendapat Ahli Abad 20-an VS Al-Qur'an
Pergerakan kerak Bumi ini diketemukan setelah penelitian geologi yang
dilakukan di awal abad ke-20. Para ilmuwan menjelaskan peristiwa ini
sebagaimana berikut:
''Kerak dan bagian terluar dari
magma, dengan ketebalan sekitar 100 km, terbagi atas lapisan-lapisan
yang disebut lempengan. Terdapat enam lempengan utama, dan beberapa
lempengan kecil. Menurut teori yang disebut lempeng tektonik,
lempengan-lempengan ini bergerak pada permukaan bumi, membawa benua dan
dasar lautan bersamanya. Pergerakan benua telah diukur dan berkecepatan 1
hingga 5 cm per tahun. Lempengan-lempengan tersebut terus-menerus
bergerak, dan menghasilkan perubahan pada geografi bumi secara perlahan.
Setiap tahun, misalnya, Samudera Atlantic menjadi sedikit lebih lebar.'' (Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F. Howe; General Science, Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 30)
Fakta
ilmiah ini, kata Harun Yahya, telah diungkapkan oleh kitab suci Alquran
sejak abad ke-7 M. ''Dalam sebuah ayat, kita diberitahu bahwa
gunung-gunung tidaklah diam sebagaimana yang tampak, akan tetapi mereka
terus-menerus bergerak,'' ungkap Harun Yahya.
Simak surah An-Naml [27] ayat 88, Allah SWT berfirman, "Dan
kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya,
padahal dia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah
yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Menurut Harun
Yahya, gerakan gunung-gunung itu disebabkan gerakan kerak bumi tempat
mereka berada. Kerak bumi ini seperti mengapung di atas lapisan magma
yang lebih rapat.
''Ada hal sangat penting yang perlu
dikemukakan di sini: dalam ayat tersebut Allah telah menyebut tentang
gerakan gunung sebagaimana mengapungnya perjalanan awan. Kini, Ilmuwan
modern juga menggunakan istilah "continental drift" atau "gerakan
mengapung dari benua" untuk gerakan ini,'' papar Harun Yahya.
Sumber :
http://strukturawam.wordpress.com
http://www.republika.co.id
http://www.keajaibanalquran.com
Foto Samudra Baru Afrika Benua Afrika Terbelah Dua Retakan Ethiopia
Sepanjang 60Km. Benua Afrika akan menjadi saksi lahirnya sebuah laut
yang nantinya diperkirakan akan menjadi samudera baru. Kesimpulan ini
diungkapkan oleh sejumlah peneliti dari Royal Society, kelompok ilmiah
asal London, Inggris.
Semua diawali dari munculnya keretakan tanah di kawasan Ethiopia tahun 2005. Retakan yang mencapai panjang 60 kilometer itu semakin melebar, mencapai 8 meter dalam 10 hari. Padahal, dalam kondisi normal, dibutuhkan waktu sekitar 230 tahun agar keretakan mencapai lebar 8 meter.
Para geolog, yang melakukan penelitian di Afar, sebuah kawasan terpencil di Ethiopia menyebutkan, retakan ini nantinya akan memecah benua Afrika menjadi dua bagian. Meski begitu, peneliti memperkirakan, terbelahnya benua Afrika ini akan terjadi dalam waktu 10 juta tahun ke depan.
“Ini merupakan hal yang luar biasa,” kata Dr Tim Wright, ketua tim peneliti, yang telah mengamati retakan di Afar selama 5 tahun terakhir, seperti dikutip dari TG Daily, 12 Desember 2010. “Benua ini kini terbelah tepat di bawah kaki kita,” ucapnya.
Retakan di kawasan tersebut disebabkan oleh dorongan bebatuan lunak yang panas, yang berasal jauh dari perut bumi. Besarnya daya dorongan tersebut membuat permukaan tanah di atasnya menjadi merekah.
Yang jadi masalah, sampai saat ini, letusan bawah tanah masih terus terjadi di kawasan itu dan pada akhirnya sepotong kawasan Afrika yakni sebagian Ethopia dan Somalia akan terlepas dari benua tersebut.
Potongan benua ini nantinya akan menjauh dan menyebabkan munculnya selat, laut, dan kemudian akan menjadi samudera.
Normalnya, perubahan yang terjadi pada permukaan Bumi nyaris tidak
kentara. Seumur hidup manusia terlalu singkat untuk menyaksikan sungai
berbelok arah, gunung bertambah tinggi, atau terbukanya lembah baru.
Akan tetapi, di Afar, dalam beberapa bulan muncul ratusan celah yang memisahkan dasar gurun. Di saat yang sama, ilmuwan mendapati kenaikan ketinggian magma dari dalam Bumi semakin mendekati permukaan tanah.
Akan tetapi, di Afar, dalam beberapa bulan muncul ratusan celah yang memisahkan dasar gurun. Di saat yang sama, ilmuwan mendapati kenaikan ketinggian magma dari dalam Bumi semakin mendekati permukaan tanah.
Magma ini nantinya akan membentuk basal yang menjadi dasar samudera.
Secara geologi, Seperti dikutip dari Spiegel, 13 Desember 2010, tak lama
kemudian air dari Laut Merah akan memenuhi kawasan yang turun tersebut.
Samudera akan lahir dan memecah Afrika.
Fenomena dramatis yang disaksikan Ayalew dan rekan-rekannya di gurun pasir Afar pada 26 September 2005 lalu merupakan bukti nyata proses itu. Terbukanya celah diikuti gempa bumi yang berlangsung terus menerus selama seminggu.
Fenomena dramatis yang disaksikan Ayalew dan rekan-rekannya di gurun pasir Afar pada 26 September 2005 lalu merupakan bukti nyata proses itu. Terbukanya celah diikuti gempa bumi yang berlangsung terus menerus selama seminggu.
Dalam beberapa bulan kemudian, ratusan celah lain muncul di tanah, menyebar di kawasan seluas sekitar 900 kilometer persegi. “Bumi tidak berhenti bergerak setelahnya,” kata Tim Wright, geofisikawan dari University of Oxford. “Tanah masih terus terbelah dan tenggelam. Gempa bumi kecil masih terus mengguncang kawasan itu,” ucapnya.
Retakan yang terjadi di AfrikaSegitiga Afar, yang memotong Ethiopia, Eritrea, dan Djibouti, merupakan retakan terbesar di Bumi. Di bawahnya, ada tiga lempeng tektonik di mana lempeng Afrika dan Arab semakin menjauh dengan kecepatan 1 sampai 2 sentimeter per tahun. Ketika dua lempeng bergerak menjauh, tanah di atasnya anjlok dan menyediakan ruang untuk menampung air dari Laut Merah.
Pergerakan Tektonik
Sumber:
http://www.eocommunity.com
http://www.carazone.net
http://teknologi.news.viva.co.id/
http://www.see.leeds.ac.uk/afar
http://kabarpagimu.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar