Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.
Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
- Kenaikan      muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah      pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini      saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di      Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun      menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993).      Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan      mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak      dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena      tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan      meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture      pun akan terancam dengan sendirinya.
 - Meluasnya      intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut      juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air      tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara      2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas      wilayah Jakarta Utara.
 - Gangguan      terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah      : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura      Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman      penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa,      Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat      Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan      budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta      hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi      lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi      pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah      nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan,      seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi      kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di      Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut      diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.
 - Terancam      berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil      yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan      muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh      25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.
 - Bagi      Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah      dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat      kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The      Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan      bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar      hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan      WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5      juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah      yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan      menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan      resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas      kelangkaan air bersih pada jangka panjang.
 
Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.
Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku.
Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :
- globalisasi      ekonomi dan implikasinya,
 - otonomi      daerah dan implikasinya,
 - penanganan      kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
 - pengembangan      kemaritiman/sumber daya kelautan,
 - pengembangan      kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
 - daur      ulang hidrologi,
 - penanganan      land subsidence,
 - pemanfaatan      jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
 - pemanasan      global dan berbagai dampaknya.
 
Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c) pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua
Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa Tabel 1 pada Lampiran).
Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. (selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran).
Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :
- sebagian      ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar      Lampung sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari      Jakarta hingga Surabaya sepanjang ± 900 km) serta sebagian Lintas Tengah      Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang ± 250 km).
 - beberapa      pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok      (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya),      serta pelabuhan Makassar.
 - Jaringan      irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian      Timur dan Sulawesi bagian Selatan.
 - Beberapa      Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar,      dan Semarang.
 
Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.
Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut :
- Relokasi ; alternatif ini dikembangkan      apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan      banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih      menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu      dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang      memiliki kerentanan sangat tinggi.
 - Akomodasi ; alternatif ini bersifat      penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin      terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture      menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang      tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman      yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi      serta lingkungan sekitar.
 - Proteksi ; alternatif ini memiliki dua      kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan      penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls)      dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau      penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif      terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati      dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan      prinsip “working with nature”.
 
Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.
Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis - perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.
Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci.
Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut :
- Mewujudkan      pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai      dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga      fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of      nourishment) dapat tetap berlangsung.
 - Mengurangi      kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya      (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi,      dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
 - Mempertahankan      berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan      dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang      dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga      ke hilir (integrated coastal zone management).
 - Untuk      mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata      ruang, maka diperlukan dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman      dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk percepatan      desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah - khususnya untuk penataan      ruang dan pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b)      peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan      format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi      produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public awareness      campaig, (d) penyiapan dukungan sistem informasi dan database      pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e)      penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan      keterpaduan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-kecil sekaligus      menghindari terjadinya konflik lintas batas.
 - Selanjutnya,      untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan      efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada      dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan      faktor-faktor berikut :
 - Keterpaduan      yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks      pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan      pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan      pesisir.
 - Pendekatan      bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory      planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang      transparan dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai      masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan      pembangunan.
 - Kerjasama      antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara      kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir)      sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan      inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik      lintas wilayah
 - Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders.
 
Berbagai sumber.

0 comments:
Posting Komentar