geografi lingkungan

Khoirunnas anfa'uhum linnas

Selasa, 23 Desember 2025

Banjir besar yang melanda Sumatera (Aceh, Sumut, Sumbar) akhir 2025

Banjir besar yang melanda Sumatera (Aceh, Sumut, Sumbar) akhir 2025 disebabkan kombinasi curah hujan ekstrem >300 mm/hari, degradasi lingkungan/deforestasi di hulu, dan sistem drainase buruk, menelan ratusan korban jiwa. Analisis menunjukkan kayu gelondongan terbawa arus, menunjuk pada kerusakan hutan. Bencana ini memerlukan perbaikan tata kelola ruang dan penegakan hukum terhadap perusakan lingkungan. 
Berikut adalah analisis mendalam mengenai situasi banjir di Sumatera:
1. Faktor Penyebab Utama
  • Curah Hujan Ekstrem & Hidrometeorologi: Data meteorologi menunjukkan hujan ekstrem di atas 300 mm per hari, diperparah oleh fenomena iklim, suhu muka laut hangat di Samudra Hindia, dan siklon yang menarik awan.
  • Deforestasi dan Alih Fungsi Lahan: Tingkat kerusakan di hulu yang parah menyebabkan tanah jenuh air dan meningkatkan runoff (limpasan permukaan). Gelondongan kayu yang terbawa arus banjir mengindikasikan adanya penebangan atau kerusakan hutan.
  • Pendangkalan Sungai & Drainase: Banyak sungai mengalami pendangkalan, dan drainase yang tidak memadai di daerah terdampak tidak mampu menampung debit air yang tinggi. 
2. Dampak Bencana (Akhir 2025)
  • Korban Jiwa & Kerusakan: Laporan menunjukkan ratusan jiwa meninggal, ribuan rumah rusak, serta rusaknya fasilitas pendidikan dan jembatan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
  • Ekonomi & Industri: Banjir melumpuhkan operasional perusahaan, terutama perkebunan sawit di wilayah terdampak, berpotensi menurunkan kinerja emiten sawit pada Q4 2025. 
3. Evaluasi Penanggulangan dan Kebijakan
  • Keterlambatan Penanganan: Solidaritas warga lokal sering kali menjadi respon pertama sebelum bantuan pemerintah masuk, yang menunjukkan perlu penguatan koordinasi antarinstansi.
  • Desakan Penegakan Hukum: Adanya desakan untuk mencabut izin perusahaan yang terbukti melakukan perusakan lingkungan atau pembalakan liar di daerah aliran sungai (DAS).
  • Peringatan Dini: Sistem peringatan dini perlu dioptimalkan agar masyarakat dapat mengungsi lebih awal. 
4. Mitigasi Masa Depan
  • Perbaikan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan tata ruang.
  • Reboisasi dan perbaikan kawasan hulu untuk mengurangi risiko banjir bandang.
  • Evaluasi komprehensif terhadap alih fungsi lahan menjadi perkebunan. 

Hutan Batang Toru, terbabat buat tambang. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

Sesak dengan konsesi ekstraktif

Melky Nahar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menegaskan, bencana Pulau Sumatera akibat dari rusaknya ekosistem hulu dan daerah aliran sungai oleh industri ekstraktif.

Dia bilang, Sumatera telah diperlakukan sebagai zona pengorbanan untuk tambang minerba. Sedikitnya, 1.907 wilayah izin usaha pertambangan (IUP) aktif, dengan luas 2.458.469,09 hektar setara empat kali luas Brunei Darussalam.

Konsesi itu, menurut Melky, tersebar di sejumlah wilayah Sumatera: Bangka Belitung (443 izin), Kepulauan Riau (338), Sumatera Selatan (217), Sumbar (200), Jambi (195), dan Sumut (170). Sementara provinsi lain seperti Lampung, Bengkulu, Aceh, dan Riau juga dijejali puluhan hingga ratusan izin di darat maupun laut.

Melky mengatakan, sebaran konsesi tambang itu meliputi hutan, kebun rakyat, dan lahan basah yang dulu berfungsi sebagai penyangga air, yang kini berubah menjadi area galian, infrastruktur tambang, dan jalur angkut.

“Sehingga melemahkan kemampuan DAS untuk menahan dan mengalirkan air secara perlahan,” katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (29/11/25).

Selain tambang minerba, ekosistem Sumatera juga sesak dengan konsesi 28 proyek PLTA yang sedang beroperasi atau tengah dikembangkan, tersebar di Sumut (16 titik), Bengkulu (5), Sumbar (3), Lampung (2), dan Riau (2).

Menurut Melky, proyek PLTA sarat risiko ekologis, misal, PLTA Batang Toru dan PLTA Sipansihaporas di Sumut. Kedua proyek itu memanfaatkan aliran dari salah satu DAS utama di Ekosistem Batang Toru, kawasan secara ekologis penting namun kini dipenuhi bendungan, terowongan air, dan jaringan infrastruktur lain.

Berdasarkan analisis deret waktu citra Google Satellite/Google Imagery yang dilakukan Jatam per 28 November 2025, proyek PLTA Batang Toru telah membuka sedikitnya 56,86 hektar hutan di sepanjang aliran sungai untuk bangunan utama, kolam, jalan, dan area penunjang, yang tampak jelas sebagai pelebaran area terbuka di tubuh ekosistem.

“Kehadiran PLTA dalam skala masif memodifikasi aliran sungai, mengubah pola sedimen, dan memperbesar risiko banjir maupun longsor di hilir ketika kombinasi curah hujan ekstrem dan pengelolaan bendungan yang buruk terjadi bersamaan,” ujar Melky.

BNPB bersama TNI dan Basarnas mendorong bantuan seberat 4 ton menuju Kabupaten Solok, Agam dan Pasaman Barat pada hari ini, Senin (1/12/25). Foto: BNPB

 

Alfarhat Kasman, Juru Kampanye Jatam juga menyoroti skema persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH) di Pulau Sumatera yang menjadi pintu utama pelepasan fungsi lindung jadi ruang ekstraksi.

Di Pulau Sumatera, tercatat sedikitnya 271 PPKH seluas 53.769,48 hektar. Dari jumlah itu, 66 izin bagi tambang dengan luas 38.206,46 hektar, 11 izin panas bumi 436,92 hektar, 51 izin untuk migas 4.823,87 hektar. Lalu, 72 izin proyek energi lain seluas 3.758,68 hektar, sisanya untuk keperluan telekomunikasi hingga pemerintahan.

Ironisnya,  proyek-proyek itu terbungkus dengan narasi transisi energi dan pembangunan ekonomi. Meskipun di lapangan, masyarakat justru harus menanggung banjir, longsor, hingga hilangnya sumber penghidupan.

Alfarhat mendesak,  pemerintah segera mengubah haluan ekonomi yang bertumpu pada industri ekstraktif. Perubahan itu, katanya, harus terealisasi dalam bentuk penghentian laju daya rusak serta investasi sektor kotor.

Juga,  mencabut seluruh izin konsesi yang terbukti merusak lingkungan, menghentikan perluasan industri ekstraktif di kawasan hulu, rawan bencana, dan DAS kritis.

Dia menyarankan,  pemerintah mengembalikan tata kelola ruang kepada rakyat lokal dan adat, yang berkepentingan menjaga sumber kehidupan hutan serta sungai.

“Tanpa langkah itu, setiap proposal tambang baru, perluasan kebun dan mega proyek energi di Sumatera hanya menjadi legitimasi baru untuk menambah daftar panjang korban banjir dan longsor yang akan datang.”

Ekspansi kebun sawit juga menjadi biang kerok bencana di Sumatera. Riezcy menyebut, daya dukung dan daya tampung perkebunan sawit di Sumatera sudah terlampaui.

Kapasitas maksimum ekologis (cap) untuk kebun sawit sebesar 10,69 juta hektar, sementara luas eksisting 2022 sebesar 10,70 juta hektar.

“Sumatera telah mencapai titik jenuh secara ekologis dan tidak lagi memiliki ruang untuk ekspansi kebun sawit baru,” katanya.

Dia menegaskan, ekspansi kebun sawit seperti pidato Presiden Prabowo Subianto akhir 2024, berisiko mendorong konversi hutan alam, gambut, dan habitat satwa dilindungi.

Kondisi pasca banjir Sumbar. Foto: BNPB

Bagaimana memperbaikinya?

Riezcy mendesak, pemerintah mengubah paradigma pembangunan, dari eksploitasi menuju keberlanjutan ekologis, dengan menjadikan daya tampung dan daya dukung sebagai acuan utama.

Dia meminta,  pemerintah segera moratorium izin ekstraktif di wilayah yang telah melampaui batas, termasuk izin sawit dan tambang, juga mengaudit dan mencabut izin korporasi pelanggar lingkungan.

“Secara paralel, restorasi ekosistem DAS harus secara menyeluruh, terutama reforestasi di hulu dengan spesies lokal yang berfungsi mengikat tanah dan menyerap air.”

Menurut dia, pemerintah juga perlu menertibkan bangunan di sempadan sungai demi mengembalikan kapasitas alami sungai.

Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) juga mendesak pemerintah bersikap tegas menghentikan aktivitas industri ekstraktif, baik itu mengevaluasi perizinan swasta maupun proyek strategis nasional (PSN) yang merusak ekosistem alam.

Herlambang P. Wiratraman, Dosen Hukum Tata Negara yang tergabung dalam LSJ UGM menegaskan, pemerintah mesti melakukan pemulihan kawasan ekologi di Sumatera dan Aceh.

Dia juga mengingatkan, pemerintah dalam membuat kebijakan mesti sejalan dengan ilmu pengetahuan, yang berpihak pada kemanusiaan, ekologis, dan keadilan sosial.

“Itu sebabnya pejabat publik seyogyanya tidak asal bicara, tanpa dasar, apalagi memanipulasi atau bahkan membodohi warga bangsanya sendiri,”  kata Herlambang dalam keterangan pers yang Mongabay terima.

Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan berjanji mengevaluasi tata kelola kehutanan pasca bencana menerjang Sumatera. Dia sadar selama ini pemerintah lebih fokus pada sisi ekonomi dibanding ekologi.

“Ini momentum yang baik untuk melakukan evaluasi kebijakan karena pendulumnya kalau ekonomi dan ekologi, tampaknya pendulumnya terlalu ke ekonomi dan harus ditarik ke tengah lagi,” katanya dalam keterangan pers.

Bahlil Lahadalia, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) pun mengatakan, bakal mengevaluasi menyeluruh izin pertambangan di tiga provinsi di Sumatera yang terdampak banjir dan tanah longsor.

“Setelah ini, kami dari Kementerian ESDM, khusus untuk tambang, kami akan lakukan evaluasi secara total,” kata Bahlil dikutip dari Kompas.

Kondisi bencana banjir dan longsor di Aceh. Foto: Dinas PUPR Aceh

Status bencana nasional

Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM mendesak pemerintah segera menetapkan bencana sosial-ekologis di Sumatera, sebagai bencana nasional.

Agung Wardana, Dosen Hukum Lingkungan UGM mengatakan, banjir dan longsor di Sumatera memenuhi syarat sebagai bencana nasional sebagaimana diatur UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; dan Perpres 17/2018 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Keadaan Tertentu.

Dia bilang, minim bantuan responsif dari pemerintah pusat bisa menimbulkan krisis pangan di lokasi bencana. Di Aceh, Sibolga, dan Tapteng,  misal, harga bahan pangan melonjak pasca bencana, terputusnya jalur transportasi yang menghubungkan antar kabupaten memperburuk situasi.

“Akibat krisis pangan yang terjadi, penjarahan pada sejumlah minimarket menjadi tak terhindarkan,” katanya dalam keterangan pers LSJ UGM.

Agung mengatakan, listrik padam dan terputusnya jaringan komunikasi membuat penanganan darurat makin terhambat. Kondisi ini, memperlihatkan lemahnya pemenuhan kewajiban negara dalam menjamin hak konstitusional warga negara dalam keadaan darurat.

Dia mengingatkan, warga Aceh punya trauma kelam akibat konflik bersenjata dan bencana tsunami dan harus berhadapan kembali dengan masa kelam.

Bahkan, saat ini dua kabupaten: Aceh Tengah dan Pidie Jaya secara terbuka menyatakan tidak sanggup mengatasi bencana.

Agung mendesak, Presiden Prabowo Subianto menetapkan status Darurat Bencana Nasional.

Dia menilai,  pemerintah daerah yang tak mampu harus segera mendapat respons politik nasional untuk mengatasi bencana sosial-ekologis itu.

Sesuai mandat Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, pemerintah harus segera mengambil langkah untuk mengatasi, mencegah kematian, atau dampak yang menyebabkan penderitaan warga. Terutama, dalam mengatasi korban jiwa, korban kerusakan rumah, lahan pertanian, hilangnya pekerjaan dan penghidupan layak.

Melva Harahap, Manajer Penanganan dan Pencegahan Bencana Ekologis Walhi Nasional juga mendesak penetapan status bencana nasional. Dia bilang, bencana yang melanda tiga provinsi itu berakibat pada kolapsnya kehidupan masyarakat.

Rakyat, bukan saja kehilangan harta benda, tetapi terputus akses dari luar: bahan bakar langka, makanan menipis, jalan rusak, sinyal komunikasi mati, hingga listrik mati.

“Dari sisi kemanusiaan, penetapan status bencana nasional menjadi penting dalam merespons becana ekologis tersebut. Koordinasi antar lembaga/kementerian penting sehingga distribusi kebutuhan pokok, evakuasi warga, dan pemulihan jangka panjang bisa cepat terlaksana dengan sumber daya nasional,” ujar Melva.

Center of Economic and Law Studies (Celios) mencatat, dampak kerugian ekonomi banjir Sumatera mencapai Rp68,67 triliun. Angka ini, menurut Celios, mencakup kerusakan rumah penduduk, kehilangan pendapatan rumah tangga, rusaknya infrastruktur jalan dan jembatan, serta kehilangan produksi lahan pertanian.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios dalam keterangan pers merinci, perkiraan kerugian pemerintah Aceh Rp2,2 triliun; Sumut Rp2,07 triliun; dan Sumbar Rp2,01 triliun.

“Celios mendesak moratorium segera izin tambang dan perluasan kebun sawit. Sudah waktunya beralih ke ekonomi yang lebih berkelanjutan, ekonomi restoratif.”

Dampak kerusakan materil yang terjadi, akibat banjir bandang di Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (30/11/25). Foto: BNPB

0 comments:

Posting Komentar