BAGIAN I – GEOMORFOLOGI KARST
Karst merupakan
istilah dalam bahasa Jerman yang diturunkan dari bahasa Slovenia (kras)
yang berarti lahan gersang berbatu. Istilah ini di negara asalnya sebenarnya
tidak berkaitan dengan batugamping dan proses pelarutan, namun saat ini istilah
kras telah diadopsi untuk istilah bentuklahan hasil proses perlarutan. Ford dan
Williams (1989) mendefini-sikan karst sebagai medan dengan kondisi hidrologi yang khas
sebagai akibat dari batuan yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder
yang berkembang baik. Karst dicirikan oleh:
1.
terdapatnya
cekungan tertutup dan atau lembah kering dalam berbagai ukuran dan bentuk,
2.
langkanya atau
tidak terdapatnya drainase/ sungai
permukaan, dan
3.
terdapatnya goa
dari sistem drainase bawah tanah.
Karst
tidak hanya terjadi di daerah berbatuan karbonat, tetapi terjadi juga di batuan
lain yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder (kekar dan sesar
intensif), seperti batuan gipsum dan batugaram. Namun demikian, karena batuan
karbonat mempunyai sebaran yang paling luas, karst yang banyak dijumpai adalah
karst yang berkembang di batuan karbonat. Oleh karenanya bahsan buku ini selanjutnya
hanya akan mengu-raikan karst batuan karbonat.
Karstifikasi
Karstifikasi
atau proses permbentukan bentuk-lahan karst didominasi oleh proses pelarutan.
Proses pelaturan batugamping diawali oleh larutnya CO2 di dalam air
membentuk H2CO3. Larutan H2CO3
tidak stabil terurai menjadi H- dan HCO32-.
Ion H- inilah yang selanjutnya menguraikan CaCO3 menjadi
Ca2+ dan HCO32- Secara ringkas proses pelarutan dirumuskan
dengan reaksi sebagai berikut.
CaCO3 + H2O + CO2 Ca2+ + 2 HCO3-
|
|||
Faktor Karstifikasi
Karstifikasi
dipengaruhi oleh dua kelompok faktor, faktor pengontrol dan faktor pendorong.
Faktor pengontrol menentukan dapat tidaknya proses karstifikasi berlangsung,
sendangkan faktor pendorong menentukan kecepatan dan kesempurnaan proses karstifikasi.
Faktor
Pengontrol
1.
Batuan mudah larut,
kompak, tebal, dan mempunyai banyak rekahan
2.
Curah hujan yang
cukup
3.
Batuan terekspos di
ketinggian yang memung-kinkan perkembangan sirkulasi air/drainase secara
vertikal.
Faktor
pendorong
1. Temperatur
2. Penutupan hutan
Batuan
yang mengandung CaCO3 tinggi akan mudah larut. Semakin tinggi
kandungan CaCO3, semakin berkembang bentuklahan karst. Kekompakan batuan menentukan kestabilan
morfologi karst setelah mengalami pelarutan. Apabila batuan lunak, maka setiap
kenampakan karst yang terbentuk seperti karen dan bukit akan cepat hilang
karena proses pelarutan itu sendiri maupun proses erosi dan gerak masa batuan,
sehingga kenampakan karst tidak dapat berkembang baik. Ketebalan menentukan
terbentuknya sikulasi air secara vertikal lebih. Tanpa adanya lapisan yang
tebal, sirkulasi air secara vertikal yang merupakan syarat karstifikasi dapat
berlangsung. Tanpa adanya sirkulasi vertikal, proses yang terjadi adalah aliran
lateral seperti pada sungai-sungai permukaan dan cekungan-cekungan tertutup
tidak dapat terbentuk. Rekahan batuan merupakan jalan masuknya air membentuk
drainase vertikal dan berkembangnya sungai bawah tanah serta pelarutan yang
terkonsentrasi.
Curah
hujan merupakan media pelarut utama dalam proses karstifikasi. Semakin besar
curah hujan, semakin besar media pelarut, sehingga tingkat pelarutan yang
terjadi di batuan karbonat juga semakin besar. Ketinggian batugamping terekspos
di permukaan menentukan
sirikulasi/drainase secara vertikal. Walupun batugamping mempunyai
lapisan tebal tetapi hanya terekspos beberapa meter di atas muka laut,
karstifikasi tidak akan terjadi. Drainase vertikal akan terjadi apabila
julat/jarak antara permukaan batugamping dengan muka air tanah atau batuan
dasar dari batugamping semakin besar. Semakin tinggi permukaan batugamping
terekspose, semakin beser julat antara permuka-an batugamping dengan muka air
tanah dan semakin baik sirkulasi air secara vertikal, serta semakin intensif
proses karstifikasi.
Temperatur
mendorong proses karstifikasi terutma dalam kaitannya dengan aktivitas
organisme. Daerah dengan temperatur hangat seperti di daerah tropis merupakan
tempat yang ideal bagi perkembangan organisme yang selanjutnya menghasilkan CO2
dalam tanah yang melimpah. Temperatur juga menetukan evaporasi, semakin tinggi
temperatur semakin besar evaporasi yang pada akhirnya akan menyebabkan
rekristalisasi larutan karbonat di permukaan dan dekat permukaan tanah. Adanya
rekristalisasi ini akan membuat pengerasan permukaan (case hardening) sehingga bentuklahan karst yang telah terbentuk
dapat dipertahankan dari proses denudasi yang lain (erosi dan gerak masa
batuan).
Kecepatan
reaksi sebenarnya lebih besar di daerah temperatur rendah, karena konsentrasi
CO2 lebih besar pada temperatur rendah. Namun demikian tingkat
pelarutan di daerah tropis lebih tinggi karena ketersediaan air hujan yang
melimpah dan aktivitas organisme yang lebih besar..
Penutupan
hutan juga merupakan faktor pendorong perkembangan karena hutan yang lebat akan
mempunyai kandungan CO2 dalam tanah yang melimpah akibat dari hasil
perombakan sisa-sisa organik (dahan, ranting, daun, bangkai binatang) oleh
mikro organisme. Semakin besar konsentrasi CO2 dalam air semakin
tinggi tingkat daya larut air terhadap batugamping. CO2 di atmosfer
tidaklah bervariasi secara signifikan, sehingga variasi proses karstifikasi
sangat ditentukan oleh CO2 dari aktivitas organisme.
Speleogenesis
Teori Klasik Perkembangan Karst
Teori
tentang perkembangan karst pertama menjelaskan bahwa gua berkembang di mintakat
(zona) vados oleh pergerakan air melului rekahan batuan. Tahapan dari
pergerakan karst adalah sebagai berikut:
§
Tahap I :
Rekahan (bidang perlapisan dan atau struktur) terlarut
§
Tahap II :
Sungai bawah tanah mulai terbentuk
§
Tahap III : Sungai mengikis saluran hingga membentuk
gua-gua
Teori
vados ditentang oleh oleh Davies (1930). Davies berpendapat bahwa tidak mungkin
gua terbentuk di mintakat vados mengingat kenyataannya adalah dalam mintakat
voadose yang terjadi adalah pembentukan ornamen gua yang dalam hal ini adalah
proses pengendapan bukan proses pelarutan maupun pengikisan. Dengan argumen ini
selanjutnya Davies mengemukaan toeri baru yang dikenal dengan deep phreatic
theory. Teori menjelaskan bahwa gua terbentuk di bawah muka air tanah oleh
gerakan hidraulik air.
§
Tahap I : Gua
terbentuk jauh di bawah muka freatik
§
Tahap II : Muka
freatik turun karena kawasan karst terangkat atau muka air laut turun, ehingga
gua berada di mintakat vados
§
Tahap III : Pembentukan ornamen gua
Teori
Davies seiring dengan perkembangan ilmu ditentang oleh teori yang mengatakan bahwa air tanah tidak mungkin mampu melarutkan
batugamping, karena air tanah pada umumnya telah jenuh. Teori yang kemudian
dipercaya adalah water table theory (Seinnerton, 1932) yang menjelaskan bahwa
gua terbentuk di dekat muka airtanah (water
table). Teori didukung oleh teori baru tentang mixing theory dan kenyataan
bahwa sebagain besar gua adalah gua horisontal.
Teori Modern
Teori modErn tentang
pembentukan gua tidak memisahkan ketiga teori tersebut. Hasil laboraotorium dan penelitian
lapangan modern menunjukkan bahwa gua dapat terbentuk baik, di mintakat vadose,
phreatic, maupun di dekat muka air tanah. Ford dan William (1989) menjelaskan
bahwa terdapat empat tipe gua berdasarkan gentiknya yang ditunjukkan pada Gambar
2. Kondisi pertama terbentuk bila frekuensi rekahan sangat jarang dengan
batugamping. Berturut-turut hingga ke kondisi empat
terbentuk bila rekahan batugamping sangat rapat.
|
Gambar
2. Empat kondisi pembentukan gua (Ford dan Williams, 1989)
Bentuklahan Karst
Perkembangan
bentuklahan karst sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Variasi
tersebut disebabkan oleh faktor-faktor yang mengontrol perkembangannya,
seperti batuan, struktur geologi,
vegetasi, dan iklim. Faktor-faktor tersebut secara bersama-sama menentukan
intensitas dan kecepatan karstifikasi. Hasil dari proses karstifikasi tersebut
adalah bentuklahan karst.
Bentuklahan karst makro
Morfologi karst makro di suatu wilayah
dapat meliputi beberapa kombinasi dari bentukan negatif berupa dolin, uvala,
polje, atau ponor; dan bentukan positif berupa kegel, mogote, atau pinacle
(Sweeting, 1972, Trudgil, 1985; White, 1988; dan Ford dan williams, 1996).
Dolin
dan uvala
Dolin
merupakan cekungan-cekungan tertutup berbentuk bulat atau lonjong dengan
diameter beberapa meter hingga lebih kurang satu kilometer (Ford dan Williams,
1996). Beberapa istilah untuk menyebut
dolin di artikel tentang karst meliputi sinkhole, sink, swallow holes,
cockpits, blue holes, dan cenote (Blom, 1991). Kemiringan lereng miring hingga
terjal bahkan vertikal dengan kedalaman beberapa meter hingga ratusan
meter. Menurut genesanya Ford dan
Williams (1996) mengklasifikasi dolin
menjadi dolin pelarutan (solution),
dolin runtuhan (colapse), dan dolin
amblesan (subsidence), dan dolin suffosion.
|
|||
|
|||
Dolin pelarutan terbentuk karena
pelarutan terjadi tidak merata, dalam hal ini pelarutan terkonsentrasi di
bagian tengah. Terkonsentrasinya pelarutan dapat terjadi karena perbedaan
mineralogi batuan atau keberadaan kekar. Selanjutnya Ford dan Williams (1996)
menbedaan lebih lanjut dolin pelarutan menjadi point recharge doline dan drawdown
doline. Point recharge doline terbentuk dengan diawali oleh terbentuknya protocave, sehingga aliran permukaan
terkonsentrasi.
Dolin runtuhan terbentuk apabila
goa atau conduit dekat permukaan
runtuh karena tidak kuat menahan atapnya. Dolin tipe ini mempunyai lereng
sangat curam. Tiga mekanisme yang membentuk dolin runtuhan menurut Ford dan
Williams (1996) adalah a) pelarutan di atas goa sehingga menurunkan kekuatan
atap goa; b) pelarutan atap goa dari bawah; dan c) penurunan muka air tanah di
atas atap goa.
Dolin amblesan terjadi apabila
lapisan gamping berada di permukaan sesar atau lipatan, sehingga endapan aluvial yang ada di permukaan terbawa
ke bawah melalui celah-celah patahan atau mengikuti struktur lipatan di
bawahnya.
Dolin suffosion terjadi pada endapan alochton
yang mengendap di atas batugamping. Infiltrasi melalui endapan tersebut membawa
material halus ke sistem kekar di bawahnya yang berhubungan dengan goa-goa
dalam tanah. Dengan demikian endapaan di atasnya menjadi cekung.
Uvala merupakan gabungan dari dolin-dolin (Sweeting,
1972). White (1988) mengistilahkan uvala sebagai compound sinks. Uvala terbentuk pada perkembangan karst yang lebih
lanjut. Bentuk tidak teratur. dengan diamater pada umumnya 500 – 1000 m dan
kedalaman 100 – 200 m (Sweeting, 1972).
Polje
Polje berasal dari bahasa Slovenia yang berarti ladang yang
dapat ditanami (Sweeting, 1972). Istilah tersebut di daerah tersebut tidak ada
kaitannya dengan bentuklahan karst. Namun demikian saat ini istilah polje telah
diadopsi dalam terminologi bentuklahan karst. Gams (1978) membuat kriteria
untuk polje sebagai berikut:
a.
berlantai datar,
dapat berupa batuan dasar atau sedimen lepas seperti alluvium,
b.
cekungan tertutup
dengan lereng terjal paling tidak pada salah satu sisinya, dan
c.
mempunyai drainase
karst.
Gams
juga menyatakan bahwa lebar dari lembah datar paling sedikit 400 m, tetapi hal
ini masih belum pasti. Cvijic (1893) mengambil 1 km sebagai batas terendah.
Kenyataannya, polje mempunyai ukuran yang beragam. Gams selanjutnya
mengklasifikasi polje menjadi lima
macam, yaitu border polje, piedmont
polje, peripheral polje, overflow polje, dan baselevel polje. Ford dan Williams (1996) menyederhanakan
menjadi tiga klasifikasi seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
|
|||
|
|||
Border polje didominasi oleh masukan allogenic. Polje tipe ini
berkembang apabila muka air tanah pada batuan nonkarst terlampar hingga batuan karbonat. Struktural
polje perkembangannya dikontrol oleh struktur geologi. Dolin tersebut biasanya berasosiasi dengan
graben atau cekungan sesar miring dan dengan batuan impermeable di dalamnya. Baselevel polje terbentuk apabila regional muka air tanah
memotong muka tanah. Dolin ini pada umumnya
berada di bagian bawah (outflow)
dari kawasan karst.
Bentuklahan Karst Mikro
Morfologi
mikro daerah karst dalam literatur dan artikel karst diistilahkan dengan karren (bahasa Jerman) atau lapies (bahasa Prancis). Dimensi karren bervariasi dari 1 hingga 10
meter, sedangkan mikro karen mempunyai demensi kurang dari 1 cm (Ford dan
Williams, 1996). Karren dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu
bentuk membulat, bentuk memanjang yang terkontrol oleh kekar, bentuk linier
yang terkontrol proses hidrolik, dan bentuk poligonal.
a.
Bentuk membulat
Micropit : ukuran kurang dari 1 cm.
Pits : bulat atau lonjong, bentuk tidak teratur, diameter
> 1 cm.
Pans :
bulat atau lonjong dengan bentuk tidak teratur, dasar horisontal berupa batuan
dasar atau endapan isian.
Heelprints
atau Trittkarren : dinding terjal di bagaian ujung, dasar datar, terbuka di
bagian bawah, diameter 10 – 30 cm.
Shafts
atau well : bagian dasar saling berhubungan membentuk protocave yang
mengatus air ke mintakat epikarst.
b.
Bentuk linier :
terkontrol kekar
Microfissures :
dasar kacip, panjang beberapa cm dengan kedalaman kurang dari 1 cm.
Splitkarren :
kenamapakan pelarutan yang dikontrol oleh kekar, stylolite atau vein. Dasar
lancip, panjang bervariasi dari sentimeter hingga beberapa meter, kedalaman
beberapa sentimeter. Kedua ujungnya dapat terbuka atau tertutup.
Grikes
atau Kluftkaren : hasil solusional
yang dikontrol oleh kekar mayor atau sesar. Panjang 1 hingga 10 meter. Apabila
di bawah tanah disebut cutter. Kumpulan kluftkarren dipisahkan
satu dengan lainnya dengan clint.
c.
Bentuk linier :
terkontrol oleh hidrodinamik
Microrills :
lebar lebih kurang 1 mm. Aliran air terkontrol oleh tenaga kapilar, gravitasi,
atau angin.
Saluran pelarutan secara gravitatif
Rillenkarren :
kumpulan saluran mulai dari igir, lebar 1 – 3 cm. Dipicu oleh air hujan. Bagian
bawah menghilang.
Solutional
runnels : Saluran mengikuti hukum Horton. Berkembang mulai dari sebelah bawah
erosi lembar. Pada singkapan batuan dicirikan oleh tepi yang curam
(Rinnenkarren), bulat jika tertutup tanah (Rundkarren). Saluran meluas ke arah
bawah. Lebar 3 –30 cm, panjang 1 – 10 m. Pola aliran linier, dendritik, atau
sentripetal.
Decantation
runnels : pelarutan terjadi di bagian atas pada satu titik, ke arah
bawah saluran menyempit. Ukuran bervariasi hingga mencapai panjang lebih dari
100 m, seperti wall karren (wandkarren), Maanderkarren.
Decantation
flutings : pelarut berasal dari sumber diffuse pada lereng atas.
Saluran padat, ke arah bawah kadang-kadang semakin berkurang.
Fluted
scallops atau solution ripples
: flute seperti ripple dengan arah
sesuai arah aliran. Banyak variasi dari scallop. Banyak ditemukan sebagai komponen dari
cockling pattern di singkapan batuan berlereng curam.
d.
Bentuk poligonal
Karrenfield :
istilah umum untuk hamparan karren yang tersingkap.
Limestone
pavement : tipe dari karrenfield yang didominasi oleh clints yang
teratur (flachkarren) dan grikes (kluftkarren).
Pinnacle
karst : topografi yang runcing-runcing, kadang terbuka karena
erosi tanah. Arete, pinacle, dan stone
forest kadang mempunyai pinacle dengan tinggi 45 m dan sapasi 50 m.
Ruiniform
karst : Grike yang lebar dengan clint yang sudah terdegradasi.
Bentuk peralihan ke tors.
Corridor
karst (labyrinth karst, giant grike
land) : skala besar dari grike
dan clints dengan lebar beberapa
meter dan panjang hingga 1 km.
Coastal
karren : karren di darah pantai atau lakustrin, termasuk intertidal
dan subtidal notch, pits, pans, mikropits.
Klasifikasi Karst
Topografi
karst telah banyak ditemukaan di berbagai tempat di belahan bumi dengan
berbagai tipe. Peneliti karst telah mencoba mejelaskan variasi karst dan
mengklasifikasi tipe-tepe karst. Klasifikasi karst secara umum dapat
dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu 1) klasifikasi yang didasarkan pada
perkembangan (Cvijic), 2) klasifikasi yang didasarkan pada morfologi, dan 3)
klasifikasi yang disarkan pada iklim (Sawicki, Lehmann, Sweeting). Beberapa
klasifikasi karst adalah klasifikasi Cvijic dan Sweeting.
Klasifikasi
Cvijic (1914)
Cvijic
membagi topografi karst menjadi tiga kelompok, yaitu holokarst, merokarst, dan
karst transisi.
Holokarst
merupakan karst dengan perkembangan paling sempurna, baik dari sudut pandang
bentuklahannya maupun hidrologi bawah permukaannya. Karst tipe ini dapat
terjadi bila perkembangan karst secara horisontal dan vertikal tidak
terbatas; batuan karbonat masif dan
murni dengan kekar vertikal yang menerus dari permukaan hingga batuas dasarnya;
serta tidak terdapat batuan impermeable yang berarti. Karst tipe holokarst yang dicontohkan oleh Cvijic adalah Karst Dinaric, Lycia , dan Jamaica . Di Indonesia, karst tipe
ini jarang ditemukan, karena besarnya curah hujan menyebabkan sebagian besar
karst terkontrol oleh proses fluvial.
Merokarst merupakan karst dengan
perkem-bangan tidak sempurna atau parsial dengan hanya mempunyai sebagian ciri
bentuklahan karst. Merokarst berkembang
di batugamping yang relatif tipis dan tidak murni, serta khususnya bila
batugamping diselingi oleh lapisan batuan napalan. Perkembangan secara vertikal
tidak sedalam perkembangan holokarst denga evolusi relief yang cepat. Erosi
lebih dominan dibandingkan pelarutan dan lsungai permukaan berkembang.
Merokarst pada umumnya tertutup oleh tanah, tidak ditemukan karen, dolin, goa, swallow hole berekembang hanya
setempat-setempa. Sistem hidrologi tidak kompleks, alur sungai permukaan dan
bawah permukaan dapat dengan mudah diidentifikasi. Drainase bawah tanah
terhambat oleh lapisan impermeabel. Contoh dari karst ini adalah karst di
Batugamping Carbonferous Britain, Irlandia, Galicia Polandia, Moravia karst
Devonian, dan karst di Prancis utara. Contoh merokarst diantaranya adalah karst
di sekitar Rengel Kabupaten Tuban.
Karst
Transisi berkembang di batuan karbonat relatif tebal yang memungkinkan
perkembangan bentukan karst bawah tanah, akan tetapi batuan dasar yang
impermeabel tidak sedalam di holokarst, sehingga evolusi karst lebih cepat;
lembah fluvial lebih banyak dijumpai, polje hampir tidak ditemukan. Contoh dari
karst transisi menurut Cvijic adalah Karst Causses Prancis, Jura, Plateux
Balkan Timur, dan dan Dachstein. Contoh holokarst di Indonesia yang pernah dikunjungi
penulis antara lain Karst Gunung Sewu (Gunungkidul, Woonogiri, dan Pacitan),
Karst Karangbolong (Gombong), dan Karst Maros (Sulawesi Selatan).
Klasifikasi
Gvozdeckij (1965)
Gvozdeckij
menklasifikasi karst berdasarkan pengamatannya di Uni Soviet (sekarang Rusia).
Menurut dia karst dibedakan menjadi bare karst, covered karst, soddy karst,
buried karst, tropical karst, dan permafrost karst.
Bare karst
lebih kurang sama dengan karst Dinaric (holokarst)
Covered karst
merupakan karst yang terbentuk bila batuan karbonat tertutup oleh lapisan
aluvium, material fluvio-glacial, atau batuan lain seperti batupasir.
Soddy karst atau soil
covered karst merupakan karst yang di batugamping yang tertutup oleh tanah
atau terra rosa yang berasal dari sisa
pelarutan batugamping.
Buried karst
merupakan karst yang telah tertutup oleh batuan lain, sehingga bukti-bukti
karst hanya dapat dikenalai dari data bor.
Tropical karst of cone
karst merupakan karst yang terbentuk di daerah tropis.
Permafrost karst
merupakan karst yang terbentuk di daerah bersalju.
Klasifikasi Sweeting (1972)
Karst
menurut Sweeting diklasifikasi kan
menjadi true karst, fluviokarst, Glaciokarst, tropical karst, Arid an Semi Rid
Karst. Klasifikasi Sweeting terutama didasarkan pada iklim.
True karst
merupakan karst dengan perkembang-an sempurna (holokarst). Karst yang
sebenarnya harus merupakan karst dolin yang disebabkan oleh pelarutan secara
vertikal, semua karst yang bukan tipe dolin karst dikatakan sebagai deviant. Contoh dari true karst menurut
Sweeting adalah Karst Dinaric.
Fluviokarst
dibentuk oleh kombinasi antara proses fluvial dan proses pelarutan. Fluviokarst
pada umumnya terjadi di daerah berbatugamping yang dilalui oleh sungai alogenik
(sungai berhilir di daerah non karst). Sebaran batugamping baik secara lateral
maupun vertikal jauh lebih kecil daripada true karst. Perkembangan sikulasi bawah tanah juga terbatas disebabkan
oleh muka air tanah lokal. Mataair muncul dari lapisan impermeable di bawah
batugamping maupun dekat muka air tanah lokal. Lembah sungai permukaan dan
ngarai banyak ditemukan. Bentukan hasil dari proses masuknya sungai permukaan
ke bawah tanah dan keluarnya sungai bawah kembali ke permukaan seperti lembah
buta dan lembah saku merupakan fenomena umum yang banyak dijumpai. Goa-goa di
fluviokarst terbentuk di perbatasan antara batugamping dan batuan impermeabel
di bawahnya oleh sungai alogenik dan berasosiasi dengan perkembangan sungai di
daerah karst. Permukaan batugamping di fluviokarst pada umumnya tertutup oleh
tanah yang terbaentuk oleh erosi dan sedimetasi proses fluvial. Singkapan
batugamping (bare karst) ditemukan
bila telah terjadi erosi yang pada umumnya disebabkan oleh penggungulan hutan.
Glasiokarst
dan Nival Karst
Glasiokarst merupakan karst yang terbentuk karena karstifikasi
didominasi oleh prises glasiasi dan proses glasial di daerah yang
berbatuan gamping. Nival karst merupakan karst yang terbentuk karena proses
karstifikasi oleh hujan salju (snow) pada linkungan glasial dan periglasial.
Glasiokarst terdapat di daerah berbatugamping yang mengalami glasiasi atau
pernah mengalami glasiasi. Glasiokarst dicirikan oleh kenampakan-kenamapakan
hasil penggosan, erosi, dan sedimentasi glacier. Hasil erosi glacier pada umumnya membentuk limstone pavement. Erosi lebih intensif
terjadi di sekitar kekar menhasilkan cekungan dengan lereng terjal memisahkan
pavement satu dengan lainnya. Dolin-dolin terbentuk terutama disebabkan oleh
hujan salju. Pencairan es menhasilkan ngarai, pothole, dan goa, Karakteristik
lain dari glasiokarst adalah goa-gaoa yang terisi oleh oleh es dan salju.
Contoh dari galsiokarst adalah karst di lereng atas pegunungan Alpen.
Tropical karst berbeda dengan karst di
iklim sedang dan kutub terutama disebabkan oleh presipitasi dan evaporasi yang
besar. Presipitasi yang yang besar menghasilkan aliran permukaan sesaat yang
lebih besar, sedangkan evaporasi menhasilkan rekristalisasi larutan karbonat
membentuk lapisan keras di permukaan. Hal ini menyebabkan dolin membulat
seperti di iklim sedang jarang ditemukan digantikan oleh dolin berbentuk
bintang yang tidak beraturan. Dolin tipe ini sering disebut kocpit. Di antara dolin ditemukan
bukit-bukit yang tidak teratur disebut dengan bukit kerucut.
Karst
tropis secara lebih rinci dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
1. kegelkarst (sinoid karst, cone karst, atau karst a piton)
2. turmkarst (karst tower, pinacle karst, atau karst a
tourelles)
Kegelkarst
dicirikan oleh kumpulan bukit-bukit berbentuk kerucut yang
sambung menyambung.. Sela antar bukit kerucut membentuk cekungan dengan bentuk
seperti bintang yang dikenal dengan kockpit.
Kockpit seringkali membentuk pola kelurusan sebagai akibat kontrol kekar atau
sesar. Depresi atau kockpit yang terkontrol kekar atau sesar ini oleh Lemann
disebut gerichteter karst (karst oriente).
Contoh kegelkarst di Indonesia
antara lain Karst Gunungsewu dan Karst Karangbolong.
Gambar
5. Foto udara dan foto lapangan dari tipe kegel karst, Bedoyo Gunungkidul.
Secara lebih rinci tipe ini disebut
dengan Kegel Karst Residual
(Haryono dan Day, 2004)
Turmkarst/menara
karst/pinacle karst merupakan tipe karst kedua yang sering dijumpai di daerah
tropis. Tipe karst ini dicirikan oleh bukit-bukit dengan lereng terjal,
biasanya ditemukan dalam kelompok yang dipisahkan satu sama lain dengan sungai
atau dataran aluvial. Tower karst berkembang apbila pelarutan lateral oleh muka
air tanah yang sangat dangkal atau oleh sungai alogenik yang melewati singkapan
batugamping. Beberapa ahli beranggapan bahwa turmkarst merupakan perkembangan
lebih lanjut dari kegelkarst karena kondisi hidrologi tertentu. Distribusi dan
sebaran bukit menara pada umumnya dikontrol oleh kekar atau sesar.
Ukuran bukit menara sangat bervariasi dari pinacle kecil
hingga blok dengan ukuran beberapa kilometer persegi. Permukaan tidak teratur disebabkan
oleh depresi-depresi dan koridor dengan dedalaman hingga 150 meter. Kontak dari
bukit menara dengan dataran aluvium merupakan tempat pemumculan mataair dan
perkembangan goa. Telaga dan rawa juga sering ditemukan di kaki dari
bukit-bukit menara. Rawa yang relatif bersifat asam selanjutnya akan
mempercepat pelarutan secara lateral membentuk bukit-bukit yang semakin curam
hingga tegak. Bila muka tanah turun, rawa akan teratus dan ditutupi oleh
endapan koluvium dari rombakan bukit menara, sehingga bukit menara berubah
menjadi tidak curam.
Karst menara dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama,
bukit menara merupakan bukit sisa batugamping yang terisolir diantara rataan
batugamping yang telah tertutup oleh endapan aluvium. Kedua, bukit menara merupa-kan
bukit sisa dari batugamping yang berada di dataran dengan batuan non karbonat.
Tipe Karst yang Lain
Selain klasifikasi di atas, literatur atau peneliti karst
lain telah memberi nama tertentu untuk suatu kawasan karst. Penamaan yang
digunakan hanya dimaksudkan untuk memberi nama tanpa bermasud mengklasifikasi
secara sistematis. Beberapa tipe karst yang sering digunakan dan sering muncul
di literatur karst antara lain labirynt
karst dan polygonal karst.
Labyrint
karst merupakan karst yang dicirikan oleh koridor-koridor atau
ngarai memanjang yang terkontrol oleh kekar atau sesar. Morfologi karst
tersusun oleh blok-blok batugamping yang dipisahkan satu sama lain oleh
ngarai/koridor karst. Karst tipe ini terbentuk karena pelarutan jauh lebih
intensif di jalur sesar dan patahan.
|
|
Karst Poligonal merupakan penamaan yang
didasarkan dari sudut pandan morfometri dolin. Karst tipe ini dapat berupa
karst kerucut maupun karst menara. Karst dikatakan poligonal apabila ratio luas
dolin dangan luas batuan karbonat mendekati satu atau satu. dengan kata lain
semua batuan karbonat telah berubah menjadi kumpulan dolin-dolin dan dolin
telah bergambung satu dengan lainnya.
Ad/A =
1
Ad : Luas keseluruhan
dolin
A : Luas keseluruhan
batuan karbonat
Gambar
7. Foto udara dan foto lapangan dari tipe karst poligonal (Haryono dan Day,
2004)
Karst Fosil karst fosil merupakan
karst terbentuk pada masa geologi lamapu dan saat ini karstifikasi sudah
berhenti (Sweeting, 1972). Dalam hal ini karstifikasi tidak berlangsung hingga
saat ini karena perubahan iklim yang tidak lagi mendukung proses karstifikasi.
Karst fosil banyak diketukan di Baratlaut Yoksire-Ingris. Karst fosil dapat
dibedakan menjadi dua tipe. Pertama, karst yang terbentuk di waktu geologi
sebelumnya dan tidak tertutupi oleh batuan lain. Tipe ini disebut dengan bentuklahn tinggalan (relict landform). Kedua, karst terbentuk di periode geologi
sebelumnya yang kemudian ditutupi oleh batuan nonkarbonat. Bentuklahan karst
tersebut selanjutnya muncul ke permukaan karena batuan atapnya telah tersingkap
oleh proses denudasi. Tipe ini disebut dengan bentuklahan tergali (exhumed lanform).
BAGIAN II –HIDROLOGI KARST
PENDAHULUAN
Pada awalnya, berbicara mengenai hidrologi karst
tentunya mempunyai konsekwensi logis yang dapat terbagi menjadi dua topik
pembicaraan utama yaitu hidrologi dan karst. Hidrologi , menurut Linsley et. al. (1975) adalah cabang dari ilmu geografi fisik yang
berurusan dengan air dimuka bumi dengan sorotan khusus pada sifat, fenomena dan
distribusi air di daratan. Hidrologi dikategorikan secara khusus
mempelajari kejadian air di
daratan/bumi, deskripsi pengaruh sifat daratan
terhadap air, pengaruh fisik air terhadap daratan dan mempelajari
hubungan air dengan kehidupan. Pada sisi yang lain, karst dikenal sebagai suatu
kawasan yang unik dan dicirikan oleh topografi eksokarst seperti lembah karst,
doline, uvala, polje, karren, kerucut karst dan berkembangnya sistem drainase bawah
permukaan yang jauh lebih dominan dibandingkan dengan sistem aliran
permukaannya (Adji dkk, 1999).
Jika kita belajar hidrologi secara
umum pasti tidak akan pernah lepas dari siklus hidrologi, yaitu peredaran air
di bumi baik itu di atmosfer, di permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi.
Selama siklus tersebut, air dapat berubah wujudnya yaitu padat, cair maupun gas
tergantung dari kondisi lingkungan siklus hidrologi. Jumlah air dalam siklus
hidrologi selalu tetap dan hanya berubah distribusinya saja dari waktu ke waktu
akibat adanya pengaruh dari faktor tertentu (Adji dan Suyono, 2004). Siklus
hidrologi secara umum disajikan pada Gambar 1. Seperti disebutkan diatas,
karena sifatnya, fokus dari hidrologi karst adalah bukan pada air permukaan
tetapi pada air yang tersimpan di bawah tanah pada sistem-sistem drainase bawah
permukaan karst. Untuk lebih jelasnya, Gambar 2 mengilustrasikan drainase bawah
permukaan yang sangat dominan di daerah karst.
|
Gambar 1.
Siklus Hidrologi (Sumber: www.ecn.purdue/edu/.../gishyd.html)
|
Gambar 2. Drainase bawah permukaan
di daerah karst
Dari Gambar 2 terlihat bahwa
karena sifat batuan karbonat yang mempunyai banyak rongga percelahan dan mudah
larut dalam air, maka sistem drainase permukaan tidak berkembang dan lebih
didominasi oleh sistem drainase bawah permukaan. Sebagai contoh adalah sistem
pergoaan yang kadang-kadang berair dan dikenal sebagai sungai bawah tanah.
Selanjutnya, dalam bahasan ini akan lebih banyak dideskripsikan hidrologi karst
bawah permukaan yang selanjutnya akan kita sebut sebagai airtanah karst. Secara definitif, air pada sungai bawah tanah di
daerah karst boleh disebut sebagai airtanah merujuk definisi airtanah oleh Todd
(1980) bahwa airtanah merupakan air yang mengisi celah atau pori-pori/rongga
antar batuan dan bersifat dinamis. Sedangkan,
air bawah tanah karst juga merupakan air yang mengisi batuan/percelahan yang
banyak terdapat pada kawasan ini, walaupun karakteristiknya sangat berbeda
dibandingkan dengan karakteristik airtanah pada kawasan lain.
Pada daerah non-karst, dengan mudah
kita dapat membedakan antara sistem hidrologi permukaan dan bawah permukaan.
Secara sederhana, konsep Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dianggap sebagai unit
untuk mengkaji sistem hidrologi baik itu permukaan maupun bawah permukaan. DAS
sering pula dikenal sebagai drainage
basin (cekungan yang mempunyai sistem aliran) yang mempunyai karakteristik
aliran permukaan dan bawah permukaan dan keluar melalui satu outlet dibatasi
oleh batas topografi berupa igir. Batas dari DAS dapat dikatakan selalu tetap
dan tidak berubah sepanjang masa, terutama jika kita berbicara mengenai air
permukaan. Sementara itu, sistem airtanah (akuifer) dapat memotong batas
topografi DAS dan menjadi bagian dari beberapa DAS. Sebaliknya, konsep DAS
aliran permukaan di daerah karst sulit dikenali karena lebih berkembangnya
bawah permukaan. Kenyataan yang ada adalah banyaknya lorong-lorong hasil proses
solusional dan sangat sedikitnya aliran permukaan.
Jankowski (2001) mengatakan bahwa
terdapat tiga komponen utama pada sistem hidrologi karst, yaitu : akuifer,
sistem hidrologi permukaan, dan sistem hidrologi bawah permukaan. Di karst,
cekungan bawah permukaan dapat diidentifikasi dengan mencari hubungan antara
sungai yang tertelan (swallow holes)
dan mata air. Cekungan bawah permukaan ini dapat berkorelasi dengan cekungan
aliran permukaan (DAS) jika jalur-jalur lorong solusional pada bawah permukaan utamanya bersumber pada
sungai permukaan yang masuk melalui ponor. Tapi, secara umum batas antara DAS
permukaan dan bawah permukaan adalah tidak sama. Sistem bawah permukaan,
terutama yang memiliki kemiringan muka airtanah yang rendah dapat mempunyai
banyak jalur dan outlet (mataair). Selanjutnya, karena terus berkembangnya
proses pelarutan, muka airtanah, mataair dan jalur sungai bawah tanah di
akuifer karst juga dapat berubah-ubah menurut waktu.
AKUIFER KARST
Akuifer dapat diartikan sebagai
suatu formasi geologi yang mampu menyimpan dan mengalirkan airtanah dalam
jumlah yang cukup pada kondisi hidraulik gradien tertentu (Acworth, 2001).
Cukup artinya adalah mampu mensuplai suatu sumur ataupun mata air pada suatu
periode tertentu. Dapatkah formasi karst yang didominasi oleh batuan karbonat
disebut sebagai suatu akuifer?. Jawaban dari pertanyaan ini dapat kita
kembalikan dari definisi akuifer seperti yang telah disebutkan di atas. Jika
formasi karst dapat menyimpan dan mengalirkannya sehingga sebuah sumur atau
mataair mempunyai debit air yang cukup signifikan, maka sah-sah saja jika
formasi karst tersebut disebut sebagai suatu akuifer. Perdebatan mengenai hal
ini sudah terjadi terutama pada masa-masa lampau dan solusi yang ada biasanya
tergantung dari sudut hidrogeologis mana kita memandangnya. Selanjutnya, dua
hal ekstrim pada akuifer karst adalah adanya sistem conduit dan diffuse yang
hampir tidak terdapat pada akuifer jenis lain (White, 1988). Ada kalanya suatu
formasi karst didominasi oleh sistem conduit
dan ada kalanya pula tidak terdapat lorong-lorong conduit tetapi lebih
berkembang sistem diffuse, sehingga hanya mempunyai pengaruh yang sangat kecil
terhadap sirkulasi airtanah karst. Tetapi, pada umumnya suatu daerah karst yang
berkembang baik mempunyai kombinasi dua element tersebut. Gambar 3 menunjukkan
sistem conduit, diffuse, dan campuran pada formasi karst. Selain itu menurut
Gillison (1996) terdapat satu lagi sistem drainase di daerah karst yaitu sistem
rekahan (fissure). Ketiga istilah ini
akan dibahas lebih lanjut pada subbab yang lain.
|
Gambar 3. Diffuse, campuran dan conduit airtanah karst
(Domenico and Schwartz, 1990)
Perbedaan Utama Akuifer Karst dan Akuifer Non-karst
Dalam geohidrolika akuifer,
terdapat beberapa istilah sifat akuifer yaitu zonasi vertikal airtanah,
porositas batuan, konduktivitas hidraulik (K), transmissivitas (T),
homogenitas-heterogenitas, isotropi-anisotropi, dll. Sub bab ini akan membahas
perbedaan utama karakteristik dan sifat-sifat akuifer pada daerah non-karst dan
karst.
a. Zonasi vertikal
Pada akuifer non karst, zonasi
vertikal mempunyai pola sebagai berikut :
- lapisan
paling atas dibawah tanah adalah zona tak jenuh (aerasi)
- lapisan
ditengah adalah zona intermediate yang dibagi lagi menjadi zone vadose dan zone
kapiler
- lapisan di
bawah muka airtanah (water table)
dikenal sebagai zone jenuh air
Sifat dan kedudukan akuifer
non-karst secara vertikal ini cenderung tetap dan hanya berfluktuasi menurut
musim sepanjang tahun.
Sementara itu, sifat agihan
vertikal akuifer pada batuan karbonat cenderung berubah dari waktu ke waktu
tergantung dari cepat lambatnya tingkat pelarutan dan lorong-lorong yang
terbentuk. Pada akhirnya, penurunan muka airtanah akan stabil setelah mencapai
kedudukan yang sama dengan water level setempat (local base level) jika batuan karbonat terletak di atas formasi
batuan lain. Secara umum perbedaan zonasi vertikal akuifer karst dan non karst
disajikan pada Gambar 4.
b. Porositas
Porositas
(a)
atau kesarangan batuan adalah rasio antara volume pori-pori batuan dengan total
volume batuan, seperti yang dinotasikan pada rumus ini :
V pori
a
= ……………………(1)
V tot
|
|
Gambar 4. Zonasi vertikal akuifer
karst (kanan) dan non karst (kiri)
Besar kecilnya porositas
tergantung dari jenis batuan dan matrik pada batuan itu sendiri. Berbicara
mengenai besarnya porositas batuan karbonat pada daerah karst tidak semata-mata
tergantung dari matriks batuan, tetapi lebih tergantung dari proses lanjutan
setelah batuan itu terbentuk atau muncul di permukaan bumi. Secara umum
porositas batuan dibedakan menjadi dua tipe yaitu:
·
Porositas
primer, yaitu
porositas yang tergantung dari matriks batuan itu sendiri; dan
- Porositas
sekunder, yaitu
porositas yang lebih tergantung pada proses sekunder seperti adanya
rekahan ataupun lorong hasil proses solusional
Dalam
hal ini, jika dikatakan bahwa batuan karbonat di daerah karst mempunyai
porositas yang besar adalah lebih signifikan karena adanya percelahan hasil
proses pelarutan sehingga lebih cocok digolongkan sebagai porositas sekunder.
Kesimpulannya, batuan gamping yang belum terkarstifikasi akan mempunyai nilai
porositas yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan batuan gamping yang telah
terkarstifikasi dengan baik. Tabel 1 menyajikan porositas pada beberapa jenis
batuan termasuk pada batuan gamping/karbonat.
Batuan gamping dan juga dolomit
yang belum terkarstifikasi mempunyai kisaran nilai porositas yang sangat kecil (maksimal
10%). Sebaliknya, jika jika batuan gamping telah terkarstifikasi akan mempunyai
nilai porositas yang tinggi (mencapai 50%).Selanjutnya, Gambar 5
mengilustrasikan perbedaan tipe porositas pada daerah karst dan non-karst.
|
|
||||
|
|
Gambar 5. Tipe porositas pada karst (kanan) dan non-karst
(kiri)
Tabel 1. Besarnya porositas pada berbagai material batuan
Material
|
a (%)
|
Sedimen
tidak kompak
|
|
Kerikil
Sand
Silt
Lempung
|
25 – 40
25 – 50
35 – 50
40 - 70
|
Batuan
|
|
Fractured basalt
Gamping terkarstifikasi
Sandstone
Gamping, dolomit
Shale
Fractured crystalline rock
Dense crystalline rock
|
5 – 50
5 – 50
5 – 30
0 – 20
0 – 10
0 – 10
0
- 5
|
Sumber : Acworth (2001)
Dari Gambar 5 terlihat bahwa tipe porositas pada batuan
non-karst biasanya bersifat teratur dan intergranuler
(saling berhubungan ke segala arah), sementara pada batuan karst sangat
tergantung dari arah dan kedudukan percelahan (cavities) yang terbentuk karena proses solusional. Dari waktu ke
waktu, jika sistem percelahan masih memungkinkan untuk terus berkembang, maka
besarnya porositas sekunder ini juga akan bertambah besar.
c. Permeabilitas (K) dan Transmissivitas
(T) akuifer
Permeabilitas atau konduktivitas
hidraulik (K) secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan suatu batuan untuk meloloskan air/cairan. Nilai K tergantung
dari media (batuan) dan independen terhadap jenis cairan. Sementara itu
transmissivitas (T) adalah sejumlah air yang dapat mengalir melewati satu unit
luas akuifer secara 100% horizontal. Nilai T ini merupakan suatu fungsi
berbanding lurus dengan H konduktivitas hidraulik (K) dan tebal akuifer (b), sehingga :
T =
K . b ………………..
(2)
dimana T= transmissivitas akuifer (m2/hari)
K= permeabilitas akuifer (m/hari)
b = tebal akuifer (m)
Nilai
K dan T tentu saja tergantung dari besar kecilnya porositas, sortasi batuan,
tektur batuan, dll. Akibatnya, karena lorong-lorong solusional yang dihasilkan
pada batuan gamping yang terkarstifikasi dengan baik mengakibatkan nilainya
menjadi cukup signifikan pula dibanding jenis batuan lain, seperti yang
ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Besarnya porositas pada berbagai material batuan
Hydraulic Conductivity (K)
|
From (m/dt)
|
To (m/dt)
|
Gravel
Clean sand
Silty sand
Silt,loess
Glacial till
Marine clay
Shale
Unfractured basement
Sandstone
Limestone
Fractured basement
Basalt (interflow)
Karst limestone
|
10-3
10-5
10-7
10-9
10-12
10-12
10-13
10-14
10-10
10-9
10-8
10-7
10-6
|
1
10-2
10-3
10-5
10-6
10-9
10-9
10-10
10-6
10-6
10-4
10-3
10-3
|
Sumber : Acworth (2001)
Smith et al. (1976) dalam Ford and
Williams (1989) mengevaluasi nilai K pada batuan gamping yang sangat masif
memiliki permeabilitas primer yang pada mulanya sangat kecil, dan kemudian
memiliki nilai K yang jauh lebih besar (x106) pada porositas
sekunder batuan tersebut yang telah berkembang membentuk jaringan lorong bawah
tanah yang baik.
d. Isotropik dan homogenitas akuifer
Pada batuan atau materi daerah
non-karst yang tersortasi dengan baik, sebagai contoh akuifer lereng gunungapi
yang didominasi oleh batuan pasir tentu saja mempunyai nilai K dan porositas
yang teratur ke segala arah (Gambar 5). Pada kondisi ini nilai K (konduktivitas
hidraulik) dapat dikategorikan sebagai independen terhadap posisinya pada
perlapisan batuan. Akuifer ini dikenal sebagai akuifer yang homogen karena nilai K tidak tergantung
posisinya pada suatu formasi batuan. Sebaliknya, jika nilai K bervariasi pada
suatu titik pada formasi batuan, maka akuifernya dikenal sebagai heterogen.
Selanjutnya, dikenal pula istilah
akuifer isotropis jika nilai K tidak
tergantung dari arah pengukuran pada suatu formasi batuan dan akuifer anisotropis jika nilai K
tergantung/bervariasi tergantung kedudukan dan arah terhadap formasi batuan.
Sebagai ilustrasi, tipe-tipe akuifer berdasarkan arah dan kedudukan nilai K
dapat dilihat pada Gambar 6.
Pada akuifer karst yang didominasi
oleh porositas sekunder yang arah dan dimensinya tergantung dari tingkat
pelarutan batuan memiliki sifat heterogen-anisotropis.
Pengukuran dan definisi tentang heterogenitas akuifer karst pertama kali
dilakukan oleh Yuan (1985) dalam Ford and Williams (1989). Pengukuran yang
dilakukan menunjukkan bahwa nilai K pada arah sumbu x, y dan z tidak
menunjukkan magnitudo yang sama, sehingga akuifer karst dapat diklasifikasikan
sebagai anisotropis. Sebagai kesimpulan, akuifer karst mempunyai perbedaan
karakteristik yang sangat mencolok dibanding akuifer-akuifer yang lain,
terutama karena sifat batuannya yang mudah larut dalam air dan membentuk
lorong-lorong drainase. Sebenarnya, masih terdapat banyak sekali perbedaan,
misalnya dalam hal muka airtanah (water
table), aplikasi rumus aliran Darcy, dll., yang akan dibahas pada subbab
berikutnya.
|
|
|
|
Gambar 6. Akuifer
homogen-heterogen, isotropis-anistropis
(Sumber: http://www.bae.uky.edu/sworkman/AEN438G/aquifer/aquifer.html)
Gambar 7. Sistem aliran internal pada akuifer karst
(White, 1988)
|
Sistem Hidrologi Akuifer Karst
Seperti dijelaskan pada Pendahuluan, sistem hidrologi di
daerah karst didominasi oleh pola diffuse dan conduit. Selanjutnya Gambar 7
mengilustrasikan skema sistem aliran internal akuifer karst..Pada Gambar 7
bagian atas adalah permukaan tanah, dan diasumsikan memiliki tiga komponen
daerah tangkapan air yaitu: dari formasi karst itu sendiri, daerah lain
non-karst yang berdekatan (contoh: aliran allogenic), dan masukan dari bagian
atas formasi karst (misal: sungai yang masuk/tertelan) atau masukan langsung
secara vertikal. Sebagian hujan akan terevapotranspirasikan dan sisanya akan
masuk ke akuifer karst sebagai limpasan allogenic,
limpasan internal dan infiltrasi rekahan-rekahan kecil ( diffuse
infiltration). Hujan yang masuk harus menjenuhkan tanah dan zone rekahan/epikarst
sebelum masuk ke zona vadose. Sungai yang tertelan dan masuk melalui ponor pada
lembah/doline biasanya langsung membentuk lorong conduit dan dapat berkembang sebagai saluran terbuka atau pipa-pipa
vadose. Selain itu, air yang dialirkan dari dari daerah tangkapan hujan atau
dari aquifer yang bertengger diatas formasi karst (jika ada) biasanya akan
langsung menuju zone vadose melalui lorong-lorong vertikal. Akhirnya, aliran
tersebut dapat bergabung dengan lorong conduit dari masukan lain, dan ada pula
yang menjadi mataair bila kondisi topografi memungkinkan. Ilustrasi
perkembangan conduit disajikan pada Gambar 8.
Imbuhan yang mempunyai sifat diffuse bergerak secara seragam kebawah melalui rekahan-rekahan
yang tersedia (fissure). Jika sistem
diffuse oleh fissure berkembang baik, maka dapat dipastikan bahwa proses
infiltrasi pada zona epikarst berlangsung dengan baik. Pada karst yang
berkembang baik, fissure sudah menjadi satu sistem dengan conduit (mixed-Gambar 2) dan memasok aliran
airnya ke lorong-lorong conduit. Gambar 9 menunjukkan perbedaan tipe aliran
antara sistem diffuse dan conduit.
|
Gambar 8. Perkembangan lorong conduit (Sumber:
water.usgs.gov/.../ jbm_exchangematrix.htm)
|
Gambar 9. Sistem aliran conduit vs sistem aliran diffuse (White,
1988)
Jika kita perhatikan lagi Gambar 3, pada mulanya aliran yang
bersifat diffuse lebih dominan melalui fissure/rekahan
kecil yang berjumlah banyak dan rapat (Gambar 3.a). Dengan terus berkembangnya
proses solusional, jaringan conduit (lorong/pipa) mulai berkembang dan
menyebabkan meningkatnya jumlah aliran. Pada masa tersebut dapat dikatakan
bahwa sistem aliran yang berkembang adalah campuran (mixed) antara sistem diffuse dan conduit (Gambar 3.b). Pada karst
yang dewasa dan telah berkembang dengan baik sistem conduit lebih dominan dan
hampir tidak terdapat sistem diffuse (Gambar 3.c). Selanjutnya, White (1988)
membagi akuifer karst menjadi 3 model konseptual atas dasar sifat alirannya
yaitu :
- Diiffuse-flow
karst aquifer atau akuifer dengan sistem aliran dominan diffuse.
Akuifer ini tidak memiliki aktivitas pelarutan yang baik, sehingga dapat
dikategorikan sebagai akuifer homogen dan sistem alirannya mendekati hukum
Darcy (Gambar 9). Akuifer ini biasanya terdapat pada akuifer karbonat yang
tidak mudah larut, misalnya dolomit. Air bergerak sepanjang
rekahan-rekahan kecil yang hanya sedikit terpengaruh oleh aktivitas
pelarutan. Jika terdapat goa, biasanya kecil dan tidak berhubungan satu
sama lain. Output air biasanya juga hanya memiliki debit dalam jumlah yang
kecil sebagai mataair atau rembesan. Muka airtanah dapat dengan mudah
didefinisikan dan karena sebagian recharge adalah melalui fracture, fluktuasinya tidak
terlalu besar dan kedudukan muka airtanah (water table) dapat sedikit diatas base level regional.
- Free-flow
karst aquifer. Akuifer ini juga memiliki aliran tipe diffuse, tetapi
lorong-lorong solusional lebih dominan dimana sebagian besar aliran adalah
melalui lorong-lorong conduit yang ada. Airtanah karst pada akuifer ini
sangat terkontrol oleh distribusi dan arah dari lorong-lorong tersebut.
Gambar 9. mengilustrasikan bahwa pendekatan hukum aliran yang digunakan
adalah pipe flow karena sebagian
besar air terdapat pada lorong-lorong conduit yang diibaratkan mempunyai
bentuk seperti pipa dengan diameter tertentu. Oleh karena itu, kecepatan
aliran diidentikkan dengan kecepatan aliran saluran permukaan
(misal:sungai). Sifat alirannya adalah turbulen dan bukan laminar. Pada
akuifer ini, mataair dapat mempunyai respon yang sangat cepat terhadap recharge/hujan dan mungkin pula
mempunyai karakteristik hidrograf aliran yang sama dengan sungai
permukaan.
- Confined-flow
karst aquifer atau akuifer karst yang berada dibawah batuan yang
mempunyai nilai permeabilitas yang sangat kecil. Sistem aliran akuifer ini
sangat dikontrol oleh lapisan diatasnya, walaupun memiliki lorong-lorong
hasil proses solusional.
Muka airtanah karst
Muka airtanah adalah batas antara
zone jenuh dan zone tak jenuh. Secara sederhana muka airtanah adalah air yanag
kita temukan pertama kali ketika kita menggali sebuah sumur. Secara regional,
notasi airtanah sering kali dinyatakan dengan suatu istilah yang dikenal
sebagai hydraulic head atau jumlah antara tekanan hidrostatis airtanah
dan ketinggian tempat. Lebih mudahnya,
nilai hydraulic head adalah
nilai ketinggian tempat dikurangi ketinggian muka airtanah dari permukaan bumi,
seperti yang disajikan pada Gambar 10. Selanjutnya, peta garis yang menunjukkan
tempat yang mempunyai nilai hydraulic
head yang sama disebut peta kontur airtanah atau equipotential map. Jika peta tesebut dilengkapi dengan arah aliran
airtanah maka dikenal sebagai flownets
atau jaring-jaring airtanah. Karena airtanah mengalir dari tempat yang bernilai
hydraulic head tinggi ke rendah, maka
akan memiliki apa yang dikenal sebagai hydraulic
gradient atau kemiringan muka airtanah.
Apakah ada muka airtanah (watertable) di akuifer karst? Dan
jikalau ada apakah mempunyai karakteristik seperti halnya pada akuifer-akuifer
non-karst?. Perdebatan mengenai karakteristik dan eksistensi muka airtanah di
akuifer karst sudah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu.
|
Gambar 10. Hydraulic head
Pada satu pihak banyak argumen
percaya bahwa sungai yang masuk ke akuifer karst secara langsung/tertelan
melalui swallow hole dan menjadi sungai
bawah tanah dan mengalir terus ke bawah serta tidak mempunyai level atau muka
freatik yang teratur/homogen seperti halnya pada akuifer non-karst, sehingga
disimpulkan bahwa muka airtanah tidak dapat didefinisikan/tidak ada. Pendapat
lain mengatakan bahwa muka airtanah di akuifer karst dapat didefinisikan dengan
cara melihat keseluruhan cekungan airtanah karst dan sekitarnya dan tidak hanya
terfokus pada akuifer yang didominasi oleh sistem conduit saja. Cekungan karst
ini akan mempunyai dua sistem aliran utama yaitu diffuse dan conduit, walupun
pada tingkat yang lebih dalam akan lebih terkonsentrasi pada lorong-lorong
conduit. Sebagai contoh adalah keberadaan goa-goa dengan sungai bawah tanah.
Pada akhirnya, jika gerakan airtanah pada lorong conduit sudah mulai pelan,
biasanya sudah mulai mendekati laut atau pantai sehingga kemiringan muka
airtanahnya sudah mulai rendah dan mendekati datar. Pada kondisi ini, orang
biasanya dapat membuat sumur gali untuk keperluan sehari-hari, sehingga dapat
disimpulkan bahwa muka airtanah sudah dapat didefinisikan. Pada kondisi ini
juga tidak begitu penting apakah air yang terdapat pada sumur itu merupakan
muka airtanah atau merupakan lorong conduit yang jenuh air dan tepat pada
pertemuan retakan-retakan batuan karbonat. Selanjutnya, ketinggian muka
airtanah dapat didefinisikan dengan cara melakukan tracer test yang dikombinasikan dengan pemetaan goa, pemetaan
retakan dan conduit, serta pemetaan muka airtanah pada sumur-sumur gali
penduduk. Contoh yang sudah dilakukan di DIY adalah yang dilakukan oleh
MacDonalds and partners (1983) ketika mencoba membuat peta kontur muka freatik
pada karst Gunung Sewu di Kabupaten Gunung Kidul.
White (1988) menyatakan bahwa
terjadinya silang pendapat mengenai ada tidaknya muka airtanah di karst lebih
disebabkan oleh ketidakpersamaan atau kurangnya pengetahuan mengenai konsep
muka airtanah. Muka airtanah tidak pernah statis dan berfluktuasi menurut
faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya seperti terhadap musim. Lebih jauh
lagi, mendefiniskan muka airtanah karst memang tidak semudah mencari muka
airtanah pada akuifer yang teratur, homogen dan isotropik. Keunikan akuifer
karst adalah terletak pada respons yang cepat pada sistem aliran conduit jika
terjadi perubahan imbuhan (hujan) dibandingkan pada sistem diffuse. Pada sistem
conduit, muka airtanah akan cepat sekali naik mencapai puluhan meter hanya
dalam waktu beberapa jam saja dan selanjutnya bisa langsung turun lagi dengan
cepat. Kenyataan ini hampir tidak pernah dijumpai pada akuifer jenis lain,
bahkan pada akuifer karst lain yang didominasi oleh aliran diffuse. Pada karst
dengan aliran diffuse, yang tentu saja memiliki nilai konduktivitas hidraulik
lebih kecil, respon terhadap hujan akan berjalan pelan, sehingga dapat
dikatakan bahwa fungsi regulator karst berjalan dengan baik.
Pada sisi lain, stratigrafi pada
cekungan dimana akuifer karst berada juga dapat berpengaruh terhadap sifat dan
kedudukan muka airtanah karst (Fetter, 1994). Hal ini dapat juga terjadi pada
akuifer berbatuan karbonat yang mempunyai tipe karbonat yang berbeda. Gambar
11. mengilustrasikan beberapa kondisi yang menyebabkan adanya perbedaan
kemiringan muka airtanah pada akuifer karst.
Gambar 11. Kondisi geologis yang berpengaruh terhadap muka
airtanah (Fetter, 1994)
Keterangan dari Gambar 11 adalah
sebagai berikut :
- Gambar A. Akuifer bagian atas adalah sandstone yang
relatif mempunyai nilai K yang cukup. Tetapi, karena dibawah formasi
sandstone terdapat shale yang memiliki nilai K kecil dan menyebabkan
terbatasnya imbuhan (recharge)
ke formasi batuan gamping di lapisan paling bawah. Sebaliknya, pada akuifer bagian kiri recharge dari
air hujan dapat mengalir secara bebas menuju batuan karbonat, sehingga
proses solusional dapat belangsung secara lancar. Kesimpulannya, terdapat
dua pola kemiringan muka airtanah pada bagian kiri dan kanan akibat adanya
perbedaan stratigrafi.
- Gambar B dan C. Akuifer ini mempunyai perbedaan tingkat
pelaruran (dolomit dan gamping yang mudah larut) yang mengakibatkan
terjadinya perbedaan kemiringan muka airtanah.
Kesimpulan
dari bahasan muka airtanah karst diatas adalah bahwa karakteristik muka
airtanah di akuifer karst sangat berbeda dengan akuifer di tempat lain. Faktor
yang sangat menentukan adalah adanya sifat akuifer karst yang cenderung anisotropis
karena dominasi proses pelarutan yang menghasilkan lorong-lorong conduit yang
sangat tidak beraturan. Karena sifatnya yang memiliki nilai konduktivitas
hidraulic (K) sangat tinggi terutama pada area yang mempunyai perkembangan
lorong conduit yang sangat baik, muka airtanah karst dapat berada sangat dalam
di bawah permukaan tanah. Selain itu, karena sifatnya tersebut, kadang-kadang
terdapat genangan air/aliran yang bertengger pada suatu cekungan atau lorong
diatas muka airtanah. Hal inilah yang sering menyebabkan sulitnya mendefiniskan
muka airtanah di akuifer karst. Akhirnya, karena proses pelarutan sangat
dikontrol oleh adanya retakan/rekahan pada batuan karbonat, maka muka airtanah
dapat tidak bersambung satu sama lain (discontinuous)
walaupun pada tempat-tempat yang sudah dekat dengan laut dan memiliki gradient
hidraulik sangat rendah, muka airtanah karst dikontrol oleh muka airtanah dasar
(base level) baik itu lokal maupun
dan regional. Sebagai contoh, jika kita mengebor atau membuat sumur di akuifer
karst, jangan heran jika pada kedalaman tertentu kita memperoleh air, tetapi
pada lokasi lain yang berdekatan dengan kedalaman yang sama kita tidak dapat
menemukan air.
Hukum Aliran di Akuifer Karst
Hukum Darcy dikenal secara luas di
kalangan ahli hidrologi dan biasa digunakan untuk menentukan debit airtanah.
Dalam percobaannya (Gambar 12) yang mengumpamakan akuifer sebagai suatu tabung
yang berisi pasir, Darcy menemukan bahwa kecepatan airtanah berbanding lurus
dengan beda tinggi (head) antara dua titik dalam tabung dibagi dengan panjang tabung
yang kita kenal sebagai kemiringan airtanah, dan juga berbanding lurus terhadap
koefisien yang kita kenal sebagai nilai konduktivitas hidraulik (K). Sehingga
untuk menghitung debit airtanah tinggal kita kalikan dengan luas penampang
tabung.
Jika kita notasikan maka Hukum
Darcy adalah sebagai berikut:
¶h
Q = - K A …..(3)
¶L
dimana :
A = luas penampang tabung ( akuifer)
K = konduktivitas hidraulik
¶h/¶L = kemiringan muka airtanah
Apakah hukum Darcy bisa diterapkan
di akuifer karst?. Beberapa hal sudah disinggung pada Gambar 9 bahwa jika tipe
aliran yang dominan adalah conduit dan pipa-pipa hasil pelarutan sudah
berkembang baik, maka pendekatan Darcy ini sudah tidak dapat lagi dipergunakan
lagi di akuifer karst. Selain itu, hukum Darcy mempunyai beberapa keterbatasan-keterbatasan
pada kondisi-kondisi berikut ini:
a.
Kemiringan muka airtanah sangat
kecil, misal pada cekungan yang sangat besar, relatif datar, airtanah tidak
mengalir
b.
Kecepatan aliran sangat tinggi, kemiringan muka airtanah
sangat tinggi, dan tipe aliran turbulent
|
Gambar 12. Percobaan Darcy
Pada akuifer karst yang sudah
berkembang baik, adanya conduit dan pipa-pipa solusional dapat mengakibatkan
kecepatan aliran yang sangat tinggi dan tipe alirannya bukan laminar tetapi
turbulent. Untuk memudahkan dan menguji coba apakah hukum Darcy masih dapat
berlaku pada suatu akuifer karst maka dapat digunakan formula Reynolds Number
(Re). Jika Re antara 1 s.d. 10, maka hukum Darcy masih dapat digunakan.
Re = r v d / m ………
(4)
Dimana : r = kerapatan cairan
m = viskositas/kekentalan
d = panjang segmen
v = kecepatan
Bear
(1972) dalam Ford and Williams (1992) menyimpulakan bahwa aliran turbulent
secara mutlak belum akan terjadi jika kecepatan aliran belum terlalu tinggi dan
nilai Re masih berkisar antara 100 – 1000. Kisaran ini dapat dikatakan sebagai
batas antara tipe aliran turbulent dan laminar. Selanjutnya Gambar 13
menyajikan hubungan antara diameter lorong conduit, kecepatan aliran dan nilai
Re.
Selain itu, Ford and Williams
(1992) mengatakan bahwa debit airtanah pada percobaan Darcy diukur pada cross
section penampang luas pada media jenuh, dalam hal ini pasir. Sedangkan, pada
akuifer karst yang mempunyai sifat heterogen-anisotropis, maka kecepatan aliran
akan berbeda-beda jika kita umpamakan akuifer itu sebagai suatu tabung. Pada
kondisi ini, maka kecepatan air mengalir akan sangat tergantung dari distribusi
retakan atau percelahan pada akuifer karst, sehingga secara mikroskopis pasti
mempunyai debit yang lebih besar dibanding jika kita pandang seluruh tabung
sesuai hukum Darcy tersebut. Beberapa peneliti seperti Bocker (1973) dalam Ford
and Williams (1992) menyimpulkan bahwa Hukum Darcy tidak dapat dipakai jika
terdapat retakan pada akuifer karst dengan diameter lebih dari 3 mm pada
kondisi kemiringan muka airtanah lebih dari 0,01. Selanjutnya Ewers (1982)
dalam Ford and Williams (1992) bahkan menyatakan jika diameter dari conduit
sudah mencapai 1 mm maka aplikasi dari hukum Darcy sangat diragukan. Selanjutnya, Ford and Williams (1992)
menyatakan bahwa rumus Darcy dengan sedikit perubahan yang belakangan dikenal
sebagai rumus Darcy-Weisbach dapat digunakan pada kondisi akuifer yang
didominasi oleh conduit dan mempunyai tipe aliran turbulent.
|
Gambar 13. Nilai Re pada berbagai
kecepatan aliran dan diameter pipa (Smith et.al, 1976 dalam Ford and Williams,
1992)
Imbangan Air di Akuifer Karst
Pada suatu DAS, siklus hidrologi
dan imbangan air dapat diketahui dengan cara mengetahui komponen-komponen utama
penyumbang air. Hujan yang jatuh di DAS dapat dianggap sebagai input utama, dan
muara sungai dapat didefinisikan sebagai suatu output. Di dalam DAS, jumlah air
yang masuk dan keluar haruslah sama. Hujan yang jatuh ke permukaan tanah
terbagi menjadi tiga sub sistem aliran yaitu (a) aliran yang terinfiltrasikan
pada zona tanah dan terperkolasikan menuju muka airtanah, (b) aliran permukaan (overland flow) yang kemudian berkembang
menjadi sungai permukaan, dan (c) air yang kembali ke atmosfer melalui evaporasi
dan transpirasi. Imbangan air secara
umum dapat dirumuskan sebagai berikut :
P –
E =
I + R .....................
(5)
dimana : P =
hujan
E
= evapotranspirasi
I = infiltrasi
R
= aliran permukaan
Secara khusus, imbangan air di
karst mempunyai komponen-komponen seperti yang akan dijelaskan berikut ini.
Aliran permukaan dari daerah non-karst seperti sungai permukaan masuk ke
akuifer karst melalui ponor (Qa)
dan ada pula yang tetap sebagai sungai permukaan (QR). Air hujan yang terinfiltrasi menembus lapisan
tanah karst sebagai diffuse infiltration
melalui rekahan dan retakan diberi notasi Qd.
Sisa dari hujan dikurangi infiltrasi yang akhirnya menjadi runoff akhirnya juga
masuk ke lobang-lobang ponor/sinkholes dikenal sebagai runoff internal (QI). Komponen aliran
permukaan dan bawah permukaan yang bergabung di akuifer karst menjadi keluaran
baik itu melalui mata air atau resurgence
di laut (QB). Secara
total, imbangan air karst dapat didefinisikan sebagai berikut :
Qin - Qout = Qs .............
(6)
dimana :
Qin = input komponen air yang masuk ke karst
Qout = keluaran
(outlet) pada periode yang sama
Qs = perubahan simpanan
Selanjutnya,
Gambar 14 menampilkan skema imbangan air yang terdapat pada cekungan karst.
Dari skema tersebut dapat
dijelaskan bahwa jika hujan puncak terjadi, maka muka airtanah akan naik,
demikian juga dengan simpanan pada akuifer karst. Pada musim kemarau, karena recharge dari hujan berkurang maka
simpanan juga akan turun. Qs dapat bernotasi negatif jika jumlah
masukan lebih kecil dari output, dan sebaliknya Qs bernotasi positif
jika input lebih besar dari output. Jika kita beranggapan bahwa akuifer karst
hanya memiliki satu output, maka QB atau total keluaran pada mata
air dapat dinotasikan sebagai berikut :
QB
= Qa + QI
+ Qd + QR - Qs .... (7)
Dimana :
QB = total output
Qa = aliran permukaan non-karst
(allogenic)
QI = run-off dari internal karst
Qd = infiltrasi yang bersifat diffuse
QR = sungai permukaan
QS = simpanan di akuifer
Rumus
ini biasanya dapat diterapkan pada akuifer karst secara umum, dan jika selama
beberapa waktu penerapan, imbangan air mendekati nol berarti akuifer karst
memiliki sistem conduit yang sudah berkembang. Sebaliknya jika imbangan air
tidak = nol, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat komponen masukan atau
keluaran yang tidak diketahui secara pasti jalurnya.
SURVEY
HIDROLOGI DI KARST
Seperti dijelaskan pada bahasan
sebelumnya, proses solusional yang menyebabkan adanya perbedaan perkembangan
(karstifikasi) pada akuifer karst menyebabkan pola akuifer yang terbentuk
bersifat heterogen-anisotropis. Akibatnya evaluasi mengenai struktur dan sifat
dari akuifer karst merupakan permasalahan tersendiri dan mensyaratkan teknik
yang berbeda untuk dilakukan penelitian. Penelitian terpenting di kawasan karst
adalah untuk mengevalusi keberadaan sumber daya air termasuk distribusi
spasial, kuantitas dan kualitasnya. Secara umum karena karakteristiknya yang
khas, akuifer karst menimbulkan banyak masalah dalam hal penentuan dan penyelidikan
sumberdaya air karst yang terdapat pada lorong-lorong conduit dan terakumulasi
pada sungai-sungai bawah tanah. Selain itu, tidak mungkin kita dapat melakukan
generalisasi seperti yang dilaukan pada akuifer lain karena karst dapat
memiliki berbagai tipe dan karakter akuifer yang berbeda-beda pada suatu daerah
(Ford and Williams, 1992). Selanjutnya, keberadaan air di karst biasanya hanya
dapat diamati pada sungai bawah tanah dan mata air yang dapat keluar di laut
ataupun pada goa serta karena adanya faktor topografi tertentu. Akibatnya,
kemampuan untuk melakukan survey bawah permukaan mutlak dipunyai oleh peneliti
hidrologi karst.
Ford and Williams (1992) mengemukakan bahwa penelitian
mengenai sistem aliran bawah permukaan karst perlu mencermati hal-hal seperti
berikut ini:
· distibusi vertikal dan horisontal
dari akuifer
· batas akuifer
·
sifat aliran masuk dan keluar
akuifer karst
·
hubungan, sistem pergoaan dan pola drainase bawah permukaan
· karakteristik fisik akuifer
· respon terhadap imbuhan (recharge) pada berbagai kondisi akuifer
· hubungan aliran input dan output
|
Gambar 14. Imbangan air pada cekungan fluviokarst (White,
1988)
Tabel 3.
Metode-metode evaluasi sistem drainase karst
Kondisi
aliran
|
Batas
akuifer
|
Karakteristik
akuifer
|
Skala
|
Cara
analisis
|
Laminar-linier
(diffuse-darcian)
|
infinite
|
Bebas/tertekan
|
spesifik
|
Lobang bor
|
Laminar-linier
(diffuse-darcian)
|
Kedap/bocor
|
Konstan, tergantung
ketebalan
|
lokal
|
Uji pompa, korelasi input-output
|
Homogen horizontal
Heterogen vertikal
|
Homogen-heterogen
|
regional cekungan karst
|
Imbangan air
Hidrograf mataair
Kemograf mataair
|
|
Turbulent – aliran
conduit
|
konstan/tidak
|
Isotropis anisotropis
|
Tunak/tak tunak
|
Jaringan sungai bawah
tanah
|
Sumber: (Ford and Williams, 1992)
Informasi-informasi diatas dapat diperoleh dengan
pendekatan-pendekatan seperti imbangan air dan pemboran yang biasa dilakukan
pada survey airtanah akuifer non-karst. Sementara itu analisis hidrograf
mataair karst dan penelusuran sistem sungai bawah tanah (water tracing) lebih dikembangkan untuk penyelidikan khusus akuifer
karst. Selanjutnya, Tabel 3. mengelompokkan survey dan analisis hidrologi karst
berdasarkan sifat dari aliran yang menonjol.
Dalam bahasan ini tidak akan didiskusikan semuanya
mengenai berbagai cara analisis yang mungkin dilakukan di akuifer karst untuk
mendeskripsikan sifat fisik dan terutama kondisi airtanah karst. Beberapa hal
utama yang akan dibahas adalah mengenai hidrograf
dan kemograf mataair karst serta tracer test untuk mengetahui sistem dan
jaringan sungai bawah tanah di akuifer karst.
Teknik
survey dan eksplorasi
Seperti
sudah dikemukakan pada bahasan-bahasan sebelumnya, masalah utama survey
airtanah di karst adalah terutama pada sistem dimana aliran conduit sudah
berkembang dengan baik. Pada kondisi conduit ini, lorong-lorong solusional yang
dominan menyebabkan sulitnya mengevaluasi kondisi batas akuifer secara tegas,
mengevaluasi kondisi aliran (turbulent),
serta keberadaan tipe akuifer yang bersifat heterogen-anisotropis. Sementara
itu, pada akuifer karst yang belum
begitu berkembang dengan tipe akuifer bebas (tidak tertekan) yang dapat
memiliki beberapa sistem cekungan airtanah dan hubungan antar sungai bawah
tanah yang masih mungkin dicari secara sederhana (satu sungai bawah tanah keluar
pada satu mataair), maka survey sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan
membuat flownet atau peta kontur airtanah yang kemudian dapat dicari batas
cekungan airtanahnya (groundwater divide)
serta dengan menggunakan pelacakan metode tracing (tracer test) baik itu dengan larutan atau radioaktif. Tracer test ini akan dibahas secara
khusus pada bahasan selanjutnya. Sedangkan pada akuifer tertekan, batas
cekungan airtanah masih mungkin didefinisikan dengan menggunakan pemetaan
kontur dan aliran airtanah, sementara tracer test sulit dilakukan karena
lamanya waktu tunggu. Pada kondisi ini tracer test yang mungkin digunakan
adalah dengan metode isotop (Ford and Williams, 1992).
Penggunaan
teknologi Remote Sensing (RS) dengan
batuan Sistem Informasi Geografis (SIG)
untuk penyelidikan airtanah termasuk pada kuifer karst akan memberikan pemetaan
yang efektif terhadap kenampakan di permukaan bumi yang kondusif terhadap
distribusi dan potensi airtanah pada suatu wilayah (Sander, 1996). Selanjutnya
dikatakan pula bahwa integrasi dari RS and SIG akan menyediakan pengetahuan yang lebih baik secara spasial
mengenai sumberdaya airtanah karena kemampuan SIG untuk menampilannya secara
spasial dan akurat dari banyak data dengan sumber berbeda. Beberapa penelitian
dengan bantuan teknologi RS dan SIG diantaranya oleh Parizek (1976) dalam Ford
and Williams (1992) menggunakan
pendekatan kelurusan (lineament) dan
retakan (fracture) untuk mendelineasi
sistem sungai bawah tanah di batuan karbonat. Hasil penelitian seperti yang disajikan
pada Gambar 15 menggunakan pendekatan pola-pola kelurusan dan perpotongannya
untuk menentukan posisi mata air dan lokasi yang tepat untuk membuat sumur.
Selain itu, foto udara infra merah thermal juga sering digunakan untuk
menentukan lokasi keluarnya sungai bawah tanah berupa mata air di laut. Prinsip
kerjanya adalah adanya perbedaan suhu yang mencolok antara suhu sungai bawah
tanah dan suhu airlaut.
Selanjutnya,
investigasi pada akuifer karst dapat dibantu dengan metode geofisika. Metode geofisika ini mensyaratkan
adanya variasi vertikal dan horisontal dari sifat fisik perlapisan batuan di
bawah permukaan bumi. Jika ada ketidak selarasan (discontinuities) sifat fisik perlapisan batuan, logikanya pasti
terdapat perbedaan geologi. Metode geofisika yang paling sering digunakan untuk
mengevaluasi kondisi hidrologi akuifer karst adalah metode resistivity. Metode
ini mempunyai prinsip bahwa arus listrik yang dialirkan ke bawah permukaan bumi
akan terpengaruh oleh nilai tahanan jenis batuan (resistivity) yang bervariasi
menurut pori-pori batuan, sifat dan karakteristiknya termasuk yang ada pada
akuifer karst. Ford and Williams (1992)
mengatakan bahwa metode resistivity ini telah terbukti untuk dapat
mendeskripsikan variasi vertikal dari akuifer karst karena metode ini dapat
membedakan adanya batuan karbonat yang kompak, yang jenuh air, maupun yang
tidak. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang metode ini meleset untuk
dapat secara presisi menentukan lokasi yang mengandung airtanah karst dalam
jumlah yang cukup. Selanjutnya, Loke (2000) menjelaskan tentang teknik inverse
imaging 2-dimensi yang mampu digunakan untuk menentukan keberadaan goa
karst dan kemungkinan terdapatnya sumberdaya air didalamnya, seperti yang
disajikan pada Gambar 16.
|
Gambar 15.
Pendekatan retakan dan kelurusan untuk sumber air karst
|
Gambar 16. Contoh Inversion Model 2-D untuk pendugaan airtanah di
goa (Loke, 2000)
Akhir-akhir ini telah banyak metode geofisika lain yang
dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi hidrologi di akuifer karst seperti
yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4.
Metode geofisika yang dapat digunakan untuk survey hidrologi karst
Metode geofisika
|
Sifat fisik teramati
|
Geolistrik
Seismic Method
Gravity
Magnetic
Radiometric
Radar
Uji lobang bor
|
Resistivity/conductivity
Kecepatan gelombang
Density (kepadatan)
Sifat magnet bumi
Radioactivity
Dialectric Permittivity
Tergantung sensor yang digunakan
(cpt;suhu;resistivity;conductivity, dll)
|
Penggunaan analisis
lobang bor selain untuk menentukan perlapisan dan sifat batuan selain
dengan menggunakan sensor seperti yang disajikan pada Tabel 4. juga dapat
diamati tanpa sensor secara langsung untuk memperoleh data-data, diantaranya
lokasi/kedalaman dimana sutau akuifer karst mempunyai nilai permeabilitas yang tinggi
serta koefisien simpanan dari akuifer karst yanr terukur. Selain itu,
borehole recharge test atau uji lobang bor dengan memasok air ke dalam
lobang dapat digunakan untuk menentukan nilai permeabilitas (K) dari suatu
segmen tertentu dari akuifer karst. Sementara itu, uji pompa lobang bor (pumping
test) juga dapat dilakukan di akuifer karst walaupun mempunyai
keterbatasan-keterbatasan tertentu.
Teknik
Pelacakan Airtanah Karst (Water Tracing)
Teknik
water tracing dikenal secara luas sebagai salah satu metode yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk mencari hubungan antar goa atau sistem sungai bawah
tanah di akuifer karst. Hal ini dilakukan oleh MacDonalds and Partners (1983)
untuk melacak sistem sungai bawah tanah di karst Gunung Sewu, Yogyakarta .
Hasil pelacakan tersebut sampai sekarang masing digunakan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap pengembangan sumberdaya air karst di wilayah
tersebut. Teknik ini secara sederhana
adalah memasukkan atau menuang sesuatu pada aliran air di swallow hole atau sungai yang akan masuk ke goa, atau
ponor/sinkhole dan kemudian menghadang atau menjemput pada suatu lokasi yang
diperkirakan mempunyai hubungan dengan titik awal kita menuang tracer tadi. Jika tracer yang kita tuang “tertangkap” secara fisik ataupun dengan alat pengukur
yang lain maka dapat dipastikan bahwa ada hubungan antara titik pertama tempat
kita menuang tracer dengan titik kedua tempat kita mencegat tracer tersebut.
Jankowski
(2001) membagi bahan pelacakan menjadi tiga yaitu tracers, kimia & pewarna
(dye), serta radioaktiv. Prinsip
ketiga jenis bahan pelacakan ini dalah sama yaitu memasukkan bahan pelacak pada
sebagaian sistem aliranyang diperkirakan pada akuifer karst dan melakukan
monitoring pada titik output atau keluaran dari sistem tersebut. Karena sifat
aliran di akuifer karst yang cepat, terutama pada conduit serta adanya
kemungkinan kebocoran atau rumitnya jaringan sistem karst bawah tanah, maka
untuk identifikasi daerah tangkapan dan keluaran pada sistem akuifer karst,
tracer haruslah mempunyai syarat-syarat seperti berikut ini :
·
Tidak beracun
·
Larut di air
·
Dapat dilakukan dengan jumlah yang
tidak terlalu banyak
·
Resisten (tidak merubah reaksi
kimia di air)
·
Tidak dapat terserap oleh batuan
·
Tidak terpengaruh reaksi pertukaran ion
·
Murah
·
Mudah dianalisis
Selanjutnya beberapa contoh
tracer akan dibahas satu persatu :
a. Garam
Garam sebagai NaCl (natrium klorida) atau KCl (kalium
klorida) merupakan bahan pelacak yang pertama kali dan paling sering digunakan
pada teknik ini. Selanjutnya LiCl (lithium klorida) juga digunakan dengan
tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Karena sifatnya yang sangat mudah larut
dalam air, penggunaan garam untuk media tracing test ini memerlukan jumlah
garam yang sangat banyak, terutama untuk mendeteksi jaringan sungai bawah tanah
yang berjarak panjang dan debit yang besar. Jika jumlah garam yang dimasukkan
ke air kurang, maka pada titik output yang diamati tidak akan terdeteksi adanya
korelasi, walaupun sesungguhnya merupakan satu sistem dengan titik inputnya.
Bogli (1980) mencontohkan bahwa untuk jarak tracing sekitar 3 s.d 5 km
dibutuhkan setidaknya 500 kg garam untuk mencapai hasil yang optimal.
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa penggunaan garam terbanyak yang pernah
dilakukan adalah pelacakan sistem sungai bawah tanah di Tuttlingen, Jerman
ketika 50.000 kg garam dimasukkan untuk mencari hubungan antara sebuah ponor
dan mata air karst terbesar di Jerman, Aaschquelle. Setelah durasi waktu 4
hari, konsentrasi terbesar garam di mataair tersebut teramati dengan konsentrasi
Cl yang hanya mencapai 39 mg/l. Hal ini membuktikan bahwa adanya daya larut
yang tinggi dari garam serta kondisi lorong selama transport membuktikan
besarnya keterbatasan metode tracing dengan garam.
b.Spora
Bahan
tracer yang sering digunakan dapat bermacam-macam, tetapi hanya beberapa saja
yang sukses dilakukan seperti penggunaan spora dari “lycopodium clavatum”
(Bogli, 1980). Spora ini mempunyai diameter 25 mikron, termasuk serbuk sarinya
yang mempunyai kerapatan partikel sedikit lebih diatas air sehingga jika
kondisi aliran lorong-lorong solusional adalah turbulen, spora ini tetap akan
bertahan dalam air dan mudah dideteksi pada titik output yang dikehendaki.
Keuntungan dari penggunaan spora ini adalah karena sifatnya yang tidak beracun
(non-toxic), dan banyak terdapat di
air dimanapun di bumi ini. Biasanya, tracing dilakukan dengan memberi warna
pada beberapa spora tersebut dengan warna yang berbeda-beda, sehingga beberapa
input point dapat diuji secara besama-sama. Bogli juga mengungkapkan bahwa cara
ini terbukti berhasil untuk menentukan jaringan antara sungai permukaan yang
masuk ke karst dengan mataair. Sementara itu jumlah spora yang hilang saat
waktu transport cukup banyak dan kemungkinan karena terserap oleh sedimen di
sungai bawah tanah.
c. Pewarna (dye) dan tracer kimia
Metode pewarna ini terkesan sederhana karena hanya
memberi laritan pewarna pada air sehingga dapat diamati atau ditangkap dengan
sensor pada output yang diinginkan. Pada kondisi yang memungkinkan, dye
dikombinasi dengan zat kimia yang biasa digunakan adalah pewarna
berfluorescence atau uranin yang terbukti efektif sampai jarak 25 km (Bogli,
1980). Sensor pengamat yang biasa digunakan adalah fluorometer atau
spektrofotometer baik itu di lapangan atau dilaboratorium. Contoh hasil pelacakan dengan metode ini
disajikan pada Gambar 17.
|
Gambar 17. Hasil dari metode
pewarna untuk tracing
d.
Radioaktif
Penggunaan radioaktif untuk tracing di airtanah karst
baru dimulai sekitar tahun 1990-an. Metode dengan radioaktif ini secara prinsip
dapat dibagi menjadi dua yaitu (a) radioaktif yang ditambahkan ke dalam
airtanah karst dan (b) menganalisis radioaktif yang sudah ada secara alami di
airtanah karst. Secara teori, tritium yang merupakan isotop dari hidrogen
merupakan radioaktif alami yang paling baik digunakan sebagai tracer karena
selalu ada di air dan relatif tidak mudah diserap selama air bergerak (Bogli,
1980). Kesulitannya hanyalah pada
pendeteksian tritium karena isotop ini mengeluarkan energi yang sangat kecil
dan tidak mungkin dideteksi dengan alat apapun di lapangan. Untuk melakukan analisis, sampel
air perlu diambil dan dibawa ke laboratorium. Meskipun demikian, penggunaan
tritium yang memiliki waktu paruh 12,26 tahun sebagai tracer ini telah terbukti berhasil selama ini,
terutama jika kondisi hidrogeokimia airtanah karst didominasi oleh proses
adsorbsi dan pertukaran kation (Jankowski, 2001). Tracer radioaktif lain yang
juga dapat digunakan diantaranya adalah Bromine-82 (waktu paruh= 36 jam).
Sayangnya, penggunaan Bromine-82 ini tidak begitu direkomendasikan karena
adanya efek kimia pada airtanah karst. Tracer radioaktif lain yang dapat
digunakan diantaranya adalah Iodine-131 (waktu paruh 8 hari), Chromium-51 (28
hari), dan Cobalt-58 (71 hari). Tiga tracer yang disebutkan belakangan ini
mempunyai kelemahan-kelemahan tertentu terhadap kondisi lapangan.
e. Tracer
yang lain
Beberapa bahan pelacak yang dapat digunakan diantaranya
adalah busa plastik
(alkylbenzene-sulphonate) yang terbukti berhasil baik pada kondisi
tertentu, kemudian kalium permanganat yang berwarna merah (ada efek terhadap
kimia airtanah karst), arang teraktivasi (harga mahal), serta germs dengan
spesies tertentu seperti seratia marcenses. Tracer yang disebutkan ini tidak
terlalu sering digunakan dan kadang mempunyai kegagalan dalam hal aplikasinya.
ANALISIS
MATAAIR KARST (CAVE SPRINGS)
Sebelum
membahas mengenai cara analisis mataair karst, ada baiknya kita sepakati
terlebih dahulu definisi dan karakteristik mataair di daerah karst. Secara
umum, mataair adalah pemunculan airtanah ke permukaan bumi karena suatu sebab. Sebab munculnya mataair dapat
berupa topografi, gravitasi, struktur geologi, dll. Sementara itu, mata air
karst menurut White (1988) adalah air yang keluar dari akuifer karst terutama
pada cavities hasil pelarutan di permukaan atau bawah permukaan bumi.
Beberapa keunikan yang dijumpai pada mataair karst adalah
mataair dengan debit yang sama besar, bersuhu sama, mempunyai kesadahan yang
sama dapat pula dijumpai pada mataair karst di tempat lain. Selain itu, debit
mataair karst biasanya mempunyai debit yang besar, dan di negara2
Eropa disebut-sebut mampu menggerakkan kincir angin di daerah pertanian,
walaupun tidak sedikit mataair karst yang mempunyai debit aliran kecil.
Keunikan yang lain adalah karakteristik mataair karst yang sangat tergantung
dari tingkat karstifikasi suatu wilayah. Elevasi suatu mataair karst dapat
semakin dalam menurut waktu dan bila mencapai local base level, maka mata air disekitarnya yang lebih kecil akan
hilang dan bergabung sesuai dengan melebarnya lorong conduit. Dengan kata lain
semakin sedikit jumlah mataair karst, maka semakin besar pula debit yang
keluar. Selanjutnya, klasifikasi mataair karst hampir tidak berbeda dengan
klasifikasi mataair pada kawasan lain di permukaan bumi :
· Klasifikasi atas dasar periode pengalirannya
- Perennial springs : mataair karst yang mempunyai debit yang konsisten
sepanjang tahun
- Periodic springs : mataair karst yang mengalir pada saat ada hujan
saja
- Intermitten springs : mataair karst yang mengalir pada waktu musim
hujan
- Episodically flowing springs : mataair karst yang mengalir pada saat-saat
tertentu saja dan tidak berhubungan dengan musim atau hujan
·
Klasifikasi
atas dasar struktur geologi (Gambar 18)
a.
Bedding
springs, contact springs : mataair karst yang muncul pada bidang perselingan
formasi batuan atau perubahan jenis batuan, misal jika akuifer gamping terletak
diatas formasi breksi vulkanik
b.
Fracture
springs : mataair
karst yang keluar dari bukaan suatu joint atau kekar atau retakan di batuan
karbonat
c.
Descending springs : matair karst yang keluar jika ada lorong conduit
dengan arah aliran menuju ke bawah
d.
Acending springs : matair karst yang keluar jika ada lorong conduit
dengan arah aliran menuju ke atas. Jika debitnya besar sering disebut sebagai vauclusian spring (Gambar 19)
· Klasifikasi atas dasar asal airtanah karst
a.
Emergence springs : mataair karst yang mempunyai debit besar tetapi
tidak cukup bukti mengenai daerah tangkapannya
b.
Resurgence springs : mataair karst yang berasal dari sungai yang masuk
kedalam tanah dan muncul lagi di permukaan
c.
Exsurgence springs : mataair karst dengan debit kecil dan lebih berupa
rembesan-rembesan (seepages)
Selain klasifikasi mataair karst yang disebutkan
diatas, masih terdapat beberapa jenis mataair karst yaitu mataair karst yang
muncul di bawah permukaan laut (submarine
karst springs) yang disajikan pada Gambar 19, dan mataair di goa (cave springs).
|
|
Mataair kontak
|
Mataair kekar
|
|
|
Mataair perlapisan
|
Mataair overflow
|
Gambar 18.
Jenis-jenis mataair karst karena struktur geologi (White, 1988)
|
Vaucluse spring
|
|
Submarine spring
|
Gambar 19.
Vaucluse dan submarine springs (White, 1988)
Hidrograf
mataair karst
Dalam
ilmu hidrologi, hidrograf dikenal sebagai gambar atau grafik yang menggambarkan
hubungan antara waktu dengan tinggi muka air sungai, debit aliran, atau debit
sedimen (Adji dan Suyono, 2004). Hidrograf ini biasanya diaplikasikan pada
analisis hidrologi untuk sungai permukaan. Hidrograf aliran ini sangat penting
untuk analisis hidrologi seperti menghitung jumlah air di sungai, jumlah
sedimen yang terangkut, analisis respon hujan dan aliran serta daerah aliran
sungai (DAS), dll. Contoh hidrograf beserta bagian-bagiannya disajikan pada
Gambar 20.
Gambar 20 menunjukkan hidrograf banjir dan
hujan penyebabnya. Atas dasar bentuk hidrograf banjir, bagian-bagian hidrograf
banjir terdiri dari
1.
lengkung naik (rising limb)
2.
puncak (crest or peak)
3.
lengkung turun (falling limb or recession curve)
Faktor-faktor
yang secara umum mempengaruhi hidrograf aliran adalah :
1.
bagian
lengkung naik sampai puncak dipengaruh oleh karakteristk hujan (jumlah,
intensitas, penyebaran) dan hujan sebelumnya.
2.
bagian turun, dipengaruhi oleh
pelepasan air dari simpanan air di DAS, simpanan air dalam alur sungai,
simpanan lengas tanah dan simpanan airtanah.
Pasangan data hujan dalam bentuk hietograf
dan data aliran dalam bentuk hidrograf banjir sangat berguna untuk analisis
hubungan hujan dengan tinggi aliran banjir. Parameter hidrologinya adalah :
1.
puncak banjir (Qp)
2.
waktu konsentrasi (Time of concentration or time lag) = Tc
3.
waktu mencapai puncak (time to peak) = Tp
4.
waktu dasar (time base) = Tb
5.
jumlah hujan
6.
intensitas hujan
7.
koefisien aliran
|
|
Gambar 20. Bagian-bagian dari hidrograf banjir (Adji dan
Suyono, 2004)
Di akuifer karst, hidrograf aliran biasanya
diaplikasikan untuk menganalisis karakteristik mata air atau sungai bawah tanah
karst. Karakteristik aliran sungai bawah tanah karst yang unik adalah respon
yang cepat terhadap variasi external misalnya hujan, suhu, bahkan tanah dan
aktivitas tumbuhan (White, 1993). Akibatnya, analisis mengenai respon tersebut
dapat digunakan untuk mengkarakteristik struktur internal dari akuifer karst.
Bahkan, dari bentuk hidrograf mataair karst dapat diketahui sistem aliran yang
dominan apakah itu conduit atupun diffuse. Gambar 21 menunjukkan contoh dari
hidrograf mataair karst pada satu kali kejadian hujan. Pada Gambar 21 tersebut,
diagram batang menunjukkan adanya kejadian hujan yang menyebabkan terjadinya
lengkung naik.
Satu hal yang perlu diperhatikan dari Gambar 21 adalah
bahwa adanya hujan akan menaikkan debit mataair pada sistem karst secara cepat.
Walupun terdapat jeda waktu (time lag),
tetapi tidak terlalu lama dan hidrograf segera naik pada beberapa saat setelah
kejadian tetapi masih terjadi hujan. Waktu jeda tersebut bukanlah merupakan
persyaratan waktu dari air hujan untuk mengalir dari masukan/inlet menuju ke
mataair karst, tetapi hanyalah waktu sesaat untuk dapat menaikkan hidrograf.
Selanjutnya, kenaikan tinggi muka air di bagian atas (upstream) akuifer karst merupakan pasokan penting bagi airtanah
karst untuk menaikkan hydraulic head yang menyebabkan debit mataair bertambah.
Akibatnya, debit mataair meningkat dan menjadi jauh lebih tinggi dari keadaan
biasanya (debit dari aliran dasar) dan akhirnya mencapai puncak (crest) yang mempunyai debit sama tinggi
dengan debit puncak aliran permukaan pada input (Qmax). Sesudahnya, aliran dari mataair akan turun dengan
karakteristik yang jauh lebih pelan daripada pada saat hidrograf naik. Pada
kondisi yang ideal, penurunan ini akan perlahan-lahan menuju saat debit mataair
karst hanya berasal dari aliran dasar (base
flow) saja.
|
Gambar 21.
Hidrograf mata air karst pada satu kali kejadian hujan (White, 1993)
|
Gambar
22. Hidrograf respon hujan pada mataaair
karst (White, 1993)
Selanjutnya, pada suatu sistem akuifer karst yang
didominasi oleh imbuhan allogenic dan proses karstifikasinya sudah sangat baik
yang dicirikan dengan lorong conduit, maka akan memiliki respon yang sangat
cepat terhadap hujan. Sebaliknya, jika akuifer karst yang didominasi oleh
sistem diffuse, sedikit conduit, dan sedikit imbuhan allogenic, maka bentuk
hidrografnya akan sangat berbeda. Gambar 22 menunjukkan perbedaan 3 hidrograf
akuifer di daerah karst yang mempunyai respon yang berbeda-beda.
Hidrograf mataair karst di Davis Spring (paling atas)
menunjukkan bahwa waktu respon hujan terhadap debit puncak sangat pendek. Dapat
dikatakan bahwa setiap kejadian hujan akan langsung memberikan kontribusi yang
cepat untuk menjadi puncak hidrograf seperti yang biasa terjadi pada hidrograf
sungai permukaan. Sementara itu, Huntsvillee Spring (tengah) menunjukkan bahwa
waktu respon kejadian hujan terhadap kenaikan debit sebanding dengan waktu
antar kejadian hujan sehingga puncak hidrograf tidak terjadi secara tiba-tiba.
Hidrograf di Silver Spring (bawah) bahkan
menunjukkan waktu respon yang jauh lebih lama dari waktu antar kejadian hujan,
sehingga hidrograf mataair terlihat datar dan puncak hidrograf mungkin hanya
berkorelasi dengan variasi musim tahunan saja.
Pada akuifer yang mempunyai respon hujan terhadap
hidrograf sangat cepat, maka dapat dikuantitatifkan bahwa (lihat Gambar 21)
bahwa rasio antara debit puncak dan aliran dasar adalah Qmax/QB, yang dapat kita sebut sebagai
“kecepatan respon” di akuifer karst. Kecepatan respon tersebut dapat dikatakan
merupakan fungsi dari intensitas hujan dan tingkat pekembangan lorong conduit
pada akuifer karst. Selanjutnya, White (1993) membuat tiga kategori kecepatan
respon akuifer karst seperti yang disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5.
Tingkat kecepatan respon akuifer karst (Qmax/QB)
pada cekungan kecil
Tingkat
|
Qmax/QB
|
Sangat cepat
|
100
|
Sedang
|
10
|
Sangat lambat
|
1 - 3
|
Analisis
kemograf mataair karst
Kemograf
adalah suatu grafik atau diagram yang berisi hubungan antara komposisi kimia
airtanah karst dengan waktu dan dapat bersifat musiman, tahunan, ataupun per
kejadian hujan. Hujan biasanya masuk ke akuifer karst dan secara hidrokimia
masih bersifat tidak jenuh (undersaturated)
terhadap batuan karbonat, sehingga masih dapat dikatakan agresif untuk melarutkan
batuan karbonat. Selanjutnya, di akuifer, air dari hujan tersebut akan bereaksi
terhadap batuan karbonat dan lama kelamaan akan meningkatkan nilai indek
kejenuhan (saturation index=SI) dan
menurunkan daya larut terhadap batuan karbonat, dan kemudianmenjadi jenuh dan
mengendap membentuk padatan (solid).
Waktu untuk mencapai titik kesetimbangan (SI=0=jenuh) adalah sekitar 10 hari
dan dapat dibandingkan dengan lamanya air hujan bergerak dari input ke mataair
karst (White, 1993).
Secara
teoritis, air yang tersimpan pada retakan dapat dikatakan sudah jenuh,
sementara air yang mengalir pada lorong conduit masih belum jenuh. Akibatnya,
komposisi kimia airtanah yang diamati pada mataair karst dapat berfluktuasi
tergantung dari variasi debitnya, variasi kejadian hujan, dan mungkin juga
terhadap aktivitas lain di daerah tangkapan hujannya (catchment area). Selanjutnya, analisis variasi komposisi kimia
melalui kemograf akan sangat menarik untuk mengetahui hubungannya terhadap
variasi musim, kejadian hujan, debit atau banjir. Gambar 23 menunjukkan variasi
nilai Ca2+, Mg2+, dan HCO3-
terhadap debit dan hujan.
|
Gambar 23. Hujan, debit dan kemograf pada mataair karst
(White, 1993)
Eko Haryono dan Tjahyo Nugroho Adji Kelompok Studi Karst Fakultas Geografi UGM
2 comments:
Posting Komentar