A.
DESKRIPSI SINGKAT
Penginderaan jauh dan sistem informasi geografis telah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang pembangunan pada saat ini. Penginderaan jauh dan SIG memiliki kemampuan yang dapat saling melengkapi. Kombinasi dari kedua metode ini terbukti memiliki kemampuan yang handal dan memberikan hasil yang baik dalam berbagai kajian. Modul ini menjelaskan tentang sinergi metode penginderaan jauh dan sistem informasi geografis, aplikasi untuk kajian sumber daya, mitigasi bencana, dan perencanaan wilayah dan lingkungan.
B.
RELEVANSI
Materi yang
dikembangkan dalam kegiatan belajar Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis Untuk Pengelolaan
Sumberdaya, Mitigasi, Dan Pembangunan Wilayah adalah adalah sallah satu
penunjang penguatan kemampuan profesional guru SMA pada Bidang Geografi .Materi
bahan ajar ini disusun berdasrakan dalam pembelajaran kurikulum 2013. Materi
ini sedikit sulit dipelajari karena bersifat abstrak yang dapat menimbulkan
berbagai pemikiran berbeda bagi siswa. Materi penginderaan jauh merupakan
pemantauan suatu obyek dari jarak jauh dengan tidak melakukn kontak langsung
dengan obyek. Pemberian kesempatan pada siswa untuk mengalami proses imajinatif
merupakan hal penting. Hal itu untuk membelajarkan siswa akan kecakapan
berpikir spasial semakin terasah. Suatu proses pengembangan berfikir tentang
keruangan yang utuh melibatkan aspek
karakter dan keterampilan. Hal itu sesuai pembelajaran geografi dalam kurikulum
2013.
C.
PEUNJUK BELAJAR
Sebelum siswa
menggunakan modul ini, siswa perlu membaca bagian petunjuk ini. Mengapa
diperlukan? Ibarat kamu sedang berlibur
di tempat wisata, kamu tentunya ingin memanfaatkan fasilitas yang ada di tempat
wisata tersebut bukan? Tentunya, agar tujuan tersebut tercapai kamu akan
membaca peta dimana fasilitas itu berada. Begitu juga dengan modul ini. Jika
kamu ingin memperoleh manfaat yang maksimal dari modul ini tentu merupakan
tindakan yang baik jika kamu benar-benar memperhatikan dan memahami bagian
petunjuk penggunaan modul ini.
1.
Baclah dengan
cermat cermat capaian pembelajaran
2.
Mulailah dengan membaca
materi.
3.
Pahami setiap studi
kasus pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk pengelolaan sumberdaya, mitigasi, dan
pembangunan wilayah.
4.
Jika diperlukan anak-anak boleh mencari informasi tambahan
sesuai dengan materi dalam modul ini
D.
SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
Peserta didik
memiliki pengetahuan tentang sinergi metode penginderaan jauh dan sistem
informasi geografis, aplikasi untuk kajian sumber daya, mitigasi bencana, dan
perencanaan wilayah dan lingkungan.
Kontribusi teknologi penginderaan
jauh dalam pemetaan dasar dan pemetaan sumberdaya alam / peta-peta tematik,
demikian besar. Diawali dari citra foto ( foto udara konvensional ), foto udara
small format, foto udara digital; citra non foto dari Landsat 1-7, SPOT 2-5,
IKONOS, Quickbird, MODIS-tera, NOAA, dan sebagainya; demikian banyak data /
informasi dapat diperoleh.
Periksa ilustrasi
Gambar 1.17 aplikasi foto udara
untuk pemetaan dasar Rupabumi
Aplikasinya dalam pemetaan dasar
Topografi / Rupabumi dan pemetaan tematik ( sumberdaya alam ) sangat luas,
meliputi demikian banyak tema dan melintas berbagai disiplin / bidang ilmu.
Bagi geografi, ilmu yang mengkaji sekian banyak tema dari variasi obyek /
fenomena ruang muka bumi, aplikasi teknologi penginderaan jauh sudah cukup lama
dan cukup luas digunakan.
Bagi peserta didik memahami
berdasarkan ( ideal ) filosofi, kaidah, konsep, teori geografi, citra P.J cukup
baik digunakan sebagai media pembelajaran supaya pemahaman komperhensif di
sekolah. Sifat multispectral, multitemporal, multistage PJ menyediakan media
visual berbagai obyek / fenomena pada berbagai keadaan dalam berbagai skala.
Gambar ilustrasi 1.18a, 1.18b, 1.19, 1.20, 1.21, 1.22, 1.23
Gambar 1.18a. satelit sumberdaya bumi gambar 1.18b. resolusi spasial citra
yang mengorbit tahun
2002-2006
Gambar 1.19 contoh citra
multispectral
Gambar 1.20 contoh citra
Landsat Gambar 1.21 contoh citra
Ikonos
Gambar 1.22. contoh citra
Quickbird Gambar 1.23 contoh citra
hiperspektral
Kemampuan user untuk memaknai
informasi yang terkandung dalam citra PJ mirip kemampuan map reading, meski
obyek atau fenomena pada citra terekam dalam wujud ikonik. Pekerjaan ini
dilakukan melalui kegiatan interpretasi manual dan / atau interpretasi digital.
Gambar 1.24. ilustrasi system Gambar 1.25 a Interpretasi
Digital
Perolehan data pengindraan jauh
Gambar 1.25a interpretasi digital Gambar 1.25 b, alat yg digunakan dlm
Proses interpretasi digital
Catatan : Pada
interpretasi citra digital, didahului pekerjaan koreksi geometrik yang dimaksudkan untuk :
v Pembetulan / rektifikasi
atau pemulihan / restorasi citra agar koordinat citra sesuai dengan oordinat
geografi.
v Registrasi / mencocokkan
posisi citra dengan citra lain akan mentransformasikan system koordinat citra
multispectral atau peta multispectral.
v Transformasi system
koordinat citra (U,V) ke koordinat peta (X,Y).
SIG Dalam Pemetaan Geografi
v Keluaran / output utama
SIG adalah peta. Mirip dengan teknologi PJ meskipun dalam SIG adalah Geografis, SIG digunakan
bukan hanya oleh ilmu geografi semata melainkan oleh bidang-bidang ilmu (
kebumian ) lain.
v Pemetaan geografi yang
dimaksudkan disini adalah pemetaan tematik yang merupakan penyajian fakta, peta
analisis, penyajian simpulan, peta rekomendasi dalam kajian geografis.
v Jika SIG dimengerti
sebagai perangkat pengelola basis data ( Data
Base Management System ) yang bertugas mengumpulkan, menyimpan,
menampilkan, dan mengkorelasikan data spasial dari fenomena geografis untuk
dianalisis dan mengkomunikasikan hasil; maka lingkup tugasnya berimpit dengan
kartografi, dan studi geografi pada umumnya.
-
Tak hendak berkutat persoalan defnisi, realita dihadapan kita
adalah
-
Jaman menggambarkan peta secara manual sudah lampau.
-
Menghitung jarak, luas, analisis tupangsusun peta transparan,
profil sampel, metode grid dengan quadtrue dan raster, juga sudah terhitung
lampau.
SIG yang berbasis computer
mengedepankan kemudahan-kemudahan mulai dari input, proses, dan luaran /
output.
Input (
masukan data )
Input data adalah fasilitas dalam
SIG yang digunakan untuk memasukkan dan merubah data dari bentuk data asli ke
bentuk data yang dapat diterima dan dipakai dalam SIG.
Input data dalam SIG dapat dilakukan menggunakan 3 cara :
1) Penyiaman, yaitu
perubahan data grafis kontinu menjadi data-data grafis diskrit yang terdiri
atas sel penyusun gambar ( pixel ).
2) Digitasi, yaitu proses
perubahan data grafis analog menjadi data grafis digital
3) Tabulasi, yaitu pemasukan
data atribut melalui pembuatan table.
Pengolahan data
Subsistem pengolahan data pada
dasarnya dimanfaatkan untuk menimbun dan menarik kembali arsip serta
pengorganisasian data keruangan, pengambilan dan pengolahan. Data yang
tersimpan dalam SIG mepunyai 3 komponen yaitu lokasi geografis, atribut, serta
waktu. Dalam pengoalah data, juga dapat dilakukan analisis untuk kebutuhan
geografi seperti tumpangsusun peta ( lihat gambar 1.6 ). Peta tersebut
merupakan hasil tmpang susun beberapa peta seperti peta penggunaan lahan, peta
tanah, dan lain-lain. Analisis lain yang dapat dilakukan oleh SIG adalah
penentuan black spot daerah rawan kecelakaan disuatu daerah perhatikan gambar
1.26
Gambar 1.26. contoh peta hasil
analisis SIG
Selain
contoh analisis diatas, ada beberapa analisis SIG antara lain :
1)
Penyuntingan untuk pemutakhiran data.
2)
Interpolasi spasial.
3)
Tumpangsusun peta.
4)
Analisis jaringan.
5)
Buffering.
6)
Klasifikasi.
7)
3D analisis.
8)
Digital image processing.
Perhatikan gambar 1.27 sebagai salah satu hasil analisis
SIG menggunakan metode 3D analissi
Gambar 1.27 hasil analisis SIG
menggunakan 3D analisis
Output ( keluaran )
Fungsi subsistem analisis SIG
adalah untuk menayangkan informasi maupun
hasil analisis geografis secara kualitatif maupun kuntitatif. Keluaran
SIG dapat berupa softcopy maupun hardcopy.
Ujung-ujung
kajian geografi adalah peta. geografi bekerja menggunakan peta hasil kerja
geografi adalah peta. karena peta adalah
persentasi visual, maka wajah peta harus menarik, enak dipandang, bersih, mudah
dimengerti oleh pengguna peta terutama
peserta didik (siswa).
E.
URAIAN MATERI :
Pemanfaatan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis Untuk Kajian
Lingkungan Dan Pembangunan Wilayah
1. Sinergi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis
Sejak lahir
manusia memahami dan mengenal lingkungan sekitarnya dengan pandangan mata.
Manusia mengenal adanya berbagai obyek dengan melakukan pengamatan. Berbagai
kejadian alam yang terjadi teramati dalam batas-batas pandangan visualnya.
Pengenalan lingkungan melalui amatan-amatan visual ini telah berlangsung
berabad-abad. Metode pengenalan terhadap lingkungan berdasar pada amatan visual
tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan terutama terkait dengan luas area
amatannya. Kejadian-kejadian seperti perubahan luas tutupan vegetasi, perubahan
luas penggurunan, perubahan tutupan es, ataupun penggundulan hutan tidak
teramati dengan baik melalui pengamatan secara langsung.
Pada awal kemunculannya,
penginderaan jauh muncul dengan data-data analog yang bersifat lokal seperti
foto-foto udara. Data ini membuka wawasan tentang pentingnya informasi spasial
yang seakurat mungkin dengan kondisi senyatanya. Informasi melalui udara ini
berkembang dengan dukungan dari perkembangan teknologi dirgantara seperti
pesawat terbang, roket, dan satelit. Perkembangan teknologi penginderaan jauh
selanjutnya melahirkan data-data citra dalam berbagai tingkat resolusi spasial,
spektral, radiometrik dan temporal. Potensi aplikasi dari data-data citra
penginderaan jauh itu tidak terbendung pada berbagai bidang. Walaupun tentu
saja bukan berarti penginderaan jauh tidak memiliki kekurangan, namun data
penginderaan jauh mampu memberikan informasi spasial yang luas. Melalui
data-data penginderaan jauh multi temporal dapat dihasilkan pembandingan
informasi spasial dari satu waktu dengan waktu yang lain. Data penginderaan
jauh seperti foto udara dan citra satelit dapat meningkatkan akurasi dan
kecepatan analisa terhadap berbagai. Penginderaan jauh pada saat ini bukan
hanya sekedar suatu fenomena teknis, tetapi telah berkembang menjadi suatu
bagian penting dalam memahami berbagai permasalahan perubahan lingkungan
(Adams, 2006).
Penginderaan
jauh modern diawali dengan diluncurkannya satelit Landsat Multispectral Scanner
System (MSS) pada tahun 1972 (Schowengerdt, 2007). Satelit ini memiliki empat
saluran dengan lebar spektral sekitar 100 nm, dan resolusi spasial 80 meter.
Peluncuran satelit ini mengawali sistem penginderaan jauh sistem satelit
digital. Perkembangan selanjutnya terjadi peningkatan yang signifikan terutama
dalam pemotongan rentang spektral untuk setiap saluran citra. Satelit
hyperspectral seperti MODIS memiliki jumlah saluran sebanyak 36 band. Dengan
kemampuannya tersebut, satelit dapat diaplikasikan dalam banyak hal. Kemampuan
satelit ini banyak dimanfaatkan dalam berbagai hal yang bersifat spasial.
Sebagian
besar dari aplikasi data penginderaan jauh dimanfaatkan untuk pengelolaan
sumberdaya. Perkembangan teknologi satelit berresolusi tinggi selanjutnya
memungkinkan pengenalan sifat fisik dan bentuk obyek dipermukaan bumi secara
individual juga dapat dilakukan. Satelit penginderaan jauh yang banyak
dimanfaatkan selama ini merupakan satelit yang menggunakan sistem optis.
Penginderaan jauh sistem optis ini memanfaatkan spektrum tampak hingga infra
merah (Liang, 2004). Rentang gelombang elektromagnetik yang lebih luas dalam
penginderaan jauh meliputi gelombang pendek mikro hingga spektrum yang lebih
pendek seperti gelombang infra merah, gelombang tampak, dan gelombang ultra
violet (Elachi, 2006).
Pengolahan
data-data citra penginderaan jauh dalam berbagai aplikasi tersebut memanfaatkan
berbagai perangkat lunak sistem informasi geografis. Sistem informasi geografis
ini memberikan berbagai teknik pengolahan dan analisis data spasial termasuk data-data
penginderaan jauh. Teknik overlay atau tumpang susun data spasial adalah teknik
yang sangat sering diaplikasikan dalam kajian lingkungan. Teknik overlay banyak
diaplikasikan dalam analisis yang mendasarkan pada data vektor. Teknik overlay
pada data raster dilakukan dengan menggunakan proses aritmetik matematis.
Proses aritmetik matematis dalam kajian tersebut dimanfaatkan sebagai kesamaan
dengan proses overlay dalam data vektor. Proses overlay dan aritmetik matematis
ini ditujukan untuk menghasilkan data spasial baru hasil paduan dari beberapa
data spasial masukan. Teknik
pemilihan fitur diaplikasikan untuk tujuan klasifikasi spasial berdasar
parameter tertentu seperti dilakukan oleh Solomon dan Quiel (2008), Croskrey
dan Groves (2008). Teknik pemilihan fitur pada umumnya dilakukan sebagai
klasifikasi awal pada layer tunggal. Proses ini dilakukan untuk memberikan
nilai bobot dari masing-masing fitur. Teknik ini banyak dilakukan dalam
analisis berbasis data vektor.
Penginderaan
jauh dan sistem informasi geografis pada akhirnya merupakan satu metode yang
sering digunakan secara bersama-sama. Kemampuan yang dimiliki oleh penginderaan
jauh dan sistem informasi geografis saling mengisi dan melengkapi ketika
digunakan secara bersama-sama. Sinergi dari penginderaan jauh dan sistem
informasi geografis terbukti memberikan hasil yang baik untuk pemecahan
permasalahan yang berkaitan dengan data spasial. Penginderaan jauh memiliki
kelebihan dalam penyediaan data-data citra dengan berbagai resolusi. Sementara
itu sistem informasi geografis memiliki kekuatan dalam pengolahan data-data
spasial baik vektor maupun raster. Sinergi kedua metode ini melahirkan wawasan
baru dalam pengembangan metode ilmiah khususnya dalam bidang ilmu kebumian.
Perkembangan metodologi penginderaan jauh dan SIG saat ini bahkan telah
diaplikasikan dalam kajian-kajian ilmu sosial dan kesehatan.
Kemampuan
yang dimiliki oleh penginderaan jauh dan sistem informasi geografis tersebut
mampu menjadi satu kekuatan yang saling bersinergi. Hingga saat ini
penginderaan jauh telah diaplikasikan untuk keperluan pengelolaan lingkungan,
ekologi, degradasi lahan, bencana alam, hingga perubahan iklim (Horning, 2004).
Xiao dkk (2009) menyatakan bahwa teknologi penginderaan jauh dan sistem
informasi geografis dapat digunakan untuk mengidentifikasi pola bentang lahan
dan menganalisis proses-proses ekologis yang terjadi pada berbagai pola bentang
lahan karst tersebut. Cakupan perekaman yang luas, banyaknya saluran dan
periode ulang perekaman yang cepat memungkinkan proses monitoring terhadap
lingkungan karst secara cepat, akurat, berkesinambungan dan relatif murah
dibandingkan metode lain (Hung dkk, 2005; Newman dkk, 2011). Uraian berikut
pada modul ini akan memberikan jabaran tentang pemanfaatan penginderaan jauh dan
SIG untuk berbagai kajian.
2. Pemanfaatan PJ dan SIG untuk Pengelolaan Sumber Daya
a. PJ dan SIG untuk analisis sumber daya lahan
Anak-anak yang saya sayangi, pada
bagian ini akan dicontohkan pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi
geografis untuk analisis potensi sumber daya lahan. Pemahaman tentang lahan di
sekitar kita tentu sangat penting untuk pemeliharaan lingkungan dan pembangunan
wilayah tersebut. Analisis potensi sumber daya lahan telah banyak dilakukan
oleh para peneliti dan memberikan informasi yang sangat bermanfaat. Beberapa
hasil kajian tentang sumberdaya lahan ini diantaranya adalah oleh Golmehr
(2009), Teotia dkk (2010), Boori dan Vozenilek (2014), Mosleh dkk (2015),
Mansaray dkk (2017), dan Somvanshi dkk (2018).
Kajian terkait sumber daya lahan
banyak membicarakan tentang potensi lahan untuk keperluan tertentu seperti
pengembangan potensi lahan dan budidaya, pengembangan wilayah, dan pemeliharaan
lingkungan. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengkaji berbagai faktor
pendukung dan pembatas lahan untuk tujuan tertentu tersebut dengan mendasar
pada data penginderaan jauh. Faktor pendukung dan pembatas yang diturunkan dari
data penginderaan jauh adalah faktor yang bersifat karakteristik fisik lahan
seperti kondisi morfologi, jaringan drainase alamiah, aksesibilitas, dan
tutupan / penggunaan lahan yang ada saat itu. Faktor lain yang bersifat non
fisik dapat diolah dengan menggunakan perangkat sistem informasi geografis.
Kesimpulan yang dihasilkan secara umum berupa rekomendasi ataupun
skenario-skenario manajemen lahan tersebut.
Prosedur yang dilakukan
untuk mendapatkan data sumberdaya lahan dari data penginderaan jauh dapat
dilihat pada metodologi yang dilakukan oleh peneliti yang disebutkan di atas.
Kajian-kajian yang dilakukan oleh peneliti tersebut seluruhnya mendasarkan pada
data penginderaan jauh seperti data Landsat 7 ETM, SPOT, dan Sentinel. Data
penginderaan jauh diturunkan menjadi informasi tutupan vegetasi yang kemudian
didetilkan hingga jenis tanaman pertanian tertentu. Panjang gelombang yang
banyak dimanfaatkan adalah saluran merah dan inframerah, mengingat saluran ini
memiliki rentang nilai pantulan yang berbeda jauh.
Karakteristik spektral ini sangat
bermanfaat untuk mengkaji kondisi tutupan dan pengunaan lahan dari sebuah data
citra penginderaan jauh. Aplikasi sering dilakukan dalam bentuk analisis
terhadap citra indeks vegetasi. Oleh karena itu, citra indeks vegetasi dalam
berbagai varian formulasinya sering diaplikasikan untuk mendapatkan informasi untuk
tujuan-tujuan ini.
Analisis banyak dilakukan melalui
prosedur digital. Analisis digital dilakukan dengan memanfaatkan perangkat
lunak pengolah citra dan sistem informasi geografis. Observasi lapangan
dilakukan untuk pengambilan sampel yang akan dipakai dalam pembentukan model
ataupun pengujian akurasi hasil klasifikasi. Berikut adalah contoh langka
prosedural pengolahan data penginderaan jauh untuk analisis sumber daya lahan
yang dilakukan oleh Teotia dkk (2010).
Gambar berikut adalah
contoh satu hasil pengolahan citra untuk analisis sumber daya lahan yang
dilakukan oleh Boori dan Vozenilek (2014). Prosedur yang dilakukan hampir
serupa dengan yang dilakukan oleh Teotia dkk (2010).
Gambar 2. Pola perubahan penutup lahan hasil pengolahan data
citra penginderaan jauh. Sumber : Boorio dan Vozenilek (2014)
Citra tersebut
menunjukkan pola perubahan penutup lahan di wilayah penelitian yang dilakukan
oleh Boori dan Vozenilek (2014) dengan mendasarkan pada citra multi temporal.
Ananilis dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa beberapa area menunjukkan penutup lahan yang tetap dan
beberapa lokasi lain menunjukkan adanya dinamika perubahan penutup lahan.
Berdasar citra tersebut dapat diidentifikasi lokasi, pola persebaran, dan pola
perubahan penutup lahan antar waktu. Informasi ini menjadi dasar pengelolaan
lahan di wilayah tersebut. Penambahan informasi non fisik pada data
penginderaan jauh tersebut memberikan petunjuk penyebab dari perubahan yang
terjadi. Temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan jumlah penduduk merupakan pemicu utama meningkatnya kebutuhan
lahan. Temuan ini dihasilkan setelah dilakukan analisis dengan menambahkan data
pertumbuhan penduduk di wilayah penelitian.
b. PJ dan SIG untuk analisis sumber daya air
Anak-anak
yang saya sayangi, penelitian terkait sumber daya air berbasis data
penginderaan jauh sering ditujukan untuk mengidentifikasi area imbuhan (recharge) dan area pengatus (discharge). Hingga saat ini banyak
terdapat penelitian terkait sumber daya air dengan mengaplikasikan data
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Aplikasi penginderaan jauh
dan sistem informasi geografis yang berkaitan dengan sumber daya air
diantaranya dilakukan oleh Leblanc dkk (2003) dan Solomon dan Quiel
(2008).
Leblanc dkk (2003) membangun
model spasial untuk mengidentifikasi area masukan (recharge) dan keluaran
(discharge) air tanah. Data yang digunakan adalah peta-peta tematik dan data
penginderaan jauh. Data penginderaan jauh yang digunakan adalah data citra
AVHRR/LAC dan citra thermal Meteosat. Kedua data penginderaan jauh ini
digunakan untuk merekam pancaran termal dari lingkungan air dan tidak berair. Dasar asumsi yang digunakan adalah terdapat
perbedaan nilai termal antara tubuh air dengan perairan basah di sekitarnya.
Hasil observasi menunjukkan adanya perbedaan secara nyata antara area yang
berair dengan tidak berair. Teknik digitasi digunakan untuk pembentukan peta
digital dari peta-peta analog melalui perangkat SIG. Digitasi dilakukan
menggunakan metode digitasi onscreen.
Model memanfaatkan metode perbandingan data antar waktu untuk mengetahui
fluktuasi dari air permukaan. Analisis ini menunjukkan area tutupan air seperti
pada Gambar 3 berikut.
Gambar 3. Rona gelap
ditunjukkan area tubuh air dan area perairan bervegetasi pada saluran thermal
citra AVHRR/LAC dan Meteosat (sumber : Leblanc dkk, 2003)
Gambar 3. menunjukkan sebaran
area bertutupan air dan perairan bervegetasi. Area tubuh air dan area perairan
bervegetasi nampak lebih gelap dibandingkan area lahan kering. Area yang cerah
adalah area lahan kering diluar tubuh air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
model ini mampu memperjelas lokasi masukan (recharge) dan keluaran (discharge)
air tanah pada basin tersebut. Lokasi recharge ditunjukkan dengan area yang
secara temporal selalu gelap.
Kajian lain terkait sumber daya
air adalah oleh Solomon dan Quiel (2008). Peneliti ini melakukan kajian terkait
air tanah karst dengan memanfaatkan penginderaan jauh, sistem informasi
geografis dan observasi lapangan. Analisis didasarkan pada data-data raster
yang berasal dari data penginderaan jauh, DEM, dan data lapangan. Data
penginderaan jauh sebagai data dasar yang digunakan adalah citra mutispektral
Landsat TM dan SPOT 5. Citra ini digunakan untuk pemetaan litologi dan
kelurusan. Dasar asumsi yang digunakan untuk penentuan area potensi imbuhan dan
pengatusan adalah bahwa area tersebut muncul pada lokasi sesar, atau pada area
pertemuan suatu formasi batuan. Area ini dapat diidentifikasi melalui data
penginderaan jauh baik melalui analisis visual ataupun digital.
Berdasar asumsi tersebut, maka
ide pokok dari prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah memperoleh
informasi batuan dan visualisasi kelurusan sebagai representasi area sesar
melalui data penginderaan jauh. Fitur batuan diarea penelitan dianalisis
melalui prosedur digital berbantuan perangkat lunak pengolah citra dan GIS.
Prosedur PCA diaplikasikan untuk mereduksi dimensionalitas dan meningkatkan
ketajaman informasi dari data citra Landsat TM. PCA mengurangi redudansi
informasi dari data yang dapat mengakibatkan kesalahan interpretasi.
Selanjutnya penajaman visualisasi data citra dilakukan dengan perentangan
kontras model Gaussian. Model penajaman ini digunakan untuk meningkatkan
kontras pada visualisasi citra tersebut. Peta litologi hasil interpretasi dari
citra tersebut selanjutnya dilengkapi dengan data observasi lapangan dan
dimasukkan pada sistem informasi geografis. Informasi dari observasi lapangan
digunakan untuk memperbaiki kesalahan interpretasi batuan yang telah dilakukan
pada tahapan sebelumnya. Hasil dari interpetasi fitur batuan menghasilkan peta
sebaran batuan diarea penelitian. Peta tersebut nampak seperti pada Gambar 4
berikut.
Gambar 4. Hasil interpretasi batuan
berdasar data citra Landsat TM.
(Sumber : Solomon dan Quiel, 2008)
Gambar 4. merupakan hasil
interpretasi terhadap data citra penginderaan jauh yang memberikan informasi
variasi jenis batuan. Interpretasi citra penginderaan jauh tersebut berhasil
mempetakan kondisi batuan di daerah penelitian. Kondisi batuan ini dapat petakan
dengan akurasi yang tinggi.
Kelurusan merupakan fenomena yang
sering terdapat dipermukaan bumi. Kelurusan dapat terbentuk oleh satu fenomena
budaya seperti jalan, saluran air, rel, dan lain-lain. Kelurusan juga dapat
merupakan representasi fenomena alamiah. Sebagai contoh kelurusan ini adalah
bidang sesar atau lipatan. Kelurusan yang diinginkan dalam penelitian ini
adalah kelurusan yang diakibatkan oleh keberadaan fenomena alam seperti sesar
atau lipatan ini. Oleh karena itu, kelurusan diinterpretasi secara visual dari
citra Landsat dan DEM. Kelurusan diturunkan dengan menggunakan cara digitasi
interaktif melalui layar komputer berbantuan perangkat lunak SIG. Interpretasi
kelurusan menghasilkan peta kelurusan seperti pada Gambar 5.
Gambar 5. Peta kelurusan berdasar citra PJ. Sumber : Solomon
dan Quiel (2008)
Gambar 5
merupakan contoh hasil interpretasi kelurusan berdasar data citra penginderaan
jauh. Berdasar pada peta kelurusan tersebut dapat diketahui arah dan panjang
rata-rata kelurusan. Bentukan struktural dihasilkan dari observasi lapangan
dengan menggunakan kompas. Data-data tersebut dikelompokkan berdasar jenis
batuan yang ada dan dicatat posisi geografisnya. Analisis dilanjutkan dengan
membentuk model spasial dengan mendasarkan pada teknik pembobotan atau
harkat.
Kajian ini menunjukkan
bahwa keberadaan air tanah berkaitan dengan adanya kelurusan yang besar dan
fitur-fitur struktural. Hasil analisis lokasi mata air yang dioverlay dengan
peta kelurusan menunjukkan bahwa kelurusan dengan arah utaraselatan berasosiasi
dengan tingginya potensi air tanah dan dapat digunakan sebagai target utama
dalam eksplorasi air tanah di lokasi penelitian ini. Berdasar temuantemuan ini,
disimpulkan bahwa pemanfaatan data penginderaan jauh, SIG dan observasi lapangan
ini merupakan metode yang berdaya guna untuk studi eksplorasi air tanah dengan
akurasi yang dapat diterima.
c. PJ dan SIG untuk analisis sumber daya mineral
Anak-anak yang saya sayangi,
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis juga telah diaplikasikan
sebagai pendekatan dalam analisis sumberdaya mineral. Analisis ditujukan untuk
identifikasi sebaran dan potensi mineral pada suatu wilayah. Beberapa contoh
penelitian terkait sumber daya mineral ini adalah seperti dilakukan oleh Liu
dkk (2013) Nasir dan Rajendran (2017), dan Julzarika (2018). Data yang umum
digunakan adalah data citra satelit optik seperti Landsat, Aster, dan SPOT,
serta satelit DEM seperti GDEM ASTER dan SRTM. Selain itu juga digunakan data
dari satelit geodetik seperti untuk perolehan informasi gaya berat dan
magnetik.
Parameter yang digunakan sebagai
dasar kajian adalah sifat spektral mineral, sifat magnetik, dan karakteristik
geologisnya. Sifat spektral mineral dan lingkungan geologi dapat diturunkan
citra optik. Sifat spektral mineral dapat dianalisis melalui model matematis
menjadi suatu citra indeks. Sementara itu kondisi geologi dapat dianalisis
melalui analisis digital dan visual. Sedangkan sifat magenik diturunkan dari
data citra satelit geodetik. Parameter yang dapat dimanfaatkan diantaranya
adalah gaya berat dan medan magnet.
Sifat spektral mineral yang
digunakan adalah perbedaan serapan gelombang elektromagnetik pada beberapa
rentang panjang gelombang. Setiap mineral memiliki sifat serapan yang berbeda
terhadap suatu rentang panjang gelombang. Sebagai contoh, keberadaan mineral
besi pada suatu lapukan batuan mengakibatkan serapan gelombang elektromagnetik
pada sekitar 0.45 μm, 1.0–1.1 μm, 1.8–1.9 μm, and 2.2–2.3 μm, tergantung pada
kondisi lingkungannya (Nasir dan Rajendran, 2017).
Lingkungan geologi dapat
digunakan sebagai dasar interpretasi keberadaan mineral. Hal ini dikarenakan
proses pembentukan mineral berkaitan dengan proses magmatik. Proses ini secara
simultan membentuk asosiasi lingkungan geologis dengan mineral-mineral penyusun
dan turunannya. Sebagai contoh, mineral logam pada umumnya berkaitan dengan
batuan vulkanik. Tekanan dan suhu selanjutnya menghasilkan alterasi mineral
dalam bentuk dan struktur yang berbeda.
Sifat magnetik memberikan gambaran keberadaan mineral
tertentu pada suatu wilayah. Seperti pada sifat spektral mineral, masing-masing
mineral memiliki sifat magnetik yang khas, sehingga sifat ini dapat digunakan
sebagai penciri keberadaan suatu mineral. Namun demikian, keberadaan mineral
sering tidak berdiri sendiri. Mineral sering berada pada suatu senyawa lain,
sehingga untuk menganalisis keberadaannya harus diasosiasikan dengan keberadaan
mineral lainnya. Asosiasi antara mineral tembaga dan emas adalah contoh dari
kasus ini. Mineral tembaga itu sendiri sering tidak berdiri sendiri di alam,
melainkan sering terkandung di dalam pirit atau chalcopyrite (CuFeS2), copper
glance atau chalcolite (Cu2S), cuprite (Cu2O), malaconite (CuO) dan malachite
(Cu2(OH)2CO3) (Julzarika, 2018). Gambar berikut adalah contoh diagram alir
yang dilakukan oleh Julzarika (2018) untuk membuat model identifikasi mineral
tembaga menggunakan pendekatan penginderaan jauh dan SIG.
PJ |
|
Gambar 6. Diagram alir identifikasi
mineral tembaga. Sumber : Julzarika (2018)
Diagram alir tersebut menunjukkan
bahwa data dasar yang digunakan dalam pembuatan model identifikasi mineral
tembaga oleh Julzarika (2018) adalah didasarkan pada data citra Landsat, ALOS
Palsar, SRTM, XSAR dan Geodetik. Citra Landsat digunakan sebagai dasar
identifikasi lokasi tambang, kondisi tutupan lahan, dan identifikasi alterasi
hidrotermal. Citra ALOS Palsar digunakan untuk menurunkan informasi formasi
geologi. Data ini bersama dengan citra SRTM dimanfaatkan untuk menghasilkan DEM
yang selanjutnya digunakan untuk menghasilkan infromasi struktur geologi. Citra
Geodetik dimanfaatkan untuk menghasilkan informasi medan magnet, geodinamika,
densitas, dan gaya berat. Hasil identifikasi keberadaan mineral tembaga di NTB
berdasar model yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah seperti pada Gambar
7 berikut.
Gambar 7. Hasil identifikasi lokasi
keberadaan mineral tembaga di NTB.
Gambar dicuplik dari : Julzarika (2018)
Keberadaan
lokasi mineral tembaga di NTB dapat diidentifikasi menggunakan data
penginderaan jauh melalui model Julzarika (2018) ini. Model dibentuk dari data
citra suatu lokasi area tambang yang sudah ada. Hal ini dimaksudkan untuk
mendapatkan nilai-nilai spektral yang pasti dari keberadaan mineral tembaga
tersebut. Model yang dihasilkan ini selanjutnya diaplikasikan pada tempat lain
yang belum ada ekplorasi tambang mineral tembaga.
3. Pemanfaatan PJ dan SIG untuk Mitigasi Bencana
a. PJ dan SIG untuk mitigasi bencana banjir
Anak-anak
yang saya sayangi, seperti telah kita ketahui bersama bahwa banjir adalah
bencana yang sering terjadi dan memberikan dampak yang dapat merusak pada
kehidupan manusia ataupun lingkungan. Potensi banjir akan terus meningkat sejalan
dengan semakin sempitnya lahan penyerap air permukaan dan memburuknya sistem
drainase. Perubahan iklim yang terjadi secara global meningkatkan potensi
terhadap kejadian banjir. Sistem informasi geografis dan data penginderaan jauh
banyak dimanfaatkan dalam kajian mitigasi bencana banjir.
Ouma dan Tateishi (2014)
menggunakan sistem informasi geografis mengkaji banjir perkotaan dengan dasar
kondisi topografi dan morfometri lahan perkotaan. Kondisi tersebut diurai
menjadi parameter elevasi, kemiringan lereng (slope), tanah, curah hujan,
jaringan drainase, dan penggunaan lahan. Data-data tersebut selanjutnya oleh
Ouma dan Tateishi (2014) dianalisis melalui prosedur AHP menggunakan perangkat
sistem informasi geografis.
Sumber : Ouma dan Tateishi (2014)
Keterkaitan parameter
dalam kajian ini terkait kriteria fisik dan sosio ekonomis ditunjukkan seperti
pada Gambar 8. Parameter tersebut dinilai sebagai parameter yang penting dan
memberikan pengaruh terhadap kejadian banjir perkotaan. Data parameter elevasi,
slope dan jaringan drainase diturunkan dari data DEM. Perkembangan pada saat
ini, model elevasi digital dapat diturunkan dari data penginderaan jauh seperti
citra satelit ASTER dan SRTM.
Elevasi dan
slope memiliki peran yang penting terhadap kejadian banjir. Genangan akan
terjadi pada titik-titik yang memiliki elevasi rendah. Informasi lokasi yang
memiliki elevasi rendah dapat diidentifikasi melalui data model elevasi digital
(DEM). Beda tinggi tempat menghasilkan informasi kekasaran permukaan lahan.
Lahan yang memiliki kekasaran tinggi lebih memungkinkan terjadinya infiltrasi
dibandingkan permukaan yang halus. Infiltrasi mengurangi potensi jumlah air
yang jatuh menjadi air larian permukaan lahan.
Kemiringan
lereng atau slope berperan terhadap kontrol kecepatan air larian permukaan,
arah larian, dan jumlah air larian permukaan dan bawah permukaan yang sampai ke
lokasi banjir. Air secara gravitasional akan bergerak ke tempat yang lebih rendah
dengan kecepatan yang dipengaruhi oleh besar kecilnya kemiringan lereng.
Kemiringan lereng yang landai merupakan kondisi yang lebih peka terhadap
banjir. Kecepatan air mengalir pada permukaan dengan kemiringan lereng yang
rendah akan relatif lambat, sehingga kecepatan pengatusan tempat tersebut
menjadi rendah.
Jenis tanah
memiliki peran yang besar terhadap kemampuan infiltrasi. Tanah pasir memiliki
kemampuan infiltrasi yang tinggi dibandingkan dengan tanah lempung. Tanah pasir
memiliki rongga antar butir yang lebih besar. Rongga ini membentuk ruang yang
dapat digunakan sebagai jalur penyerapan air ke dalam tanah. Seperti disebutkan
di muka, bahwa infiltrasi akan mengurangi jumlah air larian permukaan yang akan
menjadi banjir.
Curah hujan merupakan
faktor utama penyebab banjir. Curah hujan dengan intensitas yang tinggi akan
secara langsung memicu terjadinya banjir. Curah hujan dengan intensitas tinggi
dan durasi yang lama dapat mengakibatkan peningkatan jumlah air di permukaan.
Pada saat ini, sejalan dengan fenomena perubahan iklim sering terjadi hujan
dengan intensitas yang tinggi.
Kepadatan
jaringan drainase memberikan peran terhadap tingkat erosi permukaan pada lahan.
Dengan demikian semakin tinggi tingkat kepadatan drainase akan memberikan
potensi yang lebih tinggi terhadap hilangnya tanah permukaan. Kehilangan tanah
permukaan akan mengurangi kemampuan infitrasi, terutama jika telah mencapai
lapisan batuan dasar.
Penggunaan
lahan dan penutup lahan juga merupakan satu kontrol terhadap stabilitas tanah
dan infiltrasi. Penutupan vegetasi memiliki kemampuan yang lebih besar dalam
menahan air permukaan dan meningkatkan infiltrasi dibandingkan lahan dengan
terbangun.
Gambar 9. Peta kerentanan banjir hasil analisis AHP. Sumber :
Ouma dan Tateishi (2014)
Hasil
perhitungan dan analisis menggunakan AHP dan sistem informasi geografis
menunjukkan sebaran area kerentanan dan risiko bencana banjir dengan akurasi
yang tinggi. Perpaduan metode ini menghasilkan informasi potensi banjir dengan
cepat dan mendekati fakta yang sebenarnya. Berdasar kondisi ini, perpaduan
metode AHP dalam sistem informasi geografis sangat berpotensi untuk kajian
mitigasi bencana banjir.
b. PJ dan SIG untuk mitigasi bencana kekeringan
Kekeringan merupakan satu bencana
yang disebabkan oleh kurangnya curah hujan dari keadaan normal. Curah hujan
dalam keadaan ini tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia dan lingkungan.
Pemanfaatan penginderaan jauh dan SIG untuk kajian kekeringan telah banyak
dilakukan dengan berbagai metode. Data penginderaan jauh dan SIG terbukti dapat
digunakan dengan baik dan memberikan banyak kemudahan untuk kajian kekeringan
ini.
Penelitian kekeringan dengan
berbasis data penginderaan jauh ini diantaranya dilakukan oleh Al-Tamimi dkk
(2012). Ide pokok dalam mengidentifikasi kekeringan dalam penelitian ini adalah
dengan mengidentifikasi penyimpangan nilai indeks vegetasi multi waktu sebagai
representasi kesehatan tanaman. Penelitian ini mengidentifikasi dua macam
fenomena kekeringan, yaitu kekeringan meteorologis dan kekeringan pertanian.
Data citra pokok yang digunakan
adalah citra AVHRR hasil perekaman selama musim penghujan. Citra selanjutnya
ini diturunkan menjadi beberapa citra NDVI . Nilai spektral indeks vegetasi
menjadi dasar perhitungan fluktuasi kondisi vegetasi antar waktu. Anomali nilai
NDVI antar waktu digunakan sebagai dasar identifikasi penyimpangan kondisi
tutupan vegetasi. Kondisi dinyatakan kekeringan pada saat dimana terjadi
anomali nilai NDVI dari nilai rerata NDVI antar waktu. Formulasi nilai anomali
NDVI adalah sebagai berikut.
Keterangan
:
NDVI
anomali : nilai anomali NDVI
NDVI
max : nilai maksimal
rerata NDVI
NDVI max :
nilai NDVI maksimal
Anomali nilai indeks NDVI
ini digunakan untuk mengidentifikasi area kekeringan pertanian. Hasil analisis
anomali indeks NDVI ini dipetakan menggunakan perangkat lunak SIG. Peta indeks
kekeringan pertanian hasil analisis dari anomali nilai indeks vegetasi adalah
seperti pada Gambar 10.
Gambar 10. Indeks kekeringan pertanian
berdasar anomali indeks vegetasi.
Sumber: Al-Tamimi dkk (2012)
Gambar 10.
tersebut menunjukkan sebaran anomali indeks vegetatif yang diidentifikasi
sebagai area kekeringan pertanian. Secara spasial terdapat satu pola persebaran
tingkat kekeringan pertanian di wilayah penelitian. Area dengan tingkat
kekeringan pertanian ekstrim tersebar di bagian utara. Tingkat kekeringan
cenderung menurun ke arah selatan dan terjadi peningkatan di bagian ujung
tenggara wilayah penelitian ini.
Data curah
hujan dari stasiun meteorologi digunakan untuk menghitung indeks curah hujan
menggunakan indek SPI (Standardized Precipitation Index). Peta indeks
kekeringan meteorologi hasil perhitungan nilai indeks SPI adalah seperti pada
Gambar 11.
Gambar 11. Indeks kekeringan
meteorologis berdasar indeks SPI.
Sumber: Al-Tamimi dkk (2012)
Indeks SPI dihitung dengan
menggunakan fungsi distribusi gamma. Perhitungan indeks curah hujan SPI ini
digunakan untuk mengidentifikasi indeks kekeringan meteorologis. Berdasar
Gambar 11. dapat dilihat sebaran tingkat kekeringan meteorologis di wilayah penelitian.
Area dengan tingkat kekeringan ekstrim terdapat di bagian utara dengan jumlah
yang relatif kecil dibandingkan tingkat kekeringan yang lain. Secara spasial
nampak ada kecenderungan penurunan tingkat kekeringan arah tenggara.
c. PJ dan SIG untuk kajian erosi
Anak-anak
yang saya sayangi, erosi merupakan ancaman lingkungan yang utama terhadap
keberlangsungan dan kemampuan produktivitas lahan. Erosi pada lahan pertanian
dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah lahan yang produktif. Evaluasi tingkat
erosi tanah dipengaruhi oleh faktor curah hujan, tanah, tutupan lahan, dan
topografi. Aplikasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk
perhitungan erosi ini di contohkan oleh Kefi dkk (2011) yang mengaplikasikan
model RUSLE dengan menggunakan data penginderaan jauh dan metode sistem
informasi geografis. Data penginderaan jauh yang digunakan adalah citra
Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer Enhanced Vegetation Index
(MODIS-EVI). Citra ini berupa citra multi temporal yang digunakan untuk
identifikasi dinamika tutupan vegetasi. Data penginderaan jauh yang lain adalah
citra ASTER GDEM. Data citra ASTER GDEM ini dimanfaatkan untuk memperoleh data
kemiringan lereng dan panjang lereng di daerah penelitian.
Parameter yang digunakan adalah
parameter dari model RUSLE, yaitu curah hujan (R), erodibilitas (K), kemiringan
lereng dan panjang lereng (LS), tutupan vegetasi (C), dan parameter pengelolaan
(P). Parameter curah hujan diturunkan dari data curah hujan. Parameter tutupan
vegetasi diturunkan dari data citra MODIS EVI. Indeks EVI dipilih untuk
meningkatkan sensibilitas data citra pada area yang memiliki tutupan vegetasi
jarang. Pemanfaatan dari indeks ini juga ditujukan untuk meminimalisir gangguan
atmosferik yang mungkin terjadi di daerah penelitian. Parameter erodibilitas
diperoleh dari peta tanah. Peta tanah dibentuk dengan menggunakan metode
digitasi peta tanah dasar melalui perangkat lunak sistem informasi geografis.
Sementara itu data kemiringan dan panjang lereng diturunkan dari citra ASTER
GDEM. Model perhitungan menggunakan model RUSLE yang diformulasikan sebagai
berikut.
A = R x K x LS x C x P
Keterangan :
A
: Kehilangan tanah per tahun
R
: erosivitas curah hujan
K
: faktor erodibilitas
LS
: kemiringan dan panjang lereng
C
: faktor pengelolaan lahan
P : nilai pengelolaan lahan
Prosedur yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah seperti pada diagram alur berikut.
Gambar 12. Diagram alur penilaian risiko erosi. Sumber : Kefi
dkk (2011)
Data curah hujan dihitung dan
diekstrapolasi menjadi data peta curah hujan. Data ini menjadi fakor R pada
prosedur kerja tersebut. Citra satelit Landsat dilakukan proses klasifikasi dan
indek. Hasil pengolahan citra ini menghasilkan peta tutupan lahan dan peta
penggunaan lahan. Kedua peta ini menjadi faktor C pada prosedur tersebut. Data
observasi tanah di ekstrapolasikan menjadi peta litofasies. Peta ini
selanjutnya menjadi faktor K dari prosedur kerja tersebut. Citra GDEM Aster
diolah menjadi peta kemiringan lereng dan sekaligus menjadi faktor LS dalam
prosedur tersebut. Faktor P atau pengelolaan lahan diberi nilai tetapan satu,
sehingga tidak perlu dipetakan. Proses dilakukan secara digital menggunakan
perangkat lunak SIG. Perhitungan dalam kajian ini menghasilkan sebaran tingkat
erosi seperti dalam Gambar 13. berikut.
Gambar 13.
Peta kehilangan tanah
menggunakan metode RUSLE berdasar data citra penginderaan jauh
dan SIG. Sumber: Kefi dkk (2011)
Gambar 13. merupakan citra hasil
perhitungan erosi menggunakan metode RUSLE berdasar citra penginderaan jauh dan
SIG yang dilakukan oleh Kefi dkk (2011). Hasil perhitungan secara jelas
menggambarkan lokasi sebaran erosi secara spasial. Tingkat erosi disimbolkan
oleh gradasi kecerahan pada peta. Erosi rendah disimbolkan dengan warna cerah,
sementara tingkat erosi tinggi disimbolkan dengan warna gelap. Area dengan
tingkat erosi yang tinggi tersebar meluas di bagian utara wilayah penelitian.
Tingkat erosi tinggi di wilayah selatan membentuk alur-alur memanjang lembah
dan gully. Sebaran erosi tersebut menunjukkan pengaruh topografi dan faktor
pengelolaan lahan terhadap tingkat erosi tanah yang terjadi diwilayah
penelitian.
4. Pemanfaatan PJ dan SIG untuk Pembangunan Wilayah
a. PJ dan SIG untuk pengembangan area permukiman desa dan
kota
Kebutuhan
area permukiman merupakan satu masalah yang harus diperhatikan terutama di
negara-negara sedang berkembang. Area permukiman selalu mengalami peningkatan
yang pesat. Pertumbuhan area permukiman sering mengarah pada ketidakteraturan
jika tidak ditata dalam perkembangannya. Berdasar hal tersebut pemantauan dan
penataan area permukiman sangat diperlukan.
Penginderaan
jauh dan SIG telah diaplikasikan untuk kajian perencanaan area permukiman kota
dan memberikan hasil yang baik. Kajian ini sebagian besar menggunakan data
penginderaan jauh pada resolusi spasial yang tinggi. Data citra penginderaan
jauh yang digunakan dalam hal ini sebagai contoh adalah citra Ikonos dan
QuickBird. Citra Ikonos memiliki resolusi 1 meter sementara citra QuickBird
memiliki resolusi 0,6 meter. Kedua citra tersebut dapat digunakan untuk
menginterpretasi obyek rumah penduduk secara individual. Kedetilan dari resolusi
citra ini juga dapat digunakan untuk interpretasi kualitas dari suatu
permukiman melalui ciri-ciri kepadatan dan karakteristik rumah yang ada dalam
lokasi permukiman tersebut.
Satu kajian tentang
pemanfaatan data penginderaan jauh dan SIG untuk aplikasi perencanaan area
permukiman adalah seperti dilakukan oleh Busgeeth dkk (2008). Kajian ini
memanfaatkan data citra QuickBird sebagai sebagai sumber informasi sebaran
rumah penduduk. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengkaji karakteristik
permukiman yang dapat di interpretasi melalui data citra QuickBird dan mengkaji
tipologi permukiman di wilayah penelitian. Sebaran rumah penduduk
diinterpretasi secara visual menggunakan perangkat lunak SIG. Komplek rumah
penduduk didelineasi secara langsung pada layar komputer (onscreen).
Karakteristik
permukiman dinilai berdasar beberapa variabel yaitu ukuran, layout permukiman,
struktur bangungan, jasa-jasa yang tersedia, dan infrastruktur. Atribut
permukiman yang dapat diamati dari data citra QuickBird tersebut adalah seperti
pada tabel berikut.
Tabel 1. Atribut
permukiman yang diamati melalui data citra QuickBird
Atribut spasial permukiman |
Karakteristik |
Ukuran |
keseragaman ukuran |
Layout
permukiman |
keteraturan layout Area terbuka |
|
|
Struktur
bangunan |
material warna atap |
|
|
|
kepadatan |
Layanan
teknis |
jaringan jalan |
|
telekomunikasi |
listrik |
|
air dan sanitasi |
|
|
drainase utama |
|
pengelolaan sampah |
Insfrastruktur
|
Pendidikan |
|
area bisnis |
fasilitas sosial |
|
fasilitas transportasi |
Sumber : Busgeeth, 2008
Tabel 1.
menunjukkan variabel-variabel yang dapat diamati dari data citra QuickBird.
Variabel ukuran bangunan yang dapat dengan mudah diamati adalah faktor
keseragaman ukuran bangunannya. Pada beberapa area nampak ukuran bangunan tidak
seragam. Kondisi ini mengindikasikan proses pertumbuhan permukiman tersebut
terjadi secara alamiah.
Variabel layout
permukiman nampak pada faktor keteraturannya. Area permukiman yang dibangun
secara terrencana nampak adanya pola-pola yang teratur dengan ukuran bangunan
yang relatif seragam, dan bentuk hampir sama.
Struktur
bangunan dapat diperkirakan melalui material bangunan yang digunakan seperti
bangunan batu permanen, bangunan batu semi permanen, dan rumah kayu. Material
bangunan ini dapat menggambarkan kondisi perekonomian penguni permukiman
tersebut. Warna dan kecerahan atap dapat digunakan sebagai indikasi umur
bangunan. Area permukiman dengan warna atap rata-rata cerah mengindikasikan
bahwa permukiman tersebut adalah permukiman yang masih baru.
Layanan
teknis menunjukkan banyaknya sarana teknis yang tersedia pada area permukiman
tersebut. Kondisi ini dapat digunakan sebagai indikator taraf hidup sosial
rata-rata masyarakat. Kondisi jaringan jalan yang nampak beraspal mencirikan
wilayah yang lebih tersentuh pembangunan dibandingkan wilayah dengan jaringan
jalan berupa tanah atau batu.
Infrastruktur
pendukung juga dapat digunakan sebagai indikasi kemajuan budaya dari lingkungan
tersebut. Ketersediaan sarana pendidikan, jasa, area bisnis, sosial dan
transportasi menunjukkan kondisi yang lebih maju dibandingkan wilayah yang
tidak memiliki sarana tersebut. Bentuk permukiman penduduk di wilayah
penelitian yang teridentifikasi adalah seperti Gambar 14.
Gambar 14. Karakteristik kepadatan
permukiman berdasar citra QuickBird.
Sumber : Busgeeth, 2008
Gambar 14.
menunjukkan pola kepadatan dari beberapa kelompok permukiman di wilayah
penelitian. Terdapat perbedaan pola yang berkaitan dengan variabel-variabel di
atas. Observasi terhadap ketiga gambar tersebut menunjukkan adanya perbedaan
yang paling nyata adalah pada layout tata ruang permukiman tersebut. Kondisi
ini mengindikasikan proses perkembangan wilayah ini. Gambar 14 paling kiri
mencirikan perkembangan pemukiman secara alamiah. Rumah penduduk dibangun oleh
pemilik tanah tanpa adanya perencanaan wilayah tersebut. Gambar tengah dan
paling kanan menunjukkan adanya keteraturan yang lebih baik, namun terdapat
perbedaan ukuran dan struktur bangunannya. Berdasar interpretasi dan analisis
beberapa variabel yang ada nampak kedua gambar tersebut adalah area permukiman
yang berkembang dengan satu perencanaan. Gambar 14 paling kanan mencirikan
permukiman tersebut memiliki usia yang relatif lebih lama dibandingkan dengan
usia permukiman pada Gambar 14 tengah.
Tipologi permukiman dapat
diinterpretasi dari data citra QuickBird tersebut. Tipologi permukiman dapat
didasarkan pada karakteristik variabel spasial di atas. Bentuk tipologi dari
beberapa area permukiman di wilayah penelitian tergolong seperti pada Tabel 2.
berikut
Tabel 2. Tipologi
permukiman secara umum
Klasifikasi |
Tipe geografis |
Perkotaan |
Perkotaan formal |
|
Perkotaan informal |
Perdesaan |
Perdesaan formal |
|
Kesukuan / pedalaman |
Sumber : Busgeeth, 2008
Permukiman
secara umum terklasifikasi sebagai wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan.
Pada wilayah perkotaan terbagi menjadi area perkotaan formal dan area perkotaan
informal. Wilayah perdesaan terbagi menjadi area perdesaan formal dan area
pedalaman. Pada masing-masing tipe geografis tersebut terdapat jenis-jenis
bangunan dengan fungsi-fungsi tertentu seperti permukiman, area usaha dan
industri, rekreasi, dan perkantoran. Wilayah perdesaan juga ditemukan adanya
area persawahan yang menjadi penciri khas wilayah perdesaan ini. Busgeeth dkk
(2008) mengusulkan prosedur terotomasi berbasis SIG untuk menentukan tipologi
permukiman. Kerangka tersebut dijadikan sebagai dasar otomasi klasifikasi
menggunakan perangkat lunak SIG. Tidak seluruh alur digambarkan dalam modul
ini, penjelasan lengkap dapat membaca pada Busgeeth dkk (2004).
b. PJ dan SIG untuk perencanaan area pertanian
Area pertanian yang dicontohkan
di sini adalah pertanian tambak. Pertanian tambak di Indonesia memiliki peran
yang penting dalam perekonomian masyarakat khususnya masyarakat pantai.
Peningkatan produktivitas pertanian tambak didukung oleh ketersediaan lahan
tambak dengan jumlah dan kualitas yang memadai. Sejalan dengan hal ini
diperlukan kajian untuk mengembangkan area lahan tambak ini.
Penginderaan jauh dan sistem
informasi geografis telah berhasil digunakan untuk penentuan area lahan tambak
ini. Contoh dari penelitian ini dilakukan oleh Priyono dan Rahayu (2003),
Radiarta (2008), dan Gusmawati dkk (2017). Penelitian tersebut diarahkan pada
perencanaan pengembangan lahan tambak udang dan perikanan. Data yang digunakan
adalah data dari foto udara dan citra satelit. Perangkat lunak SIG dimanfaatkan
untuk melakukan proses digitalisasi peta tematik yang menjadi variabel
penelitian serta alat analisis. Observasi lapangan dilakukan untuk mendapatkan
data primer seperti lokasi tambak eksisting, permasalahan yang pernah terjadi
pada lokasi tambak, dan kondisi terkini dari area yang direncanakan.
Priyono dan Rahayu (2003)
menetapkan beberapa parameter pokok yang menjadi dasar analisis pemilihan
lokasi pengembangan lahan tambak. Parameter tersebut adalah lereng, tekstur
tanah, jarak dari laut, jarak dari sungai, curah hujan, frekuensi kejadian
banjir, dan penggunaan lahan eksisting. Berdasar parameter tersebut lahan yang
dinyatakan ideal adalah area yang datar dengan tekstur tanah kasar berpasir,
tidak jauh dari sumber air laut dan sungai, tidak pernah terjadi banjir,
penggunaan lahan eksisting sebagai tanah terbuka atau tegalan, dan curah hujan
antara 2000 hingga 3000 mm pertahun. Nilai dari seluruh parameter dihitung
melalui satu formulasi dengan mempertimbangkan nilai bobot tertentu dari setiap
parameter. Proses dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SIG seperti QGIS
dan lain-lain
Formulasi yang digunakan
dalam perhitungan ini adalah sebagai berikut.
Y = ai.Xn
Keterangan
Y :
Jumlah nilai total kesesuaian lahan
Ai
: bobot
Xn : harkat
Nilai bobot dari masing-masing
parameter didasarkan pada nilai penting tiap parameter tersebut terhadap
tambak. Bobot dan harkat dari masing-masing parameter dapat dilihat pada Tabel
3 berikut.
Tabel 3. Bobot
variabel
Variabel |
Bobot |
|
Harkat |
|
3 |
2 |
1 |
||
Lereng (%) |
10 |
< 2 |
2 – 5 |
>5 |
Tekstur tanah |
20 |
Kasar |
Sedang |
Halus |
Jarak dari laut (m) |
25 |
<1000 |
1000-2000 |
>2000 |
Jarak dari sungai (m) |
15 |
<500 |
500-1000 |
>1000 |
Curah hujan (mm/th) |
10 |
2000-3000 |
10002000,3000- 3500 |
<1000, >3500 |
Frekuensi banjir |
10 |
Tidak pernah |
Kadangkadang |
sering |
Penggunaan lahan |
10 |
Tegal, tanah terbuka |
Sawah, kebun campur |
permukiman |
Sumber : Priyono dan
Rahayu (2003)
Jarak dari laut memiliki
bobot paling tinggi karena lokasi tambak untuk udang dalam penelitian ini yang
ideal adalah berada di dekat laut. Tekstur tanah kasar berpasir dinilai
merupakan hal yang penting karena tekstur yang kasar akan memiliki kekuatan yang
baik bagi konstruksi tambak ini. Seluruh parameter dipetakan dan dibobot sesuai
dengan nilai pada tabel tersebut. Hasil overlay dari seluruh parameter
menghasilkan satu peta kesesuaian lahan tambak udang. Peta kesesuaian dibagi
menjadi tiga kelas, yaitu kelas I (S1/Sesuai, jika nilai > 240 ), II
(S2/Cukup Sesuai, jika nilai 170 - 240), dan III (N/Tidak sesuai, jika nilai
< 170).
c. PJ dan SIG untuk kajian kesehatan lingkungan
Anak-anak
yang saya sayangi, seperti telah kita ketahui bersama perkembangan penginderaan
jauh dan sistem informasi geografis pada saat ini telah merambah pada bidang
kesehatan. Aplikasi pada bidang ini terutama dimanfaatkan dalam hal pengawasan
dan kontrol terhadap potensi penyakit (Beck dkk, 2000). Aplikasi penginderaan
jauh dan SIG dalam bidang kesehatan ini banyak digunakan untuk menilai faktor
lingkungan sebagai pemicu pemunculan vektor penyakit. Potensi aplikasi
pengideraan jauh dan SIG ini selanjutnya adalah untuk memahami karakteristik
pola spasial dan temporal risiko penularan suatu penyakit.
Aplikasi
penginderaan jauh dan SIG untuk pengawasan penyakit kolera dicontohkan oleh
Rasam dan Noor (2012). Penyakit bawaan makanan seperti kolera, disentri,
hepatitis A dipicu oleh adanya kontaminasi mikroorganisme pada makanan. Kontaminasi
mikroorganisme ini berasal dari adanya pencemaran yang terjadi pada lingkungan.
Kondisi lingkungan inilah yang selanjutnya menjadi variabel yang terrekam oleh
penginderaan jauh dan dapat dianalisis untuk tujuan pengawasan penyakit ini
menggunakan SIG.
Contoh lain
adalah aplikasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk
penilaian dan pemantauan risiko penyakit malaria yang dilakukan oleh Ceccato
dkk (2005). Parameter lingkungan menjadi dasar analisis kajian ini. Curah hujan
menjadi salah satu pemicu berkembangnya nyamuk malaria. Peningkatan curah hujan
berasosiasi dengan peningkatan endemi malaria. Terkait dengan hal ini, data
penginderaan jauh dapat berperan dalam perekaman cuaca untuk perkiraan
intensitas curah hujan. Citra inframerah termal dapat digunakan untuk
mengestimasi temperatur awan bagian atas. Hujan akan terjadi pada kondisi suhu
awan berada sekitar -40 hingga -70 oC.
Temperatur
memberikan efek pada vektor dan parasite malaria. Temperatur perkembangan
vektor dan parasit malaria berada pada rentang 22 - 26 oC.
Temperatur permukaan lahan dapat diindera menggunakan data thermal NOAAAVHRR,
Meteosat dan Terra-MODIS. Citra ini memiliki cakupan yang luas dan memadai
untuk perekaman pancaran termal permukaan bumi. Kelembaban diperlukan untuk
berkembangbiaknya larva nyamuk malaria ini. Beberapa citra indeks seperti
indeks vegetasi dapat digunakan sebagai penduga tingkat kelembaban perlukaan
lahan.
Permukaan air adalah tempat
berkembangbiaknya nyamuk malaria, sehingga indentifikasi terhadap sebaran
permukaan air sangat diperlukan dalam identifikasi sumber vektor malaria.
Identifikasi tutupan air dapat di lakukan dengan saluran inframerah. Saluran
ini akan terserap habis oleh tubuh air, sehingga akan memberikan warna yang
kontras dengan lahan kering di sekitarnya. Kombinasi dari parameter-parameter
tersebut di atas dapat dijadikan dasar identifikasi area perkembangbiakan
vektor dan parasit malaria. Gambar 15. berikut menunjukkan area lahan basah
dengan kelembaban tinggi yang memungkinkan menjadi area perkembangbiakan nyamuk
malaria
Gambar 15. Klasifikasi citra SPOT 4 Xi. Sumber : Ceccato dkk
(2005)
Gambar 15 adalah citra
klasifikasi dari citra SPOT Xi yang menunjukkan sebaran area lahan basah dengan
kelembaban tinggi. Area dengan warna biru merupakan sebaran area lahan basah
dengan kelembaban yang tinggi. Area dengan warna biru merupakan klasifikasi dari
piksel-piksel citra SPOT Xi dengan nilai yang merujuk pada sampel area tubuh
air. Sejalan dengan hal tersebut, maka area tersebut diperkirakan sebagai area
yang berpotensi dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk malaria. Berdasar
pada citra klasifikasi tersebut dapat dengan jelas diidentifikasi sebaran area
potensi perkembangbiakan nyamuk beserta luasnya. Informasi tersebut selanjutnya
digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan pengendalian vektor penyebab
penyakit malaria.
F.
RANGKUMAN
Kemampuan
yang dimiliki oleh penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dapat
saling mengisi dan melengkapi. Sinergi dari penginderaan jauh dan sistem
informasi geografis terbukti memberikan hasil yang baik untuk pemecahan
permasalahan yang berkaitan dengan data spasial. Aplikasi PJ dan SIG untuk
kajian air tanah dapat digunakan untuk identifikasi area recharge dan discharge
air tanah. Identifikasi didasarkan pada nilai thermal permukaan lahan. Metode
lain adalah dengan menggunakan parameter litologi dan kelurusan permukaan lahan
yang diturunkan dari data citra satelit resolusi menengah dan diperkuat melalui
observasi lapangan. Pemanfaatan PJ dan SIG untuk aplilasi bencana banjir adalah
dengan menggunakan parameter kondisi topografi dan morfometri lahan. Parameter
ini diturunkan dari data DEM dan diolah melalui prosedur AHP dalam SIG.
Aplikasi PJ dan SIG untuk perhitungan erosi tanah sering dilakukan dengan
menerapkan model perhitungan erosi seperti RUSLE. Sebagian dari parameter model
tersebut diturunkan melalui data penginderaan jauh sumberdaya dan ASTER GDEM.
Kajian kekeringan dapat dihitung dengan menggunakan anomali NDVI yang diperoleh
melalui perbandingan nilai NDVI maksimal dan NDVI rata-rata dalam masa
penelitian. Nilai NDVI diperoleh melalui perbandingan band inframerah dan band
merah. Kajian pemukiman dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit berresolusi
tinggi seperti QuickBird. Identifikasi tipologi permukiman didasarkan pada
karakteristik atribut spasial permukiman. Berdasar parameter tersebut dapat
diidentifikasi tipologi permukiman informal permukiman tradisional hingga
permukiman perkotaan formal. Aplikasi PJ dan SIG untuk kesehatan dilakukan
dengan memonitor parameter lingkungan yang dapat menjadi pemicu perkembang
biakan vektor penyakit. Aplikasi penginderaan jauh dan SIG dapat digunakan
sarana pengawasan dan kontrol terhadap potensi dan penyebaran penyakit.
G.
DAFTAR PUSTAKA
Agung Budi Raharjo. 2016. Buku Siswa Geografi untuk SMA/MA X Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Surakarta:
Mediatama.
Danang Endarto, dkk. 2009. Geografi untuk SMA/MA Kelas XII.
Jakarta: Pusat
pembukuan, Departemen Pendidikan
Nasional.
Eni. A dan Tri. H. 2012. Tahapan kerja sistem informasi geografi. Diunduh melalui www.ssbelajar.net pada tanggal 17 Mei 2017, pukul 22.55 wib).
Fitho Galandi. 2016. Pengolahan data dalam sistem lnformasi geografis (SIG). Diunduh melaui www.pengetahuandanteknologi.com
pada
tanggal 17 Mei 2017, pukul 23.10 wib.
Gatot Harmanto. (2013). Geografi 1 untuk Kelas SMA dan MA Kelompok Peminatan Ilmu Sosial.
Bandung: YramaWidya.
K. Endro S & M. Nursaban. 2010. Kartografi
Dasar. Yogyakarta: UNY.
K. Wardiyatmoko. 2013. Geografi untuk SMA/MA
Kelas XII. Jakarta: Erlangga.
Lili Sumantri. 2016. Buku Siswa Aktif dan
Keatif Belajar Geografi 3. Bandug: Grafindo.
Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Tim Praktikum SIG. 2014. Panduan Praktikum Sistem Informasi Geografis. Yogyakarta :
Program Studi Pendidikan
Geografi.
Yashinto Sindhu P. 2016. Geografi untuk SMA/MA
Kelas X. Jakarta: Erlangga.
Yulmadia Yulir. 2013. Geografi untuk SMA Kelas
X. Bogor: Yudistira.
Interactive Electronic Technical Manual Services Levels in Hyderabad IETM stands for Interactive Electronic Technical Manual Services which are classified as Level 1, Level 2, Level 3, Level 4 and Level 5. IETM is the replacement of paper work which is equivalent for a paper- based presentation.
BalasHapus