geografi lingkungan

Khoirunnas anfa'uhum linnas

Sabtu, 24 Desember 2011

Lihatlah ke Bawah, Jangan Lihat Ke Atas


Banyak nikmat Allah telah kita sia-siakan. Dari yang terkecil hingga besar. Bayangkan, seandainya udara yang kita hirup dihargai dengan uang. Berapa banyak uang yang kita keluarkan hanya untuk membeli udara. Belum lagi air yang setiap hari kita pakai. Alangkah Maha Pemurahnya Allah. 

Berjalan dengan kedua kaki, melihat dengan kedua mata, dan bernafas merupakan nikmat yang tidak bisa tidak kita syukuri. Allah menciptakan manusia dan menyempurnakan penglihatan, pendengaran, dan mata hati, untuk dapat menjaga kualitas syukur kita atas semua pemberian-Nya.

Dalam al-Quran, Allah berfirman;
 
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلاً مَّا تَشْكُرُونَ
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. [QS: As Sajadah: 9]

Coba kita renungkan tentang susunan anatomi tubuh  yang kompleks, rumitnya saluran darah, jaringan saraf, serta gumpalan otak dan hati, yang terakhir membuat derajat manusia lebih tinggi di antara mahluk Allah yang lain. Andai saja ada kerusakan sedikit di bagian otak kita, jaringan saraf terputus, dan aliran darah terhenti sesaat saja. Apa yang terjadi dalam tubuh kita?

Wujud Manisnya Iman
Kemampuan mensyukuri nikmat adalah salah satu wujud nyata dari manisnya iman. Ungkapan syukur tidak hanya di lisan. Melainkan mengejewantah dalam keseharian kita. Ibadah kian bertambah baik. Hubungan dengan tetangga makin harmonis. Kehidupan rumah tangga tambah berkah. Dan peran sosial kita semakin dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Semua itu merupakan bentuk lain dari cara mensyukuri nikmat Allah Swt.

Tubuh kita merupakan nikmat Allah yang tiada tara. Alam raya dan segala hal yang ada di dalamnya, adalah tanda-tanda kekuasaan dan fasilitas Allah guna memanjakan mahluk-Nya yang bernama manusia. Bentangan bumi yang subur, dan perut bumi yang mengandung banyak karunia Ilahi. Semuanya diserahkan kepada manusia untuk mengelola dan menikmati hasilnya. Bila sudah sedemikian sayangnya Allah pada kita, sanggupkah kita mengingkari-Nya?

Allah menegaskan dalam firman-Nya.
 أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَن يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُّنِيرٍ 
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. [QS: Luqman [31]: 20]

Pernah kita merasakan betapa nikmatnya sehat itu. Saat terbaring lemas di rumah sakit, saat makanan-makanan lezat dihidangkan, handai taulan yang datang membesuk, apa yang kita rasakan? Tubuh tak kuasa bergerak, lidah tidak dapat merasakan lezatnya hidangan yang tersedia, dan sapaan hangat handai taulan pun berlalu sedemikian dinginnya.

Merasa rendahkah kita, ketika hanya mampu makan sehari sekali, sedangkan banyak saudara kita yang tidak mampu makan, walau sehari sekali. Fenomena penyakit busung lapar yang sempat diekspos media massa beberapa waktu lalu (dan boleh jadi saat ini masih banyak namun tidak terekspos lantaran banyaknya peristiwa baru yang saling susul menyusul) menghentak kita untuk lebih memacu diri dalam mensyukuri nikmat Allah. Bagaimana kalau hal itu terjadi pada diri kita dan keluarga? Apa yang bisa kita lakukan.

Hinakah kita ketika fasilitas hidup yang kita terima tidak sama lebih rendah dibanding dengan tetanggga atau saudara kita yang lain. Penghasilan tidak sebanyak kolega kita. Karir tidak melejit secepat  teman-teman seangkatan dengan kita dn bahkan di bawah kita? Demikian dengan suasana kerja tidak senyaman yang kita harapkan. Dapatkah kita mensyukuri semua itu sebagai nikmat.

Bersyukur kita, saat banyak orang yang kehilangan pekerjaan, kesulitan bertahan hidup, dan bekerja dalam penuh ketidakpastian masa depan dan jaminan penghasilan yang memadai. Kita masih bisa bertahan seperti apa yang kita alami kini. Kita masih dikaruniai nikmat sehat dan taat (ibadah).

Kita dianjurkan untuk selalu melihat siapa yang ada di bawah. Jangan dibiasakan mengukur tingkat kesejahteraan dan kemakmuran hidup dengan siapa yang ada di atas kita. Inilah yang dapat mendekatkan diri pada sikap dan perilaku kufur. Tentu yang dimaksudkan ini sebagai bagian rasa syukur, bukan sebagai legitimasi dan sikap kemalasan. Sebab sebagai pribadi Muslim, kita tetap diwajibkan terus berprestasi sampai ke tingkat paling atas dan beramal kebaikan sebanyak-banyaknya.

Pendorong Kekufuran
Sementara arus budaya kufur menggempur kita tiada terkira. Hampir-hampir iman kita terseret dalam arus budaya kufur. Sarana-sarana dan fasilitas kekufuran tersedia dengan porsi yang lebih besar ketimbang sarana untuk bersyukur. Budaya hedonis, konsumtif, dan kontraproduktif terbangun dengan sistematis. Dan ada sarana untuk mengejawantahkan kekufuran secara baik, mulus, tanpa hambatan. Iman yang kita pupuk, dan rasa syukur yang coba ditumbuhkan, serta merta harus berhadapan dengan gelombang besar kekufuran yang sarat kemudharatan.

Kuncup syukur itu harus berdiri tegak. Tetap tegar walaupun dihajar badai kufur nan garang. Kelak kualitas kesyukuran kita akan teruji dan tidak lekang oleh hal yang membuat hambar cita rasa untuk bersyukur. Bukankah iman tumbuh dan berkualitas saat cobaan dan rintangan datang tiada henti. Justru ketika tiada hinaan, cercaan, dan hambatan, iman tumbuh tiada bergelora. Hidup ini tidak berjalan apa adanya. Ada upaya untuk membuatnya stagnan. Karena hambatan dan cobaan tiada kunjung tiba. Atau bahkan kita hindari kedatangannya. Menerima setiap pemberian Allah, betapapun kecilnya, merupakan sikap serta rasa syukur.

Bila kita membiasakan diri dengan menerima ketetapan dan pemberian Allah dengan perasaan cukup (qonaah), niscaya kita akan kaya. Dikayakan oleh Allah SWT. Hidup kian bermakna saat kita pandai mensyukuri semua yang diberikan Alah pada kita, manusia. Nikmat dunia adalah ujian. Segala hal yang Allah berikan di dunia ini merupakan sarana untuk menguji siapa yang paling baik perbuatannya di antara kita.

Ilmu yang Allah berikan pada kita, wajib diamalkan dan disebarluaskkan pada masyarakat banyak. Agar kelak ilmu yang kita miliki membuahkan hasil dan mewujud pada perubahan dan perbaikan peradaban yang hari ini kian massif dan tidak beradab. Banyak orang pintar tetapi tidak memberi kontribusi apa-apa pada komunitasnya. Yang ada hanyalah kerusakan yang ditimbulkan akibat ilmu dan kemampuan yang dimilikinya. Kufur terhadap ilmu yang Allah berikan adalah tidak mengamalkannya di jalan Allah. Atau berbuat kerusakan bersandar pada ilmu yang dimilikinya.

Karena sifat dan karakteristik manusia adalah angkuh dan menyombongkan diri. Kedua sifat tersebut dekat dengan kekufuran. Sampai-sampai Allah Swt memberi peringatan secara berulang-ulang.
فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?." [QS: arrahman: 13]

Betapa manusia adalah mahluk yang sering berbuat kekufuran. Walaupun sifat tidak pernah puas selalu menghantui dan terus saja mengikuti kita kemanapun pergi, namun kita tak perlu khawatir dengan itu. Yang bisa kita lakukan ialah, menahan dan mengekang hawa nafsu kita dari kekufuran dan perbuatan yang mendekatkan pada kekufuran itu sendiri. Inilah hakikat dan esensi syukur. Refleksi syukur itu hendaknya mampu mengeliminasi sinyal-sinyal kekufuran yang terus menerus tumbuh dan berpotensi untuk mendominasi dalam diri setiap insan. Karena syukur dan kekufuran ibarat minyak dan air. Keduanya sangat tidak mungkin disatukan. Jurang pembatas terlampau jelas untuk membedakan keduanya.

Refleksi syukur pun bisa ditafsirkan dengan berlomba-lomba melakukan kebaikan. Dan hal ini memang sangat dianjurkan. Tetapi merasa paling baik, paling taat kepada Allah, paling benar, paling pandai mensyukuri nikmat Allah adalah sikap yang tidak dibenarkan dalam Islam. Karena itu adalah perangkat Iblis dalam menggoda dan menggiring anak keturunan

Mensyukuri karunia Ilahi dapat dilakukan dengan beragam cara. Tidak hanya mengucapkan Alhamdulillah saja. Rasa syukur itu mengejawantah. Syukur itu merealitas dalam kehidupan sosial dan pribadi kita.
Kita dapat mendeteksi sikap dan perilaku diri sendiri.

Sudahkah kita mensyukuri nikmat Allah yang banyaknya tiada terkira?.

Rep: CR-3
Red: Cholis Akbar

Sumber : http://www.hidayatullah.com 

0 comments:

Posting Komentar