geografi lingkungan

Khoirunnas anfa'uhum linnas

Selasa, 19 Juli 2011

TEORI BELAJAR




A.    PENDAHULUAN
Di dalam psikologi dan pendidikan, teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari belajar. Pada dasarnya ada tiga perspektif utama dalam teori belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme. Pada dasarnya teori pertama dilengkapi oleh teori kedua dan seterusnya, sehingga kadang-kadang ada variannya, gagasan utamanya, ataupun tokohnya yang tidak dapat dimasukkan dengan jelas termasuk yang mana, atau bahkan menjadi teori tersendiri. Namun hal ini tidak perlu kita perdebatkan, karena yang terpenting adalah bagaimana gagasan dari suatu teori dapat kita pahami untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.
Kadang-kadang muncul teori informal yang merupakan turunan dari teori utama untuk kepentingan yang lebih praktis dalam kegiatan pembelajaran. Namun teori yang seperti ini tidak dapat kita kaji di sini karena di luar tujuan penulisan buku ini.
Di awal abad 20, beberapa psikolog memiliki keyakinan dapat mengembangkan satu teori tunggal yang dapat menjelaskan semua hal tentang belajar. Sebagai contoh, munculnya teori yang disebut teori satu faktor yang berpendapat bahwa reinforcement merupakan satu faktor yang mengendalikan apakah prose belajar dapat berlangsung atau tidak. Namun demikian, adanya fakta bahwa  belajar dapat terjadi tanpa reinforcement bertolak belakang dengan teori satu faktor tersebut.
Pada periode berikutnya, psikolog telah meninggalkan upaya untuk menemukan teori tunggal. Mereka mengembangkan teori yang kebih khusus cakupannya. Beberapa teori fokus pada classical conditioning, beberapa teori yang lain fokus pada operant conditioning. Ada lagi yang fokus pada belajar melalui pengamatan, dan ada juga yang fokus pada berbagai bentuk belajar yang spesifik. Perdebatan utama dalam teori belajar adalah berkenaan dengan teori mana yang paling baik dalam menjelaskan kawasan spesifik tertentu dari belajar. Sehingga teori tertentu yang baik untuk diterapkan pada kawasan tertentu belum tentu baik untuk diterapkan pada kawasan yang berbeda.

B.     BEHAVIORISME
Behaviorisme dari kata behave yang berarti berperilaku dan isme berarti aliran. Behavorisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi (gagasan awal) bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.
Jadi, karakteristik esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah pemahaman terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku seseorang, bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain dalam diri orang tersebut. Fokus behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe stimulus.
Para tokoh yang memberikan pengaruh kuat pada aliran ini adalah Ivan Pavlov dengan teorinya yang disebut classical conditioning,  John B. Watson yang dijuluki behavioris S-R (Stimulus-Respons), Edward Thorndike (dengan teorinya Law of Efect), dan B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut operant conditioning.

1.      Teori Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov


Ivan Petrovich Pavlov adalah orang Rusia. Ia menemukan Classical Conditioning di dekade 1890-an. Namun karena pada saat itu negerinya tertutup dari dunia barat, bukunya dalam edisi bahasa Inggris Conditioned Reflexes: An Investigation of the Physiological Activity of the Cerebral Cortex baru bisa diterbitkan tahun 1927. Teorinya disebut klasik karena kemudian muncul teori conditioning yang lebih baru. Ada pula yang menyebut teorinya sebagai learned reflexes atau refleks karena latihan, untuk membedakan teorinya dengan teori pengkondisian disadari-nya Skinner.


a.      Percobaan Pavlov
Pengkondisian Klasik atau Classical conditioning ditemukan secara kebetulan oleh Pavlov di dekade 1890-an. Saat itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air liur membantu proses pencernaan makanan. Kegiatannya antara lain memberi makan  anjing eksperimen dan mengukur volume produksi air liur anjing tersebut di waktu makan. Setelah anjing tersebut melalui prosedur yang sama beberapa kali, ternyata mulai mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba putih, telah diasosiasikan oleh anjing tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respons keluarnya air liur. Pavlov akhirnya mengabdikan sebagian besar hidupnya dengan mempelajari tipe mendasar  dari belajar asosiatif, yang sekarang terkenal dengan classical conditioning atau Pavlovian conditioning.
Proses conditioning biasanya mengikuti prosedur umum yang sama. Misalkan seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi lonceng. Sebelum conditioning, stimulus tanpa pengkondisian (makanan dalam mulut) secara otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian (mengeluarkan air liur) dari anjing tersebut. Selama pengkondisian, peneliti membunyikan lonceng dan kemudian memberikan makanan pada anjing tersebut. Bunyi lonceng tersebut disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur.  Namun, setelah peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa disertai makanan akhirnya menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah belajar mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian, dan keluarnya air liur anjing disebut respons dengan pengkondisian.
b.      Prinsip-prinsip Pengkondisian Klasik Pavlov
Menindaklanjuti temuannya sebelumnya, Pavlov menghabiskan waktu lebih dari tiga dasawarsa meneliti proses-proses yang esensial classical conditioning. Ia dan koleganya berhasil mengidentifikasi empat proses: acquisition (akuisisi/fase dengan pengkondisian), extinction (eliminasi/fase tanpa pengkondisian), generalization (generalisasi), dan discrimination (diskriminasi).
1)      Fase Akuisisi
Fase akuisisi merupakan fase belajar permulaan dari respons kondisi—sebagai contoh, anjing ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena pengkondisian suara lonceng. Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi. Faktor  yang paling penting adalah urutan dan waktu stimuli. Conditioning terjadi paling cepat ketika stimulus kondisi (suara lonceng) mendahului stimulus utama (makanan) dengan selang waktu setengah detik. Conditioning memerlukan waktu lebih lama dan respons yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama antara pemberian stimulus kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi mengikuti stimulus utama—sebagai contoh, jika anjing menerima makanan sebelum lonceng berbunyi—conditioning jarang terjadi.
2)      Fase Eliminasi
Sekali telah dipelajari, suatu respons dengan kondisi tidaklah diperlukan secara permanen. Istilah extinction (eliminasi) digunakan untuk menjelaskan eliminasi respons kondisi dengan mengulang-ulang stimulus kondisi tanpa stimulus utama. Jika seekor anjing telah ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena adanya suara lonceng, seorang eksperimenter dapat secara berangsur-angsur menghilangkan respons anjing dengan mengulang-ulang bunyi lonceng tanpa memberikan makanan sesudahnya. Namun, dengan eliminasi tidak bisa disimpulkan bahwa anjing dengan mudahnya tidak ‘belajar’ atau melupakan asosiasi antara bunyi lonceng dan makanan. Setelah eliminasi, jika eksperimenter membiarkan beberapa jam berlalu dan kemudian membunyikan lonceng lagi, anjing biasanya mengeluarkan air liur pada saat lonceng berbunyi sekali lagi. Pemunculan kembali respons yang telah ditiadakan setelah tenggat waktu beberapa lama disebut spontaneous recovery (kembali ke keadaan semula secara spontan).
3)      Generalisasi
Setelah seekor hewan telah ‘belajar’ respons kondisi dengan satu stimulus, ada kemungkinan juga ia merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika seorang anak digigit oleh seekor anjing hitam besar, anak tersebut bukan hanya takut kepada anjing tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena ini disebut generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang kurang intens. Sebagai contoh, anak tersebut ketakutannya menjadi berkurang terhadap anjing yang lebih kecil.  
4)      Diskriminasi
Kebalikan dari generalisasi adalah diskriminasi, yaitu ketika seorang individu belajar menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus namun tidak dari stimulus yang sama namun berbeda kondisinya. Sebagai contoh, seorang anak memperlihatkan respons takut pada anjing galak yang bebas, namun mungkin memperlihatkan rasa tidak takut ketika seekor anjing galak diikat atau terkurung dalam kandang.
2.      Teori Stimulus-Respons John Watson
Setelah melakukan penelitian classical conditioning pada anjing dan hewan lain, pakar psikologi menjadi tertarik pada bagaimana seandainya tipe belajar ini diterapkan pada perilaku manusia. Bagaimanapun, hal ini sulit dilakukan karena akan mendapat tentangan dari orang-orang yang tidak setuju dengan eksperimen psikologi terhadap manusia.
Pada tahun 1919, pakar psikologi berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam bukunya Psychology from the Standpoint of a Behaviorist mengkritisi metode introspektif dalam pakar psikologi yaitu metode yang hanya memusatkan perhatian pada perilaku yang ada atau berasal dari nilai-nilai dalam diri pakar psikologi itu sendiri. Watson bersiteguh hanya menggunakan eksperimen sebagai metode untuk mempelajari kesadaran. Watson mempelajari penyesuaian organisme terhadap lingkungannya, khususnya stimuli khusus yang menyebabkan organisme tersebut memberikan respons. Kebanyakan dari karya-karya Watson adalah komparatif yaitu membandingkan perilaku berbagai binatang. Karya-karyanya sangat dipengaruhi karya Ivan Pavlov di atas. Namun pendekatan Watson lebih menekankan pada peran stimuli dalam menghasilkan respons karena pengkondisian, mengasimilasikan sebagian besar atau seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah, Watson dijuluki sebagai pakar psikologi S - R (stimulus-response).
a.      Percobaan John Watson
Pada dasarnya Watson melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya, Watson ingin menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional. Hal ini didasari atas keyakinannya bahwa personalitas seseorang berkembang melalui pengkondisian berbagai refleks.
Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten risetnya Rosalie Rayner melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama Albert. Pada awal eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita memegang tikus, Watson mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita menjadi takut dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun, balita menjadi takut terhadap tikus.
b.      Kesimpulan Watson.
Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan, hasilnya menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa manusia dapat ‘belajar’ takut terhadap stimuli yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan pengalaman yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen tersebut juga menunjukkan bahwa classical conditioning mengakibatkan  beberapa kasus fobia (rasa takut), yaitu ketakutan yang yang tidak rasional dan berlebihan terhadap objek-objek tertentu atau situasi-situasi tertentu. Pakar psikologi sekarang dapat memahami bahwa classical conditioning dapat menjelaskan beberapa respons emosional—seperti kebahagiaan, kesukaan, kemarahan, dan kecemasan—yaitu karena orang tersebut mengalami stimuli khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki pengalaman menyenangkan dengan roller coaster kemungkinan belajar merasakan kesenangan justru karena melihat bentuk roller coaster tersebut. Bagi seorang dewasa yang menemukan sepucuk surat dari teman dekat di dalam kotak surat, hanya dengan melihat alamat pengirim yang tertera di sampul surat kemungkinan menimbulkan perasaan senang dan hangatnya persahabatan. 
Pakar psikologi menggunakan prosedur classical conditioning untuk merawat fobia (rasa takut) dan perilaku yang tidak diinginkan lainnya seperti kecanduan alkohol dan psikotropika. Untuk merawat fobia terhadap objek-objek tertentu, pakar psikologi melakukan terapi dengan menghadirkan objek yang ditakuti oleh penderita secara berangsur-angsur dan berulang-ulang ketika penderita dalam suasana santai. Melalui fase eliminasi (eliminasi stimulus kondisi), penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap objek tersebut. Dalam memberikan perawatan untuk pecandu alkohol, penderita meminum minuman beralkohol dan kemudian menenggak minuman keras tersebut sehingga menyebabkan rasa sakit di lambung. Akhirnya ia merasakan sakit lambung begitu melihat atau mencium bau alkohol dan berhenti meminumnya. Keefektivan dari terapi seperti ini sangat bervariasi bergantung individunya dan problematika yang dihadapinya.
3.      Hukum Efek dan Teori Koneksionisme Edward Thorndike
Edward Lee Thorndike adalah pakar psikologi yang menjadi dosen di Columbia University AS. Dalam bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyatakan tidak suka pada pendapat bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru berpendapat bahwa hewan juga memliki kecerdasan. Beberapa eksperimennya ditujukan untuk mendukung gagasannya tersebut, yang kemudian ternyata merupakan awal munculnya operant conditioning (pengkondisian yang disadari).

Prinsip yang dikembangkannya disebut hukum efek karena adanya konsekuensi atau efek dari suatu perilaku.  Sementara, teorinya disebut koneksionisme untuk menunjukkan adanya koneksi (keterkaitan) antara stimuli tertentu dan perilaku yang disadari.
a.      Pecobaan Thorndike
Subjek riset Thorndike termasuk kucing, anjing, ikan, kera, dan anak ayam. Untuk melihat bagaimana hewan belajar perilaku yang baru, Thorndike menggunakan ruangan kecil yang ia sebut puzzle box (kotak teka-teki), dan jika hewan itu melakukan respons yang benar (seperti menarik tali, mendorong tuas, atau mendaki tangga), pintu akan terbuka dan hewan tersebut akan diberi hadiah makanan yang diletakkan tepat di luar kotak.
Ketika pertama kali hewan memasuki kotak teka-teki, memerlukan waktu lama untuk dapat memberi respons yang dibutuhkan agar pintu terbuka. Namun demikian, pada akhirnya hewan tersebut dapat melakukan respons yang benar dan menerima hadiahnya: lolos dan makanan.
Ketika Thorndike memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara berulang-ulang, hewan tersebut akan melakukan respons yang benar semakin cepat. Dalam waktu singkat, hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk lolos dan mendapatkan hadiah.
b.      Kesimpulan Thorndike

Thorndike menggunakan 'kurva waktu belajar' tersebut untuk membuktikan bahwa hewan tersebut bukan menggunakan nalurinya untuk dapat lolos dan mendapatkan hadiah dari kotak, namun melalui proses trial and error (mencoba-salah-mencoba lagi sampai benar).
Thorndike menjelaskan ada perbedaan yang jelas apakah hewan dalam eksperimen tersebut agar dapat lolos dari kotak menggunakan naluri atau tidak. Caranya yaitu dengan mencatat waktu yang digunakan hewan untuk dapat lolos. Logikanya, jika hewan menggunakan naluri maka ia akan dapat langsung lolos begitu saja, sehingga catatan waktunya tidak menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu secara gradual yang signifikan.  Kenyataannya, hewan menggunakan cara yang biasa disebut trial and error dengan bukti kurva waktu yang menurun secara gradual. Hal ini menunjukkan hewan dapat 'belajar' secara gradual dan konsisten.
Didasarkan atas eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut hukum efek. Hukum ini menyatakan bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang menyenangkan, lebih cenderung akan terjadi lagi di masa mendatang. Sebaliknya, perilaku yang diikuti kejadian yang tidak menyenangkan akan memperlemah, sehingga cenderung tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Thorndike menginterpretasikan temuannya sebagai keterkaiatan. Ia menjelaskan bahwa keterkaitan antara kotak dan gerakan yang digunakan hewan percobaan untuk lolos 'diperkuat' setiap kali berhasil. Karena adanya keterkaitan ini, banyak yang menyebut hukum efek Thorndike menjadi teori koneksionisme, yang oleh Skinner dikembangkan lagi menjadi operant conditioning (pengkondisian yang disadari).

4.      Pengkondisian Disadari B.F. Skinner

Burrhus Frederic "B. F." Skinner adalah pakar psikologi yang lahir di pedesaan. Bercita-cita menjadi seorang penulis fiksi, ia pernah secara intensif berlatih menulis. Namun pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki bakat tersebut. Pada suatu saat secara kebetulan ia membaca buku yang mengulas tentang behaviorismenya Watson. Ketertarikannya terhadap Psikologi pun berlanjut, sehingga ia memutuskan untuk belajar Psikologi di Harvard University (AS) dan memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 1931. Setelah dua kali pindah mengajar di dua universitas, Ia kembali mengajar di almamaternya hingga menjadi profesor di tahun 1948.
Skinner menjadi terkenal karena kepeloporannya melakukan riset terhadap belajar dan perilaku. Selama 60 tahun karirnya, Skinner menemukan berbagai prinsip penting dari operant conditioning, suatu tipe belajar yang melibatkan penguatan dan hukuman. Sebagai seorang behavioris sejati, Skinner yakin bahwa operant conditioning dapat menjelaskan bahkan perilaku manusia yang paling kompleks sekalipun. Pada kenyataannya, Skinner lah memang yang pertama kali memberi istilah operant conditioning.
Terkenalnya Skinner bukan hanya risetnya dengan binatang, tetapi juga pengakuan kontroversialnya bahwa prinsip-prinsip belajar yang ia temukan dengan menggunakan kotaknya juga dapat diterapkan untuk perilaku manusia dalam kehidupannya sehari-hari.

a.      Percobaan Skinner
Diawali di tahun 1930-an, Skinner menghabiskan waktu beberapa dasa warsa mempelajari perilaku—kebanyakan tikus atau merpati—di dalam ruangan kecil yang kemudian disebut kotak Skinner. Seperti kotak teka-teki Thorndike, kotak Skinner  berupa ruangan kosong tempat hewan dapat memperoleh makanan dengan melakukan respons sederhana, seperti menekan tuas atau memutar kunci berbentuk lingkaran. Sebuah alat yang diletakkan di dalam kotak merekam semua yang dilakukan hewan tersebut. Kotak Skinner berbeda dengan kotak teka-teki Thorndike dalam tiga hal: (1) dalam mengerjakan respons yang diinginkan, hewan tersebut menerima makanan namun tidak keluar dari kotak; (2) persediaan makanan di dalam kotak hanya cukup untuk setiap respons, sehingga penguat hanya diberikan untuk satu sesi tes; dan  (3) operant response (respons yang disadari) membutuhkan upaya yang ringan, sehingga seekor hewan dapat melakukan respons ratusan bahkan ribuan kali per jamnya.  Karena tiga perbedaan ini, Skinner dapat mengumpulkan lebih banyak data, dan ia dapat mengamati bagaimana perubahan pola pemberian makanan mempengaruhi kecepatan dan pola perilaku hewan.

b.      Prinsip-prinsip Operant Conditioning

Selama lebih 60 tahun dari karirnya, Skinner mengidentifikasi sejumlah prinsip mendasar dari operant conditioning yang menjelaskan bagaimana seseorang belajar perilaku baru atau mengubah perilaku yang telah ada. Prinsip-prinsip utamanya adalah reinforcement (penguatan kembali), punishment (hukuman), shaping (pembentukan), extinction (penghapusan), discrimination (pembedaan), dan generalization (generalisasi).

1)      Penguatan

Dalam operant conditioning, reinforcement (penguatan kembali) berarti proses yang memperkuat perilaku—yaitu, memperbesar kesempatan supaya perilaku tersebut terjadi lagi. Ada dua kategori umum reinforcement, yaitu positif dan negatif. Eksperimen Thorndike dan Skinner menggambarkan reinforcement positif, suatu metode memperkuat perilaku dengan menyertaikan stimulus yang menyenangkan. Reinforcement positif merupakan metode yang efektif dalam mengendalikan perilaku baik hewan maupun manusia. Untuk manusia, penguat positif meliputi item-item mendasar seperti makanan, minuman, seks, dan kenyamanan yang bersifat fisikal. Penguat positif lain meliputi kepemilikan materi, uang, persahabatan, cinta, pujian, penghargaan,  perhatian, dan sukses karir seseorang.
Bergantung pada situasi dan kondisi, penguatan positif dapat memperkuat perilaku baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Anak-anak kemungkinan mau bekerja keras di rumah maupun di sekolah karena penghargaan yang mereka terima dari orang tua maupun gurunya karena performans (kemampuan)nya yang bagus. Namun demikian, mereka mungkin juga mengganggu kelas, mencoba melakukan hal-hal yang berbahaya, atau mulai merokok karena perilaku-perilaku tersebut mengarahkan perhatian dan penerimaan dari kelompk sebayanya. However, they may also disrupt a class, try dangerous stunts, or start smoking because these behaviors lead to attention and approval from their peers. Salah satu penguat yang paling umum untuk perilaku manusia adalah uang. Banyak orang dewasa menghabiskan waktunya selama berjam-jam untuk pekerjaan mereka karena imbalan upah. Untuk individu tertentu, uang dapat juga menjadi penguat untuk perilaku yang tidak diinginkan, seperti perampokan, penjualan obat bius, dan penggelapan pajak.
Reinforcement negatif merupakan suatu cara untuk memperkuat suatu perilaku melalui cara menyertainya dengan menghilangkan atau meniadakan stimulus yang tidak menyenangkan. Ada dua tipe reinforcement negatif: mengatasi dan menghindari. Di dalam tipe pertama (mengatasi), seseorang melakukan perilaku khusus mengarah pada menghilangkan stimulus yang tidak mengenakkan. Sebagai contoh, jika seseorang dengan sakit kepala mencoba obat jenis baru pengurang rasa sakit dan sakit kepalanya dengan cepat hilang, orang ini kemungkinan akan menggunakan obat itu lagi ketika terjadi lagi sakit kepala. Dalam tipe kedua (menghindari), seseorang melakukan suatu perilaku menghindari akibaat yang tidak menyenangkan. Sebagai contoh, pengemudi kemungkinan mengambil jalur tepi jalan raya untuk menghindari tabrakan beruntun, pengusaha membayar pajak untuk menghindari denda dan hukuman, dan siswa mengerjakan pekerjaan rumahnya untuk menghindari nilai buruk

2)      Jadwal Penguatan

Suatu jadwal reinforcement merupakan suatu aturan yang memberikan spesifikasi waktu dan frekuensi penguat. Pada eksperimen awalnya dalam operant conditioning, Skinner memberi hadiah pada hewan berupa makanan setiap kali mereka melakukan respons dengan benar—suatu jadwal yang disebut dengan continuous reinforcement. Skinner dengan segera mencoba memberi hadiah hanya pada beberapa item respons yang diharapkan dan bukan yang lain—suatu jadwal yang kemudian disebut sebagai partial reinforcement. Hal yang kemudian mengejutkannya, ia menemukan bahwa hewan-hewan tersebut menunjukkan berbagai pola perilaku yang benar-benar berbeda.
Skinner dan koleganya menemukan bahwa jadwal partial reinforcement seringkali lebih efektif dalam memperkuat perilaku dibandingkan dengan jadwal continuous reinforcement, karena dua alasan. Pertama, jadwal partial reinforcement biasanya menghasilkan respons yang lebih banyak, dengan tingkat kecepatan yang lebih. Kedua, suatu perilaku yang dipelajari melalui jadwal partial reinforcement memiliki resistensi (daya tahan) yang lebih besar terhadap extinction (eliminasi kondisi)—jika hadiah untuk perilaku dihentikan, perilaku akan tetap sama selama jangka waktu yang lebih lama sebelum berhenti. Satu alasan  extinction lebih lamban setelah partial reinforcement adalah bahwa pembelajar menjadi terbiasa dalam melakukan respons tanpa menerima penguat setiap saat. Ada empat tipe utama jadwal partial reinforcement: fixed-ratio, variable-ratio, fixed-interval, dan variable-interval. Setiap tipe menghasilkan pola perilaku yang berbeda.
Dalam jadwal fixed-ratio, individu menerima penguat setiap saat mereka membuat sejumlah tertentu respons. Sebagai contoh, seorang pekerja bisa memperoleh sejumlah uang setiap kali merakit  100 item. Tipe jadwal seperti ini biasanya memproduksi pola respons berhenti-dan-bekerja lagi: Setiap individu bekerja secara ajeg sampai menerima satu penguat, kemudian memperoleh tenggat, kemudian bekerja secara ajeg sampai menerima penguat berikutnya, dan seterusnya.
Dalam jadwal variable-ratio, individu juga harus membuat sejumlah respons sebelum menerima penguat, namun jumlah tersebut bervariasi dan tidak bisa diprediksi. Mesin judi, roda rolet, dan berbagai bentuk lain dari judi merupakan contoh dari jadwal variable-ratio. Perilaku yang diperkuat dalam jadwal-jadwal ini cenderung terjadi dalam tingkat kecepatan dan keajegan yang tinggi, dengan sedikit jeda. Karenanya, banyak orang akan menjatuhkan koin lagi dan lagi pada mesin judi demi peluang memenangkan jackpot, yang berfungsi sebagai penguat.
Dalam jadwal fixed-interval, individu menerima penguatan karena responsnya berdasarkan durasi penggunaan waktu yang telah ditentukan. Sebagai misal,  dalam suatu eksperimen di dalam laboratorium dengan jadwal fixed-interval satu menit, paling tidak satu menit harus diselesaikan sampai dengan pemberian penguat. Respons apapun yang terjadi sebelum durasi satu menit tersebut tidak diperhitungkan. Dalam jadwal seperti ini, hewan biasanya tidak memberikan respons pada awal-awal interval, namun mereka merespons semakin cepat dan cepat mendekati pemberian reinforcement.  Jadwal fixed-interval jarang terjadi di luar laboratorium, namun yang agak mendekati adalah penggunaan durasi waktu dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. Siswa hanya kadang-kadang saja mengamati jam dinding pada permulaan kegiatan pembelajaran, namun mereka sangat sering melihat jam dinding tersebut manakala kegiatan pembelajaran mendekati akhir.
Jadwal variable-interval juga menuntut durasi waktu sebelum pemberian  reinforcement, namun durasi waktunya variatif dan tidak dapat diprediksi. Perilaku dalam jadwal ini cenderung ajeg, namun lebih lamban dibandingkan dengan jadwal rasio. Sebagai contoh, seseorang yang mencoba menelepon seseorang yang teleponnya sedang pada nada sibuk mungkin akan menelepon lagi setiap selang beberapa menit sampai panggilannya tersambung.

3)      Hukuman

Apabila reinforcement memperkuat perilaku, hukuman memperlemah, mengurangi peluangnya terjadi lagi di masa depan. Sama halnya dengan reinforcement, ada dua macam hukuman, positif dan negatif.  Hukuman yang positif meliputi mengurangi perilaku dengan memberikan stimulus yang tidak menyenangkan jika perilaku itu terjadi. Orang tua menggunakan hukuman positif ketika mereka memukul, memarahi, atau meneriaki anak karena perilaku yang buruk.  Masyarakat menggunakan hukuman positif ketika mereka menahan atau memenjarakan seseorang yang melanggar hukum. Hukuman negatif atau disebut juga peniadaan, meliputi mengurangi perilaku dengan menghilangkan stimulus yang menyenangkan jika perilaku terjadi. Taktik orang tua yang membatasi gerakan anaknya atau mencabut beberapa hak istimewanya karena perbuatan anaknya yang buruk merupakan contoh hukuman negatif.
Kontroversi yang besar terjadi manakala membicarakan apakah hukuman merupakan cara yang efektif dalam mengurangi atau meniadakan perilaku yang tidak diinginkan. Eksperimen dalam laboratorium yang sangat hati-hati membuktikan bahwa, ketika hukuman digunakan dengan bijaksana, ternyata menjadi metode yang efektif dalam mengurangi perilaku yang tidak diinginkan. Namun demikian, hukuman memiliki beberapa kelemahan. Ketika seseorang dihukum sehingga sangat menderita, ia menjadi marah, agresif, atau reaksi emosional negatif lainnya. Mereka mungkin menyembunyikan bukti-bukti perilaku salah mereka atau melarikan diri dari situasi buruknya, seperti halnya ketika seorang anak lari dari rumahnya. Lagi pula, hukuman mungkin mengeliminasi perilaku yang dikehendaki bersamaan dengan hilangnya perilaku yang tidak dikehendaki. Sebagai contoh, seorang anak yang dipukul karena membuat kesalahan di depan kelas kemungkinan tidak berani lagi tunjuk jari. Karena alasan ini dan beberapa alasan lainnya, banyak pakar psikologi yang merekomendasikan bahwa hukuman hanya boleh dilakukan untuk mengontrol perilaku ketika tidak ada alternatif lain yang lebih realistis.

4)      Pembentukan

Pembentukan merupakan teknik penguatan yang digunakan untuk mengajar perilaku hewan atau manusia yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Dalam cara ini, guru memulainya dengan penguatan kembali suatu respons yang dapat dilakukan oleh pembelajar dengan mudah, dan secara berangsur-angsur ditambah tingkat kesulitan respons yang dibutuhkan. Sebagai contoh, mengajar seekor tikus menekan tuas yang terletak di atas kepalanya, pelatihnya dapat pertama-tama memberikan hadiah pada gerakan kepala apapun ke arah atas, kemudian gerakan ke arah atas 2,5 cm, dan seterusnya, sampai gerakan tersebut mampu menekan tuas. Pakar psikologi telah menggunakan shaping (pembentukan) ini untuk mengajarkan kemampuan berbicara pada anak-anak dengan keterbelakangan mental yang parah dengan pertama-tama memberikan hadiah pada suara apa pun yang mereka keluarkan, dan kemudian secara berangsur menuntut suara yang semakin menyerupai kata-kata dari gurunya. Pelatih binatang di dalam sirkus dan kebun binantang menggunakan shaping ini untuk mengajar gajah berdiri dengan hanya bertumpu pada kaki belakangnya saja, harimau berjalan di atas bola, anjing berjalan di dalam roda yang berputar ke arah belakang, dan paus pembunuh dan lumba-lumba melompat melalui lingkaran.

5)      Eliminasi Penguatan

Sebagaimana dalam classical conditioning, respons yang dipelajari di dalam operant conditioning tidak selalu permanen. Di dalam operant conditioning, extinction (eliminasi kondisi) merupakan eliminasi dari perilaku yang dipelajari dengan menghentikan penguat dari perilaku tersebut. Jika seekor tikus telah belajar menekan tuas karena dengan melakukan ini hewan tersebut menerima makanan, tingkat penekanannya pada tuas akan berkurang dan pada akhirnya berhenti sama sekali jika makanan tidak lagi diberikan.  Pada manusia, menarik kembali penguat akan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, orang tua seringkali memberikan reinforcement negatif sifat marah anak-anak muda dengan memberinya perhatian. Jika orang tua mengabaikan saja kemarahan anak-anak dengan lebih memberikannya hadiah berupa perhatian tersebut, frekuensi kemarahan dari anak-anak tersebut seharusnya secara berangsur-angsur akan berkurang.

6)      Generalisasi dan Diskriminasi

Generalisasi dan diskriminasi yang terjadi di dalam operant conditioning nyaris sama dengan yang terjadi di dalam classical conditioning. Dalam generalisasi, seseorang suatu perilaku yang telah dipelajari dalam suatu situasi dilakukan dalam kesempatan lain namun situasinya sama.  Sebagai misal, seseorang yang diberi hadiah dengan tertawa atas ceritanya yang lucu di suatu bar akan mengulang cerita yang sama di retoran, pesta, atau resepsi pernikahan.  Diskriminasi merupakan proses belajar bahwa suatu perilaku akan diperkuat dalam suatu situasi namun tidak dalam situasi lain. Seseorang akan belajar bahwa menceritakan leluconnya di dalam gereja atau dalam situasi bisnis yang memerlukan keseriusan tidak akan membuat orang tertawa. Stimuli diskriminatif memberikan peringatan bahwa suatu perilaku sepertinya diperkuat negatif. Orang tersebut akan belajar menceritakan leluconnya hanya ketika ia berada pada situasi yang riuh dan banyak orang (stimulus diskriminatif). Belajar ketika perilaku akan dan tidak akan diperkuat merupakan bagian penting dari operant conditioning.

c.       Penerapan Operant Conditioning

Teknik Operant conditioning memiliki manfaat praktis di banyak situasi kehidupan manusia. Orang tua yang memahami prinsip-prinsip dasar operant conditioning daapat memperkuat perilaku anak-anaknya yang sesuai dan memberikan hukuman pada perilaku yang tidak sesuai, dan mereka dapat menggunakan teknik generalisasi dan diskriminasi untuk membelajarkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan situasi-situasi tertentu. Di dalam kelas, banyak guru memperkuat kemampuan akademik yang bagus dengan sedikit hadiah atau hak-hak tertentu. Perusahaan menggunakan hadiah untuk memperbaiki kehadiran, produktivitas, dan keselamatan kerja bagi para pekerjanya.
Pakar psikologi yang disebut terapis perilaku menggunakan prinsip-prinsip belajar operant conditioning untuk merawat anak-anak atau orang dewasa yang memiliki kelainan pakar psikologiis ataupun masalah perilaku. Terapis perilaku ini menggunakan teknik shaping untuk mengajar keterampilan bekerja pada orang-orang dewasa yang mengalami keterbelakangan mental. Mereka menggunakan teknik reinforcement untuk mengajar keterampilan merawat diri sendiri pada orang-orang yang menderita sakit mental yang parah, seperti schizophrenia, dan menggunakan hukuman dan ekstingsi (eliminasi kondisi) untuk mengurangi perilaku agresif dan antisosial dari orang-orang tersebut. Pakar psikologi juga menggunakan teknik operant conditioning untuk merawat kecenderungan bunuh diri, kelainan seksual, permasalahan perkawinan, kecanduan obat terlarang, perilaku nkonsumtif, kelainan perilaku dalam makan, dan masalah lainnya. Lihat  Behavior Modification.

C.    KOGNITIVISME

Menjelang berakhirnya tahun 1950-an banyak muncul kritik terhadap behaviorisme. Banyak keterbatasan dari behaviorisme dalam menjelaskan berbagai masalah yang berkaitan dengan belajar. Banyak pakar psikologi waktu itu yang berpendapat behaviorisme terlalu fokus pada respons dari suatu stimulus dan perubahan perilaku yang dapat diamati.
Kognitivis mengalihkan perhatiannya pada “otak”. Mereka berpendapat bagaimana manusia memproses dan menyimpan informasi sangat penting dalam proses belajar. Akhirnya proposisi (gagasan awal) inilah yang menjadi fokus baru mereka.
Kognitivisme tidak seluruhnya menolak gagasan behaviorisme, namun lebih cenderung perluasannya, khususnya pada gagasan eksistensi keadaan mental yang bisa mempengaruhi proses belajar.   Pakar psikologi kognitif modern berpendapat bahwa belajar melibatkan proses mental yang kompleks, termasuk memori, perhatian, bahasa, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah. Mereka meneliti bagaimana manusia memproses informasi dan membentuk representasi mental dari orang lain, objek, dan kejadian.
Pada akhirnya, arus utama kognitivisme bergeser ke konstruktivisme. Para kognitivis pun mengikuti dinamika perubahan menuju konstruktivis.

1.      Percobaan Tollman

Sesungguhnya, pada tahun 1930 pakar psikologi AS Edward C. Tolman sudah meneliti proses kognitif dalam belajar dengan penelitian eksperimen bagaimana tikus belajar mencari jalan melintasi maze (teka-teki berupa jalan yang ruwet).  Ia menemukan bukti bahwa tikus-tikus percobaannya membentuk “peta kognitif” (atau peta mental) bahkan pada awal eksperimen, namun tidak menampakakan hasil belajarnya sampai mereka menerima penguatan untuk menyelesaikan jalannya melintasi maze—suatu fenomena yang disebutnya latent learning atau belajar latent. Eksperimen Tolman menunjukkan bahwa belajar adalah lebih dari sekedar memperkuat respons melalui penguatan.

2.      Jerome Bruner
Jerome Bruner adalah guru besar di dua universitas terkemuka dunia yaitu Harvard (AS) dan Oxford (Inggris). Yatim di usia 12 tahun dan keluarga yang sering pindah tidak menghalanginya untuk berprestasi. Bruner memiliki peran besar dalam perubahan arus utama psikologi dari behaviorisme ke kognitivisme pada dekade 1950-an dan 1960-an. Karya pentingnya yang secara eksplisit mengawali kognitivisme diterbitkan tahun 1956, A Study in Thinking. Dalam bukunya tersebut Bruner mendefinisikan proses kognitif sebagai “alat bagi organisme untuk memperoleh, menyimpan, dan mentransformasi informasi.” Bruner juga pelopor utama konstruktivisme.
Gagasan utama Bruner didasarkan kategorisasi. "Memahami adalah kategorisasi, konseptualisasi adalah kategorisasi, belajar adalah membentuk kategori-kategori, membuat keputusan adalah kategorisasi." Bruner berpendapat bahwa orang menginterpretasikan dunia melalui persamaannya dan perbedaannya. Sebagaimana halnya Taksonomi Bloom, Bruner berpendapat tentang adanya suatu sistem pengkodean di mana orang membentuk susunan hierarkhis dari kategori-kategori yang saling berhubungan. Gagasannya yang disebut instructional scaffolding (dukungan dalam pembelajaran) ini berupa hierarkhi kategori berjenjang di mana semakin tinggi semakin spesifik, menyerupai  gagasan Benjamin Bloom tentang perolehan pengetahuan.
Bruner mengemukakan ada dua mode utama dalam berpikir: naratif dan paradigmatik. Dalam berpikir naratif, pikiran fokus pada berpikir yang sekuensial, berorientasi pada kegiatan, dan dorongan berpikir secara rinci. Dalam berpikir paradigmatik, pikiran melampaui kekhususan sehingga memperoleh pengetahuan yang sistematis dan kategoris. Pada mode pertama, proses berpikir seperti halnya cerita atau drama. Pada mode kedua, berpikir secara berstruktur seperti halnya menghubungkan berbagai gagasan mendasar dengan cara yang logis.
Dalam penelitiannya terhadap perkembangan anak (1966), Bruner menelorkan gagasan tentang tiga mode representasi: representasi enactive (berbasis tindakan), representasi iconic (berbasis gambaran), dan representasi simbolik (berbasis bahasa). Semua representasi mode tersebut tidak bisa dijelaskan sebagai jenjang yang terpisah, namun terintegrasi dan hanya terpisah secara sekuensial selagi "diterjemahkan" satu sama lain. Representasi simbolik menjadi mode terakhir, karena yang paling misterius dari ketiganya. Teori Bruner berpendapat adalah produktif ketika menghadapi materi baru dengan mengikuti representasi secara progressif dari enactive ke iconic baru ke simbolik; bahkan hal ini juga berlaku bagi pembelajar dewasa. Untuk para perancang kegiatan pembelajaran, karya Bruner tersebut juga berpendapat bahwa seorang pembelajar bahkan ketika masih belia sudah mampu mempelajari materi dalam waktu lama apabila materi tersebut diorganisasi secara baik. Pendaapat ini sangat berbeda dengan teori Piaget dan teoris tentang tahapan perkembangan yang lain.

3.      Teori Noam Chomsky dalam Belajar Bahasa

Avram Noam Chomsky adalah profesor emeritus bidang linguistik di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Ia mengawali revolusi kognitif dalam psikologi di tahun 1959 dengan menulis "A Review of B. F. Skinner's Verbal Behavior" di jurnal  Language. Buku Skinner yang direview Chomsky berjudul Verbal behavior tersebut terbit tahun 1957.
Chomsky menganggap terjadi kesalahan dalam bagian tulisan Skinner tentang perkembangan bahasa seseorang. Chomsky mengemukakan bahwa anak-anak di seluruh dunia mulai belajar berbicara rata-rata pada usia yang sama dan berkembang melalaui tahapan-tahapan yang rata-rata sama pula meskipun tanpa secara eksplisit diajar atau diberi hadiah untuk upayanya tersebut. Menurut Chomsky, kapasitas manusia untuk belajar bahasa adalah bawaan. Ia memiliki teori bahwa otak manusia memiliki “hardware” untuk bahasa sebagai hasil dari evolusi. Dengan menunjuk fungsi vital disposisi biologis dalam perkembangan bahasa, teori Chomsky memukul secara telak asumsi behavioris bahwa semua perilaku manusia dibentuk dan dipertahankan melalui reinforcement (penguatan). 
Dalam meneliti belajar bahasa, Chomsky fokus pada pertanyaan-pertanyaan tentang cara kerja dan perkembangan struktur internal bawaan untuk sintaksis yang mampu secara kreatif mengorganisasi, menyatukan, menyesuaikan, dan mengkombinasikan kata-kata dan frase-frase menjadi tutur yang dapat dipahami. 
Dalam reviewnya Chomsky menekankan bahwa penerapan ilmiah prinsip-prinsip behaviorisme dari penelitian terhadap hewan sangat kurang memadai dalam memberikan penjelasan tentang perilaku verbal manusia karena teori tersebut membatasi diri terhadap kondisi eksternal. Meneliti "apa yang dipelajari" saja tidak memadai untuk menjelaskan tata bahasa generatif. Chomsky menekankan contoh-contoh perolehan bahasa yang cepat oleh anak-anak, termasuk cepat berkembangnya kemampuan untuk membentuk kalimat yang sesuai tata bahasa.
Chomsky memiliki prinsip bahwa untuk memahami perilaku verbal manusia seperti aspek-aspek kreatif dari penggunaan dan pengembangan bahasa, seseorang harus pertama-tama menerima postulat (dalil) adanya genetika yang membawa kemampuan linguistik.

4.      Teori Piaget

Piaget profesor psikologi di Universitas Jenewa, Swiss. Teorinya tentang perkembangan kognitif anak (dibahas pada bab tersendiri) merupakan salah satu tonggak munculnya kognitivisme. Perkembangan kognitif merupakan pertumbuhan logika berpikir dari bayi sampai dewasa.
Piaget memiliki asumsi dasar kecerdasan manusia dan biologi organisme berfungsi dengan cara yang sama. Keduanya adalah sistem terorganisasi yang secara konstan berinteraksi dengan lingkungan.
Pengetahuan merupakan interaksi antara individu dengan lingkungan. Outcome dari perkembangan kognitif adalah konstruksi dari schema kegiatan, operasi konkret dan operasi formal. Komponen perkembangan kognitif adalah asimilasi dan akomodasi, yang diatur secara seimbang. Memfasilitasi berpikir logis melalui ekperimentasi dengan objek nyata, yang didukung boleh interaksi antara peer dan guru. (Schema adalah struktur terorganisasi yang merefleksikan pengetahuan, pengalaman, dan harapan dari individu terhadap berbagai aspek dunia nyata).
Sebagaimana Bruner, Piaget juga memelopori lahirnya konstruktivisme.

5.      Teori Vygotsky

Lev Vygotsky adalah pakar psikologi lulusan Insitut Psikologi Moskow, Uni Soviet (sekarang Rusia). Meninggal pada tahun 1930-an di usia relatif muda (40 tahun) karena penyakit TBC, ia meninggalkan banyak karya yang banyak dieksplorasi orang hingga kini.
Dalam masa karir akademiknya yang singkat, Vygotsky aktif di sejumlah bidang akademik, termasuk analisis psikologis dalam seni dan cerita rakyat;  psikologi anak yang meliputi masalah anak-anak tuna rungu dan tuna grahita; dan analisis psikologis untuk orang dewasa penderita kerusakan otak. Karya utamanya antara lain Thought and Language (1937), Selected Psychological Studies (1956), dan Development of the Higher Mental Processes (1960).
Karyanya dalam bidang perkembangan bahasa dan linguistik didasarkan atas hipotesisnya bahwa proses kognitif tingkat tinggi merupakan hasil dari perkembangan sosial.
Semula penganut teori Pavlov, Vygotsky berbalik menentangnya karena ia berpendapat bahwa stimulus dan respons saja tidak cukup untuk menjelaskan tentang realitas aktivitas manusia. Aktivitas yang dilakukan manusia membutuhkan 'mediator' ekstra melalui alat atau bahasa. Dengan menggunakan alat kita dapat melakukan kegiatan di lingkungan fisik dan dengan bahasa kita dapat melakukan kegiatan di lingkungan konseptual dan sosial sehingga dapat melakukan perubahan. Dengan demikian Vygotsky membedakan secara fundamental antara kegiatan berbasis stimulus-respons, alat dan bahasa. Ia juga berpendapat bahwa ada perbedaan antara konsep dan bahasa ketika seseorang masih belia, tetapi sejalan dengan perjalanan waktu, keduanya akan menyatu. Bahasa mengekspresikan konsep, dan konsep digunakan dalam bahasa.
Dari awal risetnya tentang aturan dan perilaku tentang perkembangan penggunaan alat dan penggunaan tanda, Vygotsky berpaling ke proses simbolik dalam bahasa. Ia fokus pada struktur semantik dari kata-kata dan cara bagaaimana arti kata-kata berubah dari emosional ke konkret sebelum menjadi lebih abstrak.
Karya-karya Vygotsky antara 1920-1930 memberikan penekanan bagaimana interaksi anak-anak dengan orang dewasa berkontribusi dalam pengembangan berbagai keterampilan. Menurut Vygotsky, orang dewasa yang sensitif akan peduli terhadap kesiapan anak untuk tantangan baru, sehingga mereka dapat menyusun kegiatan yang cocok untuk mengembangkan keterampilan baru. Orang dewasa berperan sebagai mentor dan guru, mengarahkan anak ke dalam zone of proximal development—istilah dari Vygotsky yang berarti suatu zone perkembangan di mana anak tidak mampu melakukan suatu kegiatan belajar tanpa bantuan namun dapat melakukannya secara baik di bawah bimbingan orang dewasa. Orang tua mungkin bisa mengajar konsep-konsep angka yang sederhana, sebagai misal, dengan menghitung manik-manik bersama anak atau menghitung mengukur bahan-bahan ketika memasak dengan menggunakan takaran. Ketika anak-anak berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari seperti ini dengan orang tua, guru, dan orang lain, mereka akan secara bertahap mempelajari praktik buadaya, nilai-nilai, ketrampilan.

D.    TEORI HUMANISME “KEKUATAN KETIGA”

Dihadapkan pada dua pilihan antara behaviorisme dan psikoanalisis yang termasuk kognitivisme  banyak pakar psikologi di era tahun 1950-an dan 1960-an yang memilih ke alternatif konsepsi psikologis sifat dasar manusia. Freud telah memusatkan perhatian pada kekuatan sisi gelap ketidaksadaran, dan Skinner hanya tertarik pada pengaruh penguatan dari perilaku yang dapat diamati. Lahirlah Psikologi Humanistik untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang kesadaran pikiran, kebebasan kemauan, martabat manusia, kemampuan untuk berkembang dan kapasitas refleksi diri. Karena menjadi alternatif terhadap behaviorismedan kognitivisme, Psikologi humanistik atau humanisme menjadi lebih terkenal sebagai “kekuatan ketiga.”
Humanisme dipelopori oleh pakar psikologi Carl Rogers dan Abraham Maslow. Menurut Rogers, semua manusia yang lahir sudah membawa dorongan untuk meraih sepenuhnya apa yang diinginkan dan berperilaku dalam cara yang konsisten menurut diri mereka sendiri. Rogers, seorang psikoterapis, mengembangkan person-centered therapy, suatu pendekatan yang tidak bersifat menilai ataupun tidak memberi arahan yang membantu klien mengklarifikasi dirinya tentang siapa dirinya sebagai suatu upaya fasilitasi proses memperbaiki kondisinya. Hampir pada saat yang bersamaan, Maslow mengemukakan teorinya bahwa semua orang memiliki motivasi untuk memenuhi kebutuhannya yang bersifat hierarkhis. Pada bagian paling bawah dari hirarkhi ini adalah kebutuhan-kebutuhan fisikal seperti rasa lapar, haus, dan mengantuk. Di atasnya adalah kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta, dan kepercayaan diri yang berkaitan dengan kebutuhan akan status dan pencapaian. Ketika berbagai kebutuhan ini terpenuhi, Maslow yakin, orang akan meraih aktualisasi diri, suatu puncak pemenuhan kebutuhan dari seseorang. Sebagaimana kata Maslow, “Seorang musisi haruslah mencipta lagu, seorang pelukis harus melukis, seorang penyair harus menulis puisi, jika ia ingin damai dengan dirinya. Apa yang ia mampu lakukan, ia harus lakukan.”
Gagasan lain dari humanisme dapat diringkas sebagai berikut:
1.      Setiap orang memiliki kapasitas untuk berkembang.
2.      Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih tujuan hidupnya.
3.      Humanisme menekankan pentingnya kualitas hidup manusia.
4.      Setiap orang memiliki kemampuan untuk memperbaiki kehidupannya.
5.      Persepsi pribadi seseorang terhadap dirinya sendiri lebih penting dari lingkungan.
6.      Setiap orang memiliki potensi untuk memahami dirinya sendiri.
7.      Setiap orang seharusnya memberikan dukungan pada orang lain sehingga semua memiliki citra diri yang positif serta pemahaman diri yang baik.
8.      Carl Rogers menekankan pentingnya suasana lingkungan yang hangat dan bisa menjadi terapi.
9.      Abraham Maslow berpendapat bahwa potensi kita sesunggahnya tidak terbatas.
10.  Terjadinya kebersamaan disebabkan adanya persepsi positif satu sama lain.
11.  Rogers berpendapat bahwa seseorang akan tidak mempercayai hal-hal positif dari dirinya dan rasa percaya dirinya rendah bila ada anggapan positif orang lain namun bersyarat.
12.  Konsep-diri adalah bagaimana seseorang mengenal potensinya, perilakunya, dan kepribadiannya.
13.  Realita adalah bagaimana sesungguhnya diri seseorang sedangkan idealisme adalah bagaimana seseorang menginginkan dirinya menjadi apa.
14.  Anggapan positif tanpa syarat, ketulusan dan empati membantu memperbaiki hubungan seseorang dengan orang lain.
15.  Seseorang akan bermanfaat bagi orang lain apabila terbuka terhadap pengalaman, tidak terlalu mementingkan diri, peduli pada sekitarnya, dan memiliki hubungan yang harmonis dengan orang lain.
16.  Aktualisasi diri adalah dorongan untuk mengembangkan potensi secara penuh sebagai manusia dari diri seseorang.
Salah satu kritikus terhadap humanisme mengatakan adalah sulit untuk mengukur aktualisasi diri. Ada juga yang berpendapat humanisme terlalu optimis dalam memandang manusia. Yang lain lagi mengatakan humanisme membangkitkan rasa kekaguman pada diri sendiri.

E.     KONSTRUKTIVISME

1.      Pengertian
Konstruktivisme memandang belajar sebagai proses di mana pembelajar secara aktif mengkonstruksi atau membangun gagasan-gagasan atau konsep-konsep baru didasarkan atas pengetahuan yang telah dimiliki di masa lalu atau ada pada saat itu. Dengan kata lain, ”belajar melibatkan konstruksi pengetahuan seseorang dari pengalamannya sendiri oleh dirinya sendiri”. Dengan demikian, belajar menurut konstruktivis merupakan upaya keras yang sangat personal, sedangkan internalisasi konsep, hukum, dan prinsip-prinsip umum sebagai konsekuensinya seharusnya diaplikasikan dalam konteks dunia nyata. Guru bertindak sebagai fasilitator yang meyakinkan siswa untuk menemukan sendiri prinsip-prinsip dan mengkonstruksi pengetahuan dengan memecahkan problem-problem yang realstis. Konstruktivisme juga dikenal sebagai konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses sosial.  Kita dapat melakukan klarifikasi dan mengorganisasi gagasan mereka sehingga kita dapat menyuarakan aspirasi mereka. Hal ini akan memberi kesempatan kepada kita mengelaborasi apa yang mereka pelajari. Kita menjadi terbuka terhadap pandangan orang lain Hal ini juga memungkinkan kita menemukan kejanggalan dan inkonsistensi karena dengan belajar kita bisa mendapatkan hasil terbaik. Konstruktivisme dengan sendirinya memiliki banyak variasi, seperti Generative Learning, Discovery Learning, dan knowledge building. Mengabaikan variasi yang ada, konstruktivisme membangkitkan kebebasan eksplorasi siswa dalam suatu kerangka atau struktur.
Dalam sidut pandang laiinya. konstruktivisme merupakan seperangkat asumsi tentang keadaan alami belajar dari manusia yang membimbing para konstruktivis mempelajari teori metode mengajar dalam pendidikan.
Nilai-nilai konstruktivisme berkembang dalam pembelajaran yang  didukung oleh guru secara memadai berdasarkan inisiatif dan arahan dari siswa sendiri.
Ada istilah lain yang sering disalahartikan sama dengan konstruktivisme, yaitu maturationisme. Konstruktivisme (yang merupakan perkembangan kognitif) merupakan suatu aliran yang "yang didasarkan pada gagasan bahwa proses dialektika atau interaksi dari perkembangan dan pembelajaran melalui konstruksi aktif dari siswa sendiri yang difasilitasi dan dipromosikan oleh orang dewasa " Sedangkan, "Aliran maturationisme romantik didasarkan pada gagasan bahwa perkembangan alami siswa dapat terjadi tanpa intervensi orang dewasa dalam lingkungan yang penuh kebebasan " (DeVries et al., 2002).


2.      Teori Tahapan Perkembangan Anak dari Piaget

Selama berabad-abad yang lalu gagasan konstruktivis kurang berkembang secara luas disebabkan persepsi yang umum pada waktu itu bahwa kegiatan bermain yang dilakukan siswa dalam pembelajaran tampaknya kurang penting atau yang lebih parah dianggap tidak dapat mencapai apapun. Jean Piaget tidak setuju dengan pandangan tradisional ini. Ia memandang kegiatan bermain sebagai sesuatu yang penting dan sangat diperlukan sebagai bagian dari perkembangan kognitif siswa. Untuk mendukung pandangannya tersebut, Piaget mengajukan bukti ilmiah. Pada saat ini, teori konstruktivisme sangat mempengaruhi seluruh sektor pendidikan bahkan sektor pendidikan informal.
Menurut Ernst von Glasersfeld (1996), Jean Piaget adalah "pelopor terbesar teori konstruktivisme yang diketahui" serta "konstruktivis paling produktif di abad ini." Namun apabila kita telusuri, jauh sebelumnya konstruktivisme sebagai gagasan sudah dilontarkan oleh banyak tokoh pendidikan.
Gredler (2001) mengkategorikan Piaget sebagai konstruktivis radikal karena menganggap bahwa konstruktivisme radikal muncul secara langsung sebagai akibat dari teori Piaget tentang tahapan perkembangan kognitif anak.
Meskipun tidak ada teori perkembangan kognitif yang umum, teori yang paling bersejarah dan berpengaruh adalah teori yang dikembangkan oleh Jean Piaget, Psikolog berkebangsaan Swiss (1896-1980). Teorinya berisi konsep-konsep utama di bidang psikologi perkembangan dan berkenaan dengan pertumbuhan intelegensi, yang untuk Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih akurat merepresentasikan dunia, dan dan mengerjakan operasi-operasi logis dari representasi-representasi konsep realitas dunia. Teori ini memiliki fokus perhatian pada bangkitnya dan dimilikinya schemata—skema bagaimana seseorang mengenal dunia—dalam saat "tingkatan-tingkatan perkembangan", ketika anak-anak menerima cara baru bagaimana secara mental merepresentasikan informasi. Teori ini dianggap "konstruktivis", yang berarti bahwa, tidak seperti teori nativis (yang berpendapat bahwa perkembangan kognitif sebagai perkembangan dari pengetahuan dan kemampuan bawaan) ataupun teori empiris (yang berpendapat bahwa perkembangan kognitif sebagai perolehan gradual dari pengetahuan melalui pengalaman), teori ini berpendapat bahwa kita mengkonstruksi kemampuan kognitif kita melalui kegiatan motivasi-diri dalam dunia nyata. Karena teorinya ini, Piaget mendapatkan Penghargaan Erasmus.
Piaget membagi skema Anak dalam menggunakan pemahamannya untuk memahami dunia mealui empat tahapan utama, yang secara umum berkorelasi dengan dan semakin bertambah canggih sejalan dengan bertambahnya usia:

a.      Tahapan Sensorimotor (Usia 0-2 tahun)

Menurut Piaget, anak dalam tahapan sensorimotor lebih mengutamakan mengeksplorasi dunia nyata dengan perasaan dibandingkan dengan melalui operasi mental. Bayi terlahir dengan seperangkat refleks yang sama, menurut Piaget, sebagai tambahan dorongan untuk melakukan eksplorasi terhadap dunia nyata. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks-refleks yang sama tersebut (lihat asimilasi dan akomodasi di bagian berikut).

Tahapan sensorimotor merupakan tahapan paling awal dari empat tahapan. Menurut Piaget, tahapan ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan spasial esensial dan pemahaman dari dunia nyata yang terdiri dari enam sub-tahapan.

Sub-tahapan pertama terjadi dari kelahiran sampai dengan enam minggu dan berasosiasi terutama dengan perkembangan refleks. Tiga refleks utama dideskripsikan oleh Piaget: memasukkan objek-objek ke mulut, mengikuti pandangan mata ke objek begerak atau objek menarik, dan mengepalkan tangan ketika suatu objek kontak dengan telapak tangan. Selama enam minggu kehidupan awal, refleks-refleks ini mulai menjadi kegiatan yang disadari; sebagai contoh, refleks mengepal menjadi gerakan menangkap dengan sengaja. (Gruber and Vaneche, 1977).

Sub-tahapan kedua terjadi sejak usia enam minggu sampai empat bulan dan terutama berasosiasi dengan kebiasaan. Ciri utamanya adalah reaksi berulang atau pengulangan kegiatan yang pada awalnya hanya melibatkan satu bagian tubuhnya saja. Contoh dari tipe reaksi ini antara lain mencakup seorang bayi berulang-ulang menggerakkan tangannya di depan wajahnya. Juga pada tahapan ini dimungkinkan dimulainya reaksi pasif, disebabkan oleh classical conditioning atau operant conditioning (Gruber et al., 1977).
Sub-tahapan ketiga terjadi mulai bayi berusia empat bulan sampai sembilan bulan dan terutama berasosiasi dengan koordinasi antara pandangan dengan pengenalan melalui indera lainnya. Tiga kemampuan baru mulai dimiliki pada tahapan ini: menggenggam  dengan sengaja benda-benda yang diinginkan, reaksi berulang kedua, dan diferensiasi terhadap cara dan keinginan. Pada tahapan ini, seorang bayi menggapai-gapai di udara secara sengaja ke arah suatu objek yang diinginkannya, gerakan lucu yang seringkali sangat disenangi oleh keluarganya. Reaksi berulang kedua, atau pengulangan terhadap suatu gerakan yang melibatkan objek eksternal dimulai: seperti gerakan orang dewasa memencet tombol lampu secara berulang. Ada kemungkinan ini merupakan satu dari tahapan paling penting dari pertumbuhan anak karena ini sangat berarti bagi dimulainya penalaran (Gruber et al., 1977). Bagian paling akhir dari dari sub-tahapan ini adalah bayi mulai memiliki perasaan keberadaan objek secara permanen,  semacam melalui tes kesalahan A-bukan-B.
Sub-tahapan ke empat terjadi dari usia sembilan sampai dua belas bulan dan berasosiasi terutama dengan perkembangan logika dan koordinasi antara cara dan keinginan. Tahapan ini amat vital dari perkembangan, terjadi apa yang disebut Piaget "kecerdasan sebenarnya pertama." Juga, tahapan ini ditandai dengan dimulainya orientasi tujuan, perencanaan besar dari langkah-langkah untuk mencapai tujuan (Gruber et al. 1977).
Sub-tahapan kelima terjadi dari usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berasosiasi terutama dengan penemuan keinginan-keinginan baru untuk mencapai tujuan. Piaget mendeskripsikan anak pada tahapan ini sebagai "cendekiawan muda," memulai semacam eksperimen untuk menemukan metode baru dalam menemui tantangan (Gruber et al. 1977).
Sub-tahapan ke enam berasosiasi terutama dengan dimulainya wawasan, atau kretivitas yang sesungguhnya. Saat ini menandai transformasi menuju tahapan preoperasional.

1)      Peranan imitasi
Piaget merumuskan kegiatan imitatif merupakan pendahuluan dari simbolisme mental.[1] Aktivitas tubuh, menirukan gerakan dari fenomena yang teramati, pada akhirnya membangun pemberi arti tubuh/perilaku yang tertuju pada fenomena dalam cara yang bisa diperbandingkan dengan simbol-simbol mental yang kemudian akan menjadi fenomena-fenomena tersebut. Bentuk-bentuk imitatif seperti ini memfasilitasi dasar-dasar kegiatan simbolik mental yang terbangun di kemudian hari. Simbolnya adalah, menurut Piaget, suatu imitasi yang terinternalisasi.

Bagi Piaget, bahkan persepsi dari suatu objek merupakan aktivitas imitatif; ketika mata melacak bentuk dari suatu objek ia akan membentuk konsep pre-simbolik dari objek tersebut. Piaget mengungkapkan bahwa pengalaman akan berbagai gerakan di sini kemungkinan diulangi oleh anak di dalam suatu peragaan singkat ketika mengingat-ingat objek; Gambaran tubuh ini mensimbolkan objek yang telah dipersepsikan sebelumnya.[2]

b.      Tahapan Praoperational  (Usia 2-7 tahun)

Tahapan preoperasional merupakan tahapan kedua dari empat tahapan perkembangan kognitif. Dengan mengamati urutan bermain, Piaget dapat mendemonstrasikan bahwa sampai dengan akhir tahun kedua secara kualitatif terjadi fungsi psikologis jenis baru. Cara bekerja teori aliran Piaget adalah dalam berbagai prosedur peran mental terhadap objek.  Ciri pembeda dari tahapan preoperasional adalah operasi mental yang jarang tidak memadai logika.

Menurut Piaget, tahapan Pre-Operasional dari perkembangan mengikuti tahapan Sensorimotor dan terjadi antara usia 2-7 tahun. Tahapan ini meliputi beberapa proses:

Symbolic functioning (pemfungsian simbol) – yang dicirikan oleh penggunaan simbol-simbol mental berupa kata atau gambar yang digunakan anak untuk merepresentasikan sesuatu yang secara fisik tidak ada.
Centration (pemusatan) – dicirikan oleh fokus atau pemusatan perhatian dari anak pada hanya satu aspek dari stimulus atau situasi. Sebagai contoh, dalam menuangkan sejumlah tertentu cairan dari dari wadah yang sempit ke dalam mangkuk yang dangkal, anak prasekolah kemungkinan menyimpulkan bahwa kuantitas dari cairan telah berkurang, karena menjadi "lebih rendah"—hal ini dikarenakan anak hanya memperhatikan ketinggian air, namun tidak memperhitungkan diameter wadah yang baru.
Intuitive thought (pemikiran intuitif) – terjadi ketika anak dapat mempercayai sesuatu tanpa memahami mengapa dia mempercayai itu.

Egocentrism – suatu jenis centration, yang berarti suatu tendensi dari seorang anak untuk memikirkan hanya sudut pandangnya sendiri saja. Juga, ketidakmampuan anak untuk memahami sudut pandang orang lain.

Inability to Conserve (ketidak mampuan berbicara) – Melalui eksperimen yang pernah dilakukan Piaget dalam percakapan (pembicaaan tentang massa, volume dan angka) Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak pada tahapan preoperasional memiliki persepsi yang kurang dalam pembicaraan tentang massa, volume, dan angka setelah bentuk aslinya berubah. Sebagai contoh, seorang anak pada tahapan ini akan percaya bahwa roti yang ditata berjajar dengan pola "O-O-O-O-O" akan memiliki jumlah yang sama dengan roti yang ditata berjajar dengan pola "OO-O-OO-O", karena mereka memiliki panjang atau ketinggian yang sama, atau cairan dalam gelas 8-ons yang yang lonjong memiliki cairan yang lebih banyak dibandingkan dengan cairan 8-ons dalam gelas yang melebar (lihat juga centration, di atas).


c.       Tahapan Operasional  Konkret (Usia 7-11 tahun)

Tahapan Operasional Konkret merupakan tahapan ketiga dari empat tahapan dalam teori perkembangan kognitif Piaget. Tahapan ini, yang merupakan kelanjutan dari tahapan Preoperasional, terjadi ketika anak berusia antara 6 dan 11 tahun dan dicirikan oleh penggunan logika yang memadai. Proses penting yang terjadi selama tahapan ini adalah:

Decentering (tidak memusat)-ketika anak memperhitungkan berbagai aspek dari suatu masalah untuk memecahkannya. Sebagai contoh, anak tidak lagi memiliki persepsi bahwa gelas yang sangat lebar namun pendek dapat menampung cairan lebih sedikit dibandingkan gelas yang lebarnya cukup namun lebih tinggi.

Reversibility (kemampuan membalik)-ketika seorang anak memahami bahwa jumlah suatu objek dapat berubah, dan mengembalikannya pada keadaan semula. Dalam kondisi demikian, anak dengan cepat dapat memutuskan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 sama dengan 4, jumlah sebenarnya.

Conservation (pembicaraan)-memahami bahwa kuantitas, panjang atau jumlah suatu item tidak berhubungan dengan penyusunan atau kenampakan objek atau item tersebut. Sebagai contoh, ketika pada seorang anak ditunjukkan dua wadah gelas dan mangkuk, ia akan memahami bahwa jika air di dalam gelas dipindahkan ke dalam mangkuk akan berubah ketinggiannya namun sama kuantitasnya dibandingkan dengan wadah sebelumnya.

Serialisation (serialisasi)-kemampuan merangkai kembali objek secara berurutan berdasarkan ukuran, bentuk, atau karakteristik lain. Sebagai contoh, jika mereka diberi objek dengan gradiasi warna, mereka akan mengenal gradiasi warna tersebut.

Classification (klasifikasi)-yaitu kemampuan untuk menyebutkan nama dan mengidentifikasi seperangkat objek menurut kenampakannya, ukuran atau karakteristik lainnya, termasuk gagasan bahwa seperangkat objek dapat mencakup objek lainnya. Seorang anak pada tahapan ini tidak lagi menjadi subjek pembatasan yang tidak logis dari animisme (suatu kepercayaan bahwa semua objek adalah binatang dan karenanya memiliki perasaan).

Elimination of Egocentrism (pembatasan egosentrisme)-kemampuan memandang segala sesuatu dari perspektif orang lain (meskipun jika perpsektif itu tidak benar). Sebagai contoh, perlihatkan seorang anak komik yang memperlihatkan Jane meletakkan sebuah boneka di bawah kotak, meninggalkan ruangan, dan kemudian Jill menggerakkan boneka tersebut ke laci, dan Jane kembali. Seorang anak dalam tahapan konkret operasional akan mengatakan bahwa Jane akan tetap berpikir boneka tersebut di bawah kotak meskipun anak tersebut tahu sesungguhnya bonekanya dalam laci.

d.      Tahapan operasional  formal (Usia 11 tahun-Dewasa)

Tahapan Operasional Formal merupakan tahapan keempat dan terakhir dari seluruh tahapan perkembangan kognitif anak dari Teori Piaget. Tahapan ini, yang mengikuti tahapan Operasional Konkret, pada umumnya terjadi di sekitar usia 11 tahun (pubertas) dan berlanjut ke masa kedewasaan. Karakteristik dari tahapan ini yaitu memiliki kemampuan untuk berpikir abstrak dan menarik kesimpulan dari informasi yang berhasil diperolehnya. Selama tahapan ini seorang muda memiliki fungsi sebagaimana orang dewasa dan nilai-nilai, "rahasia orang dewasa", dan nilai-nilai. Hal ini mudah dimengerti, karena faktor-faktor biologis kemungkinan dapat dilacak dari tahapan ini sebagaimana apa yang terjadi selama masa pubertas dan ditandai masuknya ke masa dewasa dalam Physiology, kognitif, dan penilaian moral (Kohlberg), perkembangan Psychosexual  (Freud), dan perkembangan sosial (Erikson). Sekitar dua pertiga dari orang tidak sepenuhnya sukses dalam tahapan ini, dan "terpaku" pada tahapan operasional konkret.

e.       Gambaran umum mengenai tahapan 

Dari ke empat tahapan tersebut ditemukan karakteristik berikut ini:
1)      Meskipun waktunya bervariasi, urutannya sama.
2)      Berlaku secara universal (tidak dipengaruhi budaya tertentu)
3)      Dapat digeneralisasikan: operasi yang logis dan representatif yang dialami seorang anak seharusnya meluas ke semua konsep dan isi pengetahuan.
4)      Tahapan-tahapan secara keseluruhan secara logis.
5)      Hirarkhi alamiah dari urutan tahapan (setiap tahapan lanjutan merupakan elemen kesatuan dari tahapan sebelumnya, namun lebih bervariasi dan terpadu).
6)      Tahapan merepresentasikan perbedaan kualitatif dalam model berfikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif.

f.       Kritik Bagi Teori Tahapan Perkembangan Piaget

Teori Piaget tentang perkembangan ini mendapat banyak tantangan dari beberapa aspek. Pertama, Piaget sendiri menyatakan, perkembangan tidak selalu berlangsung dengan cara yang mulus seperti yang diprediksi dalam teorinya. 'Decalage', atau kesenjangan yang tidak diperkirakan selama berlangsungnya perkembangan, mengungkapkan bahwa model tahapan ini paling baik digunakan sebagai perkiraan. Lebih jauh lagi, teori Piaget merupakan 'domain umum', memperkirkan bahwa kematangan kognitif terjadi lintas domain yang berbeda secara bersamaan (seperti matematika, logka, pemahaman fisika, bahasa, dsb). Namun demikian, para penganut teori perkembangan kognitif aliran terkini sangat dipengaruhi oleh kecenderungan dari sains kognitif menjauh dari generalisasi domain dan menuju spesifikasi domain atau modularitas pikiran, yaitu bagian-bagian kognitif yang berbeda kemungkinan sangat independen satu sama lain sehingga berkembang dalam waktu yang amat berbeda. Dalam aliran pemahaman tersebut, para penganut teori perkembangan kognitif aliran terkini memberikan alasan bahwa daripada berada pada domain umum pembelajar, mereka lebih cenderung pada teori yang berpendapat bahwa anak-anak sudah dilengkapi dengan teori domain spesifik, yang lebih sering disebut 'inti pengetahuan', yang memungkinkan mereka melakukan terobosan dalam belajar dalam domain tersebut. Sebagai contoh, bahkan anak yang masih bayi menunjukkan pemahamannya pada beberapa prinsip dasar fisika (seperti satu objek tidak dapat menembus objek lainnya) dan keinginannya layaknya manusia yang sudah dewasa seseorang (seperti salah satu tanganya secara berulang-ulang menggapai-gapai suatu objek untuk mendpatkan objek tersebut, bukan hanya gerakan tanpa arti, namun lebih sebagai tujuan). Asumsi dasar ini kemungkinan semacam blok-blok bangunan yang menyusun pengetahuan yang telah dikonstruksi sehingga lebih terelaborasi.

3.      Teori konstruktivisme

Munculnya teori konstruktivisme secara eksplisit pada dasarnya adalah berkat Jean Piaget, yang menegaskan perbedaan pendapatnya tentang mekanisme internalisasi pengetahuan pada diri pembelajar. Ia berpendapat bahwa melalui proses akomodasi dan asimilasi, individu mengkonstruksi pengetahuan baru dari pengalamannya. Asimilasi terjadi ketika pengalaman baru dari individu cocok dengan representasi dunia nyata dalam diri (internal) mereka. Mereka mengasimilasikan (menjadikannya sebagai bagian dari dirinya) pengalaman baru itu dalam kerangka yang sudah ada. Asimilasi merupakan proses membingkai kembali representasi mental seseorang dari dunia nyata supaya cocok dengan pengalamannya yang baru.  Akomodasi dapat dipahami sebagai suatu mekanisme bagaimana mengubah suatu kegagalan menjadi keberhasilan melalui proses pembelajaran.  Ketika kita berharap bahwa dunia bekerja dengan cara sesuai keinginan kita, dan ternyata yang terjadi adalah sebaliknya, maka kemungkinan besar kita mengalami kegagalan.  Dengan mengakomodasi pengalaman baru ini dan membingkai ulang model yang kita kehendaki, kita memperoleh hal baru dari belajar tentang kegagalan.
Penting untuk dicatat bahwa konstruktivisme dengan sendirinya bukan merupakan paedagogi tunggal yang istimewa. Kenyataannya, konstruktivisme menjelaskan bagaimana berlangsungnya pembelajaran yang ideal, tanpa memandang apakah pembelajar memanfaatkan pengalamannya untuk memahami materi ataukah digunakannya untuk mencoba mendesain model pesawat terbang. Pada keduanya, teori konstruktivisme menganggap yang penting adalah pembelajar mengkonstruksi pengetahuannya. Konstruktivisme sebagai deskripsi kognitif manusia seringkali diasosiasikan dengan pendekatan paedagogi yang mempromosikan learning by doing.

a.      Intervensi Konstruktivisme dalam pembelajaran
1)      Kondisi alamiah pembelajar
a).    Pembelajar adalah individu yang unik

Konstruktivisme sosial memandang setiap pembelajar sebagai individu yang unik dengan keunikan kebutuhan dan latar belakang. Pembelajar juga dipandang secara kompleks dan multidimensional. (Gredler 1997). Konstruktivisme sosial bukan hanya memahami keunikan dan kompleksitas pembelajar, namun juga membangkitkan, memanfaatkan dan memberikan penghargaan pada keduanya sebagai bagian integral dari proses pembelajaran (Wertsch 1997).

b).   Pentingnya latar belakang dan budaya pembelajar
Gredler (1997) juga menekankan pentingnya latar belakang dan budaya pembelajar. Konstruktivisme sosial membangkitkan keberanian pembelajar untuk sampai pada kebenaran versi masing-masing, yang dipengaruhi oleh latar belakangnya, budaya atau lingkungannya. Perkembangan historis atau sistem simbol, seperti bahasa, logika, dan sistem matematika, merupakan faktor bawaan dari pembelajar sebagai anggota dari budaya tertentu dan hal ini dipelajari pembelajar di sepanjang hidupnya. Berbagai simbol tersebut menuntun bagaimana pembelajar belajar dan apa yang dipelajari (Gredler 1997). Hal ini juga menekankan pentingnya interaksi sosial pembelajar secara alami dengan anggota masyarakat yang berpengetahuan. Tanpa interaksi sosial dengan anggota masyarakat yang berpengetahuan, adalah mustahil untuk memperoleh arti sosial dari sistem simbol yang penting dan belajar bagaimana memanfaatkannya. Anak-anak muda mengembangkan kemampuan berpikirnya melalui interaksi dengan orang dewasa. Dari sudut pandang konstruktivisme sosial, menjadi sangat penting mempertimbangkan latar belakang dan budaya pembelajar sepanjang proses pembelajaran, karena latar belakang semacam ini juga membantu membentuk pengetahuan dan kebenaran yang diciptakan, ditemukan, dan diperoleh selama proses pembelajaran berlangsung (Gredler 1997; Wertsch 1997).
c).    Tanggung jawab belajar

Lebih jauh lagi, ada alasan kuat bahwa tanggung jawab belajar seharusnya berangsur-angsur diberikan kepada pembelajar (Von Glasersfeld 1989). Karenanya kostruktivisme sosial menekankan pentingnya keterlibatan aktif pembelajar dalam proses belajar, tidak seperti pandangan dunia pendidikan sebelumnya yang meletakkan tanggung jawab belajar pada guru untuk mengajar sehingga peran pembelajar pasif, bersifat hanya menerima. Von Glasersfeld (1989) menekankan agar pembelajar mengkonstruksi pemahamannya sendiri dan tidak hanya sekedar meniru dan melakukan begitu saja apa yang ia baca. Ketika tiada informasi yang lengkap, pembelajar mencari kebermaknaan dan memiliki kemauan untuk mencoba menemukan keteraturan dan pola kejadian-kejadian di dunia nyata.
d).   Motivasi belajar

Asumsi penting lain mengenai keadaan alami pembelajar berkenaan dengan tingkatan dan sumber motivasi belajar. Menurut Von Glasersfeld (1989) motivasi yang paling cocok untuk belajar secara kuat bergantung pada kepercayaan diri siswa yang ada dalam potensinya untuk belajar. Perasaan akan adanya kompetensi dan kepercayaan akan adanya potensi untuk memecahkan masalah baru, hampir seluruhnya diperoleh dari pengalaman langsungnya (first-hand experience) dalam menuntaskan masalah di masa lalu dan jauh lebih kuat dari pada motivasi dan pemberitahuan eksternal (Prawat dan Floden 1994). Hal ini terkait dengan "zone of proximal development" nya Vygotsky (Vygotsky 1978) yang berpendapat bahwa sebaiknya pembelajar diberi tantangan yang setingkat, atau sedikit di atas perkembangannya pada saat itu. Berbekal pengalaman sukses sepenuhnya dalam menuntaskan tugas yang menantang,  pembelajar memperoleh kepercayaan diri dan motivasi untuk menaklukkan tantangan baru yang lebih besar.
2)      Peran guru
a).    Guru (atau instruktur) sebagai fasilitator
Menurut pendekatan konstruktivis sosial, guru harus menyesuaikan perannya dari sebagai instruktur  ke peran sebagai fasilitator (Steffe dan Gale 1995). Ketika seorang guru memberikan pembelajaran dalam suatu mata pelajaran, perannnya sebagai fasilitator membantu pembelajar untuk memperoleh pemahamannya sendiri tentang materi. Selama proses pembelajaran, dalam skenario pembelajaran tradisional pembelajar berperan pasif, dalam pembelajaran konstruktivisme sosial pembelajaran berperan aktif. Dengan demikian, penekanannya berubah dari instruktur dan materi ke pembelajar (Kukla 2000). Perubahan dramatik dalam hal peran ini membawa konsekuensi pada guru untuk memiliki seperangkat keterampilan baru dari sebelumnya sebagai suatu keharusan (Brownstein 2001). Sebagai guru ia memberitahu, sebagai fasilitator ia bertanya; sebagai guru ia "ing ngarso", sebagai fasilitator ia "tut wuri"; seorang guru memberikan jawaban sesuai seperangkat kurikulum, seorang fasilitator, seorang fasilitator memberikan garis besar haluan dan menciptakan lingkungan untuk pembelajar agar bisa menemukan kesimpulannya sendiri; seorang guru cenderung monolog, seorang fasilitator senantiasa dialog dengan pembelajar (Rhodes dan Bellamy 1999). Seorang fasilitator seharusnya juga mampu mengadaptasi pengalaman belajarnya sendiri dalam rangka mengarahkan pengalaman belajar itu menuju ke mana pembelajar ingin menciptakan sendiri nilai yang bermakna.
Lingkungan pembelajar seharusnya juga dirancang untuk mendukung dan memberikan tantangan pada proses berpikir pembelajar (Di Vesta, 1987). Meskipun disarankan agar memberikan kepada pembelajar akses untuk menemukan masalahnya sendiri dan proses pemecahannya, seringkali kegiatan ataupun solusinya tidak memadai. Pada akhirnya, tujuan utamanya adalah memberikan pembelajar dukungan untuk menjadi pemikir efektif. Hal ini bisa dilakukan dengan memainkan peran ganda, yaitu konsultan dan pelatih.
3)      Kondisi alamiah proses pembelajaran
a).    Belajar merupakan proses sosial yang aktif

Para pakar konstruktivisme sosial memiliki pandangan belajar sebagai proses aktif di mana pembelajar seharusnya belajar untuk menemukan sendiri prinsip, konsep, dan fakta sehingga sebaiknya diberikan teka-teki yang menantang dan cara berpikir intuitif dari pembelajar (Brown et al.1989; Ackerman 1996; Gredler 1997). Kenyataannya -bagi konstruktivis sosial- prinsip, konsep dan fakta bukanlah sesuatu yang kita bisa temukan begitu saja karena sebelumnya tidak ada dan bukan menjadi prioritas utama bagi masyarakat kita untuk menemukannya. Kukla (2000) berpandangan bahwa prinsip.konsep dan fakta direkonstruksi oleh aktivitas sendiri dan bahwa manusia, yang secara bersama-sama menjadi anggota masyarakat menemukannya untuk menjadi properti dunia nyata mereka.
Pakar konstruktivis lain setuju dengan pendapat di atas namun lebih menekankan bahwa individual memberikan makna melalui interaksinya dengan orang lain dan dalam lingkungan tempat ia hidup. Dengan demikian pengetahuan merupakan produk dari manusia yang dikonstruksi secara sosial dan kultural (Ernest 1991; Gredler 1997; Prawat dan Floden 1994). McMahon (1997) setuju bahwa belajar merupakan proses sosial. Ia  menambahkan bahwa belajar bukanlah proses yang hanya terjadi di dalam pikiran kita, juga bukan perkembangan pasif dari perilaku kita yang dibentuk oleh kekuatan dari luar diri kita; proses belajar yang berarti terjadi ketika individu terlibat dalam kegiatan sosial.
Vygotsky (1978) juga mennyoroti perpaduan dari elemen sosial dan praktikal dalam pembelajaran dengan mengatakan bahwa peristiwa penting dalam proses perkembangan intelektual terjadi ketika berbicara dan aktivitas praktikal, dua jalur perkembangan yang benar-benar independen satu sama lain, menyatu.
Melalui kegiatan praktikal seorang anak mengkonstruksi arti pada tingkatan intrapersonal, sedangkan berbicara menghubungkan arti tersebut dengan dunia interpersonal sebagai wahana ia berbagi dengan budayanya.

b).   Interaksi dinamis antara tugas, guru, dan pembelajar

Karakteristik yang lebih jauh dari peran guru sebagai fasilitator dalam sudut pandang konstruktivisme sosial, adalah bahwa guru dan pembelajar memiliki intensitas keterlibatan yang sama (Holt dan Willard-Holt 2000). Hal ini berarti bahwa pengalaman belajar di samping objektif juga subjektif dan membutuhkan kondisi di mana budaya, nilai, dan latar belakang guru menjadi bagian esensial sebagai penghubung antara pembelajar dan tugasnya dalam mengkonstruksi makna. Pembelajar membandingkan kebenaran versinya dengan versi guru dan temannya dalam rangka untuk mendapatkan kebenaran versi masyarakat yang telah teruji (Kukla 2000). Tugas atau masalahnya adalah adanya interface (batas) antara guru dan pembelajar (McMahon 1997). Hal ini akan memunculkan interaksi dinamis antara tugas, guru dan pembelajar. Hal ini membawa konsekuensi pembelajar dan guru seharusnya mengembangkan suatu kepedulian terhadap sudut pandang orang lain dan kemudian melihat kembali kepercayaan, standar dan nilai-nilainya, dengan demikian berperilaku subjektif  sekaligus objektif secara simultan (Savery 1994).
Green dan Gredler (2002) menekankan belajar sebagai suatu proses interaktif, meliputi proses yang diskursif (rasional), adaptif, interaktif dan reflektif secara berkualitas. Menurut keduanya fokus utama dari belajar adalah hubungan timbal balik antara guru-siswa. Beberapa penelitian yang lain, juga memberikan alasan pentingnya mentoring (belajar dengan mentor, senior yang berpengalaman) di dalam proses belajar (Archee dan Duin 1995; Brown et al. 1989). Model pembelajaran konstruktivisme sosial dengan demikian menekankan pentingnya hubungan timbal balik antara siswa dengan guru selama proses pembelajaran berlangsung.
Beberapa pendekatan belajar yang sesuai untuk belajar interaktif antara lain pembelajaran reciprocal,  kolaborasi kelompok, cognitive apprenticeships, problem-based instruction, web quests, anchored instruction dan pendekatan lain yang melibatkan belajar dengan orang lain.

4)      Kolaborasi di antara pembelajar

Pembelajar dengan kemampuan dan latar belakang seharusnya berkolaborasi dalam tugas dan diskusi dalam rangka menuju pemahaman bersama tentang kebenaran suatu bidang tertentu (Duffy and Jonassen 1992).
Kebanyakan model konstruktivisme, seperti yang dikemukakan oleh Duffy dan Jonassen (1992), juga menekankan kebutuhan akan kolaborasi antara pembelajar, hal ini jelas berbeda dengan pendekatan tradisional yang lebih mengedepankan sifat kompetitif. Salah seorang penganut Vygotski memberikan catatan bahwa begitu berartinya implikasi dari peer collaboration, sebagai bagian dari the zone of proximal development. Di sini, zone perkembangan proksimal (terdekat) didefinisikan sebagai jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti yang ditentukan oleh pemecahan masalah secara independen dan tingkatan perkembangan potensial seperti yang ditentukan oleh pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau kolaborasi dengan peer lain yang sudah berpengalaman; batasan ini berbeda dengan keadaan biologis alamiah yang fix dari tingkatan perkembangannya Piaget. Melalui suatu proses yang disebut 'scaffolding' (dukungan) seorang pembelajar dapat dapat dipacu mencapai tingkatan di atas keterbatasan kematangan fisik sehingga tidak terjadi proses perkembangan tertinggal di belakang proses pembelajaran (Vygotsky 1978).

a).    Pentingnya konteks

Paradigma konstruktivisme sosial memandang konteks dari terjadinya pembelajaran sebagai pusat dari pembelajaran itu sendiri (McMahon 1997).
Yang perlu digarisbawahi dari suatu catatan penting bahwa pembelajar merupakan prosesor aktif adalah "asumsi bahwa tidak ada satu pun bagian dari seperangkat hukum pembelajaran yang telah digeneralisasi yang dapat diterapkan untuk semua domain " (Di Vesta 1987:208). Pengetahuan yang tidak dikontekstualkan tidak mampu memberikan kita keterampilan untuk menerapkan pengetahuan kita dalam tugas-tugas yang autentik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Duffy dan Jonassen (1992), kita tidak bekerja dengan konsep dalam lingkungan yang kompleks melainkan pengalaman dari hubungan timbal balik yang kompleks dari lingkungan yang juga kompleks  yang menentukan bagaimana dan kapan suatu konsep digunakan. Salah seorang konstruktivis memberikan catatan bahwa pembelajaran yang autentik atau sesuai situasi adalah pembelajaran di mana siswa mengambil bagian dalam kegiatan yang secara langsung relevan dengan penerapan hasil  pembelajaran dan yang terjadi dalam budaya yang sama dengan setting penerapannya (Brown et al. 1989). Cognitive apprenticeship (pelatihan kognitif) dianggap sebagai model konstruktivisme yang efektif dalam pembelajaran di mana model ini mencoba "enkulturasi (pembudayaan) siswa dalam kegiatan  praktis yang autentik melalui kegiatan dan interaksi sosial dalam cara yang sama dengan pelatihan di bidang keterampilan yang telah terbukti sukses " (Ackerman 1996:25).
Konteks di mana pembelajaran terjadi maupun konteks sosial di mana pembelajar membawanya ke lingkungan belajar dengan sendirinya menjadi faktor penentu dalam pembelajaran itu sendiri (Gredler 1997).

b).   Asesmen (penilaian)

Holt dan Willard-Holt (2000) menekankan konsep asesmen dinamis, suatu cara mengases potensi sebenarnya dari pembelajar yang secara signifikan berbeda dengan tes konvensional. Kondisi belajar alamiah yang esensial diperluas sampai ke proses asesmen. Bila biasanya asesmen sebagai suatu proses dilakukan oleh seseorang, misalnya guru, di sini dipandang sebagai suatu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara guru dan pembelajar. Peranan guru sebagai asesor melakukan dialog dengan siswa yang diases untuk menemukan tingkatan performansnya dalam melakukan tugas pada saat itu dan curah pendapat dengannya tentang cara yang mungkin bisa ditempuh dalam memperbaiki performansnya pada kesempatan berikutnya.  Dengan demikian, asesmen dan pembelajaran dipandang sebagai jalinan proses yang tak terpisahkan (Holt dan Willard-Holt 2000).
Berdasarkan pandangan ini seorang guru seharusnya memandang asesmen sebagai proses yang terus menerus dalam mengukur pencapaian pembelajar, kualitas pengalamannya dalam pembelajaran dan proses pembelajarannya. Asesmen juga merupakan bagian integral dari pengalaman belajar dan bukan proses yang berdiri sendiri (Gredler 1997). Umpan balik dari proses asesmen berfungsi sebagai masukan langsung yang menjadi dasar untuk perkembangan selanjutnya. Asesmen seharusnya tidak menjadi proses intimidasi yang menyebabkan kecemasan siswa, melainkan proses yang bersifat mendukung yang membangkitkan keberanian siswa untuk ingin dievaluasi di masa mendatang, sehingga harus fokus pada perkembangan yang terjadi pada siswa (Green dan Gredler 2002).

5)      Pemilihan, cakupan, dan tata urutan materi
a).    Pengetahuan seharusnya ditemukan sebagai keseluruhan terpadu

Pengetahuan seharusnya tidak dipisahkan ke dalam subjek-subjek yang berbeda (kompartementalisasi), tetapi seharusnya ditemukan sebagai keseluruhan yang terpadu (McMahon 1997; Di Vesta 1987).
Hal ini juga menggarisbawahi pentingnya konteks bagaimana pembelajaran dilangsungkan (Brown et al. 1989). Menurut para tokoh tersebut, pengetahuan seharusnya tidak dikompartementalisasi secara kaku ke dalam subjek atau kategori berbeda  namun seharusnya disajikan dan ditemukan sebagai keseluruhan yang terpadu. Alasannya adalah bahwa dunia, tempat yang dibutuhkan oleh pembelajar untuk melakukan kegiatan, tidak bisa didekati dengan bentuk subjek terpisah, melainkan berupa suatu kompleksitas tak terhingga dari fakta, problem, dimensi dan persepsi (Ackerman 1996).
b).   Keasyikan dan tantangan bagi pembelajar

Pembelajar seharusnya secara konstan diberi tantangan dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan keterampilan dan pengetahuan sedikit di atas tingkat ketuntasannya pada saat itu. Hal ini akan menimbulkan motivasi dan membangun lagi keberhasilan sebagaimana yang telah diraih sebelumnya dalam rangka mempertahankan kepercayaan diri pembelajar (Brownstein 2001). Hal ini juga sejalan dengan  zone of proximal development- nya Vygotsky yang dapat dideskripsikan sebagai jarak antara perkembangan tingkat perkembangan aktual (yang ditentukan melalui pemecahan masalah secara independen) dan tingkatan perkembangan potensial (yang ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kolaborasi dengan peers yang lebih berpengalaman) (Vygotsky 1978).
Vygotsky (1978) lebih jauh mempublikasikan secara luas bahwa suatu pembelajaran dianggap baik ketika pembelajaran tersebut melampaui perkembangan. Kemudian pembelajaran tersebut membangunkan dan membangkitkan keseluruhan perangkat fungsi yang berada di tingkat kematangan untuk hidup di kehidupan nyata, yang terletak di zona perkembangan proksimal. Dengan cara inilah pembelajaran memainkan peranan yang maha penting dalam perlembangan.
Dalam rangka untuk sepenuhnya memberikan keasyikan dan tantangan bagi pembelajar, tugas dan lingkungan pembelajaran seharusnya merefleksikan kompleksitas lingkungan sehingga pembelajar seharusnya memiliki fungsi di akhir pembelajaran. Pembelajar seharusnya tidak hanya mendapatkan proses pembelajaran ataupun proses pemecahan masalah, namun juga masalah itu sendiri (Derry 1999).
Ketika mempertimbangakan tata urutan materi, sudut pandang konstruktivis berpendirian bahwa dasar dari berbagai subjek dapat dibelajarkan pada siapa pun pada tingkatan mana pun dalam banyak bentuk (Duffy dan Jonassen 1992). Hal ini berarti bahwa guru seharusnya pertama sekali memperkenalkan gagasan dasar sehingga menghidupkan dan membentuk banyak topik ataupun area subjek, baru kemudian kembali lagi pada subjek semula dan membangun kembali gagasan tersebut. Prinsip seperti ini secara ekstensif digunakan dalam kurikulum.
Juga penting bagi guru untuk relistis, karena meskipun suatu kurikulum kemungkinan dirancang untuk mereka, tak terhidarkan lagi untuk dibentuk ulang oleh mereka menjadi lebih personal yang merefleksikan sistem kepercayaan mereka sendiri, pemikiran dan perasaan mereka terhadap isi pembelajaran maupun pembelajarnya (Rhodes and Bellamy 1999). Dengan demikian, pengalaman belajar menjadi suatu kegiatan yang harus dilakukan bersama. Dengan demikian, emosi dan konteks kehidupan dari yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran harus dianggap sebagai bagian integral dari pembelajaran. Tujuan dari pembelajar menjadi fokus dalam mempertimbangkan tentang apa yang dipelajari (Brown et al. 1989; Ackerman 1996; Gredler 1997).

c).    Penstrukturan proses belajar

Adalah penting untuk mendapatkan keseimbangan yang benar antara tingkatan struktur dan fleksibilitas yang dibangun dalam proses pembelajaran. Savery (1994) menyatakan bahwa semakin lebih terstruktur lingkungan pembelajaran, semakin sulit bagi pembelajar dalam mengkonstruksi arti berdasarkan pemahaman konseptual mereka sendiri. Seorang guru seharusnya menyusun struktur pengalaman belajar sekedar cukup untuk membuat yakin bahwa siswa mendapat arahan yang jelas dan parameter untuk mencapai tujuan pembelajaran, namun pengalaman belajar seharusnya terbuka dan memberikan peluang yang cukup bagi pembelajar untuk menemukan, menikmati, berinteraksi dan sampai pada kebenarannya sendiri yang telah diverifikasi oleh masyarakat.
d).   Catatan akhir

Intervensi konstruktivisme dalam pembelajaran dengan demikian merupakan intervensi di mana kegiatan kontekstual (tugas-tugas) digunakan untuk menyediakan pembelajar peluang untuk menemukan dan secara kolabortif mengkonstruksi arti sebagaimana yang diungkap dalam intervensi. Pembelajar dihormati sebagai individual yang unik, dan guru lebih cenderung berperan sebagai fasilitator daripada instruktur.

4.          Paedagogi berdasarkan konstruktivisme

Kenyataannya, banyak pedagogi yang bergerak di sekitar teori konstruktivisme. Kebanyakan pendekatan yang berkembang dari konstruktivisme menyarankan bahwa belajar yang sempurna menggunakan pendekatan hands-on (keterlibatan personal).  Pembelajar belajar melalui eksperimentasi, dan tidak melalui cara pemberitahuan apa yang akan terjadi. Mereka dibiarkan memiliki pendapat sendiri, penemuan, dan kesimpulan. Konstruktivisme juga menekankan bahwa pembelajaran bukanlah suatu proses "seluruhnya atau tidak sama sekali" melainkan bahwa siswa belajar informasi baru yang disajikan untuk mereka dengan membangun pengetahuan yang telah mereka miliki. Karenanya menjadi penting guru secara konstan mengases pengetahuan yang telah dicapai siswanya untuk meyakinkan bahwa persepsi siswa terhadap pengetahuan baru sama dengan apa yang dimaksudkan guru. Guru akan menemukan bahwa karena siswa membangun pengetahuan yang telah dimiliki, ketika diminta untuk memahami informasi baru, mereka tidak membuat kesalahan. Bisa disebut terjadi kesalahan rekonstruksi apabila kita mengisi kesenjangan antara pemahaman kita dengan pemikiran yang logis namun tidak benar. Guru harus mampu mengidentifikasi dan mencoba membetulkan kesalahan tersebut, meskipun tak pelak lagi bahwa beberapa kesalahan rekonstruksi akan terus terjadi karena faktor bawaan berupa keterbatasan pemahan kita.
Pada kebanyakan pedagogi yang berdasarkan konstruktivisme, peran guru bukan hanya mengamati dan mengases namun juga terlibat dalam kegiatan siswa sementara ia juga harus menyelesaikan kegiatannya sendiri, meneriakkan keheranan dan mengajukan pertanyaan kepada siswa untuk menggalakkan cara berpikir logis (DeVries et al., 2002). (contoh: Saya heran mengapa air tidak meluap keluar melalui bibir gelas yang penuh?) Guru juga melakukan intervensi ketika muncul konflik; namun mereka secara sederhana memfasilitasi resolusi di antara siswa dan regulasi diri,  dengan suatu penekanan pada siswa untuk harus mampu menemukan jalan keluarnya sendiri. Sebagai contoh, promosi literasi dapat dilakukan dengan mengintegrasikan kebutuhan untuk membaca dan menulis selama aktivitas individual dalam kelas yang penuh tulisan kreatif. Seorang guru, setelah membaca suatu cerita, membangkitkan keberanian siswa untuk menulis dan menulis ceritanya sendiri, atau meminta siswa untuk melakonkan ulang suatu cerita yang telah mereka kenal dengan baik,  kedua kegiatan tersebut membangkitkan keberanian siswa untuk membayangkan diri mereka sendiri sebagai pembaca ataupun penulis.
Beberapa pendekatan khusus dalam dunia pendidikan yang didasarkan atas konstruktivisme:
Konstruktionisme: Merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang dikembangkan oleh Seymour Papert dan koleganya di MIT di Cambridge, Massachusetts. Papert pernah bekerjasama dengan Piaget institut tersebut di Jenewa. Papert belakangan menyebut pendekatannya "constructionism." Pendekatan ini menckup segala sesuatu yang berhubungan dengan konstruktivismenya Piage, namun bergerak lebih jauh lagi dengan menyertakan bahwa pembelajaran konstruktivisme terjadi dengan baik khususnya ketika siswa mengkonstruksi suatu produk, sesuatu yang eksternal bagi mereka seperti benteng pasir, mesin, program komputer, atau buku. Promotor penggunaan komputer dalam pendidikan memandang suatu kebutuhan yang semakin meningkat untukmengembangkan keterampilan dalam literasi Multimedia dalam rangka mengguanakan peralatan ini dalam pembelajaran konstruktivisme.  
Pendekatan lainnya: Reciprocal Learning, Procedural Facilitations for Writing, Cognitive Tutors, Cognitively Guided Instruction (suatu program pengembangan profesi dan riset dalam matematika untuk SD yang diciptakan oleh  Thomas P. Carpenter, Elizabeth Fennema, dan koleganya di University of Wisconsin-Madison. Premis mayornya adalah guru dapat menggunakan strategi informal siswa (dengan kata lain strategi yang dikontruksi oleh siswa berdasarkan  pemahamannya pada situasi kehiduopan sehari-hari, seperti memungut batu kecil dan memetik bunga) sebagai basis utama untuk mengajar matematika di jenjang SD); Anchored Instruction (Bransford et al), Problem dan pendekatan pemecahan solusinya ditanamkan dalam lingkungan naratif), Cognitive Apprenticeship (Collins et al), pembelajaran diperoleh melalui pengintegrasian ke dalam budaya pengetahuan khusus yang implisit dan eksplisit); Cognitive Flexibility (Sprio et al) dan Pragmatic Constructivism (Müller, Klaus 2001).

F.     TEORI BELAJAR SOSIAL

Dalam dasawarsa terakhir, penganut teori konstruktivisme memperluas fokus tradisionalnya pada pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran kolaboratif dan sosial. Konstruktivisme sosial bisa dipandang sebagai perpaduan antara aspek-aspek dari karya Piaget dengan karya Bruner dan karya Vygotsky (Wood 1998: 39). Istilah Konstruktivisme komunal dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun 2001. Dalam model ini, "siswa tidak hanya mengikuti  pembelajaran seperti halnya air mengalir melalui saringan namun membiarkan mereka membentuk dirinya."  Dalam perkembangannya muncullah istilah Teori Belajar Sosial dari para pakar pendidikan.
Pijakan awal teori belajar sosial adalah bahwa manusia belajar melalui pengamatannya terhadap perilaku orang lain. Pakar yang paling banyak melakukan riset teori belajar sosial adalah Albert Bandura dan Bernard Weiner.
Meskipun classical dan operant conditioning dalam hal-hal tertentu masih merupakan tipe penting dari belajar, namun orang belajar tentang sebagian besar apa yang ia ketahui melalui observasi (pengamatan). Belajar melalui pengamatan berbeda dari classical dan operant conditioning karena tidak membutuhkan pengalaman personal langsung dengan stimuli, penguatan kembali, maupun hukuman. Belajar melalui pengamatan secara sederhana melibatkan pengamatan perilaku orang lain, yang disebut model, dan kemudian meniru perilaku model tersebut.
Baik anak-anak maupun orang dewasa belajar banyak hal dari pengamatan dan imitasi (peniruan) ini. Anak muda belajar bahasa, keterampilan sosial, kebiasaan, ketakutan, dan banyak perilaku lain dengan mengamati orang tuanya atau anak yang lebih dewasa. Banyak orang belajar akademik, atletik, dan keterampilan musik dengan mengamati dan kemudian menirukan gueunya. Menurut psikolog Amerika Serikat kelahiran Kanada  Albert Bandura, pelopor dalam studi tentang belajar melalui pengamatan, tipe belajar ini memainkan peran yang penting dalam perkembangan kepribadian anak. Bandura menemukan bukti bahwa belajar sifat-sifat seperti keindustrian, keramahan, pengendalian diri, keagresivan, dan ketidak sabaran sebagian dari meniru orang tua, anggota keluarga lain, dan teman-temannya.
Psikolog pada suatu saat pernah berpikir bahwa hanya manusia yang dapat belajar melalui pengamatan. Mereka sekarang memahami bahwa banyak jenis binatang—termasuk burung, kucing, anjing, binatang pengerat, dan primata—dapat belajar melalui pengamatan terhadap anggota lain dari spesies yang sama. Binatang yang kecil dapat belajar tentang sesuatu yang bisa dimakan, ketakutan, dan keterampilan untuk bertahan hidup melalui pengamatannya terhadap induknya atau bapaknya. Hewan yang sudah dewasa dapat belajar perilaku baru atau solusi dari masalah sederhana melalui pengamatannya terhadap hewan lain

1.       Eksperimen Bandura

Di awal tahun 1960-an Bandura dan peneliti lain melakukan seperangkat eksperimen klasik yang mendemonstrasikan kekuatan dari belajar melalui pengamatan. Dalam salah satu percobaannya, seorang anak prasekolah  sedang mengerjakan tugas melukis sementara di depannya sebuah pesawat televisi menayangkan film tentang seorang dewasa dengan agresif sedang mendekati boneka bobo (boneka berupa badut yang dapat tegak setelah dipukul roboh). Orang tersebut memukuli bobo bertubi-tubi dengan semacam palu, menendangnya, melemparkannya ke udara, mendudukinya, menggigitnya di bagian wajahnya, sambil meneriakkan kata-kata seperti  'tonjok hidungnya … ayo tendang … des!'  Anak tersebut kemudian beranjak ke ruangan lain yang penuh boneka termasuk bobo. Eksperimenter mengamati anak tersebut melalui kaca satu arah.  Dibandingkan anak-anak yang menyaksikan model orang dewasa yang tidak agresif dan yang sama sekali tidak melihat tayangan, anak-anak yang melihat tayangan perilaku agresif tersebut menunjukkan perilaku yang jauh lebih agresif terhadap boneka bobo, dan mereka seringkali menirukan secara persis perilaku model dan kata-kata permusuhannya.
Di dalam varian eksperimen orisinilnya, Bandura dan koleganya meneliti penerapan efek lanjutan dari pengamatan pada kegiatan belajar. Mereka memperlihatkan pada anak-anak berusia empat tahun secara terpisah masing-masing satu dari tiga film tentang perilaku ‘kejam’ seorang dewasa terhadap boneka bobo tersebut. Dalam salah satu versi film, orang dewasa tersebut diberi penghargaan karena perilaku yang agresif berupa minuman dan permen. Di versi lain, orang dewasa tersebut balik dipukul, dijitak, dan diperingatkan agar tidak melakukan hal itu lagi. Di versi ketiga, orang dewasa tersebut tidak diberi hadiah maupun hukuman. Setelah menyaksikan film, setiap anak ditinggalkan sendirian di dalam ruangan yang berisi boneka bobo dan mainan lain. Banyak anak meniru perilaku kejam dari orang dewasa tersebut, namun anak-anak yang menyaksikan orang dewasa modelnya dihukum setelah menyiksa bobo lebih jarang yang menirukan. Namun, ketika peneliti menjanjikan hadiah kepada semua anak untuk menirukan, ketiga kelompok memperlihatkan kuantitas perilaku yang sama terhadap boneka bobo.
Bandura menyimpulkan bahwa meskipun anak-anak tidak melihat orang dewasa di dalam tayangan tidak mendapat hadiah telah belajar melalui pengamatan, namun anak-anak ini (khususnya yang melihat modelnya dihukum) tidak melakukan apa yang mereka pelajari sampai mereka bisa berharap mendapatkan hadiah bila melakukannya. Istilah belajar latent (latent learning) digunakan dalam kasus di mana individu belajar perilaku yang baru namun tidak melakukan perilaku tersebut sampai ia melihat kemungkinan untuk mendapatkan hadiah.

2.      Teori Imitasi  Bandura

Menurut teori imitasi Bandura yang sangat berpengaruh, yang juga disebut teori belajar sosial, empat faktor dibutuhkan oleh seseorang untuk belajar melalui pengamatan dan kemudian menirunya: attention (memperhatikan), retention (mengingat), reproduction (mereproduksi), dan motivation (dorongan). Pertama, pembelajar harus menaruh perhatian pada detail-detail yang penting dari perilaku model. Seorang wanita muda, melihat ayahnya memanggang roti tidak akan berhasil menirukan perilaku ayahnya tersebut bila tidak menaruh perhatian pada beberapa detail penting—bumbu, kuantitas, temperatur oven, durasi waktu memanggang, dan sebagainya. Faktor kedua adalah retention—pembelajar harus dapat mengingat atau menyimpan semua informasi dalam memorinya sampai informasi itu berguna kelak. Jika seseorang lupa beberapa detail penting, ia akan tidak dapat berhasil meniru suatu perilaku. Ketiga, pembelajar harus memiliki keterampilan dan koordinasi fisik yang dibutuhkan dalam reproduction mereproduksi perilaku tersebut. Wanita muda tersebut harus memiliki kekuatan dan kecekatan untuk mencampur bumbu,  menuangkan mentega, dan sebagainya, dalam rangka memanggang roti sendiri. Akhirnya, pembelajar harus memiliki motivasi (dorongan) untuk menirukan model. Dalam hal ini, pembelajar memiliki kecenderungan untuk menirukan suatu perilaku jika mereka mengharapkan perilaku tersebut mengarah pada suatu tipe hadiah atau penguatan. Jika pembelajar memandang bahwa menirukan perilaku tidak akan mengarah pada hadiah atau justru mengarah ke hukuman, mereka cenderung tidak menirukan perilaku tersebut. 

3.      Teori Generalisasi Imitasi

Suatu alternatif dari teori Bandura adalah teori generalisasi imitasi.  Teori ini menyatakan bahwa orang akan meniru perilaku orang lain jika situasinya sama dengan ketika peristiwa yang ditirunya diperkuat di masa lalu. Sebagai contoh, ketika seorang anak muda meniru perilaku orang tuanya atau saudara tuanya, imitasi ini sering diperkuat dengan senyuman, pujian, atau bentuk-bentuk persetujuan lain. Demikian juga, ketika anak-anak menirukan perilaku teman-temannya, bintang olah raga, atau selebritis, peniruan ini akan diperkuat—dengan persetujuan teman sebayanya, jika tidak orang tuanya. Melalui proses generalisasi, anak tersebut akan memulai meniru model-model tersebut pada kesempatan yang lain. Bila teori Bandura menekankan proses berpikir dan motivasi peniru, teori generalisasi imitasi berpijak pada dua prinsip dasar dari operant conditioning—penguatan dan generalisasi.  

4.      Faktor-faktor yang mempengaruhi imitasi

Banyak faktor yang mempengaruhi apakah seseorang akan meniru suatu model atau tidak. Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, anak-anak lebih cenderung meniru model apabila perilaku model telah mendapatkan penguatan dibandingkan dengan hukuman. Namun yang lebih penting adalah konsekuensi yang diharapkan dari pembelajar. Seseorang akan meniru perilaku yang mendapat hukuman apabila ia berpikir bahwa imitasi tersebut akan akan menghasilkan beberapa tipe penguatan yang lain.
Karakteristik model juga mempengaruhi karakteristik imitasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa anak-anak lebih cenderung meniru orang dewasa yang lebih mampu membuat ia senang dan lebih menarik perhatiannya dibandingkan dengan orang lain. Juga, anak-anak lebih sering meniru orang dewasa yang memiliki pengaruh penting dalam hidupnya seperti orangtuanya atau gurunya, dan orang-orang yang sukses atau dikaguminya seperti atlet atau selebriti. Baik orang dewasa maupun anak-anak lebih cenderung meniru model yang memiliki kemiripan usia, jenis kelamin, dan latar belakang. Karena alasan inilah, ketika terapis perilaku menggunakan model untuk mengajar perilaku atau keterampilan baru, mereka mencoba menggunakan model yang sama dengan pembelajar.



DAFTAR PUSTAKA
Kassin, Saul. 2006. Psychology. Encarta 2007. (DVD-ROM: Microsoft® Student 2007. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2006).
Mazur, James E. 2006. Learning. Encarta 2007. (DVD-ROM: Microsoft® Student 2007. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2006).
Wikipedia. 2007. Cognitivism. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Cognitivism_(psychology).html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2007. Constructivism. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Constructivism_(psychology).html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2007. Learning Theories. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/Learning_ Theories.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Behaviorism. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Behaviorism_(psychology).html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Jerome Bruner. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Jerome Bruner.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Albert Bandura. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Albert Bandura.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. B F Skinner. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ B_F_Skinner.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Edward Thorndike. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Edward Thorndike.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Jean Piaget. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Jean Piaget.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Lev Vygotsky. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Lev Vygotsky.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Noam Chomsky. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Noam Chomsky.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Robert M Gagné. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Robert_M_Gagné.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Behaviorism. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Behaviorism_(psychology).html. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http: //www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Learning Theories. (Online).(http: //www.funderstanding.com/learning_theories.cfm. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http: //www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http: //www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http: //www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http: //www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).


0 comments:

Posting Komentar